BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam suatu perkara perdata, terdapat 2 (dua) pihak yang
dikenal sebagai penggugat dan tergugat. Apabila pihak penggugat merasa
dirugikan haknya, maka ia akan membuat surat gugatan yang didaftarkan kepada
pengadilan negeri setempat yang berwenang dan kemudian oleh pengadilan negeri
disampaikan kepada pihak tergugat. Dalam hal surat gugatan yang telah
didaftarkan oleh penggugat, maka penggugat dapat melakukan perubahan gugatan.
Perubahan gugatan adalah salah satu hak yang diberikan kepada penggugat dalam
hal mengubah atau mengurangi isi dari surat gugatan yang dibuat olehnya. Dalam
hal ini, baik hakim maupun tergugat tidak dapat menghalangi dan melarang
penggugat untuk mengubah gugatannya tersebut. Perubahan gugatan harus tetap
mengedepankan nilai-nilai hukum yang ada sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian verzet secara bahasa dan istilah?
2.
Bagaimana
perlawanan verzet terhadap verstek?
3.
Bagaimana
proses pengajuan verzet?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Verzet
Verzet secara bahasa merupakan kata yang
diambil dari bahasa Belanda yang artinya perlawanan. Sedangkan verzet secara
istilah adalah upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya
tergugat. Ketentuan undang-undang yang mengatur tentang hal tersebut dijelaskan
dalam pasal 125 ayat (3) jo Pasal 129 HIR, Pasal 149 ayat (3) jo Pasal 153 Rbg.[2]
B. Perlawanan Verzet Terhadap Verstek
Pada
asasnya perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang pada umumnya
dikalahkan. Apabila tergugat dihukum dengan putusan tanpa kehadirannya
(verstek), maka ia berhak mengajukan verzet. Pengajuan verzet ke Pengadilan
Agama yang mengeluarkan putusan verstek dilakukan dalam jangka waku tertentu
setelah putusan itu diberitahukan kepada tergugat. Dengan demikian upaya hukum
tersebut dimaksudkan memberi kesempatan terhadap tergugat atau pihak yang
mengajukan perlawanan verzet untuk membela kepentingannya atas kelalainya
karena tidak menghadiri persidangan. Dalam asas-asas hukum Acara Perdata Islam
apabila suatu putusan tanpa kehadirannya tergugat lalu diputus verstek maka ia
berhak mengajukan upaya hukum verzet. Selanjutnya Pengadilan Agama yang
mengeluarkan putusan versek tersebut berkewajiban untuk meninjau kembali
putusan itu.[3]
Berkaitan dengan masalah pengajuan verzek ini
ada kemungkinan terdapat kekeliruaan dalam menerapkan hukum yang sifatnya
substansial, sehingga dapat mengakibatkan keputusan itu dibatalkan oleh
pengadilan tingakat pertama atau tingkat banding dan kasasi. Sedangkan
kekeliruan dalam menerapkan Hukum Acara dapat mengakibatkan proses peradilannya
diulangi dan juga berpeluang untuk dibatalkan oleh pengadilan yang menangani
perkara itu. Dengan perkataan lain hakim terikat oleh ketentuan yang berlaku.
Pada dasarnya yang dapat mengajukan upaya
hukum verzet adalah pihak yang dijatuhkan putusan verstek dalam suatu perkara
dan tidak diperkenankan bagi yang tidak memenuhi ketentuan ini. Adapun tenggang
waktu dalam mengajukan upaya verzet sebagaimana ditentukan dalam Pasal 129 HIR
adalah sebagai berikut:
1. Dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak putusan verstek diberitahukan
kepada tergugat secara sah dan patut.
2. Apabila pemberitahuan isi putusan
itu ternyata tidak dapat disampaikan langsung kepada tergugat tetapi lewat
Kepala Desa, dan ternyata tergugat tidak melaksanakan dengan suka rela kemudian
Ketua PA akan memanggil tergugat supaya datang dikantor Pengadilan Agama untuk
mendapat teguran, kemudian apabila tergugat datang dan telah menerima terguran
tersebut, maka tenggang waktu verzet adalah 8 hari setelah tergugat mendapat
teguran tersebut.
3. Bila tergugat tidak datang menghadap setelah dipanggil secara patut sampai
ke hari14 setelah dilaksanakannya perintah tertulis maka Ketua PA mengeluarkan
perintah eksekusi. Dalam hal ini maa batas waktu verzet ialah 8 hari setelah
tanggal eksekusi (Pasal 197 HIR).
Khusus dalam perkara perceraian atau
pembatalan perkawinan ataupun perkara lain yang tidak memerlukan eksekusi maka
tenggang waktu verzet hanya dalam waktu 14 hari sejak putusan diberitahukan
oleh juru sita. Dengan adanya verzet maka kedudukan tergugat adalah pelawan (opposant),
sedangkan pihak terlawan penggugat asal yang akan diletakkan beban
pembuktian. Jadi dengan demikian dalam pemeriksaan verzet yang diperiksa adalah
penggugat, maka penggugat mempunyai kewajiban untuk membuktikan dalil-dalil
gugatannya. Adapun mengenai praktik upaya hukum verzet ini harus dinyatakan
oleh tergugat secara tegas, bila tidak dinyatakan secara tegas maka verzet
dinyatakan tidak dapat diterima.[4]
Sedang mengenai keterkaitan kerja bila
dihubungkan dengan putusan verstek mengadung arti bahwa terggugat melawan
putusan verstek atau tergugat mengajukan perlawanan terhadap putusan verstek.
Tujuan melakukan perlawanan ialah agar terhadap putusan itu dilakukan
pemeriksaan ulang secara menyeluruh sesuai dengan pemeriksaan kontrakdiktor
dengan permintaan supaya putusan verstek dibatalkan, serta sekaligus meminta
agar gugatan penggugat ditolak. Dengan demikian dapat dipahami bahwa verzet
merupakan pemberian kesempatan yang wajar kepada tergugat untuk membela
kepentingannya atas kelalainnya tidak menghadiri persidangan diwaktu yang lalu.
Berangkat dari uraian di atas perlu
diperhatikan bahwa dalam mengajukan perlawanan tersebut harus sesuai peraturan
dalam Pasal 129 ayat (1) HIR dan Pasal 83 Rv hanya terbatas pada pihak tergugat
saja terhadap penggugat tidak diberi hak mengajukan perlawanan. Ketentuan
tersebut sesuai dengan pengasan putusan MA No. 524/sip/1975 yang menyatakan,
verzet terhadap verstek hanya dapat diajukan oleh pihak-pihak dalam berperkara,
dalam hal ini pihak tergugat tidak boleh pihak ketiga. Sedangkan perluasan atas
hak yang dimiliki oleh tergugat untuk mengajukan upaya hukum perlawanan verzet
adalah sebagai berikut:
1. Ahli warisnya, apabila pada tenggang waktu pengajuan perlawanan tergugat
meninggal dunia.
2. Mengajukan kuasa (perwakilan), berdasarkan surat kuasa khusus yang
digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR jo. SEMA No. 6 Tahun 1994.
Dari ketentuan tersebut di atas dapat dipahami
bahwa perlawanan terhadap putusan adalah merupakan hak diberikan oleh
undang-undang bagi setiap orang untuk mempertahankan hak-haknya, namun dalam
hal ini terbatas kepada tergugat saja dan tidak termasuk penggugat. Sebaliknya pada
ketentuan undang-undang menurut Pasal 8 ayat 1 UU. 20/1947 tentang pengadilan
peradilan ulangan dan Pasal 200R.Bg apabila penggugat meminta banding maka
tertutup hak tergugat verzet. Hak ini diberikan kepada penggugat untuk
mensejajari persamaan perlakuan yang seimbang dengan tergugat. Kepada tergugat
diberi upaya verzet dan kepada penggugat upaya banding jika undang-undang tidak
memberi hak banding kepada penggugat berarti hukum mematikan haknya meminta
koreksi terhadap putusan verstek yang telah dijatuhkan oleh pengadilan tingkat
pertama.[5]
Berangkat dari realitas seperti itu, adil dan
wajar kiranya memberi hak kepada penggugat mengajukan banding, karena baik
Pasal 129 ayat (1) HIR, Pasal 153 Rbg, tidak memberi hak kepada penggugat untuk
mengajukan verzet. Undang-undang tersebut hanya memberikan kesempatan upaya
hukum kepada tergugat saja. Karena dalam hal ini kemungkinan terjadi putusan
verstek yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama hanya mengabulkan sebagian
kecil gugatan, sehingga penggugat berhak untuk mengajukan banding.[6]
C. Proses Pengajuan Verzet
Tuntutan verzet dibuat seperti gugatan biasa,
yaitu tertulis dan ditandatangani oleh tergugat sendiri atau oleh kuasanya
apabila ia telah menunjuk kuasa hukum, atau telah ditandatangani oleh hakim
bagi yang tidak dapat membaca dan menulis dengan menunjuk nomor putusan verstek
yang dilawan itu surat tuntutan verzet dibuat rangkap 6 atau lebih menurut
kebutuhan yaitu 3 rangkap untuk majelis, 1 rangkap untuk berkas dan
masing-masing penggugat dan tergugat yang disesuaikan dengan jumlah mereka.
Tuntutan verzet dimasukan kepaniteraan gugatan
pada meja pertama dengan membayar panjar biaya perkara. Meja pertama membuat
surat kuasa untuk membayar dan diserahkan kepada kasir. Meja kedua mencatat
perkara perlawanan dalan register induk perkara yang bersangkutan, kemudian
surat perlawanan tersebut diserahkan kepada wakil panitera untuk disampaikan
kepada Ketua PA melalui panitera. Ketua menunjuk kepada majelis hakim yang
menjatuhkan putusan verstek tersebut untuk menyelesaikannya dengan sebuah
penetapan. Hakim atau ketua majelis menetapkan hari sidang penetapan verzet
tersebut dengan sebuah penetapan (PHS) dan memerintahkan kepada juru sita agar
memanggil para pihak untuk hadir dalam persidangan. Tanggal sidang pemeriksaan
perlawanan dicatat dalam register induk perkara yang bersangkutan.
Tuntutan verzet berkududukan sebagai jawaban
atas gugatan penggugat. Dengan demikian maka pemeriksaan perkara dilanjutkan
dengan tetap mengacu pada gugatan penggugat. Apabila para pihak telah dipanggil
dan ternyata tergugat tidak hadir lagi dalam sidang maka tuntutan verzet dapat
diputus tanpa hadirnya tergugat. Terhadap putusan verzet tersebut dalam Pasal
129 ayat (5) HIR tidak dapat diajukan perlawanan baru. Maka dalam hal ini
verzet hanya dapat dilakukan sekali saja oleh pihak yang berkepentingan.
Sehubungan dengan pengakuan verzet oleh
tergugat maka pemeriksaan dilanjutkan sebagaimana perkara biasa sampai hakim
menjatuhkan putusan. Putusan perlawanan (verzet) ini dicatat dalam register
induk perkara yang bersangkutan, yaitu tanggal putusan dan bunyi amar putusan
lengkap. Berangkat dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengajuan
verzet tersebut yang telah disampaikan melalui kepaniteraan pengadilan yang
memutus perkara dalam tenggang waktu pengajuan sebagaimana telah dijelaskan
penulisan sebelumnya merupakan kesatuan dengan perkara yang diputus verstek.
Berkenaan dengan pengajuan hukum verzet dalam
hal ini berkedudukan sebagai jawaban tergugat. Apabila perlawanan ini diterima
dan dibenarkan oleh hakim berdasarkan hasil pemeriksaan atau pembuktian dalam
sidang, maka hakim akan membatalkan hukuman verstek dan menolak gugatan
penggugat. Tetapi apabila perlawanan itu tidak diterima atau tidak dibenarkan
oleh hakim, maka hakim dalam putsan akhir dan menguatkan putusan verstek,
putusan akhir ini dapat dimintakan banding. Putusan verstek yang tidak diajukan
verzet dan tidak pula dimintakan banding dengan sendirinya menjadi putusan
akhir yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.[7]
BAB III
PENUTUP
Simpulan :
Verzet adalah upaya hukum terhadap putusan
yang dijatuhkan diluar hadirnya tergugat. Dalam undang-undang pasal 125 ayat
(3) jo Pasal 129 HIR, Pasal 149 ayat (3) jo Pasal 153 Rbg. Verzet dapat
dilakukan dalam tempo 14 hari setelah putusan-putusan verstek diberitahukan
atau disampaikan pada tergugat karena tergugat tidak hadir.
Syarat-syarat verzet adalah dalam Pasal 129
ayat (1) HIR :
1. Keluarnya putusan verstek.
2. Jangka waktu untuk mengajukan perlawanan adalah tidak boleh lewat dari 14
haridan jika ada eksekusi tidak boleh lebih dari 8 hari.
3. Verzet dimasukkan dan diajukan kepada ketua pengadilan negeri di wiliyah
hukum dimana penggugat mengajukan gugatannya.
Pengajuan hukum verzet dalam hal ini
berkedudukan sebagai jawaban tergugat. Apabila perlawanan ini diterima dan
dibenarkan oleh hakim berdasarkan hasil pemeriksaan atau pembuktian dalam
sidang, maka hakim akan membatalkan hukuman verstek dan menolak gugatan
penggugat. Tetapi apabila perlawanan itu tidak diterima atau tidak dibenarkan
oleh hakim, maka hakim dalam putusan akhir dan menguatkan putusan verstek dapat
dimintakan banding.
DAFTAR PUSTAKA
Hukum Acara
Perdata, http://www.hukumacaraperdata.com/tag/pengajuan-gugatan/page/2/
Dadan Muttaqin,Dasar-Dasar Hukum Acara Perdata, Yogyakarta
: Insania Citra Press, 2006.
M. Yahya Harahap, Kekuasaan Pengadilan Tinggi dan
Proses Pemeriksaan Perkara Perdata Dalam Tingkat Banding, Jakarta : Sinar
Grafika, 2006.
Rudini Silaban,
http://rudini76ban.wordpress.com/2010/01/13/sekilas-tentang-hukum-acara-perdata-point-point-penting-yang-harus-dikuasai/
[1]
Hukum Acara Perdata, http://www.hukumacaraperdata.com/tag/pengajuan-gugatan/page/2/
diakses Sabtu, tanggal 28/09/2013.
[2]
Rudini Silaban, http://rudini76ban.wordpress.com/2010/01/13/sekilas-tentang-hukum-acara-perdata-point-point-penting-yang-harus-dikuasai/
diakses Sabtu, tanggal 28/09/2013.
[3]
ibid
[5] M. Yahya Harahap, Kekuasaan Pengadilan
Tinggi dan Proses Pemeriksaan Perkara Perdata Dalam Tingkat Banding, (Jakarta
: Sinar Grafika, 2006), h. 102.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar