HUKUM ADAT DAN
REALITAS PENGHIDUPAN
Hukum adat merupakan endapan dari struktur masyarakat tradisional
yang mendasarkan diri atas pertukaran jasa atau tenaga kerja. Gotong royong
merupakan produk ekonomi jasa dan kerja rodi merupakan pertukaran antara uang
dan jasa. Demikian juga bawon yang merupakan balas jasa dalam bentuk natura
berupa padi. Pada waktu orang masih menumpuk padi, maka penumbukan padi pun
dibayar dengan sebagian dari beras hasil tumbukannya, di samping makan dan
tempat penginapan. Dalam ekonomi jasa, orang saling tergantung. Oleh karena
itu, timbul kesan seakan-akan orang suka tolong menolong bahkan dikatakan tanpa
pamrih. Dalam hal ini, ekonomi uang sudah mulai masuk di dalam masyarakat
pedesaan.
Di daerah Kecamatan Bruno, Kabupaten Purworejo terdapat kesukaran
dalam memungut Ipeda sehingga pada suatu ketika mendapat perhatian dari atasan.
Hal ini terjadi karena orang menjual tanahnya secara ayodan, yang dapat
berlangsung sampai 10 atau 20 tahun. Oleh karena itu, pemilik tanah tidak mau
membayar Ipeda karena dianggap bahwa tanaman di atas tanah itu bukan miliknya
dan dia tidak dapat pula menanaminya. Pemilik pohon juga tidak mau membayar
karena tanahnya bukan miliknya. Meskipun akhirnya dapat di atasi dengan
instruksi, tetapi realitas ini menunjukkan adanya benturan antara dua system
ekonomi dan antara dua system hukum, hukum Publik dan hukum adat. Pertemuan
antara keduanya terjadi di Sumatera, yaitu tanah untuk transmigrasi dan hak
ulayat. Demikian pula terjadi pertemuan antara hukum adat dengan Undang-Undang
dan Peraturan-peraturan tentang PMA. Dalam pertemuan-pertemuan atau benturan,
kalau ingin lebih dramatis semacam ini hukum adat selalu berada dalam posisi
yang menguntungkan.
Menurut William Isaac Thomas, sebelum orang mengadakan tindakan,
terlebih dahulu diadakan pengamatan dan pendalaman. Dalam hal ini, kerap kali
ada pertentangan antara definisi perseorangan dan definisi masyarakat,
khususnya masyarakat dalam arti sempit. Definisi perseorangan ditujukan kepada
kesenangan dan kemudahan. Definisi perseorangan ditujukan kepada kesenangan dan
kemudahan. Definisi perseorangan ditujukan kepada kesenangan dan kemudahan.
Definisi perseorangan ditujukan kepada stabilitas dan keamanan.
Dengan demikian, selalu terjadi pertentangan antara kepentingan
individu dan kepentingan masyarakat atau komunitas. Definisi perseorangan
tentang situasi yang sedang dihadapi, didasarkan pula kepada
pengalaman-pengalaman yang lampau, tetapi pengalaman yang terjadinya tidak
begitu lama seperti pengalaman yang digunakan oleh masyarakat. Khususnya dalam
hukum adat yang digunakan adalah pengalaman-pengalaman yang sudah agak lama,
sedangkan pengalaman individu terjadinya hanya sepanjang ingatannya. Jika
masyarakat tidak memberikan definisi yang jelas tentang situasi tertentu kalau
yang digunakan sebagai ukuran adalah pengalaman-pengalaman lama yang tidak
sesuai lagi dengan keadaan sekarang, maka kekuatan definisi ini tidak kuat.
Dengan demikian, definisi perseoranganlah yang kemudian merajalela. Hal ini
lebih-lebih akan terjadi jika sanksi masyarakat atau sanksi Negara terasa
sangat lemah. Hal ini dapat mengakibatkan perbuatan semena-mena. Di luar bidang
hukum adat, hal ini dapat dilihat setiap harinya di jalan-jalan besar, di mana
pengendara mobil tidak memperdulikan kepentingan orang-orang lain, demikian
pula dengan pengendara sepeda motor. Dalam hukum adat, hal ini dapat dilihat
dalam bidang tanah dan pewarisan. Dapat terjadi perbuatan semena-mena dari
individu, sedangkan masyarakatnya tidak dapat berbuat apa-apa.
Adapun nilai-nilai dalam hubungannya dengan hukum adat menurut
Kluckhohn ada dua tingkatan yaitu nilai-nilai primer dan nilai-nilai sekunder.
Nilai primer ialah pegangan hidup bagi suatu masyarakat. Sedangkan nilai
sekunder yaitu nilai-nilai yang berhubungan dengan kegunaan. Jika nilai-nilai
primer membicarakan tentang hal-hal yang abstrak, seperti kejujuran, keadilan,
keluhuran budi, dan sebagainya, nilai-nilai sekunder membicarakan hal-hal yang
konkret, misalnya dasar-dasar menerima keluarga berencana, bahkan hukum pada
umumnya lebih banyak ditujukan kepada nilai-nilai sekunder, yaitu memecahkan
persoalan yang sedang dihadapi secara konkret. Tentu saja hukum juga didasari
dengan nilai-nilai primer, tetapi dalam nilai sekunder sifatnya lebih nyata.
Teknologi berisikan nilai-nilai sekunder, dan timbulnya nilai sekunder ialah
sesudah penyaringan nilai primer.
Kemajuan yang dicapai oleh Jepang disebabkan oleh orang Jepang
mempertahankan nilai-nilai primernya, tetapi mengubah nilai-nilai sekundernya.
Di dalam memasarkan hasil produksi mereka, orang Jepang mempelajari nilai-nilai
primer dan sekunder dari masyarakat konsumen. Kita lihat saja pada lemari es
Jepang. Sebelum diperkenalkan pencairan bunga es secara otomatis, lemari es
Jepang mempergunakan kunci karena mengetahui bahwa anak-anak Asia bebas membuka
dan menutup lemari es sehingga lekas rusak. Demikian pula TV Jepang diberi
sakelar otomatis, jika ditutup secara otomatis mati karena mengetahui bahwa
orang-orang Asia, termasuk Indonesia tidak akan lupa menutup TV, tetapi lupa
mematikan listriknya.
Jika kita ingin memajukan studi tentang hukum adat, hal itu tidak
berarti kita akan melupakan nilai-nilai primer yang dijadikan pegangan hidup.
Tanpa memiliki nilai-nilai primer, masyarakat akan kehilangan pegangan hidup
dan mudah dikacaukan oleh keadaan luar. Dalam pada itu, kita harus
memperhatikan nilai-nilai sekunder yang berubah. Orang menghadapi mesin, orang
menghadapi listrik yang ganas, jika tidak memperhatikan norma-norma standar
dalam menghadapi mesin dan listrik. Kita lihat juga pertumbuhan
perusahaan-perusahaan konfeksi dan perusahaan modern di tengah-tengah
masyarakat tradisional. Kebutuhan hukumnya sudah berbeda dengan masyarakat
tradisional.
Kita lihat perkembangan KUD yang merupakan hasil dari ekonomi modern.
Maka cara-cara manajemen tradisional tidak dapat diterapkan pada
koperasi-koperasi. Pernah ada sebuah koperasi yang menerapkan tanggung jawab
renteng daripada debitur. Seperti kita ketahui bahwa dalam hidup sehari-hari,
tanggung jawab renteng ini diterapkan pada supir-supir colt dan tukang becak,
seseorang harus bertanggung jawab atas teman-temannya. Dalam koperasi ini para
debitur dikumpulkan dalam kelompok-kelompok, tenpat para anggota kelompok harus
saling menanggung jika kreditnya tidak dapat kembali. Ternyata system ini hanya
dapat diterapkan sampai jumlah modal tertentu. Setelah melampau batas ini,
koperasi mengalami kebangkrutan.
Demikian pula dikalangan orang-orang yang mempelajari koperasi,
terhadap semacam dalil bahwa KUD yang dikelola secara tradisional yaitu tidak
ada pemisahan tegas antara milik dan dasarnya ingatan, hanya dapat menyerap
maksimum modal sebesar Rp 2 juta. Kebiasaan-kebiasaan dalam KUD perlu diteliti
secara mendalam dan ini bukan hanya tugas ekonom atau sarjana sosial (sosiologi),
tetapi juga tugas para sarjana hukum. Kebiasaan-kebiasaan dalam bidang
perdagangan, perbankan, koperasi dan lain-lain merupakan suatu objek yang
mungkin dapat dipelajari untuk memperluas liputan hukum adat dalam dunia modern
yang lebih cangkih.
Sumber : M.
Syamsudin, dkk, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset, 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar