BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakan Masalah
Kedudukan filsafat di kalangan ulama-ulama
agama baik dari kalangan luar islam maupun dari kalangan kaum muslmin sendiri,
filsafat islam mendapat kritikan dan tantangan. Kalau dari kalangan luar islam,
sebagaimana yang disebutkan diatas, ada yang meragukan tentang kepribadian
filsafat islam yang berbeda dengan kepribadian filsafat yunani, maka dari
kalangan ulama-ulama agama (islam) timbul sikap menolak terhadap keseluruhan
filsafat karena alasan-alasan yang dihubungkan dengan agama.
Memang dalam dunia islam ada orang-orang agama
yang bisa mengikuti perkembangan zaman, bahkan mendahuluinya dan membela
kebebasan berfikir. Akan tetapi disamping mereka terdapat pula ulama-ulama
agama yang membeku dan berharap akan dapat menghentikan dunia sekelilingnya
yang selalu bergerak dan maju, karena mereka tidak bisa menerima
pikiran-pikiran baru yang berlainan, dan sikap mereka nampak jelas terhadap
filsafat islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kedudukan Filsafat dalam Struktur Ilmu Agama Islam ?
2. Bagaimana Kedudukan Filsafat dikalangan Ulama-ulama Agama ?
3. Bagaimana Terhadap Filsafat Modern ?
4. Bagaimana Hubungan dengan Filsafat Yunani ?
5. Hubungan Apa dengan Filsafat Modern ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Filsafat dalam Struktur Ilmu Agama Islam
Mengenai kedudukan filsafat dalam islam
sepanjang sejarah. Kedudukan itu mengalami pasang surut pemuliaan dan kecaman.
Kedudukan
pilsafat sebagai asing atau sebagai alat saja jelas berkaitan dengan takrif
teologi. L. Gardet mendefinisikan teologi muslim sebagai apologi depensif.
Teologi hanya perlu diperhatikan sewaktu-waktu, yaitu bila dalil-dalil agama
diragukan oleh orang didalam atau diserang dari luar. Karena itu Al-Ghazali
memperbandingkan teologi dengan obat untuk orang sakit bukan dengan gizi orang
sehat. Pada ketika ajaran agama menjadi quieta possessio” (milik aman tak
terancam) teologi dapat dibebas tugaskan, seperti ditulis oleh b. Taimiyah.
Definisi Gardet tersebut disetujui pada masa sekarang oleh Padlou Shehadi.
Ismail Farouqi dan Hanafi.
Karena
syarat untuk hidup filsafat dalam islam itu, maka para filsuf harus merebut
kedudukannya oleh membenarkan diri sebagai pendukung, pembela dan juru
penerangan agama. Berkali-kali mereka mencoba hal itu, tetapi harapan tidak
dipenuhi dan hasil pikiran mereka ditampik sebagai tidak memenuhi syarat.[1]
B. Kedudukan Filsafat Dikalangan Ulama-Ulama Agama
Filosof-filosof
islam berpendirian bahwa tujuan filsafat
mirip dengan tujuan agama karena kedua-duanya bertujuan untuk mewujudkan
kebahagian melalui kepercayaan yang benar dan perbuatan yang baik. Juga mereka
mengatakan bahwa pembahasan pokok agama dan filsafat adalah satu juga, karena kedua-duanya
membicarakan prinsip-prinsip yang paling jauh bagi semua wujud ini. Berbeda
dengan itu, maka pendirian ulama-ulama agama pada umumnya sangat memusuhi
filsafat tanpa ragu-ragu.
Pada
masa dahulu ilmu-ilmu yang datang dari yunani terkenal dengan nama” ilmu-ilmu
kuno” (ulum al awail), sebagai imbangan dari ilmu-ilmu syara’. Ilmu-ilmu kuno
tersebut sangat diragukan kebenarannya oleh golongan ahlusunnah ekstrim,
meskipun oleh golongan lain diterima dngan penuh perhatian terutama sejak
permulaan abad ke-2 hijriah. Bahkan golongan ahlussunah menolak setiap ilmu
yang ada pertaliannya dengan ilmu filsafat, meskipun sikap ini sangat
disayangkan oleh Al-Ghazali dalam bukunya Al-munqidzu min ad-dlalal, sungguhpun
ia sendiri adalah laan terbesar bagi filsafat.
Lebih
dari itu, mempelajari filsafat dianggap sebagai peremehan terhadap agama dan
diragu-ragukan keseluruh aqidahnya. Diantara lapangan-lapangan filsafat, maka
filsafat metafisika atau filsafat ketuhanan dari aristo teles lah yang
pertama-tama menjadi sasaran kemarahan ahlussunnah, karena seluruh pemikiran
aristoteles dipandang berlawanna sama sekali dengan kepercayaan-kepercayaan
islam.
Ilmu
berikutnya ialah ilmu mantik, yag dianggap berbahaya bagi aqidah-aqidah agama,
dan oleh karenanya maka ditulislah berbagai-bagai buku untuk menentang ilmu
tersebut. Ilmu matematika pun pada gilirannya mendapat kritikan karena dianggap
bisa menyiapkan jalan kepada filsafat.
Akan tetapi sikap mereka terhadap ilmu hitung
adalah lunak, karena ilmu ini merupakan suatu keperluan bagi ilmu paraidl,
(ilmu pembagian harta pusaka).
Sebagai
akibat tantangan tersebut, maka banyakalah filosof-filosof islam yang difitnah
dan buku-bukunya dibakar, seperti yang dialami oleh Ibnu Rusyid memang pengaruh
serangan Ghazali terhadap filsafat besar sekali dibelahan barat dunia islam,
dimana Ibnu Rusyid bertempat tinggal. Namun pada masa-masa yang lebih kemudian,
barang kali dunia islam tidak mengenal fatwa yang begitu keras dan yang
melarang filsfat dan mantik seperti: Ibn As-Sholah. Ketika ia diminta
pendapatnya tentang hukum mempelajari dan mengajarkan ilmu mantik tentang
pemakaian istilah-istilah ilmu mantik dalam menetapkan hukum-hukum syara’ dan
tentang tindakan apa yang harus diambil terhadap orang-orangahli filsafat yang
menulis adan mengajar filsafat disekolah-sekolah umum, maka ia menjawab sebagai
berikut :
Filsafat
adalah pokok kebodohan dan penyelewengan, bahkan kebingungan dan kesesatan.
Siapa yag berfilsafat, maka butalah hatinya dari kebaikan-kebaikan syariah yang
suci, yang dikuatkan dengan dalil-dalil yang lahir dan bukti-bukti yang jelas.
Barangsiapa yang mempelajari, maka ia bertemankan kehinaan, tertutup dari
kebenaran dan terbujuk oleh syaitan. Apakah ada ilmu lain yang lebih hina dari
ilmu yang membutakan orang yang memilikinya dan menggelapkan hatinya dari sinar
kenabian nabi kita. “
“Tentang
mantik, maka ia adalah jalan kepada filsafat, sedang jalan kepada keburukan
dalah keburukan pula. Mempelajari filsafat atau mengajarkannya tidak termasuk
perkara yng dibolehkan oleh syara’, tidak pula dibolehkan oleh sahabat,
tabi’in, imam-imam mujtahidin, ulama-ulama salaf, dan anutan-anutan serta
tokoh-tokoh umat, dimana tuhan telah membersihkan mereka dari kotoran ilmu
itu.”
“Tentang
pemakaian istilah-istilah ilmu mantik dalam hukum syara’ maka termasuk
kemungkaran, dan untungnya hukum-hukum syara’ tidak memerlukan mantik sama
sekali. Apa yang dikatakan oleh orang ahli logika tentang definisi dan
argumen-argumen untuk logika maka adalah omong kosong, dimana tuhan telah
mencakupkan pengabdi-pengabdi ilmu syariat yang benar pikirannya dari hal
tersebut. Syariat dan ilmu-ilmunya ketelitian, dengan tidak ada mantik,
filsafat ataupun filosof-filosof.”
“Barangsiapa
mengira bahwa mempelajari ilmu-ilmu mantik dan filsafat karena da paedah yang
akan diperolehnya, maka ia telah dibujuk syaitan dan ditipunya. Maka yang wajib
bagi penguasa ialah agar mereka menjauhkan keburukan-keburukan mereka para
benalu-benalu tersebut dan mengeluarkan mereka dari sekolah. Yag lebih wajib
lagi ialah memecat seorang guru sekolah dari ahli filsafat yang mengajarkan dan
membacakannya pula, kemudian dipenjarakan dan disuruh menetap dirumahnya.”
Nampaknya,
serangan-serangan terhadap filsafat tidak berkesan lagi pada masa-masa sesudah
itu, karena agama islam pada dasarnya tidak menghalang-halangi kebebasan
berpikir dan setiap pengekangan tidak mendapatkan sandarannya, baik dalam
Al-Qur’an maupun as-Sunnah. Arus pemikiran lebih bebas telah menyebabkan
ulama-ulama agama pada zaman baru harus mempertemukan antara prinsip-prinsip
pikiran dengan ajaran-ajaran agama. Meskipun dikalangan filosof-filosof islam
pemaduan semacam itu sudah diusahakan jauh sebelumnya.[2]
C. Kedudukannya Terhadap Filsafat Masehi
Faktor-faktor yang akan menjelaskan
batas-cakupan cakrawala pemikiran filsafat didalam islam. Maka adalah salah
jika membatasi diri sebagaimana yang dilakukan oleh tokoh-tokoh abad ke-19
hanya pada serpihan-serpihan yang terdapat didalam karangan-karangan Latin
Ibrani Abad Pertengahan, tetapi harus sebaliknya.
Dan sudah lazim jika pertama kali harus
dipelajari dari sumber berbahasa Arab, walaupun kajiannya tidak lengkap dan
sumber tersebut tidak tersebar. Tetapi kita akan dapat menetapkan bahwa materinya
dikaitkan kepada pemikiran masehi abad pertengahan adalah lebih banyak,
wawasannya luas, lebih bebas lebih progresif dan inovatif. Jika kita
diperkenankan berbicara tentang filsafat masehi. Maka lebih pantas jika kita
menerima adanya filsafat. Pada kenyataannya filsafat bahasa Arab di Timur mampu
menandingi filsafat Latin di Barat. Dari kedua filsafat ini ditambah dengan
kajian-kajian Yahudi tersusunlah sejarah pembahasan teoritis pada abad
pertengahan. Dan harus mengaitkan filsafat Islam dengan filsafat Klasik,
pertengahan dan modern.
D. Hubungan dengan Filsafat Yunani
Generasi abad ke-20 selalu menggantungkan diri
dalam banyak hal kepada kajian-kajian Yunani dan Romawi. Hanya saja benar-benar
salah jika kita berpendapat bahwa :
a. Belajar (berguru) ini adalah meniru dan membebek semata-mata.
b. Filsafat islam hanyalah naskah yang dinukil dari Aristoteles sebagaimana
yang diduga oleh Renan atau dari Neo-Platonisme sebagaimana tuduhan Dehem.
E. Hubungan dengan Filsafat Modern
Berbicara tentang bukti tentang kolerasi
antara dua filsafat Barat: Modern dan Pertengahan yang dari sisi lain kita
mengetahui batas keterpengaruhan Filsafat Abad Pertengahan dengan Filsafat Timur Islam.
Tidak perlu masuk kedalam
detailitas-detailitas sekarang. Tetapi kami cukup menunjukkan bahwa titik awal
sejarah pemikiran Modern hampir dapat tersimpul didalam dua orientasi
fundamental.
Selama filsafat Skolastik Masehi dan Yahudi
yang berhubungan erat dengan dunia Islam menjembati antara filsafat Islam dan
pemikiran filosofis Modern, maka ada kemungkinan untuk mentrasfer dan
pertukaran ide-ide. Oleh karena itu adalah gegabah jika kita memastikan secara
dini bahwa tidak ada hubungan antara Timur dan Barat didalam dunia pembahasan
dan pemikiran.[3]
BAB III
PENUTUP
Simpulan :
Kedudukan filsafat dari kalangan kaum muslmin
sendiri, filsafat islam mendapat kritikan dan tantangan. Kalau dari kalangan
luar islam, ada yang meragukan tentang kepribadian filsafat islam yang berbeda
dengan kepribadian filsafat yunani, maka dari kalangan ulama-ulama agama
(islam) timbul sikap menolak terhadap keseluruhan filsafat karena alasan-alasan
yang dihubungkan dengan agama. Dan syarat untuk hidup filsafat dalam islam itu,
maka para filsuf harus merebut kedudukannya oleh membenarkan diri sebagai
pendukung, pembela dan juru penerangan agama. Berkali-kali mereka mencoba hal
itu, tetapi harapan tidak dipenuhi dan hasil pikiran mereka ditampik sebagai
tidak memenuhi syarat.
Hubungan dengan filsafat modern menunjukkan
bahwa titik awal sejarah pemikiran Modern hampir dapat tersimpul didalam dua
orientasi fundamental.
-
Eksperimental yang telah membangkitkan
studi-studi empirik
-
Teoritis yang telah membantu untuk menyelidiki
ilmu-ilmu rasional.
DAFTAR PUSTAKA
JWM, Bakker SY, Sejarah Filsafat dalam
Islam, Yogyakata: PT. Yayasan Kanisius, 1978.
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1996.
Ibrahim Madkour, Filsafat Islam Metode dan
Penerapan, Jakarta: Rajawali, 1991.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar