Jumat, 04 April 2014

TEORI KEDAULATAN



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Mengenai kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaran negara, Istilah kedaulatan sendiri seringkali dijumpai atau ditemukan dalam berbagai macam pengertian, dan masing-masing memiliki perbedaan yang prinsipil. Misalnya pengertian kedaulatan apabila dimaknai dalam perspektif hukum Internasional lebih sering dipandang dalam konteks hubungan ekstern atau hubungan antar negara, sedangkan dalam perspektif hukum Tata Negara, pengertian dipandang dalam konteks hubungan intern yaitu hubungan negara ke dalam. Kedaulatan juga dipandang sebagai konsep mengenai kekuasan tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Pemaknaan kedaulatan seperti ini merupakan arti yang bersifat teknis ilmiah yaitu dengan mengidentikkannya dengan penyelanggaraan kegiatan bernegara. Ketika membicarakan mengenai kedaulatan dalam konteks penyelenggaraan negara maka muncullah suatu pertanyaan yaitu apa dan siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dan membuat keputusan akhir dalam kegiatan kenegaraan atau dalam bentuk pertanyaan darimanakah kedaulatan itu berasal atau bersumber sehingga padanya melekat kekuasaan tertinggi tersebut. Dalam kajian ilmu hukum dan ilmu politik dikenal adanya lima teori kedaulatan, yaitu teori kedaulatan Tuhan, teori kedaulatan Raja, teori kedaulatan Rakyat, teori kedaulatan Negara, dan teori kedaulatan Hukum.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teori KedaulataBottom of Formn
Sejak awalnya, teori tentang kekuasaan negara tidak pernah terlepas kaitannya dengan pembahasan siapa yang memegang kekuasaan negara tersebut dan darimana kekuasaan tersebut diperoleh. Hal ini disebabkan negara bukanlah benda mati yang dapat bergerak sendiri, melainkan sebuah organisasi yang diselenggarakan oleh sekelompok orang atas masyarakat dengan tujuan tertentu. Pendapat tersebut juga dapat dipahami bahwa di dalam setiap negara terdapat kekuasaan yang dimiliki negara untuk memaksakan kehendak pada warga negaranya.[1] Oleh karena itu, pembahasan tentang siapa yang menyelenggarakan negara dan dari mana kekuasaan tersebut harus dikaitkan dengan pembahasan teori kekuasaan negara, sehingga dapat memberikan jawaban apakah yang menjadi dasar adanya kekuasaan negara tersebut.[2]
Pembahasan teori kekuasaan negara merupakan bagian dari teori negara karena teori kekuasaan negara merupakan turunan dari teori negara. Maka dari  itu, didalam pembahasan teori kekuasaan negara pasti juga berbicara teori negara. Pemikiran tantang teori negara pun sudah dimulai sejak zaman romawi kuno sampai zaman moderen sekarang ini. Perkembangan ekonomi, budaya dan politik juga menyebabkan teori negara mengalami perkembangan yang signifikan. Hakekat negara secara sederhana dapat diartikan sebuah organisasi masyarakat, organisasi yang dibentuk karena adanya keinginan hidup besama di dalam pemenuhan kebutuhannya.
Aristoteles[3] yang merupakan seorang ahli filsafat dari yunani  mengatakan bahwa pada hakekatnya menusia merupakan mahluk sosial (zoon politikon).[4] Oleh sebab itu, pada manusia terdapat suatu keinginana untuk hidup bersama yang pada akhirnya membentuk suatu negara yang bersifat totaliter.[5] Negara menurut Aristoteles merupakan bentuk tertinggi dari kehidupan bermasyarakat, negara terbentuk secara alamiah.[6] Dalam negara tersebut terdapat kekuasaan terhadap orang lain yang memiliki kewenangan membuat undang-undang. Plato mengidealkan yang memiliki kekuasaan atas negara tersebut adalah seorang filsuf karena hanya filsuf yang dapat melihat persoalan yang sebenarnya di dalam kehidupan dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.[7]
Dasar pemikiran tersebut yang kemudian diadopsi oleh para kaum pemikir gereja yang melahirkan teori hukum kodrat. Menurut teori ini maka kekuasaan tertinggi pada hakekatnya berasal dari Tuhan. Sebagaimana dikatakan Thomas Aquinas, teori hukum kodrat adalah teori etis dan hukum kodrat apa yang disebut sebagai kewajiban moral.[8] Thomas berpendapat bahwa monarchi adalah bentuk pemerintahan yang terbaik, yang dipimpin oleh seorang raja. Raja memperoleh kekuasaan dari Tuhan, dalam menjalankan pemerintahanya raja mengharapkan anugrah dari Tuhan dan ia selain sebagai penguasa rakyat ia juga merupakan hamba Tuhan.[9]
Pada abad ke-17 dan ke-18, dasar pemikiran kekuasaan-kekuasaan raja mulai mengalami perubahan, dari yang bersifat ketuhanan menjadi bersifat duniawi. Dasar pemikiran ini salah satunya dikemukakan oleh Thomas Hobbes. Thomas Hobbes menjelasakan bahwa di dalam keadaan alamiahnya manusia hidup didalam keadaan yang kacau balau. Thomas Hobbes menggambarkan keadaan ini bahwa manusia yang satu merupakan srigala bagi manusia yang lainnya (homo homini lupus). Jadi dalam keadaan alamiahnya manusia tidak ada ketentraman hidup, rasa takut menghantui lapisan masyarakat oleh karena itu manusia membuat perjanjian untuk membentuk negara. Pembentukan negara tersebut bertujuan melindungi kehidupan manusia tersebut.[10] Ketika perjajian itu dilakukan semua hak-hak alamiah mereka diserahkan pada negara, sedangkan negara tidak dibebani kewajiban apapun termasuk untuk dapat dituntut oleh individu. Jadi negara bukanlah patner dalam perjajian itu, melainkan hasil buahnya.[11]
Berbeda dengan Thomas Hobbes, Jhon Locke menjelaskan bahwa  di dalam keadaan alamiah (state of nature), manusia memiliki hak yang sama untuk mempergunakan kemampuan mereka manusia secara alamiah dalam keadaan yang baik.[12] Oleh karena itu, keadaan alamiah tampak sebagai “a state of peace, good will, mutual assistance, and preservation”.[13]
Akan tetapi, kondisi tersebut menjadi berubah manusia mengenal uang. Dengan adanya uang ini, tidak ada lagi batas alamiah yang sanggup menghindari terjadinya akumulasi kekayaan oleh sedikit orang. Akumulasi kekayaan oleh sedikit orang ini kemudian menimbulkan keadaan perang (state of war).  Dalam situasi yang dikuasai oleh ekonomi uang ini, masyarakat tidak dapat bertahan tanpa pembentukan negara yang menjamin milik pribadi.[14]
Dengan demikian, menurut Locke, negara itu didirikan untuk melindungi hak milik pribadi.[15] Negara didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak milik (property) yang dimaksud di sini tidak hanya berupa tanah milik (estates), tetapi juga kehidupan (lives) dan kebebasan (liberties). Locke menyebut hak-hak ini dengan istilah inalienable rights (hak-hak yang tidak asing) dan adanya negara justru didirikan justru untuk melindungi hak-hak asasi tersebut.[16] Jadi segala kekuasaan yang dimiliki negara dimilikinya karena, dan sejauh, didelegasikan oleh para warga negaranya.[17]
Terakhir, Jean Jacques Rousseau. Jean Jacques Rousseau menjelaskan di dalam kehidupan alamiahnya manusia hidup secara polos dan mencintai diri secara sepontan di mana manusia belum melakukan pertikaian melainkan keadaan aman dan bahagia.[18] Pada keadaan ini manusia hidup hanya di dalam pemenuhan kebutuhan pribadinya. Tetapi pada akhirnya keadaan alamiah manusia tidak dapat dipertahankan kembali jika setiap manusia tidak dapat lagi mampu mengatasi keadaan dalam menjaga dirinya sendiri. Oleh karena itu, perlu perubahan pola kehidupannya, yakni membentuk suatu kesatuan dengan menghimpun diri bersama orang lain.
Manusia akan membentuk suatu negara untuk mempertahankan dan melindungi pribadi dan anggotanya, di dalam perkumpulan itu masing-masing menyatu dalam suatu kelompok tetapi manusia tetap bebas sebagai seorang individu. Hal ini dapat dikatakan bahwa setiap individu menyerahkan diri dan seluruh kekuasaannya untuk kepentingan bersama, di bawah kepentingan tertinggi yaitu kehendak umum (volante generale) dan mereka menerima setiap anggotanya  sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan.[19] Peyerahan kekuasaan ini dapat dikatakan sebagai kontrak sosial, tetapi jika kontrak sosial itu dilanggar maka masing-masing kembali kepada hak-hak alamiah mereka. Hal ini berarti Rousseau menginginkan adanya kedaulatan rakyat secara menyeluruh.[20]
Berdasarkan pemikiran-pemikiran kekuasaan negara tersebut dapat disimpulkan bahwa pembahasan siapa yang memegang kekuasaan negara dan darimana kekuasaan diperoleh berkaitan dengan kedaulatan. Kedaulatan tersebut dapat dibedakan atas Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulan Negara, kedaulatan Hukum dan Kedaulatan Rakyat. Teori-teori kedaulatan tersebut pada dasarnya mempertanyakan hak moral apakah yang dijadikan legitimasi bagi setiap orang atau sekelompok orang atau bagian suatu pemerintahan atau kekuasaan yang dimilikinya, sehingga mempunyai hak untuk memegang dan mepergunakan kekuasaan serta menuntut kepatutan atas kekuasaan dan otoritas yang dimiliki.
Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat (people souvereignty). Konsep kebebasan/persamaan dan konsep kedaulatan rakyat  merupakan dasar dari demokrasi. Kedaulatan rakyat berarti pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyat atau yang dikenal adanya selogan  kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kedaulatan rakyat Indonesia disalurkan dan diselenggarakan melalui prosedure konstitusional. Hal ini menunjukan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum yang Demokratis (democratische rectsstaat) dan Negara Demokrasi yang berdasar atas Hukum (constitusional democracy) yang tidak terpisah satu sama lain, sebagaimana menurut Jimly Asshiddiqie[21]
Dalam sistem konstitusional Undang-Undang Dasar, pelaksanaan kedaulatan rakyat itu disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional democracy). Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dan kedaulatan hukum (nomocratie) hendaklah diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Untuk itu, Undang-Undang Dasar negara kita menganut pengertian bahwa Negara Indonesia itu adalah Negara Hukum yang Demokratis (democratische rectsstaat) dan sekaligus adalah Negara Demokrasi yang berdasar atas Hukum (constitusional democracy) yang tidak terpisah satu sama lain.
Kedaulatan rakyat deselengarakan langsung dan melalui sistem perwakilan. Henry B. Mayo dalam buku Introductions to Democratic Theory mengatakan bahwa sistem politik yang demokrasi ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif  oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Berdasarkan pendapat tersebut, diselenggarakan langsung dan sistem perwakilan (direct demokracy) diwujudkan melalui pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat.


Kata daulat dan kedaulatan berasal dari bahasa Arab, yakni daulah yang berarti kekuasaan. Kedaulatan dapat diartikan sebagai kekuasaan mutlak dan tertinggi yang berada dalam suatu negara. Prof. Soehino, mengartikan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi, yakni kekuasaan yang dalam taraf terakhir dan tertinggi yang wewenang membuat keputusan. Kedaulatan juga dapat bermakna teknis operasional, yaitu merupakan konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaran negara, maksudnya adalah apa dan siapa yang membuat keputusan akhir dalam kegiatan bernegara. Dalam kajian ilmu hukum dan ilmu politik dikenal adanya lima teori kedaulatan, yaitu teori kedaulatan negara, teori kedaualatan Tuhan, teori kedaulatan Raja, teori kedaulatan Rakyat, dan teori kedaulatan Hukum.
Sementara Hamid S. Attamimi juga menyebutkan lima ajaran kedaualatan namun mengganti teori kedaulatan Tuhan dengan ajaran kedaulatan dalam lingkungan sendiri. Sedangkan Wirjono Prodjodikoro hanya menyebutkan empat ajaran kedaulatan saja, tanpa memasukkan ajaran kedaulatan Raja. Adapun beberapa macam teori kedaulatan tersebut diantaranya sebagai berikut :
a.      Kedaulatan Tuhan
Teori ini dianggap sebagai teori kedaulatan yang pertama dalam sejarah. Teori ini mengajarkan bahwanegara dan pemerintah mendapatkan kekuasaan tertinggi dari Tuhan sebagai asal segalasesuatu (Causa Prima).[1]
Menurut teori ini, kekuasaan berasal dari Tuhan yang diberikan kepada tokoh-tokoh negara terpilih, yang secara kodrati ditetapkan-Nya menjadi pemimpin negara dan berperan selaku wakil Tuhan di dunia. Teori ini umumnya dianut oleh raja-raja yang mengaku sebagai keturunan dewa, misalnya dalam sejarah para raja Mesir Kuno, Kaisar Jepang, Kaisar China, Raja Belanda ( Bidde Gratec Gods, kehendak Tuhan), Raja Ethiopia (Haile Selas, Singa penakluk dari suku Yuda pilihan Tuhan). Demikian pula dianut oleh para raja Jawa zaman Hindu yang menganggap diri mereka sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Ken Arok bahkan menganggap dirinya sebagai titisan Brahmana, Wisnu, dan Syiwa sekaligus. Pelopor teori kedaulatan Tuhan antara lain: Augustinus (354-430), Thomas Aquino (1215-1274), juga F. Hegel (1770-1831) dan F.J. Stahl (1802-1861). Karena berasal dari Tuhan, maka kedaulatan negara bersifat mutlak dan suci. Seluruh rakyat harus setia dan patuh kepada raja yang melaksanakan kekuasaan atas nama dan untuk kemuliaan Tuhan. Menurut Hegel, raja adalah manifestasi keberadaan Tuhan. Maka, raja/ pemerintah selalu benar, tidak mungkin salah.
b.      Teori Kedaulatan Raja
Pada abad pertengahan teori kedaulatan Tuhan berkembang menjadi teori kedaulatan Raja. Teori ini menganggap bahwa pada dasarnya kedaulatan Tuhan dijelmakan dalam kekuasaan seorang raja maupun ratu yang berkuasa secara turun temurun, mereka menganggap bahwa legitimasi atas kekuasaannya merupakan perintah Tuhan yang mutlak. Akibatnya kekuasaan raaja atau ratu menjadi mutlak yang kemudian melahirkan pula ajaran tentang kedaulatan raja. Ia bahkan dianggap tidak perlu menaati hukum moral agama, bahkan kekuasaannya berada di atas konstitusi, karena status-nya sebagai representasi/ wakil Tuhan di dunia. Dalam konteks penerapan kedaulatan raja, kerena sifatnya yang sangat absolut, maka kekuasaan raja menjadi tirani bagi rakyatnya. Adapun peletak dasar teori ini adalah Niccolo Machiavelli (1467-1527) melalui karyanya, Il Principe. Ia mengajarkan bahwa negara harus dipimpin oleh seorang raja yang berkekuasaan mutlak. Sedikit berbeda dengan Machavelli, Jean Bodin menyatakan bahwa meskpiun kedaulatan negara dipersonifikasikan dalam pribadi seorang raja, namun raja tetap harus menghormati hukum kodrat, hukum antar-bangsa, dan konstitusi kerajaan ( leges imperii). Di Inggris teori ini dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679) yang mengajarkan bahwa kekuasaan mutlak seorang raja justru diperlukan untuk mengatur negara dan menghindari homo homini lupus.
c.       Teori Kedaulatan Rakyat.
Teori ini menyatakan bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, karena pada dasarnya dalam menjalankan roda pemerintahan, pemerintah harus berpijak pada kehendak rakyat. Inti ajaran dari teori kedaulatan rakyat adalah pertama, kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat (teori ajaran demokrasi) dan kedua, adanya jaminan konstitusi terhadap hak asasi manusia. Teori ini juga memandang dan memaknai bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat, sehingga dalam melaksanakan tugasnya pemerintah harus berpegang pada kehendak rakyat yang lazimnya disebut dengan demokrasi. Rakyatlah penentu akhir penyelenggaraan kekuasaan dalam suatu negara.
Menurut Jimly teori kedaulatan rakyat inilah yang akan menderivasikan diri menjadi teori demokrasi , karena demokrasi merupakan praksis dari teori kedaulatan rakyat dalam suatu sistem politik , oleh karenanya kedua istilah (kedaulatab rakyat dan demokrasi) dapat disamakan. Teori ini juga menyebutkan bahwa kedaulatan rakyat diwujudkan dalam pernyataan rakyat untuk menyampaikan kehendaknya. Menurut teori ini negara memperoleh kekuasaan dari rakyatnya bukan dari Tuhan atan dari Raja. Rakyatlah yang menentukan corak dan cara pmerintahan diselenggarakan dak rakyat pulalah yang menentukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara dalam pemerintahannya itu.
Ajaran kedaulatan rakyat lahir dari pemikiran J.J. Rousseau yang menyatakan bahwa kedaulatan tidak bisa lepas dari rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Johanes Althuisiss juga berpendapat bahwa setiap susunan pergaulan hidup manusia terjadi dari perjanjian masyarakat yang tunduk kepada kekuasaan, dan pemegang kekuasaan itu dipilih oleh rakyat. Pendapat ini didukukung John Locke yang menyatakan bahwa kekuasaan negara berasal dari rakyat, bukan dari raja. Menurut dia, perjanjian masyarakat menghasilkan penyerahan hak-hak rakyat kepada pemerintah dan pemerintah mengembalikan hak dan kewajiban asasi tersebut kepada rakyatnya, melalui peraturan perundang-undangan.
d.      Teori Kedaulatan Negara
Kemunculan teori ini dianggap sebagai kelanjutan dari teori kedaulatan rakyat. Ajaran ini pertama kali muncul di Jerman. Kemunculan teori ini terkonsepsikan dalam rangka mempertahankan kedudukan raja yang pada saat itu mendapatkan dukungan dari tiga lapisan masyarakat yang cukup besar, baik dari golongan bangsawan (junkertum), golongan militer, maupun alat-alat pemerintah atau birokrasi.  Pada saat itu sebenarnya ajaran kedaulatan rakyat sudah dikenal di Jerman, hanya saja ajaran ini dianggap berbahaya, karena melalui kedualatan yang dimiliki rakyatnya, rakyat dapat saja melakukan pemberontakan terhadap raja, maka atas alasan inilah raja membuat konsepsi ajaran baru untuk menandingi ajaran kedaulatan rakyat. Konsepsi yang dibangun raja adalah bahwa sejatinya rakyat membentuk dirinya menjadi negara, oleh karenanya rakyat identik dengan negara. Jika rakyat berdaulat, maka negara juga berdaulat. Namun demikian karena entitas negara merupakan hal yang abstrak, maka timbul pertanyaan siapakah yang dapat memegang kekuasaan negara. Disinilah posisi raja sebagai wujud yang konkrit yang dianggap sebagai representasi dari sebuah negara, maka rajalah yang memegang kekuasaan negara. Peletak dasar teori ini antara lain: Jean Bodin (1530-1596), F. Hegel (1770-1831), G. Jellinek (1851-1911), Paul Laband (1879-1958).
Teori kedaulatan negara mengajarkan bahwa kekuasaan tertinggi terletak pada negara. Sumber kedaulatan adalah negara, yang merupakan lembaga tertinggi kehidupan suatu bangsa. Kedaulatan timbul bersamaan dengan berdirinya suatu negara. Demikian juga hukum dan konstitusi, juga merupakan kehendak negara, diperlukan negara, dan diabdikan kepada kepentingan negara. Menurut Jimly teori kedaualatan negara biasanya dibicarakan dalam konteks hukum internasional karena teori kedaulatan ini bisa dipandang sebagai konsep kekuasaan negara yang bersifat eksternal yaitu hubungan antar negara, sementara ajaran kedaulatan lainnya dipandang sebagai konsep kekuasaan yang besifat internal dan dianggap penting untuk dibahas dalam kajian Hukum Tata Negara. Dalam pengertian ini, Boer Mauna berpendapat bahwa kedaulatan negara diartikan sebagai kekuasaan tertinggi yang dimiliki suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan kepentingannya, selama tidak bertentangan dengan hukum internasional.
e.       Teori Kedaulatan Hukum
Kedaulatan hukum adalah sebuah teori kedaulatan yang diungkapkan oleh Krabbe sebagai bentuk penyangkalannya terhadap teori kedaulatan negara yang terutama diajarkan oleh mazhab Deutsche Publizisten. Teori kedaulatan hukum menunjukkan bahwa kekuasaan yang tertinggi tidak terletak di tangan raja dan bukan juga berada di tangan negara, melainkan berada ditangan hukum yang bersumber pada kesadaran hukum tiap-tiap orang sebagai anggota masyarakat. Teori ini menyatakan bahwa hukum merupakan pernyataan penilaian yang muncul atau bersumber pada kesadaran hukum manusia itu sendiri.
Kedaulatan hukum menunjukkan bahwa hukum merupakan sumber kedaulatan dimana kesadaran hukum seseorang akan membuatnya mampu membedakan mana sesuatu yang adil dan mana sesuatu yang tidak adil. Teori ini juga dapat dikaitkan dengan prinsip Rule of Law yang dikembangkan oleh seorang A.V. Dicey. Prinsip yang kemudian berkembang di Amerika Serikat juga menjadi jargon The Rule of Law and Not a Man yakni prinsip yang menganggap bukan orang yang menjadi pemimpin tetapi hukum sebagai pemimpin itu sendiri. Berdasarkan pemikiran teori ini, kekuasaan pemerintah berasal dari hukum yang berlaku. Hukumlah (tertulis maupun tidak tertulis) yang membimbing kekuasaan pemerintahan. Etika normatif negara yang menjadikan hukum sebagai “panglima” mewajibkan penegakan hukum dan penyelenggara negara dibatasi oleh hukum. Pelopor teori Kedaulatan Hukum antara lain: Hugo de Groot, Krabbe, Immanuel Kant dan Leon Duguit.
B.     Teori Demokrasi
Gagasan dan praktik demokrasi pertama kali berkembang di Yunani. Demokratia Yunani kuno diberlakukan setelah diadakannya reformasi sistem pemerintahan di negara kota (city state) Athena oleh Kleisthenes pada tahun 508 SM. Kleisthenes memperoleh kekuasaan setelah tahun 510 SM. Pada saat itu, Hipias, salah seorang teman Kleisthenes yang lalim dalam kepemimpinannya digulingkan oleh sekelompok bangsawan atas bantuan sparta, yang kemudian setelah itu terjadi konflik antar fraksi. Sebagai seorang aristokrat yang cerdas, Klesithenes dengan bantuan rakyat dapat mengalahkan rival-rivalnya. Segera setelah berkuasa, ia meletakan dasar-dasar yang kokoh bagi demokrasi Athena. Konsep Kleisthenes ini kemudian menghasilkan lembaga penting yang bernama Majelis Lima Ratus yang keanggotaannya terbuka bagi warga negara baik laki-laki maupun perempuan dengan cara pemilihan menggunakan mekanisme undian. Majelis ini bertugas mengangkat dan memberhentikan para pemimpin, menolak dan menerima undang-undang, bahkan melembagakan cara pengasingan terhadap orang yang cenderung berambisi dictator.
Secara literal, demokrasi berarti kekuasaan oleh rakyat. Kata ini berasal dari bahasa Yunani “demos” (rakyat) yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan “cratos” atau “cratein”” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi, “demos-cratein” atau “demos-cratos” (demokrasi) adalah kekuasaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan berasal dari rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Secara terminologis, demokrasi, menurut Joseph A. Schmeter, merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana indivudu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suatu rakyat. Menurut Sidney Hook, demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan pemerintah yang penting secara langsung maupun tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
Sedangkan menurut Philippe C Schmitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dari para wakil mereka yang terpilih.
Dalam pandangan Nurcholis Madjid, suatu negara disebut demokratis manakala negara menjamin hak asasi manusia (seperti kebebasan berkumpul, menyatakan pendapat, berserikat dan beragama), bagi kelompok minoritas sekalipun. Paham dan sistem politik demokrasi adalah sistem yang menolak diktatorianisme, feodalisme, dan totalitarianisme. Dalam demokrasi pola hubungan antara penguasa dan rakyat, termasuk didalamnya kaum minoritas, bukanlah pola hubungan kekuasaan, tetapi berdasarkan hukum yang menjunjung tinggi HAM. Sedangkan secara praktis demokrasi adalah cara untuk menetapkan otoritas dimana rakyat memilih pemimpin-pemimpin mereka. Jika dalam sistem politik lainnya, orang-orang tertentu dapat menjadi penguasa karena didasarkan pada keturunan, kekayaan, penunjukan, maupun paksaan dengan cara kekerasan. Didalam demokrasi ada dua kemungkinan yaitu :
  1. penguasa dan rakyat identik, sebagaimana demokrasi yang berlangsung ala Yunani Kuno.
  2. para penguasa dipilih oleh rakyat dengan memberikan suaranya.
Menurut Syukron Kamil negara bangsa modern dapat disebut mempunyai sistem politik yang demokratis, manakala para pembuat kebijakan yang paling berpengaruh ditentukan melalui pemilihan umum yang jujur dan adil, yang daiadakan secara berkala. Melalui mekanisme ini para kandidat secara bebas dapat bersaing untuk memperoleh dukungan suara terbanyak, dan praktis semua penduduk yang memenuhi syarat dapat menyatakan pilihannya.
Adanya pemilihan umum dalam, dalam pandangan Schumpeter merupakan esensi dari sebuah demokrasi. Pemelihan umum yang dimaksud adalah pemilihan umum yang jujur, adil dan kompetitif yang merupakan prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang didalamnya individu (yang terorganisir dalam bentuk partai) memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat. Secara sederhana Schumpeter menyimpulkan bahwa demokrasi baginya merupakan seuatu mekanisme pasar, dimana para pemilih adalah konsumen, sedangkan para politisinya (partai-partai) adalah wiraswastawan yang memburu laba (suara terbanyak). Mereka seperti pedagang yang berusaha menghasilkan produk-produk yang diyakinnya akan akan memberikan keuntungan tertinggi, sehingga mereka melakukan pengiklanan agar produknya dapat dibeli konsumen.
Wiliam Ebenstein mengemukakan beberapa kriteria dan dasar psikologis demokrasi, diantaranya ;
  1. empirisme rasional, Konsep ini merujuk pada keyakinan bahwa akal sehat, akal budi (reason) atau nalar manusia sangat penting dijadikan dasar demokrasi.
  2. kepentingan individu sangat diutamakan, ini merupakan kriteria terpenting. Kriteria inilah yang bisa dijadikan dasar untuk menentukan demokratis tidaknya suatu sistem pemerintahan.
  3. teori instrumental tentang negara, menurut Ebenstein negara pada dasarnya bersifat instrumental. Negara, seperti yang dirumuskan Plato dan Aristoteles hingga Marx, tidak lebih dari sekedar alat politik untuk mencapai tujuan bersama manusia.
  4. prinsip volunteerism atau prinsip kesukarelaan. Dalam sebuah negara demokratis, aksi-aksi atau kegiatan sosial politik haruslah didasarkan pada prinsip ini. Pada dasaranya negara demokrasi tidak mengenal mobilisasi paksa.
  5. konsep hukum di balik hukum, hubungan antara negara dan masyarakat diatur oleh hukum dan kedudukannya lebih tinggi dari negara.
  6. pementingan cara atau prosedur dalam kehidupan demokratis didasarkan pada kesadaran bahwa tujuan tidak dapat dipisahkan dari cara atau alat yang digunakan.
  7. musyawarah dan mufakat, dan
  8. persamaan hak asasi manusia.
Larry Diamond juga menggambarkan lebih rinci kriteria demokrasi dalam sistem pemerintahan yaitu :
  1. adanya kompetisi antar-individu dan kelompok (terutama partai-partai politik) yang meluas dan bermakna serta tidak menggunakan daya paksa untuk memperebutkan jabatan-jabatan pemerintahan regular.
  2. adanya partisipasi politik yang tinggi dalam memilih pemimpin dan kebijakan-kebijakan minimal melalui pemilihan yang fair dan berkala serta tidak ada kelompok tertentu yang dikucilkan atau dikecualikan.
  3. adanya kebebasan sipil dan politik, antara lain: kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan kebebasan berserikat yang cukup menjamin integrasi kompetisi dan partisipasi politik.
Konsep demokrasi bukanlah konsep yang mudah dipahami, sebab konsep ini memiliki banyak konotasi makna yang bervariatif, evolutif dan dinamis. Demokrasi bermakna variatif, karena sangat bersifat interpretatif. Setiap penguasa negara berhak mengklaim negaranya sebagai demokratis, meskipun nilai yang dianut atau praktik politik kekuasaannya sebenarnya jauh dari prinsip-prinsip dasar demokrasi. Karena sifatnya yang interpretatif itu, kita mengenal berbagai tipologi demokrasi seperti demokrasi liberal, demokrasi rakyat, demokrasi proletar, demokrasi komunis, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, demokrasi parlementer dan lain-lain. Disamping demokrasi meletakan pemilu yang jujur, adil, dan kompetetif sebagai esensinya, demokrasi juga secara prosedural berjalan diatas prinsip mayoritas. Menurut Jhon Stuart Mill, prinsip ini didasarkan bahwa pendapat mayoritas sekalipun mungkin saja salah, namun lebih sering benarnya.
Menurut Peter Jhones, demokrasi bukanlah mayoritasisme, demokrasi menjunjung tinggi prinsip mayoritas yang didalamnya tercakup kompromi yang adil, yang tidak menganggu kepentingan kelompok minoritas yang paling fundamental. Oleh karenanya demokrasi adalah “majority rule and minority right.[2]
Jadi prinsip demokrasi dalam pelaksanaannya, mesti diletakan diatas prinsip-prinsip moral yang menjunjung tinggi HAM sebagai kodrat yang diberikan Tuhan. Penghargaan dan penerapan kebebasan, persamaan, dan partisipasi politik (paling tidak melalui pemilu dan melalui perwakilan rakyat yang representatif. Demokrasi juga tidak hanya menolak mayoritasisme, tetapi juga elitisme. Dalam pengertian elitisme, demokrasi hanya menjadi alat dan menguntungkan kelompok elit tertentu, bukan untuk memajukan rakyat secara umum. Demokrasi yang diberlakukan haruslah demokrasi yang memberikan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana kekuasaan ditangan mayoritas diselenggarakan dalam suatu rangka legal pembatasan.
Hal yang perlu diingat dari konsep demokrasi adalah ia tidak bersifat statis; ia merupakan hasil dari power sharing yang mencerminkan tingkat keseimbangan antara dua pihak yang melakukan tarik-menarik, yakni rakyat dengan kesadaran partisipasi dan penguasa dengan kesadaran otoritasnya. Bagian tengah (moderasi) dari power sharing itulah letak di mana demokrasi berada. Apabila kesadaran peran-serta rakyat terlalu dominan, maka yang terjadi adalah anarki. Sebaliknya, apabila penguasa berada pada posisi dominan, maka yang terjadi adalah otoritarian. Demokrasi yang diiringi dengan destabilisasi anarki tak jarang akan menimbulkan sikap brutal bahkan pembunuhan, atau jatuh bangunnya pemerintahan akibat mosi tidak percaya atau kudeta konstitusional.
Dari bebagai kerangka pemikiran diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bahwa demokrasi merupakan seuatu pemerintahan mayoritas yang menerapkan sistem perwakilan yang mengakui hak-hak individu dan mayoritas, yang terikat dengan hukum dan mengakui konsep check and balances. Dari pengertian disebut, maka terdapat beberapa ukuran yang dapat diacu dalam menilai suatu negara, apakah negara tersebut dapat dikatakan demokratis atau tidak. Menurut Kongres Amerika pada tahun 1989 menentukan standar negara yang layak diberikan bantuan, dengan parameter negara demokratis yang mencakup :
  1. didirikannya sistem poltik yang sepenuhnya demokratis dan representatif berdasarkan pemilihan umum yang bebas dan adil,
  2. diakuinya secara efektif kebebasan-kebebasan fundamental dan kemerdekaan-kemerdekaan pribadi, termasuk kebebasan beragama, berbicara, dan berkumpul;
  3. dihilangkannya semua peraturan perundang-undangan dan berbagai peraturan yang menghalangi berfungsinya pers yang bebas dan terbentuknya partai-partai politik;
  4. diciptakannya suatu badan kehakiman yang bebas; (d) didirikannya kekuatan-kekuatan militer, keamanan, dan kepolisian yang tidak memihak.
Sementara parameter lain yang memilki kesamaan prinsip juga dikemukakan oleh Franz Magnis Suseno dan Afan Ghafar sebagaimana dikutip Syukoron Kamil. Ciri dari kondisi demokratis menurut Franz Maginis Suseno terangkum dalam lima gugus:
  1. negara hukum
  2. pemrintahan yang berada dibawah kontrol masyarakat
  3. ada pemilihan umum berkala yang bebas
  4. prinsip mayoritas; dan
  5. adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis dasar.
Sementara Afan Ghafar, tidak menyebut tentang prinsip negara hukum. Ia lebih menitik beratkan pada pertanggungjawaban. Beberapa parameter demokrasi menurut Affan Ghafar diantaranya : Akuntabilitas (pertanggungjawaban), Rotasi kekuasaan tertaur dan damai, rekrutmen politik yang terbuka, pemilu yang luber dan jurdil, dan rakyat dapat menikmati hak-hak dasarnya.
Demokrasi begai paham yang dilahirkan dari prinsip kedaulatan rakyat, kini makin digandrungi. Hal tersebut disebabkan karena dengan demokrasi telah dihasilkan kebijakan yang bijak, suatu masyarakat yang adil, bebas, keputusan yang memajukan kepentingan bersama, pengakuan terhadap hak-hak individu. Dalam sistem demokrasi, masyarakat tidak dipaksa untu melakukan sesuatu yang dianggapnya tidak mesti dilakukan, termasuk kaum minoritas sekalipun, karena hak-hak mereka terlindungi. Hal tersebut terwujud mengingat
Demokrasi dengan prosedur dan kelembagaannya yang membatasi kekuasaan dapat mencegah kewenang-wenangan, sehingga menghasilkan pemerintahan yang bertanggung jawab.



[1] Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000, h. 123.
[2] Peter Jhones “Persamaan Politik dan Kekuasaan Mayoritas” dalam David Miller dan Lary Siedentop, Politik dalam Perspektif Pemikiran Filasafat dan Teori, Jakarta : Rajawali Press, tth, h. 254.

2 komentar: