BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Karl Popper adalah salah satu
kritikus yang paling tajam terhadap gagasan lingkaran Wina. Karena lingkaran
ini dianggap menjadi mesin yang memproduk dan pengembang aliran neopositivistik,
yang pro terhadap metode berfikir induktivistik. Menurutnya metode ini mengalami
kegagalan, karena tidak dapat membedakan antara science (pengetahuan ilmiah)
dan preude science (pengetahuan semu) atau empirical method and a non
empirical method dalam standar kriteria ilmu maupun sistem antara empirical
science dengan matematics and logic as metaphysical sehingga ilmu
pengetahuan sulit untuk dibedakan, mana yang berdasarkan logika dan
fakta empirik (empirical fact) dan mana pengetahuan berdasarkan
pengalaman pribadi (psychology of knowledge) yang dipengaruhi
oleh tradisi, emosi, otoritas dan lain sebaginya.[1]
Sebagaimana Karl Marx, dengan teori Sejarahnya,
Freud dengan teori Psychoanalysisnya, Adler dengan teori Individual
Analisis serta Newton dengan teori gravitasi juga memcampuradukkan
antara pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan semu. Di samping itu, pada masa
Popper hidup, ilmu pengetahuan telah dikuasai oleh Induktivistik, yaitu aliran
yang menjadikan pengamatan dan pengalaman menjadi bukti keobyektifan sebuah
teori tanpa ada yang mengkritisinya seolah-olah kebenaran ilmu menjadi mutlak. Kondisi
yang demikian menjadi kegelisahan bagi Popper untuk mengkontruksi cara berfikir
induktif menjadi deduktif. Ia melihat beberapa titik kelemahan metode Induktif.
Pertama, Induktifis menarik hukum-hukum (statemen singular)
menjadi bersifat umum (general) pada ilmu pengetahuan yang bersumber
dari pengalaman dan observasi serta fakta-fakta empirik. Kedua, Teori
atau pernyataan-pernyataan (statemen) ilmu pengetahuan dari hasil
observasi dan pengalaman tidak bersifat ilmiah karena belum diuji (testable)
dan diuji kepalsuan (falsifiability) sehingga banyak yang menyesatkan,
baik dalam perspektif sejarah (historis), kejiwaan (psychology),
Teori fisika (Newton) maupun ilmu sosial.[2]
Di sinilah problem fundamental yang
dihadapi oleh Karl Popper pada zamannya. Sebagai antitesa atas kesalahan para
penganut induktifis, maka Popper menawarkan sebuah gagasan dengan cara uji
kesalahan (falsifiable) dan uji logika realita (testability).
Dengan harapan sebuah teori benar-benar dari hasil uji kesahihan yang empirik
serta bebas dari prasangka, ramalan, prediksi yang bersifat personal.
Berdasarkan paparan problema yang
dihadapi oleh Popper, penulis akan mendeskripsikan lebih mendalam lagi tentang
pemikiran-pemikiran Popper terhadap pandangannya mengenai metodelogi ilmu ini
dalam bab selanjutnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
riwayat hidup Karl Raimund Popper?
2.
Apa
saja pokok pemikiran Karl Raimund Popper?
3.
Bagaimana
Refleksi atas Pemikiran Karl Raimund Popper?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Karl Raimund Popper.
Karl Raimund Popper lahir di Wina
pada tanggal 28 Juli tahun 1902.[3]
Ayahnya Dr. Simon Sigmund Carl Popper seorang pengacara yang sangat minat pada
Filsafat. Perpustakaannya luas mencakup kumpulan-kumpulan karya filsuf besar
dan karya-karya mengenai problem sosial. Agaknya Karl Popper mewarisi minatnya
pada filsafat dan problem sosial dari ayahnya. Orang tuanya keturunan Yahudi,
tetapi tidak lama setelah menikah mereka berdua dibabtis dalam gereja
Protestan. Ayahnya adalah sarjana hukum dan pengacara yang mencintai buku, dan musik.
Pada umur 16 tahun Popper meninggalkan sekolahnya “realgymnasium” dengan
alasan bahwa pelajaran-pelajarannya sangat membosankan. Lalu ia menjadi
pendengar bebas pada
Universitas Wina dan baru tahun 1922 ia diterima sebagai mahasiswa.
Suatu dalil bahwa tindakan manusia
didorong oleh perasan semacam inferioritas. Misalnya kasus seorang laki-laki tidak
mau menolong seorang anak yang terseret oleh arus, karena takut dan karena ia
memutuskan tidak menolong. Keputusan tidak menolong ini dibenarkan oleh Adler,
karena laki-laki tersebut telah mengatasi perasaan inferioritas mendemontrasikan
bahwa ia mempunyai kemauan keras untuk tetap berdiri di tepi sungai. Ketika
umur 17 tahun, selama beberapa tahun ia menganut komunisme, tetapi tidak lama kemudian
ia meninggalkan aliran politik ini, karena ia yakin bahwa penganutnya menerima begitu
saja suatu dokmatisme yang tidak kritis dan ia menjadi anti Marxis untuk seumur
hidup. Perjumpaannya dengan Marxisme diakui olehnya sebagai satu diantara
peristiwa penting dalam perkembangan intelektualnya. Dalam outobiografinya
bercerita bahwa ia mengikuti aneka macam kuliah, tentang sejarah,
kesusasteraan, psikologi, filsafat bahkan tentang ilmu kedokteran.
Pada tahun yang sama tahun 1919,
Popper mendengar apa yang dikerjakan oleh Einstein dan menurut pengakuannya
merupakan suatu pengaruh dominan atas pemikirannya, bahkan dalam jangka panjang
pengaruhnya sangat berarti. Dalam suatu waktu Popper mendengarkan ceramah
Einstein di Wina. Ia terpukau oleh sikap Einsten terhadap teorinya yang tidak
dapat dipertahankan kalau gagal dalam tes tertentu. Ia mencari
eksperimen-eksperimen yang kesesuaiannya dengan ramalan-ramalannya belum
berarti meneguhkan teorinya.
Sedangkan ketidaksesuaian antara
teori dengan eksperimen akan menentukan apakah teorinya bisa dipertahankan atau
tidak. Sikap ini menurutnya berlainan dengan sikap Marxis yang dogmatis dan
selalu mencari pembenaran-pembenaran (verifikasi) terhadap teori kesayangannya.
Sampai pada kesimpulan bahwa sikap ilmiah adalah sikap kritis, yang tidak mencari
pembenaran-pembenaran melainkan tes yang serius, pengujian yang dapat
menyangkal teori yang diujinya, meskipun tak pernah dapat meneguhkannya.
Pada tahun 1928 ia meraih gelar
Doktor Filsafat dengan suatu disertasi tentang Zur Methodenfrage der
Denkp Psychologei (Masalah Metode dalam Psikologi Pemikiran), suatu karangan
yang tidak diterbitkan. Pada tahun berikutnya Popper memperoleh gelar Diploma pada
bidang Matematika dan ilmu pengetahuan Alam. Dalam catatan sejarah, Popper
tidak pernah menjadi anggota Lingkaran Wina, tetapi ia mengenal anggota
Lingkaran Wina yang bekerja di universitas dan pada beberapa di antara mereka,
ia mempunyai hubungan khusus dengan anggota Lingkaran Wina di antaranya Viktor Kraft,
Herert Feigl. Dalam usaha studinya, Popper belajar banyak dari Karl Buhler,
Profesor Psychologi di Universitas Wina yang paling penting dalam
perkembangannya di masa mendatang ialah teori Buhler tentang tiga tingkatan
bahasa yaitu fungsi ekspresi, fungsi stimulasi dan fungsi deskriptif. Menurut
Buhler fungsi pertama selalu hadir pada bahasa manusia maupun binatang, sementara
fungsi yang ketiga khas pada bahasa manusia. Popper sendiri kelak menambahkan fungsi
yang keempat yaitu fungsi argumentatif, yang dianggap penting karena merupakan
basis pemikiran krisis. Pada tahun kedua di Institut Pedagogis, Popper berjumpa
dengan Prof Heinrich Gomperz dan banyak dimanfaatkan untuk berdiskusi dengan
problem psikologi pengetahuan atau psikologi penemuan. Hasil pertemuannya
dengan Prof. Heinrich melahirkan keyakinan Popper bahwa data indrawi, data atau
kesan sederhana itu semua khayalan yang berdasarkan usaha keliru yang
mengalihkan Atomisme dari fisika ke psikologi.
Sesudah perang dunia II selesai,
Popper diangkat sebagai dosen di London School of Economics, sebuah
institut di bawah naungan Universitas London. Di sini ia mempersiapkan suatu
buku yang menguraikan perkembangan pemikirannya sejak buku The Logic of Scientific
Discovery, di antara buku yang diterbitkan antara lain Realism and
Aim of Science: Quantum Theory and the Schism in Physics The Open
Sociaty and Its Enemies, dan The Poverty of Historicism yang
memberi analisis dan kritik Popper atas pemikiran tiga tokoh yang menurut dia termasuk
historisisme, yaitu Plato, Hegel, dan Marx.
Pada tahun 1977 Popper banyak
memberikan ceramah dan kuliah tamu di Eropa, Amerika, Jepang dan Australia. Ia
banyak mengenali secara pribadi ahli-ahli kimia modern yang besar seperti,
Albert Einstein, Neil Bohr, Edwin Schrodinger. Popper meninggal dunia pada
tanggal 17 September 1994 di Croydon, London Selatan, dalam usia 92 tahun
akibat komplikasi penyakit kanker. Menjelang akhir hayatnya beberapa karyanya
diterbitkan dengan bantuan orang lain. Buku yang paling penting dari periode
terakhir ini adalah A World of Propensities (1999) di mana ia
menguraikan pemikiran definitifnya tentang probabilitas dalam logika dan Ilmu Pengetahuan.[4]
B.
Pokok Pemikiran Karl Raimund Popper
Menurut Popper, metode induktif
meninggalkan banyak masalah dalam ilmu pengetahuan, masalah itu apakah
menyangkut proses cara memperoleh pengetahuan, ukuran validitas kebenaran,
hasil pengetahuannya bersifat subyektif dan lain sebagainya.
Pertama, dalam proses penyelidikan misalnya, kaum induktivis menggunakan
observasi dan pengalaman sebagai dasar satu-satunya dalam membuat pernyataan
tunggal (singular statemen) dan kemudian hasil pengamatan dan pengalaman
pribadi yang belum teruji dapat ditarik sebuah kesimpulan berupa teori,
ironinya kebenarannya bersiftat general (berlaku secara umum).Teori-teori
ilmiah ditarik dengan cara ketat dari fakta-fakta pengalaman yang diperoleh
lewat observasi dan eksperimen. Ilmu didasarkan atas apa yang dapat dilihat,
didengar, diraba, dan sebagainya. Pengetahuan akan diterima bila berasal dari sense,
expretion, (sensasional impresion, perseptian visual or auditory. Prinsip
di atas dipertanyakan oleh Popper terutama volume eksperimen, berapa banyak observasi
yang diperlukan untuk memenuhi? Haruslah sebatang logam tertentu dipanasi 10 kali,
100 kali atau seberapa banyak kali sebelum kita dapat menyimpulkan logam selalu
memuai bila dipanaskan.
Di sini sebenarnya tingkat kesulitan
yang dihadapi oleh kelompok Induktifis, bila mereka mensyaratkan observasi dan
eksperimen jadi acuan ilmu pengetahuan. Sanggahnya, penarikan kesimpulan ini
sangat berbahaya, sebagaimana Karl Maxs telah membuat teori sejarah dengan
ramalan-ramalan/prediksi yang salah tentang masyarakat kelas. Juga contoh lain
mereka punya anggapan bahwa semua angsa berwarna putih tanpa memperdulikan
angsa yang berwarna lain, Kertas Litmus berubah menjadi merah bila dicelupkan ke
dalam cairan tanpa merinci cairan apa yang dapat merubah.[5]
Kedua , tugas bagi ilmu pengetahuan adalah merumuskan hukum-hukum yang
bersifat umum dan mutlak. Jika mencari contoh yang sederhana: pernyataan bahwa
logam yang dipanaskan akan memuai “merupakan hukum “bagimana hukum ilmiah
serupa itu sampai terbentuk, pasti jawabanya bahwa hukum itu dihasilkan oleh
suatu proses induktif. Artinya dari sejumlah kasus yang cukup besar (bermacam-macam
logam yang memuai setelah dipanaskan), disimpulkan bahwa dalam keadaan yang
tertentu gejala yang sama dan dimana-mana akan terjadi. Pendek kata metode ini
dijalankan dengan observasi dan eksperimen serta berdasarkan fakta-fakta. Teori
ini mendapatkan catatan dari David Home. Ia menyatakan bahwa dari sejumlah
fakta berapapun besar jumlahnya, secara logis tidak dapat disimpulkan suatu
kebenaran umum. Tidak ada keharusan logis bahwa fakta-fakta yang sampai
sekarang selalu berlangsung dengan cara yang sama. Dengan demikian bahwa
induksi tidak dapat dibenarkan berdasarkan logika.
Ketiga, Induktifis mengunakan ilmu bantu lain yaitu Logika dan Probabilitas
(kemungkinan) selain dasar observasi dan eksperiman untuk mendapatkan
justifikasi. Bantuan logika ini dilakukan untuk memperkokoh argumen logis dari
cara penarikan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan yang mereka buat. Misalnya
argument yang logis yang valid ditandai dengan fakta bahwa apabila premis
argumen itu benar, maka kesimpulannya benar, tetapi ternyata tidak demikian. Argumen-argumen
induktif tidak merupakan argumen-argumen yang valid secara logis, masalahnya
bukanlah apabila premis suatu penyimpulan induktif benar, maka kesimpulannya mesti
benar. Bisa saja penyimpulan terjadi penyimpulan argumen induksi salah,
sedangkan premisnya benar dan ini terjadi tanpa harus merupakan kontradiksi.
Misalnya tentang pernyataan semua gagak adalah hitam. karena sampai hari ini
saya telah melakukan observasi terhadap sejumlah besar burung gagak pada
variasi yang luas dan telah menyaksikan mereka semua hitam dan berdasarkan
fakta. Ini adalah satu penyimpulan induktif yang valid dan sempurna.
Menurut Popper secara premis itu benar,
akan tetapi secara logis itu salah, sebab tidak ada jaminan logis bahwa gagak
yang saya observasi kemudian tidak ada yang berwana coklat atau merah jambu.
Kalau hal ini terbukti mana kesimpulan; semua gagak hitam itu salah.
Jadi penyimpulan induktif awal yang
jelas valid karena memenuhi kriteria yang telah dispesifikasi oleh prinsip induksi,
dapat membawa ke satu kesimpulan yang salah, sekalipun fakta menunjukkan bahwa semua
premisnya benar. Prinsip Probabilitas dipinjam oleh induktif untuk mencari alternatif
jawaban jika kebenaran atas bukti tunggal dipersalahkan. Mereka menyatakan
bahwa pengetahuan bukanlah pengetahuan yang telah dibuktikan, melainkan
pengetahuan yang probabel benar, semakin besar jumlah observasi yang membentuk
dasar suatu induksi dan semakin variasi kondisi dimana observasi dilakukan,
maka semakin besar pula probalilitas hasil generalisasi itu benar. Mungkin dapat
diterima secara intuitif bahwa waktu dukungan observasi terhadap hukum
universal meningkat, maka probabilitas kebenaran hukum itupun meningkat, namun
intuisi ini tidak akan dapat diuji.
Berbeda dengan cara induktif,
falsifikasi menggunakan cara kerja ilmu pengetahuan tidak hanya menggunakan
observasi dan pengalaman sebagai dasar di dalam menentukan hukum-hukum ilmu
pengetahuan (generalisasi), akan tetapi masih ada prasyarat lain yaitu uji
kesalahan (Falsifiable) melalui uji kesahihan (testable).
Menurutnya Falsifikasi adalah untuk mematahkan sesuatu keadaan yang salah,
tidak benar. Suatu teori dapat dikatakan salah, jika meminta bantuan pada hasil
observasi dan eksperimen tanpa percobaan dan kesalahan (Trial and Error)
melalui dugaan dan penolakan hanya teori yang paling cocok dapat dipertahankan
untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh Neopositivisme,
Popper membuat sistem kerja ilmu dengan teori Falsifikasi.[6]
Pertama, Suatu pengetahuan empirik/ilmiah dinyatakan benar, bila sistem
tersebut dapat diuji (Falsifiabilitas) dan bukan veriabilitas. Contohnya
Esok akan hujan, karena secara empiris dapat disangkal. Popper mengusulkan
tentang Falsifiabilitas sebagai kriteria demarkasi didasarkan pada suatu
asimetri antara verifialitas dan falsifiabilitas, sebab pernyataan universal
tidak dapat berasal dari pernyataan tunggal, sebaliknya dapat dikontradiksikan
oleh penyataan singular.
Kedua, Secara Metodologi Falsifikasi harus meragukan suatu pengetahuan
yang mungkin ada kesalahan dalam mengamati misalnya, bukan angsa yang diamati,
melainkan seekor burung. Maka untuk refutasi (penyangkalan) secara sistematis,
maka teori harus dirumuskan secara jelas sehingga membuka kemungkinan untuk
penyangkalan yang mungkin diajukan. Sebaliknya suatu teori tidak ditinggal
dengan gampang, sebab ini mengidentikkan sikap yang tidak kritis terhadap tes,
dan dengan begitu berarti teori sendiri tidak diuji sekeras seperti seharusnya.
Ketiga, suatu hepotesis atau sistem hipotesis mau diakui memiliki status
sebagai hukum atau teori ilmiah. Apabila ia akan menjadi bagian dari ilmu, maka
suatu hepotesa harus falsifabel, sebelum melangkah lebih jauh. Contoh soal:
semua zat memuai bila dipanasi. Pernyataan itu falsifiabel, ia akan menjadi
keliru bila ada keterangan observasi menunjukkan fakta ada suatu zat x tidak
memuai ketika dipanasi. Jadi suatu hipotesa adalah falsifiabel apabila terdapat
suatu keterangan observasi atau suatu perangkat keterangan observasi yang tidak
konsisten dengannya, yakni apabila ia dinyatakan sebagai benar, maka ia akan
mengfalsifikasi isi hipotesa itu.
Keempat, Teori harus dinyatakan dengan jelas dan cermat dan jelas. Apabila
suatu teori diajukan sedemikian samar sehingga tidak jelas apa yang sebenarnya
yang diinginkan, maka bilamana diuji dengan observasi atau eksperimen lain, ia
dapat diinterpretasikan demikian rupa sehingga selalu konsisten dengan hasil pengujian.
Dengan cara demikian, ia dapat dibela dalam menghadapi falsifikasi. Situasi
yang serupa terdapat hubungan dengan ketelitian, makin teliti suatu teori
dirumuskan, semakin ia menjadi falsifiabel. Apabila kita menerima bahwa makin
falsifiabel suatu teori, makin baik. Contoh misalnya planet-planet bergerak
dalam bentuk ellip mengitari matahari adalah lebih teliti dari pada rumusan
“planet-planet bergerak dalam bentuk lingkaran tali bulat mengitari matahari”.[7]
Kelima, Dugaan-dugaan spekulasi yang berani. Rahasia-rahasia ilmu akan
berkembang maju dengan bantuan kreatifitas dan mendasar. Semakin besar jumlah
teori pendugaan dikonfrontasikan dengan realitas, semakin besar jumlah
kesempatan kemajuan yang penting dalam ilmu. Popper memandang ilmu sebagai suatu
perangkai hipotesa yang dikemukakan secara coba-coba dengan tujuan melukiskan
secara akurat. Suatu tuntutan bahwa teori harus tinggi falsifiabilitasnya,
teori harus dinyatakan dengan jelas dan cermat. Apabila suatu teori diajukan sedemikian
samar hingga tidak jelas apa sebenarnya yang ingin dinyatakan, maka bila mana diuji
dengan observasi atau eksperimen lain, ia dapat diinterpretasikan demikian rupa
hingga konsisten dengan hasil pengujian.
Selain prasyarat kriteria
Falsifikasi Popper juga menggagas suatu metode praktis untuk memecahkan masalah
antara lain: Pertama, teori Varian Trial and Error. Yaitu suatu
metode percobaan dan pembuangan kesalahan. Metode ini kata Popper dipakai dalam
perkembangan pikiran manusia dan terutama perkembangan filsafat, bisa
digambarkan sebagai varian istimewa. Cara kerjanya teori diajukan secara
tentatif dan dicobakan. Bila hasil suatu tes menunjukkan bahwa teori itu salah
maka teori itu dibuang. Metode percobaan dan pembuangan kesalahan pada
hakekatnya adalah metoda penyingkiran. Keberhasilan terutama tergantung pada
tiga syarat: yaitu bahwa banyak teori yang diajukan bervariasi serta dilakukan
tes yang serius. Adapun skema metode problem solving sebagi berikut :
P1 - TS - EE
- P2
|
Uraiannya sebagai berikut:
P1 : Problem awal
TS : Solusi tentatif,
teori yang dicoba diajukan.
EE : Error
elimination atau evaluasi dengan tujuan menemukan dan membuang kesalahan.
P2 : Situasi baru yang
diakibatkan oleh adanya evaluasi kritis atas solusi alternative dan tentatif terhadap
problema awal, sehingga timbul problem baru.
Skema tersebut di atas menggambarkan
suatu proses yang dasarnya bersifat umpan balik. Jadi bersifat tidak siklis
sebab P2 selalu lain dari pada P1. Bila gagal memecahkan masalah, teori yang
dicoba itu mengajukan sesuatu yang baru kepada kita tentang dimana letak
kesulitan dan bagaimana syarat-syarat yang harus dipenuhi dan karenanya
merupakan situasi problem. Proses yang digambarkan itu juga bersifat dialektis,
dalam arti Hegelian atau Marxian. Sebab metode problem solving memandang
kontradiksi sebagai sesuatu yang tak boleh diterima. Menerima kontradiksi
menurut Popper, menyebabkan kritik berhenti berfungsi dan dengan begitu membawa
kejatuhan ilmu.
Formula metode problem solving seperti
diuraikan di atas mengandung beberapa unsur gagasan Popper yang terpenting dan
oleh Popper metode ini sering digunakan untuk memberikan keterangan di banyak
bidang. Bahkan boleh dikatakan teori tentang problem solving menjelujuri
seluruh karya Popper, baik karya dalam metodologis maupun karya dalam
metafisis. Baik ketika aktif berjibaku dengan kelompok lingkaran Wina maupun
ketika berinteraksi dengan para ilmuan di Amerika, Jepang, serta Australia. Hal
ini sangat sesuai dengan sikap kritis yang dikembangkan oleh Popper pada setiap
ia berinteraksi dengan karya-karya ilmu pengetahuan sebagai pertanggung jawaban
sebagi ilmuan kritis yang selalu ingin menguji dan diuji.[8]
C.
Refleksi atas Pemikiran Karl Raimund Popper.
Bila memperhatikan cara kerja yang
begitu teliti dan cermatnya Popper, serta sikap keterbukaannya (open anded)
terhadap dunia keilmuan, maka hal yang patut kita tarik benang merahnya ialah
bahwa ilmu pengetahuan tidak bersifat mutlak (close) tidak kebal kritik
(Truth Claim) tetapi bersifat relatif dan partikularis dengan
asumsi akan ada pemikiran baru yang akan merevisi atau megklasifikasi setiap
hasil pernyataan serta simpulan pemikiran ilmu pengetahuan. Salah satu karakter
ilmu pengetahuan adalah menerima pengetahuan lain sebagai alat penguji atas kelemahan
prosedur, metode atau hasil temuan manusia.
Istilah Arkoun “on going`proces
serta on going formation), termasuk juga produk pemikiran Islam (teks
klasik) tidak bebas kritik, tidak berlaku sepanjang zaman dan terbuka untuk
dikaji (condition sine qua non) bila memungkinkan dilakukan dekontruksi
terhadap pemikiran-pemikiran yang dianggap mapan. Bahwa ilmu pengetahuan
merupakan produk manusia dari hasil trial and error (percobaan dan
salah) yang mengikuti perkembangan peradaban manusia, maka tidak ada istilah
statis, jumud, stagnan atau pintu ijtihad telah tertutup. Pintu ijtihad
pemikiran terbuka lebar, senyampang para ilmuan bersemangat untuk melaksanakan
riset, maka akan terlahir dinamika baru yang bersifat konstruktif.
Tidak ada otoritas dalam ilmu pengetahuan,
sebagai konsekuensinya ilmu pengetahuan terbebas dari kepentingan, terbebas
dari nilai, ramalan, pretensi dari manapun yang dapat merusak independensi
imajinasi dan ekspresi para ilmuan atau lembaga keilmuan. Apalagi upaya untuk mencampuradukkan
antara Preudo Sience ke dalam Science.[9]
BAB III
PENUTUP
Simpulan:
Karl Raimund Popper adalah seorang filsuf kontemporer yang sangat
berpengaruh terhadap bidang sains dan politik. Dalam pemikirannya mengenai
prinsip metodologi ilmu yaitu dia menolak metode induksi yang kenyataannya
bersifat valid, sehingga dia mengeluarkan prinsip falsifikasi (pembenaran dari
metode induksi) yaitu:
1.
Suatu
pengetahuan empirik/ilmiah dinyatakan benar, bila sistem tersebut dapat diuji (Falsifiabilitas)
dan bukan veriabilitas. Menurut Popper Falsifiabilitas adalah kriteria
demarkasi yang didasarkan pada suatu asimetri antara verifialitas dan
falsifiabilitas, sebab pernyataan universal tidak dapat berasal dari pernyataan
tunggal, sebaliknya dapat dikontradiksikan oleh penyataan singular.
2.
Metodologi
Falsifikasi harus meragukan suatu pengetahuan yang mungkin ada kesalahan dalam
mengamati. Maka dari itu untuk refutasi (penyangkalan) secara sistematis, maka
teori harus dirumuskan secara jelas sehingga membuka kemungkinan untuk
penyangkalan yang mungkin diajukan.
3.
Suatu
hepotesis atau sistem hipotesis mau diakui memiliki status sebagai hukum atau
teori ilmiah. Apabila ia akan menjadi bagian dari ilmu, maka suatu hepotesa
harus falsifabel, sebelum melangkah lebih jauh.
4.
Teori
harus dinyatakan dengan jelas dan cermat. Apabila suatu teori diajukan
sedemikian samar sehingga tidak jelas apa yang sebenarnya yang diinginkan, maka
bilamana diuji dengan observasi atau eksperimen lain, ia dapat
diinterpretasikan demikian rupa sehingga selalu konsisten dengan hasil
pengujian. Dengan cara demikian, ia dapat dibela dalam menghadapi falsifikasi.
Situasi yang serupa terdapat hubungan dengan ketelitian, makin teliti suatu
teori dirumuskan, semakin ia menjadi falsifiabel. Apabila kita menerima bahwa
makin falsifiabel suatu teori, makin baik.
5.
Dugaan-dugaan
spekulasi yang berani. Rahasia-rahasia ilmu akan berkembang maju dengan bantuan
kreatifitas dan mendasar. Semakin besar jumlah teori pendugaan dikonfrontasikan
dengan realitas, semakin besar jumlah kesempatan kemajuan yang penting dalam
ilmu.
DAFTAR PUSTAKA
Alfons Taryadi,
Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper Jakarta: Gramedia,
1991.
Ali Maksum, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2011.
Amin Muzzakir,
http://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/jender-and-politik/590-karl-popper-dan-masa-depan-masyarakat-terbuka-.html
diakses Sabtu 10 November 2013.
C. Verhaak
& R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1995.
Rizal Mustansyir & Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003.
[1]
Alfons
Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper (Jakarta:
Gramedia, 1991), h. 16
[2]
Ibid
[3]
Ali Maksum, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h.
220
[4]
C. Verhaak & R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 156
[5]
Rizal Mustansyir & Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), h. 118
[6]
Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper, op.
cit., h. 18.
[7]
Ibid, h. 19
[8]
Ibid, h. 20
[9]
Amin Muzzakir, http://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/jender-and-politik/590-karl-popper-dan-masa-depan-masyarakat-terbuka-.html
diakses Sabtu 10 November 2013, jam 17:00 Wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar