BAB
I
PENADHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum
adalah suatu peraturan yang harus ditaati. Adanya sebuah hukum sangat
bermanfaat bagi keteraturan suatu kelompok. Sebab dengan adanya hukum maka
seseorang tidak akan berani untuk berbuat sesuka hati. Dalam kehidupan sering
kali kita menjumpai, atau melihat tindakan yang menyalahi akan aturan. Dalam
hal ini kita sebagai orang yang peduli dengan lingkungan berhak untuk
mengingatkan seseorang yang menyalahi aturan tersebut. Agar dikemudian hari
sesorang tersebut tidak lagi melakukannya.
Kehidupan
yang aman, tertib, damai merupakan dambaan semua orang. Apalagi kita sebagai
warga negara Indonesia, pastilah tentu menginginkan kehidupan yang tenang. Oleh
karena itu, dibutlah peraturan untuk menertibkannya. Dalam hal ini banyak
sekali negara telah membuat peraturan untuk seluruh warga negaranya. Yang
menjadi pertanyaannya adalah, sudahkaah kita sebagai warga negara Indonesia
menjalankan peraturan yang telah dibut tersebut ? Jawabnya, ada pada diri kita
masing-masing sebagai warga negara.
Dalam
benak kita sering kali berfikir, untuk apa kita mentaati peraturan, sedang
banyak para petinggi negara tidak menjalankanya ? Pemikiran seperti ini
hendaklah dibuang sejauh mungkin. Karena akibat dari perbuatan kita itu
bukanlah orang lain yang akan mendapatkannya, melainkan diri kita sendiri.
Jikalau kita taat pada peraturan, niscaya orang lain merasa aman ketika berada
di dekat kita. Akan tetapi sebaliknya, apabila kita sering kali melanggar
peraturan, maka orang lain pun enggan untuk dekat dengan kita, karena merasa
tidak merasa aman, dengan ulah kita yang sering melanggar akan peraturan.
Banyak
orang yang tidak menyadari akan pentingnya sebuah peraturan tersebut. Telah
terbukti dengan banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang tak
bertanggungjawab. Akan tetapi aneh sungguh, ketika orang yang melanggar
peraturan tersebut akan di kenakan sanksi oleh para penegak hukum, mereka malah
mengelak dengan beraneka ragam-macam alasan untuk tidak dijatuhkan sanksi
terhadap mereka. Padahal sanksi itu sangatlah beraati bagi yang melanggar
aturan, tujuannya adalah bukan semata-mata untuk menyakiti mereka, melainkan
memberikan epek jera bagi para pelakunya. Putusan tentang pemberian sanksi dan
sebagainya, merupakan dari hasil sidang yang dilakukan oleh para penegak hukum
yang bersangkutan.
Dari
paparan di atas memberikan sedikit wawasan kepada kita, bahwa setiap perbuatan
yang kita lakukan pasti menimbulkan akibat pada diri kita sendiri. Apalagi
seandainya kita melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh negara. Beranjak
dari latar belakang inilah, saya mencoba menyajikan sebuah makalah yang
berjudul “EKSEKUSI” yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah “ Hukum
Acara Perdata di Peradilan Agama” bapak: Dr. H. Akhmad Sukris Sarmadi, MH
B. Rumusan Maslah
1. Apa difinisi putusan ?
2. Bagaimana perihal menjalankan putusan
hakim (eksekusi) ?
3. Berapa terbagi kekuatan putusan ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi Putusan
Setelah hakim mengetahui duduk
perkara yang sebenarnya, maka pemeriksaan tehadap perkara dinyatakan selesai.
Kemudian di jatuhkan putusan. Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh
hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapakan di
persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara
atau sengketa antara para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut
putusan, melahirkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis)
tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum di ucapkan di persidangan oleh
hakim. Putusan yang diucapkan dipersidangan (uitspraaak) tidak boleh berbeda
dengan yang tertulis (vonis). Mahkamah Agung dengan surat edarnya no. 5/1959
tanggal 20 April 1959 dan no. 1/ 1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstruksikan
antara lain agar pada waktu putusan diucapkan konsep harus sudah sudah selesai.
Sekalipun maksud surat edaran ialah mencegah hambatan dalam penyelesaian
perkara, tetapi dapat dicegah pula adanya perbedaan isi putusan yang diucapkan
dengan yang tertulis. Kalau ternyata ada perbedaan antara yang diucapkan dengan
yang tertulis maka yang sah adalah yang diucapkan lahirnya putusan itu sejak
diucapkan. Tetapi disini ialah pembuktian bahwa yang diucapkan berbeda dengan
yang ditulis. Oleh karena itu setiap berita acara sidang seyogyanya harus sudah
selesai sehari sebelum berikutnya atau paling lama satu minggu sesudah sidang
dan setiap putusan yang akan dijatuhkan sudah harus ada konsepnya.[1]
.
B. Perihal Menjalankan Putusan Hakim (eksekutorial)
Pada
azasnya suatu putusan Hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti yang
dapat dilaksanakan. Pengecualiannya ada, yaitu apabila suatu putusan dijatuhkan
dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu sesuai dengan pasal 180
H.I.R. Perlu juga dikemukakan, bahwa tidak semua putusan yang sudah mempunyai
kekuatan pasti harus dilaksanakan, karena yang perlu dilaksanakan hanyalah
putusan-putusan yang bersifat condemnatoir, yaitu yang mengandung perintah
kepada suatu pihak untuk melakukan satu perbuatan. [2]
Cara
pelaksanaan putusan Hakim diatur dalam pasal 195 sampai dengan 208 H.I.R.
Sehubungan dengan hal ini dikemukakan, bahwa pasal 209 sampai dengan 222 H.I.R.
sesungguhnya juga mengatur perihal cara pelaksanaan putusan, khusunya perihal
sandera, akan tetapi pasal-pasal tersebut berdasarkan surat edaran Mahkamah
Agung No. 2/ 1964 tanggal 22 januari 1964 juncto S.E M.A No. 04/ 1975 tanggal 1
Desember 1975, dibekukan, artinya tidak diberlakukan dalam peraktek. Mahkamah
Agung berpendapat, bahwa sandera bertentangan dengan salah satu falsafah Negara
Indonesia, ialah bertentangan dengan sila keperimanusiaan, salah satu sila
pancasila. Oleh karena itu melalui surat edaerannya tersebut di atas. Sandera
dilarang untuk diberlakukan (lihat putusan Mahkamah Agung tanggal 6 Pebruari 1975
No. 951 K/Sip/1974, temuat dalam “DIAN YUSTISIA”, Pengadilan tinggi bandung
1978, halaman 378-382). Putusan dilaksanakan dibawah pimpinan Ketua pimpinan, Ketua
Pengadilan Negeri yang mula-mula memutus perkara tersebut. Pelaksanaan dimulai
dengan menegur pihak yang kalah dalam delapan hari memenuhi putusan tersebut
dengan suka rela. Jika pihak yang dikalahkan itu tidak mau melaksanakan putusan
itu dengan suka rela, maka baru pelaksanaan yang sesungguhnya di mulai.
Ada
tiga macam eksekusi yang dikenal oleh Hukum Acara Perdata, yaitu:
(a) Eksekusi sebagaimana yang diatur dalam
pasal 197 H.I.R. dengan seterusnya, di mana seseorang dihukum untuk membayar
sejumlah uang.
(b) Eksekusi sebagaimana yang di atur dalam
pasal 225 H.I.R. di mana seseorang dihukum untuk melaksanakan suatu perbuatan.
(c) Eksekusi Riil, yang dalam praktek banyak
dilakukan akan tetapi tidak di atur dalam H.I.R. [3]
C. Kekuatan Putusan
HIR
tidak mengatur tentang kekuatan putusan hakim. Putusan mempunyai 2 macam
kekuatan : kekuatan mengikat, dan kekuatan eksekutorial
atau kekuatan untuk dilaksanakan.
1. Kekuatan Mengikat
Untuk
dapat melaksanakan atau merealisir suatu hak secara paksa diperlukan suatu
putusan pengadilan atau akta otentik yang menetapkan hak itu. Suatu putusan
pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan
menetapkan hak atau sengketanya kepada pengadilan atau Hakim untuk diperiksa
atau diadili, maka hal ini mengandung arti bahwa pihak-pihak yang bersangkutan
akan tundukdan patuh pada putusan yang dijatuhkan. Putusan yang telah dijatuhkan
itu haruslah dihormati kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak boleh
bertindak bertentangan dengan putusan.[4]
Jadi
putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat: mengikat kedua belah pihak (ps,
1917 BW). Terikatnya para pihak kapada putusan menimbulkan beberapa teori yang
hendak mencoba memberi dasar tentang kekuatan mengikat daripada putusan. [5]
a. Teori hukum Materiil
Menurut
teori ini maka kekuatan mengikat daripada putusan yang lazimnya disebut “geza
van gewijsde” mempunyai sifat hukum materiil oleh karena mengadakan
perubahan terhadap wewenang terhadap dan kewajiban keperdataan: menetapkan, menghapuskan atau mengubah.
Menurut teori ini putusan itu dapat menimbulkan atau meniadakan hubungan
hukum. Jadi putusan merupakan sumber materiil. Suatu tuntutan atau pelunasan
hutang dari penggugat yang dikabulkan oleh pengadilan menyebabkan penggugat
menjadi kreditur, sekalipun putusannya belum tentu benar. Demikian pula kalau
pengadilan mengabulkan tuntutan tentang hak milik, maka karena putusan
penggugat menjadi pemilik. Sebaliknya tuntutan untuk membayar sejumlah uang
ditolak oleh pengadilan itu berarti bahwa tuntutanya batal. Disebut sebagai ajaran
hukum materiil karena memberi akibat yang bersifat hukum materiil pada
putusan. Mengingat bahwa putusan itu hanya mengikat para pihak dan tidak
mengikat pihak ketiga, kiranya teori ini tidaklah tepat. Ajaran ini tidak
memberi wewenang untuk mempertahankan hak seseorang terhadap pihak ketiga.
Ajaran ini sekarang telah lama ditinggalkan. [6]
b. Teori Hukum Acara
Menurut
teori ini putusan bukanlah sumber hukum materiil, melainkan sumber daripada
wewenag prosesuil. Siapa yang dalam suatu putusan diakui sebagai pemilik, maka
ia dengan sarana prisesuil terhadap lawannya dapat bertindak sebagai pemilik.
Baru apabila undang-undang mensyaratkan adanya putusan untuk timbulnya keadaan
hukum baru, maka putusan itu mempunyai arti hukum materiil. Akibat putusan itu
bersifat hukum acara, yaitu diciptakannya atau dihapuskan wewenang dan
kewajiban prosesuil. Ajaran ini sangat sempit, sebab suatu putusan bukanlah semata-mata
hanyalah sumber wewenang persesuil, karena menuju kepada penetapan yang pasti
tentang hubungan hukum yang merupakan pokok sengketa.[7]
c. Teori Hukum Pembuktian
Menurut
teori ini putusan merupakan bukti tentang apa yang ditetapkan di dalamnya,
sehingga mempunyai kekuatan mengikat oleh karena menurut teori ini pembuktian
lawan terhadap isi suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
pasti tidak diperkenankan. Teori ini termasuk teori kuno yang sudah yang sudah
tidak banyak penganutnya.[8]
d. Terikatnya Para Pihak pada Putusan
Tetikatnya
para pihak kepada pihak kepada dapat putusan dapat mempunyai arti positif dan dapat pula arti negatif. [9]
Arti
Positif
Arti
positif daripada kekuatan mengikat
sesuatu putusan ialah bahwa apa yang telah diputus di antara para pihak berlaku
sebagai positif benar. Apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar: res
judicata pro veritate hebetur. Pembuktian lawan tidak dimungkinkan .
terikatnya para pihak ini didasarkan pada undang-undang (ps. 1917, 1920 BW).[10]
Arti
negatif
Arti
negatif daripada kekuatan mengikat suatu putusan ialah bahwa hakim tidak boleh
memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya antara pihak yang sama serta
mengenai pokok perkara yang sama. Ulangan dari tindakan itu tidak akan
mempunyai akibat hukum: nebis in idem (ps. 134 Rv). Kecuali berdasarkan
atas pasal 134 Rv kekuatan mengikat dalam arti negatif ini juga didasarkan pada
asas “litis finiri opertet”, yang menjadi dasar ketentuan tentang
tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum: apa yang pada suatu waktu telah
diselesaikan oleh hakim tidak boleh diajukan lagi kepada hakim. Dalam hukum
acara kita putusan mempunyai kekuatan dalam mengikat baik arti positif maupun
negatif (ps. 1917, 1920 BW, 134 Rv).[11]
e. Kekuatan Hukum yang pasti
Suatu
putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau tetap (kracht van gewijsde)
apabila tidak ada lagi upaya hukum biasa tersedia. Termasuk upaya hukum biasa
ialah perlawanan, banding dan kasasi. Dengan memperoleh kekuatan
hukum yang pasti maka putusan itu tidak lagi dapat diubah, sekalipun oleh
pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum yang khusus, yaitu request
civil dan perlawanan oleh pihak ketiga.[12]
Pasal 1917 ayat 1 BW berbunyi, bahwa kekuatan
mengikat daripada putusan itu terbatas pada pokok putusan (onderwerp van het
vonnis) [13]
Sutu
putusan itu terdiri dari bagian yang merupakan dasar dari putusan dan bagian
yang merupakan putusn itu sendiri atau yang lazim disebut amar (dictum).
Timbullah pertanyaan, apakah dan sampai berapa jauhkah masing-masing bagian
dari putusan itu mempunyai kekuatan mengikat ? [14]
Suatu
putusan hakim sekalipun terdiri dari dasar putusan dan dictum, namun merupakan
suatu kesatuan, sehingga kekuatan mengikat dari putusan itu umumnya tidak
terbatas pada dictun saja, tetapi meliputi juga bagian dari putusan yang
merupakan dasar putusan. Kekuatan mengikat dari putusan itu tidak meliputi
penetapan-penetapan mengenai peristiwa. Apabila hakim dalam suatu putusan telah
mengconstatir suatu peristiwa tertentu berdasarkan alat-alat bukti tertentu,
maka dalam sengketa lain peristiwa tersebut masih disengketakan. [15]
2. Kekuatan Eksekutorial
Suatu
keputusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan
menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan
hak atau hukumannya saja, melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya (ekskutorialnya)
secara paksa. Kekuatan mengikat saja dari dari suatu putusan pengadilan
belumlah cukup dan tidak berarti apabila putusan itu tidak dapat realisir atau
dilaksanakan. Oleh karena itu putusan itu menetapkan dengan tegas hak atau
hukumnya untuk kemudian realisir, maka putusan hakimm memounyai kekuatan
eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan itu
secara paksa oleh alat-alat negara. [16]
Apakah
ada persyaratannya bagi suatu putusan untuk memperoleh kekuatan eksekutorial ?
Peradilan di Indonesia dilakukan “demi keadilan berdasarkan keTuhan yang
maha Esa” (ps, 4 1 UU. 14/1970) dan semua putusan pengadilan diseluruh
Indonesia harus diberi kepala di bagian atasnya yang berbunyi: “ Demi
keadilan berdasarkan keTuhanan yang maha Esa” (ps. 435 Rv jo. Ps . 4 ayat 1
UU 14/1970) suatu akta notariilpun akan mempunyai kekuatan yang sama dengan
suatu putusan pengadilan apabila dibubuhi kata-kata: “Demi keadilan
berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa” (ps. 224 HIR, 258 Rbg, 440 Rv). Dapat ditafsirkan dari pasal 224 HIR
(ps. 258 Rbg) bahwa “mempunyai kekuatan yamg sama dengan putusan pengadilan
“berarti bahwa akta notariilpun yang diberi kata-kata “ Demi Keadilan
berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa “ dibagian atasnya dapat dilaksanakan atau
dijalankan seperti putusan pengadilan yang memang harus mempunyai kepala
ekskutorial itu.[17]
Dapatlah
ditarik kesimpulan dari apa yang diuraikan di atas, bahwa kata-kata “Demi
Keadilan berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa” memberi kekuatan eksekutorial bagi
putusan-putusan di Indonesia.[18]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum
adalah suatu peraturan yang harus ditaati. Agar kehidupan menjadi aman, tenag
dan teratur. Dalam peraturang negara banyak sekali peraturang yang telah
ditetapkan. Dan apabila seseorang melanggar peraturang tersebut maka akan
dikenakan sanksi.
Dalam
pengadilan putusan hakim haruslah dilaksanakan, jika sudah diucapkan oleh
hakim. Akan tetapi jika masih dalam bentuk surat keputusannya, maka belum wajib
untuk dilaksanakan. Maka dari itu putusan antara yang tertulis dan yang terucap
haruslah sama.
Banyak
sekali teori-teori tentang kekuatan putusan hakim, diantaranya :
1.
Teori
hukum materiil
2.
Teori
hukum acara
3.
Teori
hukum pembuktian
4.
Teori
hukum yang pasti
Dan
masih banyak lagi selain yang di atas tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Mertokusumo,
Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta, Liberty, 1993.
Susantio,
Retnowulan, dan Oeripkartawinata, Iskandar, Hukum Acara Perdata.
Bandung, CV Mandar Maju, 2005.
[1] Metokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesi,
(Bandung:Libery, 1993), hal. 173-174
[2] Sutantio, Retnowulan, dan
Oeripkartawinata, Iskandar, Hukum Acara Perdata, (Bandung:CV Mandar
Maju, 2005), hal. 129
[3] Ibid., hal. 129-130
[4] Metokusumo, Sudikno, Op.cit.,
hal. 177
[5] Metokusumo, Sudikno, Loc. Cit.,
[6] Metokusumo, Sudikno, Op.cit.,
hal. 178
[7] Metokusumo, Sudikno, Loc. Cit.,
[8] Metokusumo, Sudikno, Op. Cit.,
hal. 179
[9] Metokusumo, Sudikno, Loc. Cit.,
[10] Metokusumo, Sudikno, Loc. Cit.,
[11] Metokusumo, Sudikno, Loc. Cit.,
[12] Metokusumo, Sudikno, Loc. Cit.,
[13] Metokusumo, Sudikno, Op. Cit.,
hal. 180
[14] Metokusumo, Sudikno, Loc. Cit.,
[15] Metokusumo, Sudikno, Loc. Cit.,
[16] Metokusumo, Sudikno, Op. Cit.,
hal. 182-183
[17] Metokusumo, Sudikno, Op. Cit.,
hal 183
[18] Metokusumo, Sudikno, Loc. Cit.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar