FILSAFAT ILMU
II.1 Pengertian Filsafat Ilmu
Meskipun secara historis antara ilmu dan filsafat
pernah merupakan suatu kesatuan, namun dalam perkembangannya mengalami
divergensi, dimana dominasi ilmu lebih kuat mempengaruhi pemikiran manusia,
kondisi ini mendorong pada upaya untuk memposisikan ke duanya secara tepat
sesuai dengan batas wilayahnya masing-masing, bukan untuk mengisolasinya
melainkan untuk lebih jernih melihat hubungan keduanya dalam konteks lebih
memahami khazanah intelektuan manusia
Harold H. Titus
mengakui kesulitan untuk menyatakan secara tegas dan ringkas mengenai hubungan
antara ilmu dan filsafat, karena terdapat persamaan sekaligus perbedaan antara
ilmu dan filsafat, disamping dikalangan ilmuwan sendiri terdapat perbedaan
pandangan dalam hal sifat dan keterbatasan ilmu, dimikian juga dikalangan
filsuf terdapat perbedaan pandangan dalam memberikan makna dan tugas filsafat.
Adapaun persamaan (lebih tepatnya
persesuaian) antara ilmu dan filsafat adalah bahwa keduanya menggunakan
berfikir reflektif dalam upaya menghadapi/memahami fakta-fakta dunia dan
kehidupan, terhadap hal-hal tersebut baik filsafat maupun ilmu bersikap kritis,
berfikiran terbuka serta sangat konsern pada kebenaran, disamping perhatiannya
pada pengetahuan yang terorganisisr dan sistematis.
Sementara itu perbedaan filsafat dengan ilmu
lebih berkaitan dengan titik tekan, dimana ilmu mengkaji bidang yang terbatas,
ilmu lebih bersifat analitis dan deskriptif dalam pendekatannya, ilmu
menggunakan observasi, eksperimen dan klasifikasi data pengalaman indra serta
berupaya untuk menemukan hukum-hukum atas gejala-gejala tersebut, sedangkan
filsafat berupaya mengkaji pengalaman secara menyeluruh sehingga lebih bersifat
inklusif dan mencakup hal-hal umum dalam berbagai bidang pengalaman manusia,
filsafat lebih bersifat sintetis dan sinoptis dan kalaupun analitis maka
analisanya memasuki dimensi kehidupan secara menyeluruh dan utuh, filsafat
lebih tertarik pada pertanyaan kenapa
dan bagaimana dalam mempertanyakan masalah hubungan antara fakta khusus dengan
skema masalah yang lebih luas, filsafat juga mengkaji hubungan antara temuan-temuan ilmu dengan klaim agama, moral serta seni.
Dengan memperhatikan ungkapan di atas nampak
bahwa filsafat mempunyai batasan yang lebih luas dan menyeluruh ketimbang ilmu,
ini berarti bahwa apa yang sudah tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat
berupaya mencari jawabannya, bahkan ilmu itu sendiri bisa dipertanyakan atau
dijadikan objek kajian filsafat (Filsafat Ilmu), namun demikian filsafat dan
ilmu mempunyai kesamaan dalam menghadapi objek kajiannya yakni berfikir
reflektif dan sistematis, meski dengan titik tekan pendekatan yang berbeda.
Dengan
demikian, Ilmu mengkaji hal-hal yang bersifat empiris dan dapat dibuktikan, filsafat
mencoba mencari jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh
Ilmu dan jawabannya bersifat spekulatif, sedangkan Agama merupakan
jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh filsafat dan
jawabannya bersifat mutlak/dogmatis. Menurut Sidi Gazlba (1976),
Pengetahuan ilmu lapangannya segala sesuatu yang dapat diteliti (riset dan/atau
eksperimen) ; batasnya sampai kepada yang tidak atau belum dapat dilakukan
penelitian. Pengetahuan filsafat : segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh
budi (rasio) manusia yang alami (bersifat alam) dan nisbi; batasnya ialah batas
alam namun demikian ia juga mencoba memikirkan sesuatu yang diluar alam, yang
disebut oleh agama “Tuhan”. Sementara
itu Oemar Amin Hoesin (1964)
mengatakan bahwa ilmu memberikan kepada kita pengetahuan, dan filsafat
memberikan hikmat. Dari sini nampak jelas bahwa ilmu dan filsafat mempunyai
wilayah kajiannya sendiri-sendiri
Meskipun
filsafat ilmu mempunyai substansinya yang khas, namun dia merupakan bidang
pengetahuan campuran yang perkembangannya tergantung pada hubungan timbal balik
dan saling pengaruh antara filsafat dan ilmu, oleh karena itu pemahaman bidang
filsafat dan pemahaman ilmu menjadi sangat penting, terutama hubungannya yang
bersifat timbal balik, meski dalam perkembangannya filsafat ilmu itu telah
menjadi disiplin yang tersendiri dan otonom dilihat dari objek kajian dan
telaahannya.
Filsafat ilmu diperkenalkan sekitar abad XIX oleh
sekelompok ahli ilmu pengetahuan dari universitas wina. Para ahli ilmu pengetahuan
yang dipelopori oleh Moris Schlick membentuk suatu perkumpulan yang disebut
Wina circle untuk menyatukan semua disiplin ilmu (kimia,fisika,matematika) pada
suatu bahasa ilmiah dan cara bekerja ilmiah yang pasti dan logis. Bidang
keilmuan membutuhkan proses kerja ilmiah yang relevan dengan pokok perhatian
yang lebih spesifik. Karena itu saat ini filsafat ilmu sudah semakin berkembang
dan menjadi filsafat modern yang dibutuhkan dalam setiap ilmu.
Setelah
mengenal pengertian dan makna apa itu filsafat dan apa itu ilmu, maka pemahaman mengenai filsafat ilmu
tidak akan terlalu mengalami kesulitan. Hal ini tidak berarti bahwa dalam
memaknai filsafat ilmu tinggal menggabungkan kedua pengertian tersebut, sebab
sebagai suatu istilah, filsafat ilmu telah mengalami perkembangan pengertian
serta para akhli pun telah memberikan pengertian yang bervariasi, namun
demikian pemahaman tentang makna filsafat dan makna ilmu akan sangat membantu
dalam memahami pengertian dan makna filsafat ilmu (Philosophy of science).
Untuk
memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan
pengertian filsafat ilmu dari
beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun
(2001)
* Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a
critique of current scientific opinions by comparison to proven past views, but
such aphilosophy of science is clearly not a discipline autonomous of actual
scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan
kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap
kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi
filsafat
ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara
aktual.
* Lewis White Beck “Philosophy of science questions and
evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value
and significance of scientific enterprise as a whole. (Filsafat ilmu membahas
dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan
pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
* A. Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the
systematic study of the nature of science, especially of its methods, its
concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of
intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah
sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan
praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang
pengetahuan intelektual.)
* Michael V. Berry “The study of the inner
logic if scientific theories, and the relations between experiment and theory,
i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang logika interen dari
teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni
tentang metode ilmiah.)
* May Brodbeck “Philosophy of science is
the ethically and philosophically neutral analysis, description, and
clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati,
pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
* Peter Caws “Philosophy of science is a
part of philosophy, which attempts to do for science what philosophy in general
does for the whole of human experience. Philosophy does two sorts of thing: on
the other hand, it constructs theories about man and the universe, and offers
them as grounds for belief and action; on the other, it examines critically everything
that may be offered as a ground for belief or action, including its own
theories, with a view to the elimination of inconsistency and error. Filsafat
ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba
berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman
manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun
teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai
landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat
memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan
bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan
pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan.
* Stephen R. Toulmin “As a discipline, the
philosophy of science attempts, first, to elucidate the elements involved in
the process of scientific inquiry observational procedures, patens of argument,
methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so
on and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of
formal logic, practical methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama
menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah
prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode
penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan
seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari
sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika). Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat
ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab
pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis,
epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan
bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji
hakikat ilmu, seperti :
* Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek
tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang
membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
* Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa
ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan
pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu?
Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan
pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
* Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana
kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana
penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana
kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah
dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis). (Jujun S.
Suriasumantri, 1982)
Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan kajian filosofis
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu
merupakan upaya pengkajian dan pendalaman mengenai ilmu (Ilmu
Pengetahuan/Sains), baik itu ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun manfaat
ilmu bagi kehidupan manusia. Pengkajian
tersebut tidak terlepas dari acuan pokok filsafat yang tercakup dalam bidang ontologi, epistemologi, dan axiologi
dengan berbagai pengembangan dan pendalaman yang dilakukan oleh para akhli.
Secara
historis filsafat dipandang sebagai the
mother of sciences atau induk segala ilmu, hal ini sejalan dengan pengakuan
Descartes yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip dasar ilmu diambil dari
filsafat. Filsafat alam mendorong lahirnya ilmu-ilmu kealaman, filsafat sosial
melahirkan ilmu-ilmu sosial, namun dalam perkembangannya dominasi ilmu sangat
menonjol, bahkan ada yang menyatakan telah terjadi upaya perceraian antara
filsafat dengan ilmu, meski hal itu sebenarnya hanya upaya menyembunyikan asal
usulnya atau perpaduannya seperti terlihat dari ungkapkan Husein
Nasr (1996) bahwa :
meskipun
sains modern mendeklarasikan independensinya dari aliran filsafat tertentu, namun ia sendiri
tetap berdasarkan sebuah pemahaman filosofis partikular baik tentang
karakteristik alam maupun pengetahuan kita tentangnya, dan unsur terpenting di
dalamnya adalah Cartesianisme yang tetap bertahan sebagai bagian inheren dari
pandangan dunia ilmiah modern
dominasi ilmu terutama aplikasinya dalam bentuk
teknologi telah menjadikan pemikiran-pemikiran filosofis cenderung
terpinggirkan, hal ini berdampak pada cara berfikir yang sangat
pragmatis-empiris dan partial, serta cenderung menganggap pemikiran radikal
filosofis sebagai sesuatu yang asing dan terasa tidak praktis, padahal ilmu
yang berkembang dewasa ini di dalamnya terdapat pemahaman filosofis yang
mendasarinya sebagaimana kata Nasr .
Perkembangan ilmu memang telah
banyak pengaruhnya bagi kehidupan manusia, berbagai kemudahan hidup telah
banyak dirasakan, semua ini telah menumbuhkan keyakinan bahwa ilmu merupakan
suatu sarana yang penting bagi kehidupan, bahkan lebih jauh ilmu dianggap sebagai
dasar bagi suatu ukuran kebenaran. Akan tetapi kenyataan menunjukan bahwa tidak
semua masalah dapat didekati dengan pendekatan ilmiah, sekuat apapun upaya itu
dilakukan, seperti kata Leenhouwers yang
menyatakan:
Walaupun ilmu
pengetahuan mencari pengertian menerobos realitas sendiri, pengertian itu hanya dicari di tataran empiris dan
eksperimental. Ilmu pengetahuan membatasi kegiatannya hanya pada
fenomena-fenomena, yang entah langsung atau tidak langsung, dialami dari
pancaindra. Dengan kata lain ilmu pengetahuan tidak menerobos kepada inti
objeknya yang sama sekali tersembunyi dari observasi. Maka ia tidak memberi
jawaban prihal kausalitas yang paling dalam.
pernyataan
di atas mengindikasikan bahwa adalah sulit bahkan tidak mungkin ilmu mampu menembus
batas-batas yang menjadi wilayahnya yang sangat bertumpu pada fakta empiris,
memang tidak bisa dianggap sebagai kegagalan bila demikian selama klaim
kebenaran yang disandangnya diberlakukan dalam wilayahnya sendiri, namun jika
hal itu menutup pintu refleksi radikal terhadap ilmu maka hal ini mungkin bisa
menjadi ancaman bagi upaya memahami kehidupan secara utuh dan kekayaan dimensi
di dalamnya.
Meskipun
dalam tahap awal perkembangan pemikiran manusia khususnya jaman Yunani kuno
cikal bakal ilmu terpadu dalam filsafat, namun pada tahap selanjutnya ternyata
telah melahirkan berbagai disiplin ilmu yang masing-masing mempunyai asumsi
filosofisnya (khususnya tentang manusia) masing-masing. Ilmu ekonomi memandang
manusia sebagai homo economicus yakni
makhluk yang mementingkan diri sendiri dan hedonis, sementara sosiologi
memandang manusia sebagai homo socius
yakni makhluk yang selalu ingin berkomunikasi dan bekerjasama dengan yang lain,
hal ini menunjukan suatu pandangan manusia yang fragmentaris dan kontradiktif,
memang diakui bahwa dengan asumsi model ini ilmu-ilmu terus berkembang dan
makin terspesialisasi, dan dengan makin terspesialisasi maka analisisnya makin
tajam, namun seiring dengan itu hasil-hasil penelitian ilmiah selalu berusaha
untuk mampu membuat generalisasi, hal ini nampak seperti contradictio in terminis (pertentangandalam istilah)
Dengan demikian
eksistensi ilmu mestinya tidak dipandang sebagai sesuatu yang sudah final, dia
perlu dikritisi, dikaji, bukan untuk melemahkannya tapi untuk memposisikan
secara tepat dalam batas wilayahnya, hal inipun dapat membantu terhindar dari
memutlakan ilmu dan menganggap ilmu dan kebenaran ilmiah sebagai satu-satunya
kebenaran, disamping perlu terus diupayakan untuk melihat ilmu secara integral
bergandengan dengan dimensi dan bidang lain yang hidup dan berkembang dalam
memperadab manusia. Dalam hubungan ini filsafat ilmu akan membukakan wawasan
tentang bagaimana sebenarnya substansi ilmu itu, hal ini karena filsafat ilmu
merupakan pengkajian lanjutan, yang menurut Beerleng,
sebagai Refleksi sekunder atas
illmu dan ini merupakan syarat mutlak untuk menentang bahaya yang menjurus
kepada keadaan cerai berai serta pertumbuhan yang tidak seimbang dari ilmu-ilmu
yang ada, melalui pemahaman tentang asas-asas, latar belakang serta hubungan
yang dimiliki/dilaksanakan oleh suatu kegiatan ilmiah.
Dilihat
dari segi katanya filsafat ilmu dapat dimaknai sebagai filsafat yang berkaitan
dengan atau tentang ilmu. Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat
pengetahuan secara umum, ini dikarenakan ilmu itu sendiri merupakan suatu
bentuk pengetahuan dengan karakteristik khusus, namun demikian untuk memahami
secara lebih khusus apa yang dimaksud dengan filsafat ilmu, maka diperlukan
pembatasan yang dapat menggambarkan dan memberi makna khusus tentang istilah
tersebut.
Pengertian-pengertian
di atas menggambarkan variasi pandangan beberapa akhli tentang makna filsafat
ilmu. Peter Caw memberikan makna filsafat ilmu sebagai bagian dari filsafat
yang kegiatannya menelaah ilmu dalam kontek keseluruhan pengalaman
manusia, Steven R. Toulmin memaknai filsafat ilmu sebagai suatu
disiplin yang diarahkan untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan
prosedur penelitian ilmiah, penentuan argumen, dan anggapan-anggapan metafisik
guna menilai dasar-dasar validitas ilmu dari sudut pandang logika formal, dan
metodologi praktis serta metafisika. Sementara itu White Beck lebih melihat filsafat ilmu sebagai kajian dan evaluasi
terhadap metode ilmiah untuk dapat difahami makna ilmu itu sendiri secara
keseluruhan, masalah kajian atas metode ilmiah juka dikemukakan oleh Michael V. Berry setelah mengungkapkan
dua kajian lainnya yaitu logika teori ilmiah
serta hubungan antara teori dan eksperimen, demikian juga halnya Benyamin yang memasukan masalah
metodologi dalam kajian filsafat ilmu disamping posisi ilmu itu sendiri dalam
konstelasi umum disiplin intelektual (keilmuan).
Menurut
The Liang Gie, filsafat ilmu adalah
segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal
yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi kehidupan
manusia. Pengertian ini sangat umum dan cakupannya luas, hal yang penting untuk
difahami adalah bahwa filsafat ilmu itu merupakan telaah kefilsafatan terhadap
hal-hal yang berkaitan/menyangkut ilmu, dan bukan kajian di dalam struktur ilmu
itu sendiri. Terdapat beberapa istilah dalam pustaka yang dipadankan dengan
Filsafat ilmu seperti : Theory of science, meta science, methodology, dan
science of science, semua istilah tersebut nampaknya menunjukan perbedaan
dalam titik tekan pembahasan, namun semua itu pada dasarnya tercakup dalam
kajian filsafat ilmu .
Sementara
itu Gahral Adian mendefinisikan
filsafat ilmu sebagai cabang filsafat yang mencoba mengkaji ilmu pengetahuan
(ilmu) dari segi ciri-ciri dan cara pemerolehannya. Filsafat ilmu selalu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang mendasar/radikal terhadap ilmu seperti tentang apa
ciri-ciri spesifik yang menyebabkan sesuatu disebut ilmu, serta apa bedanya
ilmu dengan pengetahuan biasa, dan bagaimana cara pemerolehan ilmu, pertanyaan
- pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk membongkar serta mengkaji asumsi-asumsi
ilmu yang biasanya diterima begitu saja (taken for granted), Dengan demikian
filsafat ilmu merupakan jawaban filsafat atas pertanyaan ilmu atau filsafat
ilmu merupakan upaya penjelasan dan penelaahan secara mendalam hal-hal yang
berkaitan dengan ilmu, apabila
digambarkan hubungan tersebut nampak sebagai berikut :
|
|
Bertanya
Gambar 4.1. Hubungan Filsafat, Ilmu dan Filsafat Ilmu
Secara historis filsafat merupakan induk
ilmu, dalam perkembangannya ilmu makin terspesifikasi dan mandiri, namun
mengingat banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka
filsafat menjadi tumpuan untuk menjawabnya, filsafat memberi penjelasan atau
jawaban substansial dan radikal atas masalah tersebut, sementara ilmu terus
mengembangakan dirinya dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap dikritisi
secara radikal, proses atau interaksi tersebut pada dasarnya merupakan bidang
kajian Filsafat Ilmu, oleh karena itu filsafat ilmu dapat dipandang sebagai
upaya menjembatani jurang pemisah antara filsafat dengan ilmu, sehingga ilmu
tidak menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak memandang ilmu
sebagai suatu pemahaman atas alam secara dangkal.
II.2 Perkembangan
Filsafat Ilmu
Secara umum
dapat dikatakan bahwa sejak perang dunia ke 2, yang telah menghancurkan
kehidupan manusia, para Ilmuwan makin menyadari bahwa perkembangan ilmu dan
pencapaiannya telah mengakibatkan banyak penderitaan manusia , ini tidak
terlepas dari pengembangan ilmu dan
teknologi yang tidak dilandasi oleh
nilai-nilai moral serta komitmen etis dan agamis pada nasib manusia , padahal Albert Einstein pada tahun 1938 dalam
pesannya pada Mahasiswa California Institute of Technology mengatakan “
Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan perhatian pada masalah besar yang tak kunjung
terpecahkan dari pengaturan kerja dan pemerataan benda, agar buah ciptaan dari pemikiran kita akan
merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan (Jujun S Suriasumantri,
1999 : 249 ).
Akan tetapi
penjatuhan bom di Hirosima dan Nagasaki tahun 1945 menunjukan bahwa
perkembangan iptek telah mengakibatkan kesengsaraan manusia , meski
disadari tidak semua hasil pencapaian
iptek demikian, namun hal itu telah
mencoreng ilmu dan menyimpang dari pesan
Albert Einstein, sehingga hal itu
telah menimbulkan keprihatinan filosof tentang arah kemajuan peradaban manusia
sebagai akibat perkembangan ilmu (Iptek) .
Untuk itu nampaknya para filosof dan ilmuan perlu
merenungi apa yang dikemukakan Harold H
Titus dalam bukunya Living Issues in
Pilosophy (1959), beliau mengutif
beberapa pendapat cendikiawan seperti Northrop yang mengatakan “ it
would seem that the more civilized we become , the more incapable of
maintaining civilization we are”, demikian juga pernyataan Lewis Mumford yang berbicara tentang “the invisible breakdown in our civiliozation
: erosion of value, the dissipation of human purpose, the denial of any
dictinction between good and bad, right or wrong, the reversion to sub human
conduct” (Harold H Titus, 1959 : 3)
Ungkapan
tersebut di atas hanya untuk menunjukan bahwa memasuki dasawarsa 1960-an kecenderungan mempertanyakan manfaat ilmu
menjadi hal yang penting, sehingga pada periode ini (1960-1970) dimensi aksiologis menjadi perhatian para
filosof, hal ini tak lain untuk
meniupkan ruh etis dan agamis pada ilmu, agar pemanfaatannya dapat menjadi
berkah bagi manusia dan kemanusiaan ,
sehingga telaah pada fakta empiris berkembang ke pencarian makna dibaliknya
atau seperti yang dikemukakan oleh Prof.
Dr. H. Ismaun, M.Pd (2000 : 131) dari telaah positivistik ke telaah
meta-science yang dimulai sejak tahun 1965.
Memasuki tahun
1970-an , pencarian makna ilmu mulai berkembang khususnya di kalangan pemikir
muslim , bahkan pada dasawarsa ini lahir gerakan islamisasi ilmu, hal ini tidak
terlepas dari sikap apologetik umat islam terhadap kemajuan barat,
sampai-sampai ada ide untuk melakukan sekularisasi, seperti yang dilontarkan
oleh Nurcholis Majid pada tahun 1974
yang kemudian banyak mendapat reaksi keras dari pemikir-pemikir Islam seperti dari Prof. H.M Rasyidi dan Endang Saifudin Anshori.
Mulai awal
tahun 1980-an, makin banyak karya cendekiawan muslim yang berbicara tentang integrasi ilmu dan agama atau
islamisasi ilmu, seperti terlihat dari berbagai karya mereka yang mencakup variasi ilmu seperti karya
Ilyas Ba Yunus tentang Sosiologi Islam, serta karya-karya dibidang ekonomi,
seperti
karya Syed Haider Naqvi Etika dan Ilmu Ekonomi, karya Umar Chapra Al
Qur’an, menuju sistem moneter yang adil, dan karya-karya lainnya , yang
pada intinya semua itu merupakan upaya penulisnya untuk menjadikan ilmu-ilmu
tersebut mempunyai landasan nilai islam.
Memasuki tahun
1990-an , khususnya di Indosesia
perbincangan filsafat diramaikan dengan wacana post modernisme, sebagai
suatu kritik terhadap modernisme yang berbasis positivisme yang sering mengklaim universalitas ilmu,
juga diskursus post modernisme memasuki kajian-kajian agama.
Post modernisme
yang sering dihubungkan dengan Michael
Foccault dan Derrida dengan
beberapa konsep/paradigma yang kontradiktif dengan modernisme seperti dekonstruksi, desentralisasi, nihilisme dsb,
yang pada dasarnya ingin menempatkan narasi-narasi kecil ketimbang narasi-narasi besar, namun post
modernisme mendapat kritik keras dari Ernest
Gellner dalam bukunya Post modernism,
Reason and Religion yang terbit pada tahun1992. Dia menyatakan bahwa post
modernisme akan menjurus pada relativisme dan untuk itu dia mengajukan konsep
fundamentalisme rasionalis, karena rasionalitas merupakan standar yang berlaku
lintas budaya.
Disamping itu
gerakan meniupkan nilai-nilai agama pada ilmu makin berkembang, bahkan untuk
Indonesia disambut hangat oleh ulama dan masyarakat terlihat dari berdirinya BMI, yang pada
dasarnya hal ini tidak terlepas dari gerakan islamisasi ilmu, khususnya dalam
bidang ilmu ekonomi.
Dan pada
periode ini pula teknologi informasi sangat luar biasa , berakibat pada makin
pluralnya perbincangan/diskursus filsafat, sehingga sulit menentukan diskursus
mana yang paling menonjol, hal ini mungkin sesuai dengan apa yang digambarkan
oleh Alvin Tofler sebagai The third Wave,
dimana informasi makin cepat memasuki berbagai belahan dunia yang pada
gilirannya akan mengakibatkan kejutan-kejutan budaya tak terkecuali bidang
pemikiran filsafat.
Meskipun
nampaknya prkembangan Filsafat ilmu erat kaitan dengan dimensi axiologi atau
nilai-nilai pemanfaatan ilmu, namun dalam perkembangannya keadaan tersebut
telah juga mendorong para akhli untuk lebih mencermati apa sebenarnya ilmu itu
atau apa hakekat ilmu, mengingat dimensi ontologis sebenarnya punya kaitan
dengan dimensi-dimensi lainnya seperti ontologi dan epistemologi, sehingga dua
dimensi yang terakhir pun mendapat evaluasi ulang dan pengkajian yang serius.
Diantara
tonggak penting dalam bidang kajian ilmu (filsafat ilmu) adalah terbitnya Buku The Structure of Scientific Revolution yang ditulis oleh Thomas S Kuhn, yang untuk pertama kalinya terbit tahun 1962, buku ini merupakan
sebuah karya yang monumental
mengenai perkembangan sejarah dan filsafat sains, dimana didalamnya
paradigma menjadi konsep sentral, disamping konsep sains/ilmu normal. Dalam
pandangan Kuhn ilmu pengetahuan tidak hanya pengumpulan fakta untuk membuktikan
suatu teori, sebab selalu ada anomali yang dapat mematahkan teori yang telah
dominan.
Pencapaian-pencapaian
manusia dalam bidang pemikiran ilmiah
telah menghasilkan teori-teori, kemudian teori-teori terspesifikasikan berdasarkan karakteristik
tertentu ke daLam suatu Ilmu. Ilmu
(teori) tersebut kemudian dikembangkan , diuji sehingga menjadi mapan dan
menjadi dasar bagi riset-riset
selanjutnya , maka Ilmu (sains) tersebut menjadi sains normal yaitu
riset yang dengan teguh berdasar atas suatu pencapaian ilmiah yang lalu,
pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah
tertentu pada suatu ketika dinyatakan sebagai pemberi fundasi bagi praktek (riset) selanjutnya ( Thomas S
Kuhn, 2000 :10 ) .
Pencapaian
pemikiran ilmiah tersebut dan terbentuknya sains yang normal kemudian menjadi
paradigma, yang berarti “apa yang dimiliki bersama oleh anggota suatu
masyarakat sains dan sebaliknya masyarakat sains terdiri atas orang yang
memiliki suatu paradigma tertentu ( Thomas S Kuhn, 2000 : 171 ). Paradigma dari
sains yang normal kemudian mendorong riset normal yang cenderung sedikit sekali
ditujukan untuk menghasilkan penemuan baru yang
konseptual atau yang hebat (. Thomas S Kuhn, 2000 : 134 ). Ini berakibat
bahwa sains yang normal, kegunaannya
sangat bermanfaat dan bersifat kumulatif. Teori yang memperoleh
pengakuan sosial akan menjadi paradigma, dan kondisi ini merupakan periode ilmu
normal. Kemajuan ilmu berawal dari perjuangan kompetisi berbagai teori untuk
mendapat pengakuan intersubjektif dari suatu masyarakat ilmu. Dalam periode
sain normal ilmu hanyalah merupakan pembenaran-pembenaran sesuai dengan
asumsi-asumsi paaradigma yang dianut masyarakat tersebut, ini tidak lain
dikarenakan paradigma yang berlaku telah menjadi patokan bagi ilmu untuk
melakukan penelitian, memecahkan masalah, atau bahkan menyeleksi
masalah-masalah yang layak dibicarakan
dan dikaji
Akan tetapi
didalam perkembangan selanjutnya ilmuwan banyak menemukan hal-hal baru yang
sering mengejutkan, semua ini diawali dengan
kesadaran akan anomali atas prediksi-prediksi paradigma sains normal,
kemudian pandangan yang anomali ini dikembangkan sampai akhirnya ditemukan
paradigma baru yang mana perubahan ini sering sangat revolusioner. Paradigma
baru tersebut kemudian melahirkan sain normal yang baru sampai ditemukan lagi
paradigma baru berikutnya. Bila digambarkan nampak sebagai berikut :
Pencapaian Manusia dalam pemikiran ilmiah
|
|
|
|
Sains Normal
|
|
|
|
Paradigma
|
|
|
|
Anomali
|
|
|
|
Perubahan
paradigma/ revolusi sains
|
|
|
|
Sains Normal
yang baru
|
|
|
|
Paradigma Baru
|
Gambar 4.2, Struktur perubahan ke-Ilmuan
Pencapaian sain
normal dan paradigma baru bukanlah akhir
, tapi menjadi awal bagi proses perubahan paradigma dan revolusi sains
berikutnya, bila terdapat anomali atas prediksi sains normal yang baru
tersebut. Pendapat Kuhn tersebut pada dasarnya mengindikasikan bahwa secara
substansial kebenaran ilmu bukanlah sesuatu yang tak tergoyahkan, suatu
paradigma yang berlaku pada suatu saat, pada saat yang lain bisa tergantikan
dengan paradigma baru yang telah mendapat pengakuan dari masyarakat ilmiah, itu
berarti suatu teori sifatnya sangat tentatif sekali.
II.3 Ciri-Ciri Ilmu Modern
Dalam bab
terdahulu telah dikemukakan ciri-ciri dari suatu ilmu, ciri-ciri tersebut pada
prinsipnya merupakan suatu yang normatif dalam suatu disiplin keilmuan. Namun
dalam perkembangannya ilmu khususnya teknologi sebagai aplikasi dari ilmu telah
banyak mengalami perubahan yang sangata cepat, perubahan ini berdampak pada
pandangan masyarakat tentang hakekat ilmu, perolehan ilmu, serta manfaatnya
bagi masyarakat, sehingga ilmu cenderung dianggap sebagai satu-satunya
kebenaran dalam mendasari berbagai kebijakan kemasyarakatan, serta telah
menjadi dasar penting yang mempengaruhi penentuan prilaku manusia. Keadaan ini
berakibat pada karakterisasi ciri ilmu modern, adapun ciri-ciri tersebut adalah
:
1.
Bertumpu pada paradigma
positivisme. Ciri ini terlihat dari
pengembangan ilmu dan teknologi yang kurang memperhatikan aspek nilai baik etis
maupun agamis, karena memang salah satu aksioma positivisme adalah value free yang mendorong tumbuhnya prinsip
science for science.
2.
Mendorong
pada tumbuhnya sikap hedonisme dan konsumerisme. Berbagai pengembangan ilmu dan
teknologi selalu mengacu pada upaya untuk meningkatkan kenikmatan hidup ,
meskipun hal itu dapat mendorong gersangnya ruhani manusia akibat makin
memasyarakatnya budaya konsumerisme yang terus dipupuk oleh media teknologi
modern seperti iklan besar-besaran yang
dapat menciptakan kebutuhan semu yang oleh Herbert Marcuse didefinisikan
sebagai kebutuhan yang ditanamkan ke
dalam masing-masing individu demi kepentingan sosial tertentu dalam represinya
(M. Sastrapatedja, 1982 : 125)
3.
Perkembangannya
sangat cepat . Pencapaian sain ddan teknologi modern menunjukan percepatan yang
menakjubkan , berubah tidak dalam waktu tahunan lagi bahkan mungkin dalam hitungan hari, ini jelas
sangat berbeda denngan perkembangan iptek sebelumnya yang kalau menurut Alfin
Tofler dari gelombang pertama (revolusi pertanian) memerlukan waktu ribuan
tahun untuk mencapai gelombang ke dua (revolusi industri, dimana sebagaimana
diketahui gelombang tersebut terjadi akibat pencapaian sains dan teknologi.
4.
Bersifat
eksploitatif terhadap lingkungan. Berbagai kerusakan lingkungan hidupdewasa ini
tidak terlepas dari pencapaian iptek yang kurang memperhatikan dampak
lingkungan.
II.4 Paradigma Ilmu
Modern Menurut Beberapa Aliran
Secara historis
paradigma sains telah mengalami tahapan-tahapan perubahan sebagaimana
dikemukakan oleh S Nasution dalam bukunya
“Metode penelitian naturalistik kualitatif (1996 : 3). Tahap pertama
disebut masa pra-positivisme, yang diawali dari jaman Aristiteles sampai David
Hume, dimana aplikasinya dalam
penelitian adalah mengamati secara pasif, tidak ada upaya memanipulasi
lingkungan dan melakukan eksperimen terhadap lingkungan . Tahapan ini kemudian
berganti dengan tahapan positivisme,
dimana paradigma ini menjadi dasar bagi metode ilmiah dengan bentuk penelitian
kuantitatif , yang mencoba mencari prinsip-prinsip atau hukum-hukum umum tentang dunia kenyataan . Paradigma
berikutnya yang muncul adalah paradigma post positivisme sebagai reaksi atas
pendirian positivisme, dimana dalam pandangan ini, kebenaran bukan sesuatu yang
tunggal (it is an increasing complexity) sebagaimana diyakini positivisme.
Namun
demikian paradigma yang paling menonjol di jaman modern ini nampaknya adalah
positivisme, meskipun ada beberapa sempalan dalam positivisme itu (Ahmad
Sanusi, Majalah Matahari : 12). Untuk
lebih mengetahuiberbagai paradigma
sains modern, penulis sajikan tabel berikut yang dikutip oleh Ahmad
Sanusi dalam Majalah Matahari halaman 12 sebagai berikut :
Tabel 4.2.
Macam-macam Paradigma Ilmu
ALIRAN PARADIGMA
WACANA ILMU
|
SUMBER/DAYA
/POTENSI PENGERTIAN DAN TUGASNYA
|
BENTUK
PENGETAHUAN DAN TUGASNYA
|
TITIK BERAT PADA
|
MODEL VERIFIKASI
|
MODALITAS
MENYELURUH
|
ESENSI ONTOLOGIS
|
POSITIVISTIK
|
Akal sehat dan
melakukan observasi
|
Empirikal Statis-tik dan memilih
metoda
|
fakta
|
Konsistensi dan Kepastian yang
empirikal, rasional/logis
|
Obyek yang
spesifik dan terukur
|
Realitas yang memisah/ khusus
|
FORMALISTIK/ STRUKTURALISTIK
|
Nalar reflektif
dan Menemukan Makna
|
Empirikal
statistikal dan Menyusun fakta
|
metode
|
Konsistensi empirikal
|
Obyek yang
spesifik dan terukur
|
Realitas yang melanjut
|
PENAFSIRAN (INTERPRETATIF)
|
Intuisi dan Menemukan Metoda
|
Teoritikal Filosofis Subyektivitas
Transendental, dan menjelaskan teori
|
makna
|
Kohesi teoritik
|
Identitas obyek yang masuk akal dan
kemampuan mentransformasikan
|
Realitas yang melanjut
|
TEORITIS
|
Intuisi dan Menemukan Nilai
|
Teoritikal Filosofis Menemukan Makna
|
Teori
|
Kohesi Teoritik
|
Identitas obyek yang masuk akal dan
karakteristik yang unggul
|
Realitas yang menyatu
|
KRITIS
|
Intuisi dan Menemukan Teori
|
Personal Sosial dan Melakukan
Observasi
|
Nilai
|
Konsensus atas dasar pengalaman
|
Identitas obyek yang masuk akal dan
karakteristik yang unggul
|
Realitas yang menyatu
|
PENGAMAT
PARTISIPAN
|
Akal sehat dan menemukan fakta
|
Personal
Sosial dan Menemukan Fakta
|
Observasi
|
Konsensus atas dasar pengalaman
|
Identitas obyek yang masuk akal dan
fungsi yang khas
|
Realitas yang memisah
|
Paradigma-paradigma
yang tercantum dalam tabel tersebut masih dapat dikelompokan pada kategori yang
sama atau mendekati. Dilihat dari esensi ontologisnya paradigma positivistik sama dengan pengamat
partisipan yakni bahwa realitas itu
terpisah, paradigma teoritis sama dengan paradigma kritis, sedang paradigma
formalistik strukturalis sama dengan paradigma interpretatif. Dilihat dari
sumber, positivistik sama dengan pengamat partisipan dan mendekati paradigma
interpretatif serta formalistik strukturalis, sedangkan paradigma teoritis sama
dengan paradigma kritis.
Dari segi
bentuk pengetahuan, positivistik sama dengan formalistik, interpretatif sama
dengan teoritis, sedangkan paradigma kritis sama dengan paradigma pengamat
partisipan , demikian juga dilihat dari segi model verifikasi banyak
kesamaannya, hanya dari tugas dan titik berat keenam paradigma itu berbeda.
Namun demikian
paradigma yang paling menonjol sekarang ini adalah paradigma positivistik,
dimana kenyataan menunjukan paradigma ini banyak memberikan sumbangan bagi
perkembangan teknologi dewasa ini , akan tetapi tidak berarti paradigma lainnya
tidak berperan , peranannya tetap ada terutama dalam hal-hal yang tak dapat
dijelaskan oleh paradigma positivistik ,
hal ini terlihat dengan berkembangnya
paradigma naturalistik yang telah
mendorong berkembangnya penelitian kualitatif . oleh karena itu nampaknya paradigma-paradigma
tersebut tidak bersifat saling menghilangkan tapi lebih bersipat saling
melengkapi , hal ini didasari keyakinan betapa kompleksnya realitas dunia dan
kehidupan di dalamnya.
II.6 Bidang Kajian Dan
Masalah-Masalah Dalam Filsafat Ilmu
Bidang kajian filsafat ilmu ruang lingkupnya terus mengalami
perkembangan, hal ini tidak terlepas dengan interaksi antara filsafat dan ilmu
yang makin intens. Bidang kajian yang menjadi telaahan filsafat ilmu pun
berkembang dan diantara para akhli terlihat perbedaan dalam menentukan lingkup
kajian filsafat ilmu, meskipun bidang kajian iduknya cenderung sama, sedang
perbedaan lebih terlihat dalam perincian topik telaahan. Berikut ini beberapa
pendapat akhli tentang lingkup kajian filsafat ilmu :
1. Edward Madden
menyatakan bahwa lingkup/bidang kajian filsafat ilmu adalah:
a. Probabilitas
b. Induksi
c. Hipotesis
2.
Ernest Nagel
a. Logical pattern
exhibited by explanation in the sciences
b. Construction of
scientific concepts
c. Validation of scientific
conclusions
3.
Scheffer
a. The role of science in
society
b. The world pictured by
science
c. The foundations of
science
Dari beberapa pendapat di atas nampak
bahwa semua itu lebih bersifat menambah
terhadap lingkup kajian filsafat ilmu, sementara itu Jujun S. Suriasumantri
menyatakan bahwa filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemology yang secara
spesifik mengkaji hakekat ilmu. Dalam bentuk pertanyaan, pada dasar filsafat
ilmu merupakan telahaan berkaitan dengan objek apa yang ditelaah oleh ilmu
(ontologi), bagaimana proses pemerolehan ilmu (epistemologi), dan bagaimana
manfaat ilmu (axiologi), oleh karena itu lingkup induk telaahan filsafat ilmu
adalah :
1. ontologi
2. epistemologi
3. axiologi
ontologi berkaitan tentang apa obyek yang
ditelaah ilmu, dalam kajian ini mencakup masalah realitas dan penampakan
(reality and appearance), serta bagaimana hubungan ke dua hal tersebut dengan
subjek/manusia. Epistemologi berkaitan dengan bagaimana proses diperolehnya
ilmu, bagaimana prosedurnya untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang benar.
Axiologi berkaitan dengan apa manfaat ilmu, bagaimana hubungan etika dengan
ilmu, serta bagaimana mengaplikasikan ilmu dalam kehidupan.
Ruang
lingkup telaahan filsafat ilmu sebagaimana diungkapkan di atas di dalamnya
sebenarnya menunjukan masalah-masalah yang dikaji dalam filsafat ilmu,
masalah-masalah dalam filsafat ilmu pada dasarnya menunjukan topik-topik kajian
yang pastinya dapat masuk ke dalam salahsatu lingkup filsafat ilmu. Adapun
masalah-masalah yang berada dalam lingkup filsafat ilmu adalah (Ismaun) :
1. masalah-masalah
metafisis tentang ilmu
2. masalah-masalah
epistemologis tentang ilmu
3. masalah-masalah
metodologis tentang ilmu
4. masalah-masalah logis
tentang ilmu
5. masalah-masalah etis
tentang ilmu
6. masalah-masalah tentang
estetika
metafisika merupakan telaahan
atau teori tentang yang ada, istilah metafisika ini terkadang dipadankan dengan
ontologi jika demikian, karena sebenarnya metafisika juga mencakup telaahan
lainnya seperti telaahan tentang bukti-bukti adanya Tuhan. Epistemologi
merupakan teori pengetahuan dalam arti umum baik itu kajian mengenai
pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, maupun pengetahuan filosofis, metodologi
ilmu adalah telaahan atas metode yang dipergunakan oleh suatu ilmu, baik
dilihat dari struktur logikanya, maupun dalam hal validitas metodenya. Masalah
logis berkaitan dengan telaahan mengenai kaidah-kaidah berfikir benar, terutama
berkenaan dengan metode deduksi. Problem etis berkaitan dengan aspek-aspek
moral dari suatu ilmu, apakah ilmu itu hanya untuk ilmu, ataukah ilmu juga
perlu memperhatikan kemanfaatannya dan kaidah-kaidah moral masyarakat.
Sementara itu masalah estetis berkaitan dengan dimensi keindahan atau
nilai-nilai keindahan dari suatu ilmu, terutama bila berkaitan dengan aspek
aplikasinya dalam kehidupan masyarakat.
II.7 Kebenaran Ilmu
Ilmu pada dasarnya merupakan upaya manusia untuk
menjelaskan berbagai fenomena empiris
yang terjadi di alam ini, tujuan dari upaya tersebut adalah untuk memperoleh
suatu pemahaman yang benar atas fenomena tersebut. Terdapat kecenderungan yang
kuat sejak berjayanya kembali akal pemikiran manusia adalah keyakinan bahwa
ilmu merupakan satu-satunya sumber kebanaran, segala sesuatu penjelasan yang
tidak dapat atau tidak mungkin diuji, diteliti, atau diobservasi adalah sesuatu
yang tidak benar, dan karena itu tidak patut dipercayai.
Akan tetapi kenyataan menunjukan bahwa tidak semua
masalah dapat dijawab dengan ilmu, banyak sekali hal-hal yang merupakan konsern
manusia, sulit, atau bahkan tidak mungkin dijelaskan oleh ilmu seperti masalah Tuhan, Hidup sesudah mati,
dan hal-hal lain yang bersifat non – empiris. Oleh karena itu bila manusia
hanya mempercayai kebenaran ilmiah sebagai satu-satunya kebenaran, maka dia
telah mempersempit kehidupan dengan hanya mengikatkan diri dengan dunia
empiris, untuk itu diperlukan pemahaman tentang apa itu kebenaran baik dilihat
dari jalurnya (gradasi berfikir) maupun macamnya.
Bila
dilihat dari gradasi berfikir kebenaran dapat dikelompokan kedalam empat
gradasi berfikir yaitu :
1. kebenaran biasa. Yaitu
kebenaran yang dasarnya adalah common sense atau akal sehat. Kebenaran ini
biasanya mengacu pada pengalaman individual tidak tertata dan sporadis sehingga
cenderung sangat subjektif sesuai dengan variasi pengalaman yang dialaminya.
Namun demikian seseorang bisa menganggapnya sebagai kebenaran apabila telah
dirasakan manfaat praktisnya bagi kehidupan individu/orang tersebut.
2. Kebenaran Ilmu. Yaitu
kebenaran yang sifatnya positif karena mengacu pada fakta-fakta empiris, serta
memungkinkan semua orang untuk mengujinya dengan metode tertentu dengan hasil
yang sama atau paling tidak relatif sama.
3. Kebenaran Filsafat.
Kebenaran model ini sifatnya spekulatif, mengingat sulit/tidak mungkin
dibuktikan secara empiris, namun bila metode berfikirnya difahami maka
seseorang akan mengakui kebenarannya. Satu hal yang sulit adalah bagaimana
setiap orang dapat mempercayainya, karena cara berfikir dilingkungan
filsafatpun sangat bervariasi.
4. kebenaran Agama. Yaitu
kebenaran yang didasarkan kepada informasi yang datangnya dari Tuhan melalui
utusannya, kebenaran ini sifatnya dogmatis, artinya ketika tidak ada kefahaman
atas sesuatu hal yang berkaitan dengan agama, maka orang tersebut tetap harus
mempercayainya sebagai suatu kebenaran.
Dari
uraian di atas nampak bahwa maslah kebenaran tidaklah sederhana,
tingkatan-tingkatan/gradasi berfikir akan menentukan kebenaran apa yang
dimiliki atau diyakininya, demikian juga
sifat kebenarannya juga berbeda. Hal ini menunjukan bahwa bila seseorang
berbicara mengenai sesuatu hal, dan apakah hal itu benar atau tidak, maka
pertama-tama perlu dianalisis tentang tataran berfikirnya, sehingga tidak serta
merta menyalahkan atas sesuatu pernyataan, kecuali apabila pembicaraannya
memang sudah mengacu pada tataran berfikir tertentu.
Dalam
konteks Ilmu, kebenaran pun mendapatkan
perhatian yang srius, pembicaraan masalah ini berkaitan dengan validitas
pengetahuan/ilmu, apakah pengetahuan yang diliki seseorang itu benar/valid atau
tidak, untuk itu para akhli mengemukakan berbagai teori kebenaran (Theory of
Truth), yang dapat dikategorikan ke
dalam beberapa jenis teori kebenaran yaitu :
1. Teori korespondensi (The Correspondence theory of truth). Menurut teori ini kebenaran, atau
sesuatu itu dikatakan benar apabila terdapat kesesuaian antara suatu pernyataan
dengan faktanya (a proposition - or
meaning - is true if there is a fact to which it correspond, if it expresses
what is the case). Menurut White Patrick “truth is that which conforms to fact, which agrees with reality, which
corresponds to the actual situation. Truth, then can be defined as fidelity to
objective reality”. Sementara itu
menurut Rogers, keadaan benar (kebenaran) terletak dalam kesesuaian
antara esensi atau arti yang kita berikan dengan esensi yang terdapat di dalam
objeknya. Contoh : kalau seseorang menyatakan bahwa Kualalumpur adalah ibukota
Malayasia, maka pernyataan itu benar kalu dalam kenyataannya memang ibukota
Malayasia itu Kualalumpur.
2. Teori Konsistensi
(The coherence theory of truth). Menurut teori ini kebenaran adalah keajegan
antara suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang sudah diakui
kebenarannya, jadi suatu proposisi itu benar jika sesuai/ajeg atau koheren
dengan proposisi lainnya yang benar. Kebenaran jenis ini biasanya mengacu pada
hukum-hukum berfikir yang benar. Misalnya Semua manusia pasti mati, Uhar adalah
Manusia, maka Uhar pasti mati, kesimpulan uhar pasti mati sangat tergantung
pada kebenaran pernyataan pertama (semua manusia pasti mati).
3. Teori Pragmatis
(The Pragmatic theory of truth). Menurut teori ini kebenaran adalah sesuatu
yang dapat berlaku, atau dapat memberikan kepuasan, dengan kata lain sesuatu
pernyataan atau proposisi dikatakan benar apabila dapat memberi manfaat praktis
bagi kehidupan, sesuatu itu benar bila berguna.
Teori-teori kebenaran tersebut
pada dasarnya menunjukan titik berat kriteria yang berbeda, teori korespondensi
menggunakan kriteria fakta, oleh karena itu teori ini bisa disebut teori
kebenaran empiris, teori koherensi menggunakan dasar fikiran sebagai kriteria,
sehingga bisa disebut sebagai kebenaran rasional, sedangkan teori pragmatis
menggunakan kegunaan sebagai kriteria, sehingga bisa disebut teori kebenaran
praktis.
II.8 Keterbatasan Ilmu
Hubungan antara filsafat dengan ilmu yang dapat
terintegrasi dalam filsafat ilmu, dimana filsafat mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ilmu, menunjukan adanya keterbatasan ilmu
dalam menjelaskan berbagai fenomena kehidupan. Disamping itu dilingkungan wilayah
ilmu itu sendiri sering terjadi sesuatu yang dianggap benar pada satu saat
ternyata disaat lain terbukti salah, sehingga timbul pertanyaan apakan
kebenaran ilmu itu sesuatu yang mutlak ?, dan apakah seluruh persoalan manusia
dapat dijelaskan oleh ilmu ?. pertanyaan-pertanyaan tersebut sebenarnya
menggambarkan betapa terbatasnya ilmu dalam mengungkap misteri kehidupan serta
betapa tentatifnya kebenaran ilmu.
Untuk
menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya diungkapkan pendapat para akhli
berkaitan dengan keterbatasan ilmu, para akhli tersebut antara lain adalah :
1. Jean Paul Sartre
menyatakan bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang sudah selesai terfikirkan, sesuatu
hal yang tidak pernah mutlak, sebab selalu akan disisihkan oleh hasil-hasil
penelitian dan percobaan baru yang dilakukan dengan metode-metode baru atau
karena adanya perlengkapan-perlengkapan yang lebih sempurna, dan penemuan baru
tiu akan disisihkan pula oleh akhli-akhli lainnya.
2. D.C Mulder menyatakan
bahwa tiap-tiap akhli ilmu menghadapi soal-soal yang tak dapat dipecahkan
dengan melulu memakai ilmu itu sendiri, ada soal-soal pokok atau soal-soal
dasar yang melampaui kompetensi ilmu, misalnya apakah hukum sebab akibat itu ?,
dimanakah batas-batas lapangan yang saya selidiki ini?, dimanakah tempatnya dalam
kenyataan seluruhnya ini?, sampai dimana keberlakuan metode yang digunakan?.
Jelaslah bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut ilmu memerlukan
instansi lain yang melebihi ilmu yakni filsafat.
3. Harsoyo menyatakan
bahwa ilmu yang dimiliki umat manusia dewasa ini belumlah seberapa dibandingkan
dengan rahasia alam semesta yang melindungi manusia. Ilmuwan-ilmuwan besar
biasanya diganggu oleh perasaan agung semacam kegelisahan batin untuk ingin
tahu lebih banyak, bahwa yang diketahui itu masih meragu-ragukan, serba tidak
pasti yang menyebabkan lebih gelisah lagi, dan biasanya mereka adalah
orang-orang rendah hati yang makin berisi makin menunduk. Selain itu Harsoyo
juga mengemukakan bahwa kebenaran ilmiah itu tidaklah absolut dan final
sifatnya. Kebenaran-kebenaran ilmiah selalu terbuka untuk peninjauan kembali
berdasarkan atas adanya fakta-fakta baru yang sebelumnya tidak diketahui.
4. J. Boeke menyatakan
bahwa bagaimanapun telitinya kita menyelidiki peristiwa-peristiwa yang
dipertunjukan oleh zat hidup itu, bagaimanapunjuga kita mencoba memperoleh
pandangan yang jitu tentang keadaan sifatzat hidup itu yang bersama-sama
tersusun, namun asas hidup yang sebenarnya adalah rahasiah abadi bagi kita,
oleh karena itu kita harus menyerah dengan perasaan saleh dan terharu.
Dengan memperhatikan penjelasan di atas,
nampak bahwa ilmu itu tidak dapat dipandang sebagai dasar mutlak bagi pemahaman
manusia tentang alam, demikian juga kebenaran ilmu harus dipandang secara
tentatif, artinya selalu siap berubah bila ditemukan teori-teori baru yang
menyangkalnya. Dengan demikian dpatlah ditarik kesimpulan berkaitan dengan
keterbatasan ilmu yaitu :
1. ilmu hanya mengetahui
fenomena bukan realitas, atau mengkaji realitas sebagai suatu fenomena (science can only know the phenomenal, or
know the real through and as phenomenal - R. Tennant)
2. Ilmu hanya menjelaskan
sebagian kecil dari fenomena alam/kehidupan manusia dan lingkungannya
3.
kebenaran ilmu bersifat
sementara dan tidak mutlak
keterbatasan tersebut
sering kurang disadari oleh orang yang mempelajari suatu cabang ilmu tertentu,
hal ini disebabkan ilmuwan cenderung bekerja hanya dalam batas wilayahnya
sendiri dengan suatu disiplin yang sangat ketat, dan keterbatasan ilmu itu sendiri
bukan merupakan konsern utama ilmuwan yang berada dalam wilayah ilmu tertentu.
II.9 Manfaat Mempelajari Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu berusaha mengkaji hal
tersebut guna menjelaskan hakekat ilmu yang mempunyai banyak keterbatasan,
sehingga dapat diperoleh pemahaman yang padu mengenai berbagai fenomena alam
yang telah menjadi objek ilmu itu sendiri, dan yang cenderung terfragmentasi. Untuk itu filsafat ilmu bermanfaat untuk :
ü Melatih berfikir radikal tentang hakekat ilmu
ü Melatih berfikir reflektif di dalam lingkup ilmu
ü Menghindarkan diri dari memutlakan kebenaran
ilmiah, dan menganggap bahwa ilmu sebagai satu-satunya cara memperoleh
kebenaran
ü Menghidarkan diri dari egoisme ilmiah, yakni tidak
menghargai sudut pandang lain di luar bidang ilmunya.
II.10 Rangkuman
Berfikir
filsafati berarti berfikir untuk menemukan kebenaran secara tuntas. Analisis
filsafati tentang filsafat ilmu harus ditekankan pada upaya keilmuan dalam
upaya mencari kebenaran. Kebenaran terkait erat dengan aspek-aspek moral,
seperti kejujuran. Analisis filsafati ilmu tidak bolah berhenti pada upaya
untuk meningkatkan penalaran keilmuan, tetapi sekaligus harus mencakuyp
pendewasaan moral keilmuan.
Filsafat ilmu
mempunyai wilayah lebih luas dan perhatian lebih transenden daripada ilmu-ilmu.
Oleh karena itu, filsafatpun memp[unyai wilayah lebih luas daripada peyelidikan
tentang cara kerja ilmu-ilmu. Filsafat ilmu bertugas meneliti hakekat ilmu.
Diantaranya paham tentang kepastian, kebenaran dan objektifitas.
Filsafat ilmu harus merupakan pengetahuan tentang ilmu
yang didsekati secara filsafati dengan tujuan untuk lebih memfungsionalkan
wujud keilmuan, baik secaa moral, intelektual, maupun sosial. Filsafat ilmu
harus mencakup bukan saja pembahasan mengenai ilmu itu sendiri beserta segenap
perangkatnya, melainkan sekaligus kaitan ilmu dengan beberapa aspek kehidupan,
seperti pendideikan, kebudayaan, moral sosiasl, dan politik. Demikian juga
pembahasan yang bersifat analitis dari tiap-tiap unsur bahasan harus diletakkan
dalam kerangka berfikir secara keleseluruhan.
Dengan
menunjukkan sketsa umum hubungan filsafat dan ilmu pengetahuan serta garis
besar mengenai kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan yang pada gilirannya
melahirkan suatu cabang filsafat ilmu kiranya menjadi jelas bahwa filsafat ilmu
bukanlah sekedar metode atau tata-cara penulisan karya ilmiah ataupun
penelitian. Filsafat ilmu adalah refleki filsafati yang tidak pernah mengenal
titik henti dalam menjelajahi kawasan ilmiah untuk mencapai kebenaran atau
kenyataan, sesuatu yang memang tidak pernah akan habis dipikirkan dan tidak
pernah akan selesai diterangkan.
Hakikat ilmu adalah
sebab fundamental dan kebenaran universal yang implisit melekat di dalam
dirinya. Dengan memahami Filsafat Ilmu, berarti memahami seluk-beluk ilmu yang
paling mendasar sehingga dapat dipahami pula perspektif ilmu, kemungkinan
perkembangannya, keterjalinan antar (cabang) ilmu yang satu dengan yang lain,
simplifikasi dan artifisialitasnya.
Memasukkan mata kuliah Filsafat Ilmu ke dalam kurikulum adalah tepat, dalam kerangka peningkatan mutu akademik. Sebab filsafat ilmu adalah implisit dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan tinggi, dan implisit dalam paradigma “manusia Indonesia sutuhnya” yang di dalam penalarannya pertama-tama dan terutama harus mampu dan sanggup melakukan terobosan ke kawasan yang paling mendasar, ke kawasan untuk memahami hakikat ilmu sampai batas ultimate.
Memasukkan mata kuliah Filsafat Ilmu ke dalam kurikulum adalah tepat, dalam kerangka peningkatan mutu akademik. Sebab filsafat ilmu adalah implisit dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan tinggi, dan implisit dalam paradigma “manusia Indonesia sutuhnya” yang di dalam penalarannya pertama-tama dan terutama harus mampu dan sanggup melakukan terobosan ke kawasan yang paling mendasar, ke kawasan untuk memahami hakikat ilmu sampai batas ultimate.
Dengan memahami
seluk-beluk ilmu secara ilmiah-filsafati, tanpa harus menjadi seorang filsuf,
akan menjadikan masing-masing orang sebagai ilmuwan atau sarjana yang arif,
terhindar dari kecongkakan intelektual yang memuakkan, dan terhindar dari arus
yang memandang kebenaran ilmiah sebagai barang jadi, selesai dan mandeg dalam
kebekuan normatif untuk diulang-ulang sebagai barang hafalan.
II.11 Pertanyaan
Untuk Bahan Diskusi
1.
mengapa ilmu
memerlukan telaahan kritis dan radikal dari filsafat?
2. Jelaskan hubungan
filsafat dengan ilmu ?
3.
jelaskan
makna filsafat ilmu?
4.
apa yang
dimaksud dengan pernyataan bahwa filsafat ilmu merupakan refleksi sekunder?
5.
jelaskan
dampak dari perkembangan ilmu yang tidak memperhatikan dimensi etika?
6.
Jelaskan
bagaimana pandangan Thomas Kuhn mengenai revolusi ilmiah?
7.
Jelaskan ciri
utama dan paradigma dari ilmu modern?
8. jelaskan lingkup dan
bidang kajian filsafat ilmu?
9. jelaskan persesuaian
dan perbeaan antara filsafat dengan ilmu?
10. Jelaskan hubungan
antara Filsafat, Ilmu dan Filsafat ilmu?
11.
Jelaskan
posisi filsafat ilmu dalam epistemologi?
12. jelaskan apa yang
dimaksud dengan keterbatasan ilmu, dan apa saja pokok-pokok keterbatasannya
13. Jelaskan dengan
bahasa sendiri manfaat mempelajari filsafat ilmu, dan bagaimana aplikasinya
bagi kehidupan saudara?
DAFTAR PUSYTAKA
Abu Ahmadi. 1982. Filsafat Islam.
Semarang. Toha Putra.
Abubakar Aceh, 1982. Sejarah Filsafat Islam,
Surakarta. Ramadhani Sala
Endang Saifudin Anshori. 1979. Ilmu, Filsafat dan
Agama, Surabaya: Bina Ilmu,
Frithjof Schuon. 1994. Islam dan Filsafat Perenial.
Bandung. Mizan. (terj. Rahmani Astuti)
H.M. Rasjidi, 1970. Filsafat Agama,
Jakarta: Bulan Bintang,
Harold H Titus. 1959, Living issues in philosophy, New York, American
Book
Ismaun, 2000. Catatan Kuliah Filsafat Ilmu (Jilid 1
dan 2), Bandung. UPI
Jujun S Suriasumantri, 1996. Filsafat Ilmu, Sebuah
Pengantar Populer, Jakarta Pustaka Sinar Harapan,
Oemar Amin Hoesen. 1964. Filsafat
Islam. Jakarta. Bulan Bintang
Sastrapratedja. (ed). 1982. Manusia Multi Dimensional. Jakarta. Gramedia
Suharsaputra, U., 2004. Filsafat Ilmu. Universitas Kuningan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar