BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Mu’awiyah nama lengkapnya adalah
Mu’awiyah bin Abi Sofyan bin Harb bin Umayah bin Harb bin Abdi Syams bin Abd Manaf Al-Quraisyi. Ibunya
bernama Hindun binti Utbah bin Rabi’ah bin Abd Syams bin Abd Manaf. Dari silsilah
inilah secara geneologis terjadi pertemuan antara nenek moyang bapaknya dengan
nenek moyang ibunya yaitu pada Abd Syams. Mu’awiyah yang dijuluki Abu Abd
Rohman dilahirkan kira-kira pada tahun ke-5 sebelum kenabian (606 M).
Mu’awiyah dan bapaknya masuk Islam pada
peristiwa penaklukan kota Mekah. Mu’awiyah masuk Islam berusia kurang lebih 23
tahun. Pengakuan Mu’awiyah sendiri bahwa ia menjadi atau muslim jauh sebelum
penaklukan kota Mekah, yaitu pada Yaum Al-Qadla. Ketika Rasulullah Saw dan para
sahabat melakukan umrah, setelah perjanjian Hudaibiyah tetapi keislamannya disembunyikan karena
takut mendapat ancaman dari keluarganya
terutama ibunya, bahwa kalau dia masuk Islam pasokan makanan, warisan dan
sebagainya akan dihentikan oleh keluarganya.
Setelah keislamannya Mu’awiyah mendapat
kepercayaan dari Rasulullah Saw untuk
menjadi penulis wahyu. Jabatannya sebagai penulis wahyu ini sebagai penghargaan
atas keluarga Bani Umayah.
Dari latar belakang di atas penulis
tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai Mu’awiyah bin Abu Sofyan dan
pemerintahan Bani Umayah. Sehingga untuk lebih jelasnya akan dibahas dan
dipaparkan pada bab selanjutnya.
B.
Rumusan Masalah
- Bagaimana karakteristik/ sifat Mu’awiyah dalam pemerintahannya?
- Apa saja prestasi/ kemajuan yang diraih pada pemerintahan Bani Umayah?
- Apa saja penyebab runtuhnya pemerintahan Bani Umayah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Muawiyah (661-680)
Dengan meninggalnya Khalifah Ali, maka bentuk pemerintahan
kekhalifahan telah berakhir, dan di lanjutkan dengan bentuk pemerintahan
kerajaan (Dinasti), yakni kerajaan Bani Umayah (Dinasti Umayah). Daulat Bani
Umayah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayah.[1]
Muawiyah pendiri dinasti dinasti Umayah, adalah anak Abu Sufyan.
Muawiyah memperoleh kekuasaan tetapi kecuali di Siria dan Mesir, dia memerintah
semata-mata dengan pedang. Didalam dirinya digabungkannya sifat-sifat seorang
penguasa, politikus, dan administrator. Muawiyah adalah seorang peneliti sifat
manusia yang tekun dan memperoleh wawasan yang tajam tentang pikiran manusia.
Dia berhasil memanfaatkan para pemimpin, administrator dan politikus yang
paling ahli pada waktu itu. Ia adalah seorang ahli pidato ulung.[2]
B. Basis
Kekuatan Muawiyah
Muawiyah dapat menduduki kursi kekuasaan dengan berbagai cara,
siasat, politik dan tipu muslihat yang licik, tidak atas pilihan dari kaum
muslimin sebagaimana dilakukan oleh para khalifah. Dengan demikian, berdirinya
Daulat Bani Umayah bukan berdasar pada hukum musyawarah atau demokrasi. Jabatan
raja menjadi pusat yang turun temurun, dan Daulat Islam berubah sifatnya
menjadi daulat yang bersifat kerajaan (Monarci).[3]
Muawiyah pada masa pemerintahanya telah bertindak mewariskan
seorang Muslim dari seorang kafir tetapi tidak mewariskan seorang kafir dari
seorang Muslim. Ketentuan yang berupa bid’ah (sesuatu yang diada-adakan dalam
agama). Ibnu Katsir berkata bahwa Muawiyah juga telah mengganti Sunnah Rasul
Saw. Dan para Khulafaur Rasyidun
dalam urusan diyat. Sebelum itu, diyat (denda) pembunuhan terhadap seorang
non-Muslim yang telah mengikat perjanjian dengan negara Islam, jumlahnya sama
dengan diyat seorang Muslim. Tapi Muawiyah menguranginya sampai setengahnya dan
ia mengambil setengahnya yang lain bagi dirinya sendiri.[4]
Keberhasilan Muawiyah adalah Perang Saudara Pertama dan pendirian
dinasti kekuasaan Umayah bukan hanya akibat dari terjadinya pembunuhan terhadap
Ali. Dari semua Gubernur Suriah memiliki keuntungan-keuntungan tertentu yang
tidak di miliki saingannya, dan nilai yang mungkin akan memberinya kemenangan
seandainya pertikaian di selesaikan di medan pertempuran. Paling tidak kalau di
banding dengan Muawiyah. Dia seorang pejuang yang tangguh, walau cerita-cerita
mengenai kegarangannya dengan pedang ketika perang Badar.[5]
Ketika Muawiyah menolak mengakui Ali sebagai khalifah dan kemudian
mengaku jabatan itu bagi dirinya, dia mewakili kepentingan-kepentingan Bani
Umayah, kepentingan-kepentingan dari mereka yang memiliki keterampilan
administratif yang sangat diperlukan dalam kemaharajaan yang cepat meluas itu.
Dia juga di dukung oleh orang Arab Suriah yang selama beberapa tahun telah
merasakan pemerintahannya yang baik. Kebanyakan orang Arab ini bukanlah
orang-orang yang berasal dari gurun, tetap berasal dari keluarga-keluarga yang
menetap di Suriah sejak satu atau dua generasi. Dengan demikian mereka jauh lebih
stabil dan andal dibanding orang-orang pengembara yang mengikuti Ali. Kekuasaan
orang-orang Arab Suriah ini adalah faktor penting yang membantu Muawiyah
Muawiyah sendiri memiliki kemampuan menonjol sebagai penguasa. Dia
dilaporkan memiliki sampai tingkat yang tinggi sifat hilmi yang dikenal orang-orang Mekah. Berbagai terjemahan
telah diberikan bagi kata ini, yang
beberapa diantaranya sedikit menyesatkan. Terjemahan yang paling dekat mungkin
adalah ‘ketenangan’, tetapi konsepsinya paling baik di pahami dengan melihat
keburukan-keburukan yang berlawanan dengan kata itu. Kata itu ialah lawan dari
tergesa-gesa dan kurang piker serta bertindak pada saat dipengaruhi oleh emosi.
Kata itu berarti tidak mudah di bangun, tetapi menimbang konsekuensi dan implikasi
suatu tindakan sebelum benar-benar bertindak. Dalam satu aspek hal itu adalah
suatu kebijakan dari seorang penguasa yang cerdik, tetapi dalam aspek lain hal
itu menggambarkan kematangan watak. Muawiyah memiliki semua ini, dan pada saat
yang bersamaan dia memiliki keterampilan praktis, dalam mengendalikan
orang-orangnya. Karena itu dia sanggup mengatasi kesulitan-kesulitan yang
timbul dalam kerajaan yang baru mulai tumbuh yang di perintahnya, dan berhasil
menyelesaikan masalah-masalah yang merepotkan Usman dan Ali.
Dia juga bijaksana dalam memilih bawahan-bawahan untuk
jabatan-jabatan penting. Waupun pemerintahan Muawiyah bebas dari
pergolakan-pergolakan besar, terjdi kerusuhan-kerusuhan kecil. Beberapa
diantaranya oleh kelompok-kelompok orang yang sebut Khawarij, yang
pandangan-pandangannya serupa dengan pandangan-pandangan kelompok yang telah
mengencam dan menentang Ali. Mengenai masalah dalam khilafah sendiri di bawah
Muawiyah hanya ada satu hal kecil yang perlu disebutkan, yaitu masalah
pewarisan jabatan. Di Arab pra-Islam tidak ada dasar hukum bagi pewaris jabatan
pada putra tertua.[6]
C. Keberhasilan
Militernya
Setelah mengukuhkan kedudukannya didalam negri, Muawiyah menganut
kebijakan luar negeri yang kuat. Perluasan kekuasaan muslim yang besar terjadi dibawah
kepemimpinannya. Dia adalah organisator ulung bagi kemenangan-kemenangan.
Menurut Prof. Hitty, pemerintah Muawiyah tidak hanya membuktikan konsolidasi,
tetapi peluasan wilayah kekhalifahan. Pada masa kekhalifahan Muawiyah, kemajuan
besar diperoleh di Timur. Orang-orang dari Heart memberontak, dan mereka
ditindas pada tahun 661 M. Dua tahun kemudian Kabul juga diserbu.
Operasi-operasi yang sama dilancarkan terhadap Ghazna, Balk, dan Kndahar serta
benteng-benteng lainya. Pada tahun 667 M Bukhara direbut, dan dua tahun
kemudian Samarkhand dan Tirmid diduduki. Di Timur jauh, tentara muslim hanya di
bawah pimpinan Mahalib, anak Abu Sufra, maju sampai ketepi sungai Indus.
Demkian Muawiyah menggabungkan seluruh wilayah Asia Tengah sampai ke
daerah-daerah pinggiran Anak Benua Indo-Pakistan ke dalam kekuasaanya. Muawiyah
tidak hanya menjadi bapak suatu dinasti, tetapi juga pendiri kedua setelah
Umar.
Invasi pertama ke Afrika Utara di lakukan pada masa kekhalifahan
Umar. Dibawah Usman, kekuasaan-kekuasaan Arab telah maju sampai ke Barce.
Setelah kekalahan Gregorius, prefektus, Bizantium, dalam pertempuran yang patut
dikenang tidak jauh dari Carthago kono, bangsa Romawi membayar upeti tahunan
kepada bangsa Arab yang kemudian menarik diri dari negri itu dengan hanya
meninggalkan Garnizun-garnizun kecil disana-sini.
Gubernur-gubernur Romawi menduduki kembali wilayah-wilayah yang
ditinggalkan itu, tetapi penindasan-penindasan dan pemerasan-pemerasan mereka
tidak tertahankan sehingga tidak lama kemudian para penduduk asli menyerbu
bangsa Arab untuk membebaskan mereka dari penindasan orang-orang Bizantium.
Muawiyah meluluskan seruan mereka itu, dan suatu pasukan dibawah pimpinan Uqbah
yang terkenal, anak nafe, menyerang Ifrikia, mematahkan semua perlawanan,
menundukkan negri itu menjadi jajahan Arab.[7]
D.
Pengepungan Konstantinopel
Pada tahun 48 H
Muawiyah mempersiapkan pasukan tentara untuk menaklukan konstantinopel melalui
darat dan laut. Komandan pasukan tentara kaum muslimin adalah Sufyan bin ‘Auf.[8]
Peristiwa yang paling menyolok didalam kekhalifahan Muawiyah adalah pengepungan
konstatinopel. Suatu kesatuan ekspedisi di bawah pimpinan Yazid berlayar menuju
Dardanela dan berlabuh disana. Selama enam tahun umat Islam mengepung
konstantinopel, ibu kota kerajaan Kristen, dan selama enam tahun keberanian
bangsa Romawi dan benteng kota yang tidak bisa direbut itu membuat mereka dapat
bertahan. Karena di tekan dari mana-mana, muawiyah memerintahkan penarikan
pasukan dari pengepungan itu.
E.
Pemerintahan
Khalifah Muawiyah
mendirikan suatu pemerintahan yang terorganisasi dengan baik, “Situasi ketika
Muawiyah menjadi penguasa mengandung banyak kesulitan. Pemerintahan imperiom
itu didesentralisasikan, dan kacau serta munculnya anarkisme dan
ketidakdisiplinan kaum nomad yang tidak lagi dikendalikan oleh ikata agama dan
moral menyebabkan ketidakstabilan dimana-mana dan kehilangan kesatuan. Ikatan
teokrasi yang telah mempersatukan kekhalifahan yang lebih dulu, tanpa dapat
dihindari telah dihancurkan oleh pembunuhan Usman, oleh perang saudara sebagi
akibatnya, dan ada pemindahan ibu kota dari Madinah. Oligarki di Mekkah
dikalahkan dan dicemarkan. Yang menjadi masalah bagi Muawiyah ialah mencari
suatu dasar baru bagi kepaduan imperium itu. Karena itulah ia mengubah kedaulatan
agama menjadi Negara sekoler. Akan tetapi perlu diingat bahwa unsur agama
didalam pemerintahan tidak hilang sama sekali. Dia mematuhi formalitas agama
dan kadang-kadang menunjukkan dirinya sebagai pejung Islam.
Muawiyah
melaksanakan perubahan-perubahan besar dan menonjol didalam pemerintahan negara
itu. Dasar yang sebenarnya dari pemerintahannya terdapat dalam angkatan
daratnya yang kuat dan efesien. Dia dapat mengandalkan pasukan orang-orang
Siria yang taat dan setia, yang tetap berdiri disampingnya dalam keadaan yang
paling berbahaya sekalipun. Dengan bantuan orang-orang Siria yang setia,
Muawiyah berusaha mendirikan pemerintahan yang stabil menurut garis-garis
pemerintahan Bizantium. Dia bekerja keras bagi kelancaran sistem yang untuk
pertama kali digunakannya itu.
Muawiyah merupakan
orang pertama didalam Islam yang mendirikan suatu departemen pencatatan
(Diwanul-khatam). Setiap peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah harus disalin
didalam suatu register, kemudian yang asli harus disegel dan dikirimkan ke
alamat yang dituju. Sebelumnya, yang dikirimkan adalah perintah-perintah yang
terbuka. Pernah terjadi khalifah memberikan 1000 dirham kepada seseorang dari
pembendeharaan provinsi. Surat yang berisi perintah itu dicegat ditengah jalan,
dan jumlahnya di ubah dengan angka yang lebih tinggi.[9]
F.
Masa Umayah di Timur (661-680)
Hampir semua
sejarawan membagi Dinasti Umayah (Umawiyah) menjadi dua, yaitu pertama, Dinasti
Umayah yang dirintis dan didirikan oleh Muawiyah ibn Abi Sufyan yang berpusat di
Damaskus (Suria). Fase ini berlangsung sekitar satu abad dan mengubah sistem
pemerintahan dari sistem khilafah pada sistem mamlakat (Kerajaan atau Monarki)
dan kedua, Dinasti Umayah di Andalusia (Siberia) yang pada awalnya merupakan
wilayah taklukan Umayah dibawah pimpinan seorang Gubernur pada zaman Walid Ibn
Abd Al-Malik, kemudian diubah menjadi kerajaan yang terpisah dari kekuasaan
Dinasti Bani Abbas setelah berhasil menaklukkan Dinasti Umayah di Damaskus.
G. Prestasi Pemerintahan Umayah
Perkembangan daerah umat Islam pada
masa Umayah diikuti pula dengan kemajuan diberbagai bidang. Pembangunan
berjalan pesat, baik dalam segi dakwah maupun pembangunan material. Umat Islam
memahami Al-Qur’an yang merupakan pedoman hidup. Dari Al-Qur’an umat Islam
menjabarkan berbagai cabang ilmu yang terkandung didalamnya.
Adapun kemajuan-kemajuan atau
prestasi yang diraih umat Islam yaitu:
1.
Kemajuan
dibidang dakwah
Umat Islam mampu menyebarkan agama
sampai ke Tiongkok, India, Maroko dan Spanyol (Andalusia), di samping umat
Islam menyiarkan agama di dalam negeri sendiri dengan mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan, madrasah, membangun mesjid, menulis ilmu-ilmu agama
dan lain-lainnya. Pada masa Umayah di mulai pelebaran mesjid Nabawi, mesjid
Jami’ Umar, mesjid Damaskus dan lain-lainnya.
2.
Kemajuan
di bidang ilmu
Ilmu berkembang sangat pesat,
berbagai jenis ilmu ditemukan baik yang bersumber dari Al-Quq’an maupun ilmu
yang bersumber dari akal. Ilmu-ilmu yang berkembang pesat seperti ilmu qira’at,
ilmu tafsir, ilmu hadis, tata bahasa Arab, ilmu kimia, ilmu kedokteran, ilmu
sejarah, ilmu seni arsitektur dan berdiri juga berbagai macam sekolah.
3.
Kemajuan
di bidang pemerintahan
Daerah umat Islam pada pemerintahan
Umayah sangat luas. Karenanya sangat perlu system pemerintahan yang maju, maka
dibentuklah berbagai pegawai. Di dirikan kota-kota pusat pemerintahan,
pusat-pusat pengadilan dan dibentuk pula polisi-polisi penjaga keamanan dan
lain-lain.
4.
Kemajuan
di bidang material
Khalifah-khalifah Umayah berhasil
menggali sumber pendapatan Negara dari berbagai sektor pertanian, perdagangan,
dan industry. Karena itu, pemerintah mampu membangun berbagai gedung yang
sangat indah, gedung sekolah, kantor-kantor, istana dan bangunan lainnya.
5.
Kemajuan
dibidang seni
Umat Islam sangat mencintai yang
indah, maka pada masa khalifah-khalifah Umayah, masalah seni tidak ketinggalan.
Bahkan mengalami kemajuan yang sangat pesat sekali. Bangunan-bangunan mesjid
sangat indah, terbuat dari marmar, batu pualam dan dilengkapi dengan kaligrafi
Arab.[10]
H. Runtuhnya Pemerintahan Umayah
Secara Revolusioner, Daulah Abbasiyyah (750-1258)
menggulingkan kekuasaan Daulah Umayyah, kejatuhan Daulah Umayyah disebabkan
oleh beberapa faktor, diantaranya meningkatnya kekecewaan kelompok Mawali
terhadap Daulah Umayyah, pecahnya persatuan antarasuku bangsa Arab dan
timbulnya kekecewaan masyarakat agamis dan keinginana mereka untuk memilki
pemimpin karismatik. Sebagai kelompok penganut Islam baru, mawali diperlakukan
sebagai masyarakat kelas dua, sementara bangsa Arab menduduki kelas bangsawan.
Golongan agamis merasa kecewa terhadap pemerintahan bani Umayyah karena corak
pemerintahannya yang sekuler. Menurut mereka, Negara seharusnya dipimpin oleh
penguasa yang memiliki integritas keagamaan dan politik. Adapun perpecahan
antara suku bangsa Arab, setidak-tidaknya ditandai dengan timbulnya fanatisme
kesukuan Arab utara, yakni kelompok Mudariyah dengan kesukuan Arab
Selatan, yakni kelompok Himyariyah. Disamping itu, perlawanan dari
kelompok syi`ah merupakan faktor yang sangat berperan dalam menjatuhkan Daulah
Umayyah dan munculnya Daulah Abbasiyyah.
Namun
secara garis besar faktor yang menyebabkan Daulah Bani Umayyah lemah dan
membawanya kepada kehancuran antara lain adalah :
1. Sistem pergantian khalifah melalui
garis keturunan adalah merupakan sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih
menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem
pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat
dikalangan anggota keluarga istana.
2. Latar belakang terbentuknya Daulah
Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di
masa Ali. Sisa-sisa kaum Syi`ah (pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi
gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti dimasa awal dan akhir maupun secara
tersembunyi seperti dimasa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan
terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3. Pada masa kekuasaan bani Umayyah,
pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani
Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan
ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk
menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan
Mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa
tidak puasa karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah
dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
4. Lemahnya pemerintahan Daulat Bani
Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah dilingkungan istana sehingga
anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka
mewarisi kekuasaan, disamping itu, golongan agama yang kecewa karena perhatian
penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5. Penyebab langsung tergulingnya
kekuasaan Daulah Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang
dipelopori oleh keturunan al-Abbas Ibn Abd. Al-Muthalib. Gerakan ini
mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi`ah dan kaum Mawali
yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.[11]
BAB III
PENUTUP
Simpulan :
Daulat Bani Umayah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb
bin Umayah. Muawiyah bin Abu Sufyan adalah
seorang peneliti sifat manusia yang tekun dan memperoleh wawasan yang tajam
tentang pikiran manusia. Dia berhasil memanfaatkan para pemimpin, administrator
dan politikus yang paling ahli pada waktu itu. Muawiyah sendiri memiliki
kemampuan menonjol sebagai penguasa. Dia juga bijaksana dalam memilih
bawahan-bawahan untuk jabatan-jabatan penting. Walaupun pemerintahan Muawiyah
bebas dari pergolakan-pergolakan besar, terjadi kerusuhan-kerusuhan kecil.
Adapun kemajuan-kemajuan atau prestasi yang diraih umat Islam
yaitu:
1.
Kemajuan
dibidang dakwah
2.
Kemajuan
di bidang ilmu
3.
Kemajuan
di bidang pemerintahan
4.
Kemajuan
di bidang material
5.
Kemajuan
dibidang seni
Namun secara garis besar faktor yang menyebabkan Daulah Bani
Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran antara lain adalah :
1. Sistem pergantian khalifah melalui
garis keturunan
2. Latar belakang terbentuknya Daulah
Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di
masa Ali.
3. Pada masa kekuasaan bani Umayyah,
pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan
(Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing.
4. Lemahnya pemerintahan Daulat Bani
Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah dilingkungan istana sehingga
anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka
mewarisi kekuasaan, disamping itu, golongan agama yang kecewa karena perhatian
penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5. Penyebab langsung tergulingnya
kekuasaan Daulah Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang
dipelopori oleh keturunan al-Abbas Ibn Abd. Al-Muthalib. Gerakan ini
mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi`ah dan kaum Mawali
yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.
DAFTAR PUSTAKA
Misbah, Ma’ruf, Sejarah
Kebudayaan Islam, Semarang: CV. Wicaksana, 1994.
Mahmudunnasir,
Syed, Islam Konsep dan Sejarahnya,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Al-Maududi, Abul A’la, Kekhalifahan
dan Kerajaan, Bandung: Mizan, 1998.
Wati, W.
Montgomery, Kejayaan Islam: Kajian Kritis
dari Tokoh Orientalis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.
Hasan, Ibrahim, Sejarah dan
Kebudayaan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2001.
Yatim, Badri, Sejarah
Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Cet. XII, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2001.
[1]
Ma’ruf Misbah, Sejarah Kebudayaan Islam,
(Semarang: CV. Wicaksana, 1994) h. 20-21
[2]
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsep dan Sejarahnya,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994) h. 203
[3]
Ma’ruf Misbah, Sejarah Kebudayaan Islam,
(Semarang: CV. Wicaksana, 1994) h. 21
[4]
Abul A’la Al-Maududi, Kekhalifahan dan
Kerajaan, (Bandung: Mizan, 1998) h. 223-224
[5]
W. Montgomery Wati, Kejayaan Islam:
Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990) h. 15
[6]
W. Montgomery Wati, Kejayaan Islam:
Kajian Kritis dari Tokoh Oreintalis, (Yogyakarta: Tiara wacana, 1990), h.
18-20
[7]
Syed Mahmudunnasir, Islam konsep dan
Sejarahnya (Bandung: Rosda Karya). h. 174
[8]
Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan
Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2001). h.
8
[9]
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsep dan
Sejarahnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994) h. 204-205
[10]
Ma’ruf Misbah, Sejarah Kebudayaan Islam,
(Semarang: CV. Wicaksana, 1994) h. 29-30
[11]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II,
Cet. XII, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar