BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang
bertutur kata, apapun yang dilakukan manusia, baik sewaktu berkumpul dengan
teman bermain, bertengkar, bercumbu rayu atau gali kuburan mereka pasti
bertutur kata. Kemampuan bertutur kata atau berbahasa inilah yang menjadi
anugerah sekaligus pembeda manusia dengan makhluk lain dari ciptaan Allah,
bahkan seringkali kita dengar istilah bahwa manusia adalah speaking animal.
Sesungguhnya penggunaan linguistik (bahasa)
dalam pengkajian Islam telah lama dipraktekkan oleh para ulama klasik, hanya
saja belum ada pendefenisian bahwa apa yang mereka lakukan merupakan pendekatan
linguistik, lihat saja bagaimana Ibnu Katsir menghadirkan buku
tafsirnya, yang masih menjadi rujukan utama hingga hari ini. Pada masa modern
barulah kemudian dirumuskan bahwa apa yang di lakukan para ulama tersebut
adalah pendekatan linguistik dalam upaya pengkajian Islam.
Kita tidak bisa menafikkan peran ilmuan barat
untuk memahami al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam. Pendekatan dan temuan
mereka tidak jarang mecengangkan orang-orang yang hidup dalam tradisi yang
dilahirkan atau dipengaruhi oleh al-Qur’an. Suka tidak suka harus diakui
fenomena kemandulan ajaran agama dalam menghadapi masalah-masalah kontemporer.
Meskipun kita tidak memungkiri kesempurnaan al-Qur’an dan hadis sebagai solusi
untuk setiap problema namun lagi-lagi orang akan mengalami kebuntuan ketika
metode dan pendekatan yang digunakan tidak tepat.
Dari pemaparan di atas penulis tertarik untuk menggali
lebih dalam tentang pendekatan bahasa (linguistic) dalam studi Al-qur’an
dalam bab selanjutnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian bahasa (linguistic)?
2.
Bagaimana pembagian bidang linguistic ?
3.
Bagaimana pendekatan bahasa (linguistic) dalam
kajian Al-Qur’an?
4.
Bagaimana aplikasi pendekatan linguistic dalam
studi Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Bahasa
(Linguistik)
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial
yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lain, agar komunikasi diantara
mereka berjalan dengan baik dan lancar dibutuhkan sarana yang mampu
menjembatani keinginan dan maksud yang akan disampaikan, dalam hal ini media
komunikasi yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia adalah bahasa.
Beberapa pakar berupaya memberikan defenisi bahasa.[1]
Ibnu Jinni, seorang linguis Arab mendefinisikan
bahasa sebagai bunyi yang digunakan oleh setiap kaum untuk menyampaikan
maksudnya. Bunyi-bunyi bahasa menurut Plato secara implisit mengandung
makna-makna tertentu. Aminuddin mengartikan bahasa sebagai sistem lambang
arbitrer yang dipergunakan suatu masyarakat untuk berkerja sama, berinteraksi
dan mengindentifikasi diri. Sebagai media komunikasi, bahasa harus dapat
dipahami dan dimengerti, untuk itu bahasa harus bersifat sistematis dan
sistemis. Bahasa mesti bersifat sistematis karena bahasa memiliki kaidah atau
aturan tertentu, dan bersifat sistemis karena memilki subsistem, yaitu,
subsistem fonologis, subsistem gramatikal dan subsistem leksikal.[2]
Dalam
mencari makna dari sebuah kata ketiga subsistem bahasa tersebut menjadi objek
kajian semantik. Linguistik adalah studi bahasa secara ilmiah dengan
fokus utamanya adalah struktur bahasa, sedangkan tujuan dan objek utamanya
adalah bagaimana orang menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Ahli linguistik
yang disebut linguis menurut Verhaar tidak berurusan dengan bahasa sebagai alat
pengungkap afeksi atau emosi, atau bahasa sebagai sifat khas golongan sosial
atau bahasa sebagai alat prosedur pengadilan, hal tersebut menjadi urusan ahli
psikologi, sosial dan hukum sedangkan yang menjadi kekhususan ilmu linguistik
adalah bahasa sebagai bahasa.[3]
B.
Pembagian Bidang
Linguistik (Bahasa)
Secara umum pembidangan linguistik di
bagi atas:
1.
Menurut objek kajiannya dibagi menjadi dua
bagian besar linguistik mikro dan makro. Objek kajian linguistik
mikro adalah struktur internal bahasa itu sendiri yang mencakup struktur
fonologi, morfologi, sintaksis dan leksikon. Sedangkan linguistik makro
mengkaji bahasa dalam hubungannya faktor di luar bahasa seperti faktor
sosiologis, psikologis, antropologi dan neurologi.
2.
Menurut tujuan kajiannya dibagi atas linguistik
teoritis dan linguistik terapan. Linguistik teoritis bertujuan
untuk mencari atau menemukan teori-teori linguistik belaka sedangkan
kajian terapan ditujukan untuk menerapkan kaidah-kaidah linguistik dalam
kegiatan praktis seperti pengajaran bahasa, penerjemahan, penyusunan kamus dan
sebagainya.
3.
Linguistik sejarah dan sejarah linguistik. Linguistik
sejarah mengkaji perkembangan dan perubahan suatu bahasa, sedangkan sejarah
linguistik mengakaji perkembangan ilmu linguistik mengenai
tokoh-tokohnya, alira teorinya, amupun hasil kerjanya.
Verhaar merumuskan bidang-bidang dasar linguistik
yang menyangkut struktur dasar tertentu dalam berbagai bagian: struktur bunyi
dan bahasa (fonetik dan fonologi), struktur kata (morfologi), struktur antar
kata dalam kalimat (sintaksis), arti atau makna (semantik), menyangkut siasat
komunikasi antar orang (parole), pemakian bahasa dan hubungan tuturan
bahasa dengan apa yang dibicarakan (pragmatik).
C.
Pendekatan Linguistik
(bahasa) dalam kajian Al-Qur’an
Selain Ferdinand De Saussure yang sering
disebut Bapak atau pelopor linguistik, ada beberapa tokoh yang fokus
dalam kajian lingustik seperti Leonard Bloomfield, Jhon Rupert Firth,
Noam Chomsky dan lain-lain. Dalam Islam ada beberapa nama seperti abu Aswad
ad-Duali, imam Khalil, Sibaweh, Ibnu Jinni, Ibnu Faris dan yang lainnya. Islam,
Al-Qur’an dan Fenomena Linguistik Islam sering didefenisikan dengan wahyu yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai pedoman untuk kebahagian hidup di
dunia dan di akhirat, wahyu terdiri atas dua macam: wahyu yang berbentuk
al-Qur’an dan wahyu yang berbentuk hadis, sunnah Nabi Muhammad saw, menguatkan
hal ini Baidan mengemukakan hadis yang diriwayatkan Al-Hakim dari Abu Hurairah:
Saya telah meninggalkan dua pusaka padamu. Kamu tidak akan sesat selama
keduanya (dijadikan pedoman), yaitu kitab Allah dan Sunnahku.
Terkait dengan wahyu yang artinya perkataan
(kalam) Allah, Menarik apa yang diungkapkan Toshihiko Izutsu, menurutnya Allah
mewahyukan melalui bahasa, dan bukan dalam bahasa yang misterius melainkan
dengan bahasa manusia yang jelas dan dapat dimengerti. Itulah sebabnya manusia
dapat mempelajari al-Qur’an dari berbagai aspek, termasuk bahasa atau
linguistiknya.
Al-Qur’an sebagai kitab suci yang diwahyukan
kepada nabi Muhammad memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan umat
manusia. Bukan hanya diperuntukan bagi manusia saja, bahkan makhluk selain
manusiapun merasakan arti penting akan kehadiran al-Qur’an. Sebagai kitab suci
yang sempurna, didalam al-Qur’an termuat segala macam yang terkait dengan
manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, alam semesta, alam ghaib dan yang lebih
menariknya lagi al-Qur’an mampu berbicara melewati waktunya. Sebagai sebuah
mukjizat al-Qur’an mampu berbicara tentang kehidupan yang akan datang, mengulas
fenomena-fenomena ilmu pengetahuan yang belum pernah terfikirkan oleh manusia
yang hidup pada zaman al-Qur’an diturunkan , oleh karena itu tidak salah bila
dikatakan al-Qur’an merupakan mukjizat akhir zaman.[4]
Al-Qur’an sebagai hudan (petunjuk) dapat
dikaji dan diselami samudra hikmah dan keilmuanya dari berbagai aspek, sebagai
kitab suci yang sempurna sudah tentu al-Qur’an dapat difahami dari sisi
manapun, Sebagaimana yang dikatakan oleh Izutsu bahwa al-Qur’an bisa didekati
dengan sejumlah cara pandang yang beragam seperti teologi, psikologi,
sosiologi, tata bahasa, tafsir dan lain sebagainya. Dalam memahami kandungan
al-Qur’an kaum muslimin senantiasa berpegang teguh pada keyakinannya bahwa
al-Qur’an tidak ada keraguan di dalamnya, asumsi yang dibangun dalam memahami
al-Qur’an berpijak pada keyakinan akan kebenaran al-Qur’an bukan berangkat dari
keragu-raguan. Sebagaimana yang dilakukan oleh kaum orientalis dalam mengkaji
al-Qur’an, asumsi yang mereka bangun berdasarkan pada keraguan akan kebenaran
al-Qur’an.
Untuk dapat memahami isi kandungan al-Qur’an
dengan baik dan benar, menurut Doktor A’isyah Abdurahman atau yang biasa dikenal
dengan “Bintusy Syathi” paling tidak dibutuhkan kemampuan dalam memahami
mufradat (kosakata) al-Qur’an dan uslub (gaya bahasa)-nya, dengan
pemahaman yang bertumpu pada kajian metodologis-induktif dan menelusuri rahasia-rahasia
ungkapannya. Issa J. Boullata dalam kata pengantarnya terhadap buku tafsir
Bintusy-Syathi’ menjelaskan bahwa, dalam mengkaji al-Qur’an Bintusy-Syathi’
menggunakan empat butir metode yang salah satunya disebutkan, “ karena bahasa
Arab adalah bahasa yang digunakan dalam al-Qur’an, maka untuk memahami arti
kata-kata yang termuat dalam kitab suci itu harus dicari arti linguistik aslinya
yang memilki rasa keakraban kata tersebut dalam berbagai penggunaan material
dan figuratifnya”.[5]
Al-Qur’an sebagai sumber dari segala sumber,
panduan hidup dan kehidupan, ia tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan umat
Islam. Oleh karena itu, banyak para pakar yang mencoba menggali dan menyelami
samudra ilmu yang terkandung didalamnya. Untuk dapat memahaminya dibutuhkan
keahlian dan kemampuan salah satunya adalah penguasaan bahasa. Menjadi problem
bagi umat Islam dalam memahami al-Qur’an yang diwahyukan dengan menggunakan
bahasa Arab, Islam telah tersebar keseluruh penjuru dunia, dianut oleh semua
bangsa dengan bahasa yang beranekaragam. Bahasa menjadi problem yang cukup
mendasar bagi mereka yang ingin mendalami al-Qur’an. bahkan disyaratkan bagi
seorang Faaqih dan ahli tafsir untuk menguasai bahasa Arab. Sesuai dengan
firman Allah SWT yang berbunyi:[6]
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& $ºRºuäöè% $wÎ/ttã öNä3¯=yè©9 cqè=É)÷ès? ÇËÈ
Artinya:
“Sesungguhnya
Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya.” (QS. Yusuf :
2)
Dan
Allah juga berfirman lagi dalam ayat lain:
y7Ï9ºxx.ur çm»oYø9tRr& $¸Jõ3ãm $wÎ/{tã 4
Artinya:
“Dan
Demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quran itu sebagai peraturan (yang benar)
dalam bahasa Arab . . . “ (QS. Ar-Ra’d :
37)
Mengulang kembali apa yang diungkapkan Shihab
setidaknya ada beberapa hal yang menjadikan al-Qur’an istimewa selain kemukjizatan
dan kedalaman maknanya, yakni:
1.
Nada dan langgamnya. Huruf dari pilihan kata
yang dipilih melahirkan keserasian bunyi, kumpulan kata melahirkan pula
keserasian irama dan rangkaian kalimat ayat-ayatnya.
2.
Singkat dan padat. Susunan kalimatnya terlihat
singkat namun padat makna.
3.
Memuaskan para pemikir dan orang kebanyakan
karena kedalaman kandungan maknanya.
4.
Memuasakan akal dan jiwa.
5.
Keindahan dan ketepatan maknanya.
Sepanjang sejarah pemikiran Islam, dari dulu
hingga sekarang persoalan mengenai apakah wahyu turun dalam bentuk verbal atau
ide masih terus menimbulkan perdebatan, Sugiyono menyebutnya dengan istilah
misteri teologis, karena ia merupakan sesuatu yang misterius, sulit dipahami
oleh pikiran manusia namun harus diimani. Sebagai fenomena verbal, wahyu sulit
dipahami karena pembicaranya Tuhan dan pendengarnya justru manusia.[7]
Hal senada juga diungkapkan Al-A’zami bahwa
penerimaan wahyu al-Quran ada di luar jangkauan penalaran akal manusia sehingga
dalam memahami penalaran wahyu kita semata-mata merujuk pada laporan authentic
dari Nabi Muhammad dan orang-orang kepercayaan yang menyaksikan kehidupan
beliau. Tetapi sehubungan diturunkannya al-Quran yang sampai kehadapan kita
dalam bentuk teks, maka pengkajian al-Qur’an tidak luput dari pendekatan linguistik.
Allah swt telah memberikan keberkahan kepada bangsa Arab dengan diutusnya
seorang nabi yang membawa risalah agama Islam, dengan al-Qur’an sebagai kitab
sucinya sehingga dengan demikian secara otomatis bahasa Arab menjadi bahasa
pengantar al-Qur’an.
Dengan tersebarnya agama Islam keseluruh dunia
menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa yang dipelajari dan diajarkan dengan
tujuan untuk dapat memahami al-Qur’an lebih mendalam. Penggunaan bahasa Arab
sebagai bahasa al-Qur’an bukan tanpa alasan, bahasa Arab bagian dari rumpun
bahasa yang besar yaitu rumpun bahasa Samiyah (Semit), yang terbagi
menjadi Syarqiyah (Timur) dan Gharbiyah (Barat), Syamiyah
Gharbiyah dibagi lagi menjadi Gharbiyah Syimaliah dan Gharbiyah
Janubiyah, sedangkan Syamiyah Syarqiyah dibagi menjadi Akadiyah dengan
cabangnya yaitu Babiliyah (Babiloni) dan Asy-Syuriyah (Suriah).
Dari jalur Gharbiyah Janubiyah inilah lahir bangsa Arab dan Habasyah.
Pada awalnya bangsa Arab bukanlah bangsa yang
dikenal dan tidak ada yang dapat dibanggakan darinya, bahkan sejarahnya pun
tidak jelas. Meskipun demikian, keberadaanya telah ada sejak zaman purba dan
hal itu dapat ditemukan di dalam berbagai sumber, seperti di dalam kitab suci
Perjanjian Lama dan dalam karya-karya sastra klasik bangsa Arab. Dalam hal ini
Sayid Muzaffaruddin, ada empat sumber acuan yang ia gunakan dalam melihat
historis bangsa Arab yaitu literatur Islam, literatur Yahudi, literatur Klasik,
dan penemuan Arkelogi.[8]
Sebagaimana fungsi bahasa pada umumnya
bertujuan sebagai sarana untuk mengungkapkan ekspresi perasaan dan pikiran yang
dituangkan dalam simbol suara, gerak, huruf dan kata. Begitupula halnya dengan
bahasa Arab, namun bahasa Arab yang menjadi medium bahasa al-Qur’an telah
berproses menjadi bahasa Agama yang memilki fungsi dan peran yang lebih dari
sekedar sebagai bahasa manusia pada umumnya.
Berkaitan dengan istilah “bahasa agama”,
Komaruddin Hidayat menyebutkan bahasa agama adalah kalam ilahi yang kemudian
terabadikan dalam kitab suci. Disini Tuhan dan kalam-Nya lebih ditekankan,
sehingga pengertian bahasa agama yang paling mendasar adalah bahasa kitab suci.
Pengertian yang kedua, bahasa agama adalah ungkapan serta perilaku keagamaan
dari seseorang atau sebuah kelompok sosial. Jadi bahasa agama menurut pengertian
yang kedua adalah wacana keagamaan yang dilakukan oleh umat beragama maupun
sarjana ahli agama, meskipun tidak selalu menunjuk serta menggunakan
ungkapan-ungkapan kitab suci.
Lebih lanjut Komaruddin memaparkan bahwa
kehadiran teks al-Qur’an di tengah umat Islam telah melahirkan pusat pusaran
wacana keislaman yang tak pernah berhenti. Dengan kata lain, al-Qur’an yang
terkandung di dalamnya berbagai macam khazanah keilmuan telah menjadi poros
ilmu pengetahuan. Al-Qur’an telah melahirkan berbagai macam disiplin keilmuan
sehingga tidaklah salah bila dikatakan al-Qur’an menjadi semacam ledakan nuklir
yang radiasinya memancar ke segala pelosok kehidupan.
Bahasa Agama, dalam hal ini al-Qur’an,
merupakan sesuatu yang bersifat transenden dan universal. Ia memilki kelebihan
dan keistimewaan tersendiri dibandingkan bahasa-bahasa yang ada. Syed M. Naquib
al-Attas, sebagaimana yang dukutip oleh Sugeng, menyebutkan bahwa bahasa Arab
tidak termasuk dalam kategori bahasa-bahasa lainnya berkenaan dengan struktur
semantiknya disebabkan kenyataan sebagai berikut.
1.
Struktur linguistiknya dibangun atas suatu
sistem akar-akar kata yang tegas.
2.
Struktur semantiknya diatur oleh sistem medan
semantik tertentu yang menentukan struktur konseptual yang terdapat dalam
kosakatanya dan dimantapkan secara permanen oleh hal-hal yang disebut diatas
3.
Kata, makna, tata bahasa, dan persajakannya
telah direkam dan dimantapkan secara ilmiah sedemikian rupa sehingga dapat dipelihara
ketetapan semantiknya
Susunan bahasa al-Qur’an mengandung unsur keindahan
bahasa Ilahi yang dapat membuat manusia terkagum dan terpesona bila mendengar
atau membacanya karena bahasa al-Qur’an terpadu secara harmonis antara isi dan
maknanya. Dengan keberadaan al-Qur’an
bangsa Arab telah diuntungkan, paling tidak oleh tiga aspek, Pertama aspek
bahasa, dengan digunakan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an menjadikan bahasa
Arab terjaga dari kepunahan dan menjadi bahasa mendunia sehingga Doktor Ramdan
Abu Tawab menulis satu bab dalam bukunya, law la al-Qur’an ma kanat arabiyah
(Kalaulah bukan karena al-Qur’an, musnah sudah bahasa Arab). Kedua , aspek
politik. Dimana sebelum kedatangan Islam, bangsa Arab tidak ada artinya, mereka
masih menjadi bangsa yang terbelakang, bangsa yang bar-bar hingga Allah
mengangkat derajat mereka dengan datangnya seorang nabi yang membawa ajaran
Islam. Bersamaan dengan penyebaran dakwah, Islam telah mengenalkan bangsa Arab
ke seluruh dunia dan menjadikannya bangsa yang memiliki kemuliaan dengan Islam.
Kalaulah bukan Islam bangsa Arab lebih hina dari bangsa yang tidak beradab,
ketiga, aspek ekonomis.
Dengan disyari’atkannya ibadah haji menjadikan
kaum Muslimin
berbondong-bondong datang ke Baitullah sehingga secarah ekonomis memberikan pemasukan devisa yang cukup besar bagi kerajaan Saudi Arabia setiap tahunya. Hal tersebut belum lagi ditambah dengan ibadah Umrah. Disamping itu, berkat do’a nabi Ibrahim, tanah Arab telah diberi keberkahan dengan sumber minyak bumi yang melimpah, dan berkat do’a nabi Muhammad tanah Arab diakhir zaman kelak tidak akan tersentuh oleh Dajjal.
berbondong-bondong datang ke Baitullah sehingga secarah ekonomis memberikan pemasukan devisa yang cukup besar bagi kerajaan Saudi Arabia setiap tahunya. Hal tersebut belum lagi ditambah dengan ibadah Umrah. Disamping itu, berkat do’a nabi Ibrahim, tanah Arab telah diberi keberkahan dengan sumber minyak bumi yang melimpah, dan berkat do’a nabi Muhammad tanah Arab diakhir zaman kelak tidak akan tersentuh oleh Dajjal.
D.
Aplikasi
Pendekatan Lingustik Dalam Studi Islam
Linguistik dalam hal ini memegang peran yang
cukup penting dalam memahami teks-teks keagamaan. Tidak hanya yang termaktub
dalam al-Qur’an tetapi juga terhadap hadist nabi. Dalam ajaran Islam banyak
aturan dan ritual keagamaan yang berkaitan dengan trem-trem kebahasaan, seperti
konsep kepercayaan yang terwakili oleh istilah, iman, Islam, mukmin, kafir,
fasik, murtad dan sebaginya. Lalu ada juga istilah-istilah keagamaan yang berkaitan
dengan relasi Tuhan dan manusia, seperti konsep Ibadah, jihad, hijrah, haji,
zakat dan lain sebagainya.
Pemahaman tentang konsep-konsep keagamaan
diawali dari pemahaman dari sudut kebahasaan sangat diperlukan, seperti contoh
kata zakat, pada awalnya kata zakat merujuk pada makan tumbuh/berkembang secara
umum, namun setelah datang Islam, kata zakat memiliki makna yang lebih
menyempit merujuk kepada, batasan yang telah diwajibkan untuk dikelurkan dan
diberikan kepada yang berhak dari harta yang telah sampai pada nasab yang telah
ditentukan.
Secara
teori kebahasaan, suatu bahasa akan dapat mengalami perkembangan, pergeseran
atau bahkan perubahan makna, hal tersebut bisa dalam bentuk meluas ataupun
menyempit. Perubahan makna dapat juga berarti penggantian rujukan, rujukan yang
pernah ada diganti dengan rujukan yang baru. Kata hijrah misalnya secara
leksikal ia memilki makna “keluar dari sutu negeri ke negeri yang lain”. Namun
ketika kata hijrah telah terhubung dengan kata iman dan jihad dalam sebuah
kalimat maka makna yang terkandung didalamnya tidak hanya sekedar sebuah
aktifitas perpindahan badan dari satu tempat ketempat yang lain.
Dalam konteks ini kata hijrah akan mengalami
perkembangan makna yang bisa jadi mengarah kepada perluasan maupun penyempitan.
Islam sebagai agama wahyu telah memberikan pencerahan dan pembaharuan dari
segala bidang, baik itu kebudayaan, kepercayaan, tatanan hidup bermasyarakat,
bernegara dan termasuk juga didalamnya pembaharuan dari segi kebahasaan.
Beberapa kunci terminologi etika Jahiliyah
telah mengalami transformasi semantik yang spesifik, seperti karīm yang
merupakan derivasi dari karam dan lawan dari bakhīl terdapat dalam al-Qur'an
sebanyak 47 kali dengan berbagai derivasinya. Pada awalnya karīm merupakan
cita-cita Jahiliyah tertinggi dalam hal kedermawanan tanpa perhitungan sebagai
manifestasi langsung dari kemuliaan. Kemudian menghadapi transformasi ke dalam
sesuatu semantik yang mendalam, pada saat yang sama, dan dalam kaitannya dengan
hal itu, kata karim lalu diterapkan kepada seseorang yang sungguh-sungguh
percaya dan taat, yang bukannya menghabiskan kekayaannya dengan membabi buta,
tanpa berpikir panjang dan semata-mata untuk pamer, namun sama sekali tidak
ragu-ragu untuk menggunakan kekayaannya untuk tujuan yang jelas dan benar-benar
mulia berdasarkan konsep yang baru, yakni membelanjakan kekayaanya di jalan
Allah .
Masih banyak lagi konsep-konsep keagamaan yang
harus difahami secara utuh dan mendalam, hal tersebut bertujuan agar tidak
terjadinya kesalahan pemahaman yang akan berakibat pada kesalahan dalam pengamalan.
Dapat dibayangkan misalnya apabila umat Islam memahami kata sholat sebagaimana
pengertiannya dimasa jahiliyah. Kata sholat pada mulanya oleh bangsa Arab
diartikan sebagai “do’a”, padahal setelah kata sholat digunakan dan dimasukan
dalam trem yang sangat pokok dalam ajaran Islam, kata sholat telah mengalami
pemaknaan yang lebih khusus lebih dari sekedar do’a, yaitu sebuah aktifitas
yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Sholat juga menjadi pokok
atau tiang dari agama Islam, sebagaimana yang disampaikan oleh hadits-hadits
nabi saw. Untuk dapat mengetahui makna dari istilah-istilah dalam ibadah,
mua’amalah dan akidah secara mendalam dan benar, tidak berlebihan kiranya bila
dikatakan bahasa memegang peran yang sangat besar.[9]
BAB II
PENUTUP
Simpulan:
Islam bukan agama yang menutup rapat-rapat
kebenaran yang ada di dalamnya. Kajian-kajian mutakhir yang telah dilakukan
para ilmuwan meski dengan orientasi yang berbeda tidak mengurangi hakikat
kebenaran dalam Islam justru membuat orang-orang yang berpikiran positif akan
semakin yakin dengan agama ini. Meski makalah ini lebih banyak mengungkapkan
tentang al-Qur’an namun tidak juga menafikkan bahwa pendekatan linguistik
(bahasa) juga bisa terhadap hadis. Pendekatan lingustik (bahasa) amat
besar perannya dalam memberikan pemahaman terhadap teks-teks keagamaan sehingga
fenomena kemandulan ajaran dapat di atasi secara cerdas dan bijak.
DAFTAR PUSTAKA
Khaeruman,
Badri, Memahami Pesan Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2004.
lwasilah
Chaedar A. Beberapa Madhab dan Dikotomi Teori Linguistik, Bandung:
Angkasa, 1993.
Muhammad,
Syeikh, Studi Al-Qur’an Al-Karim, Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Qardhawi, Yusuf, Berinteraksi dengan Al-Qur’an, Jakarta:
Gema Insani, 1999.
Shihab,
Quraish M. Mukjizat Al-Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat
Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan, 2007.
Artikel :
Abu Syakir,
http://abusyakir80.blogspot.com/2010/03/pendekatan-linguistik-dalam-studi-islam_16.html
diakses Rabu, 14 November 2013.
Jogja Camp, http://carapedia.com/pengertian_definisi_linguistik_menurut_para_ahli_info952.html diakses Rabu, 14 November 2013.
[1]
Alwasilah Chaedar
A. Beberapa Madhab dan Dikotomi Teori Linguistik, (Bandung: Angkasa,
1993), h. 67
[2] ibid
[3]
Jogja Camp, http://carapedia.com/pengertian_definisi_linguistik_menurut_para_ahli_info952.html diakses Rabu, 14 November 2013, jam 18:00 Wib.
[4]
Muhammad, Syeikh, Studi Al-Qur’an Al-Karim, (Bandung: Pustaka Setia,
2002), h.14
[5]
Khaeruman, Badri, Memahami Pesan Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia,
2004), h. 19
[6]
Qardhawi, Yusuf, Berinteraksi dengan Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani,
1999), h. 1311
[7]
Shihab, Quraish
M. Mukjizat Al-Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan
Pemberitaan Gaib, (Bandung: Mizan, 2007), cet. ke-2, h. 120
[8] Muhammad, Syeikh, Studi Al-Qur’an
Al-Karim, op.cit., h. 18
[9]
Abu Syakir, http://abusyakir80.blogspot.com/2010/03/pendekatan-linguistik-dalam-studi-islam_16.html
diakses Rabu, 14 November 2013, jam 19:30 Wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar