BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pemeriksaan ulangan yang dilakukan oleh pengadilan tinggi terhadap
putusan pengadilan negeri, atas permohonan pihak yang berkepentingan. Pasal 3
undang-undang darurat 1951-1. Menurut ketentuan pasal tersebut, peraturan hukum
acara untuk pemeriksaan ulangan atau banding pada pengadilan tinggi adalah
peraturan-peraturan republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk
pengadilan-pengadilan tinggi dalam republik Indonesia dahulu itu.
Peraturan-peraturan yang digunakan dalam daerah republik Indonesia dahulu
adalah pemeriksaan banding perkara perdata buat pengadilan tinggi dijawa dan
Madura dan untuk pemeriksaan ulangan atau banding perkara buat pengadilan
tinggi di luar Jawa dan Madura.
Pada waktu sekarang tidak ada perkara yang nilainya sekecil itu
sehingga praktis semua perkara perdata yang diputus oleh pengadilan negeri itu
dapat dimintakan banding. Dalam pembentukan hukum acara perdata nasional yang
akan datang perlu dipikirkan pembatasan nilai diperkenankan banding itu. Setelah
pemeriksaan perkara selesai dilakukan, hakim segera menjatuhkan putusannya.
Putusan dalam tingkat banding dapat berupa, menguatkan putusan pengadilan
negeri, memperbaiki putusan pengadilan negeri, membatalkan putusan pengadilan negeri
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Peraturan Tentang Banding ?
2.
Apa Syarat
dan Prosedur Banding ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peraturan tentang Banding
Banding adalah pemeriksaan ulangan yang dilakukan oleh pengadilan
tinggi terhadap putusan pengadilan negeri, atas permohonan pihak yang
berkepentingan. Untuk mengetahui peraturan tentang banding, perlu dibaca
ketentuan pasal 3 undang-undang darurat 1951-1. Menurut ketentuan pasal
tersebut, peraturan hukum acara untuk pemeriksaan ulangan atau banding pada
pengadilan tinggi adalah peraturan-peraturan republik Indonesia dahulu yang
telah ada dan berlaku untuk pengadilan-pengadilan tinggi dalam republik
Indonesia dahulu itu. Peraturan-peraturan yang digunakan dalam daerah republik
Indonesia dahulu adalah :
1.
Untuk
pemeriksaan ulangan atau banding perkara perdata buat pengadilan tinggi dijawa
dan Madura adalah Undang-undang 1947-20.
2.
Untuk
pemeriksaan ulangan atau banding perkara buat pengadilan tinggi di luar Jawa
dan Madura adalah Rechtsreglement voor de Buitengewesten (R.Bg)
Undang-undang 1947-20 sebenarnya mengambil alih ketentuan tentang
pemeriksaan ulangan atau banding yang terdapat dalam HIR dengan sekedar
perubahan dan tambahan. Sedangkan ketentuan dan HIR itu pada dasarnya juga
tidak berbeda dengan ketentuan tentang banding dalam R.Bg. Jadi walaupun
formulirnya ada dua macam peraturan yang berlaku mengenai pemeriksaan ulangan
atau banding, tetapi secara materiel mempunyai kesamaan dan keseragaman.[1]
B.
Syarat dan Prosedur Banding
Syarat untuk dapat dimintakan banding bagi perkara yang telah
diputus oleh pengadilan negeri ialah apabila besarnya nilai gugat dari perkara
yang telah diputus itu lebih dari Rp 100,- (seratus rupiah). Jadi jika nilai
gugat Rp 100,- atau kurang, putusan pengadilan negeri tersebut tidak dapat
dimintakan banding ( pasal 6 undang-undang 1947-20- pasal 96 No 1 R.O.). Pada waktu
sekarang tidak ada perkara yang nilainya sekecil itu sehingga praktis semua
perkara perdata yang diputus oleh pengadilan negeri itu dapat dimintakan
banding. Dalam pembentukan hukum acara perdata nasional yang akan datang perlu
dipikirkan pembatasan nilai diperkenankan banding itu, sebab jika semua putusan
pengadilan negeri itu dapat dimintakan banding, padahal nilainya tidak sepadan,
tentu akan membuat proses jadi lama.[2]
Apabila putusan pengadilan negeri itu dimintakan banding,
permohonan banding tersebut disampaikan pada panitera pengadilan negeri yang
menjatuhkan putusan, baik secara tertulis maupun secara lisan, dalam tenggang
14 hari terhitung mulai hari berikutnya hari pengumuman putusan kepada yang
berkepentingan. Tenggang waktu tersebut dijadikan 30 hari jika pemohon banding
berdiam diluar daerah hukum tempat pengadilan negeri itu bersidang untuk Jawa
dan Madura, sedangkan untuk luar jawa dan Madura tenggang waktu tersebut dijadikan
6 minggu. Permohonan harus disertai dengan pembayaran persekot ongkos perkara
banding. Apabila tenggang waktu yang telah ditentukan diatas sudah lampau,
biaya perkara tidak disetor, permohonan banding itu tidak dapat diterima.[3]
Permohonan banding dapat diterima sesudah panitera menyampaikan
pemberitahuan permohonan banding kepada pihak lawannya. Tiap permohonan
disertai dengan surat memori banding yang berisi alasan-alasan dimintakan
banding. Pada waktu menyampaikan pemberitahuan permohonan banding dilampirkan
juga surat banding. Pihak terbanding dapat juga memasukkan surat kontra memori
banding. Salinan surat kontra memori banding itu oleh panitera disampaikan pula
kepada pembanding.[4]
3.
Pemeriksaan
dalam Tingkat Banding
Pemeriksaan dalam tingkat banding dilakukan dengan memeriksa semua
berkas perkara pemeriksaan pengadilan negeri dan surat-surat lainnya yang
berhubungan dengan perkara tersebut. Bila dipandang perlu, hakim banding dapat
mendengar sendiri kedua belah pihak yang berperkara dan saksi-saksi, guna
melengkapi bahan-bahan yang diperlukan.
Pemeriksaan perkara dalam tingkat banding dilakukan oleh pengadilan
tinggi dengan tiga orang hakim, sebagai hakim majelis. Seorang hakim bertindak
sebagai ketua dan lainnya sebagai hakim anggota, serta dibantu oleh seorang
panitera.
a.
Dilakukan
berdasar berkasa perkara :
Pemeriksaan
pada tingkat banding dilakukan melalui Berita Acara Pemeriksaan Pengadilan
Tingkat Pertama, yaitu berdasarkan berkas perkara.
b.
Apabila
dianggap perlu dapat melakukan “Pemeriksaan tambahan, melalui proses :
1.
Pemeriksaan
tambahan berdasar Putusan Sela, sebelum menjatuhkan putusan akhir atau putusan
ditangguhkan menunggu hasil pemeriksaan tambahan.
2.
Pemeriksaan
tambahan dapat dilakukan sendiri oleh Pengadilan Tinggi Agama (PTA).
3.
Pelaksanaan
pemeriksaan tambahan diperintahkan kepada pengadilan yang semula memeriksa dan
memutus pada tingkat pertama.
4.
Pemeriksaan
tingkat banding dilakukan dengan majelis, Pasal 11 ayat 1 Lembaran Negara No.
36 Tahun 1955, dipertegas dalam Pasal 15 UU No. 14 Tahun 1970.[5]
4.
Putusan
Pengadilan Tinggi (Pengadilan Banding)
Setelah pemeriksaan perkara selesai dilakukan, hakim segera
menjatuhkan putusannya. Putusan dalam tingkat banding dapat berupa :
1.
Menguatkan
putusan pengadilan negeri
2.
Memperbaiki
putusan pengadilan negeri
3.
Membatalkan
putusan pengadilan negeri
Putusan menguatkan artinya apa yang telah diperiksa dan diputus
oleh pengadilan negeri itu dianggap benar dan tepat. Putusan memperbaiki,
artinya apa yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan negeri itu dipandang
kurang tepat menurut rasa keadilan, karenanya perlu diperbaiki. Putusan
membatalkan, artinya apa yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan
negeri itu dipandang tidak benar dan tidak adil, karenanya harus dibatalkan.[6]
Apabila pengadilan negeri memutuskan bahwa ia tidak berwenang
memeriksa perkara itu, tetapi oleh yang bersangkutan dimintakan banding dan
peradilan tinggi berpendapat lain, artinya pengadilan negeri berwenang
memeriksa perkara itu, maka pengadilan negeri dan memerintahkan kepada
pengadilan negeri yang bersangkutan untuk memeriksa dan memutus perkara itu.
Demikian juga jika putusan pengadilan negeri itu kurang memperhatikan
keterangan tentang peristiwa yang dikemukakan pihak-pihak dan syarat-syarat
yang diharuskan oleh ketentuan undang-undang yang berlaku pengadilan tinggi
membatalkan putusan itu dan memerintahkan supaya memeriksa kembali atau
pengadilan tinggi akan memeriksa sendiri perkara itu dan memberikan putusan
sendiri.[7]
Setelah pengadilan tinggi memberikan putusannya, maka salinan resmi
putusan dan berkas perkaranya dikirimkan kembali kepada pengadilan negeri yang
bersangkutan. Setelah putusan itu diterima pengadilan negeri, ketua
memerintahkan supaya memberitahukan isi putusan pengadilan tinggi itu kepada
kedua belah pihak dengan memperingatkan hak mereka untuk mengajukan permohonan
kasasi kepada Mahkamah Agung. Atas dasar perintah ketua pengadilan negeri,
panitera memerintahkan juru sita untuk memberitahukan isi putusan banding
dengan surat pemberitahuan.[8]
Dalam undang-undang tidak diatur secara tegas batas waktu
pemberitahuan isi putusan banding kepada pihak-pihak. Hanya ditentukan, segera
setelah menerima surat putusan dari pengadilan tinggi, ketua pengadilan negeri
yang bersangkutan segera memerintahkan supaya isi putusan banding itu
diberitahukan kepada pihak-pihak. Dengan pemberitahuan itu mungkin pihak-pihak
itu akan menggunakan haknya untuk memohon kasasi kalau tidak mohon kasasi,
putusan banding itu segera akan mendapatkan haknya yang telah ditetapkan dalam
putusan itu. Apabila dalam tenggang yang telah ditetapkan undang-undang untuk
mohon kasasi, permohonan kasasi tidak diajukan, putusan banding memperoleh
kekuatan hukum yang tetap. Dengan demikian putusan banding memperoleh kekuatan
untuk dilaksanakan.[9]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
:
Banding adalah pemeriksaan ulangan yang dilakukan oleh pengadilan
tinggi terhadap putusan pengadilan negeri, atas permohonan pihak yang
berkepentingan. Peraturan-peraturan yang digunakan dalam daerah republik
Indonesia dahulu adalah :
-
Untuk
pemeriksaan ulangan atau banding perkara perdata buat pengadilan tinggi dijawa
dan Madura adalah Undang-undang 1947-20.
-
Untuk
pemeriksaan ulangan atau banding perkara buat pengadilan tinggi di luar Jawa
dan Madura adalah Rechtsreglement voor de Buitengewesten (R.Bg)
Syarat untuk dapat dimintakan banding bagi perkara yang telah
diputus oleh pengadilan negeri ialah apabila besarnya nilai gugat dari perkara
yang telah diputus itu lebih dari Rp 100,- . Jadi jika nilai gugat Rp 100,-
atau kurang, putusan pengadilan negeri tersebut tidak dapat dimintakan banding.
Pemeriksaan perkara dalam tingkat banding dilakukan oleh pengadilan
tinggi dengan tiga orang hakim. Setelah pemeriksaan perkara selesai dilakukan,
hakim segera menjatuhkan putusannya. Putusan dalam tingkat banding dapat berupa
:
-
Menguatkan
putusan pengadilan negeri, apa yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan
negeri itu dianggap benar dan tepat.
-
Memperbaiki
putusan pengadilan negeri, Putusan memperbaiki, artinya apa yang telah
diperiksa dan diputus oleh pengadilan negeri itu dipandang kurang tepat menurut
rasa keadilan, karenanya perlu diperbaiki.
-
Membatalkan
putusan pengadilan negeri, Putusan membatalkan, artinya apa yang telah
diperiksa dan diputus oleh pengadilan negeri itu dipandang tidak benar dan
tidak adil, karenanya harus dibatalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Sutantio
Retnowulan, Iskandar oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata, Bandung: CV.
Mandar Maju, 2005.
Lubis Sulaikin,
Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2005.
Muhammad
Abdulkadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung, PT.Citra Aditya
Bakti, 1996.
[1]
Retnowulan Sutantio, Iskandar oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata, (Bandung:
CV. Mandar Maju, 2005), h. 147-149.
[2]
Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2005), h. 171.
[3]
Ibid, h. 172.
[4]
Ibid, h. 174.
[5]
Ibid, h. 178.
[6]
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung, PT.Citra
Aditya Bakti, 1996), h. 181.
[7]
Ibid, h. 182.
[8] Ibid, h. 184.
[9]
Ibid. h. 185-186.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar