BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Indonesia telah
menumbuhkan sebuah negara yang berdasarkan pada
kedaulatan hukum. Oleh karena itu,
supermasi hukum menjadi dari tujuan segala elemen didalam pemerintahan dan
rakyat itu sendiri. Oleh karena melihat kenyataan Negara Kesatuan Republik
Indonesia merupakan sebuah negara yang terbentuk dari berbagai agama, ras,
bahasa, dan budaya. Maka tuntutan hukum yang
digunakan di dalam Peradilan Agama di Indonesia juga ditentukan. Dalam hal ini,
jenis-jenis perkara yang dikuasai oleh sebuah badan peradilan juga ditentukan. Maka setiap
pengadilan yang ada di indonesia, telah ditentukan dalam hal apa saja dan di
mana proses peradilan itu patut untuk dilaksanakan. Sudah tentunya, Peradilan
Agama yang berada di Indonesia memiliki
ciri-ciri yang sama. Ini dikarenakan kesemua peradilan yang ada di Indonesia
ini berada di bawah naungan/kekuasaan Mahkamah Agung. Peradilan Agama pada
awalnya diatur dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang tersebar di
berbagai peraturan. Kemudian baru pada tahun 1989 Peradilan Agama diatur dalam
satu peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Dan telah dirubah sebanyak dua kali.Dengan adanya
perubahan tersebut Peradilan Agama mengalami pula perubahan tentang kekuasaan
atau kewenangan mengadili di pengadilan pada lingkungan Peradilan Agama.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana kekuasaan mutlak peradilan agama ?
2.
Bagaimana wewenang peradilan agama ?
3.
Bagaimana eksepsi peradilan agama ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kekuasaan
Mutlak Peradilan Agama
Kata ‘kekuasaan’
sering disebut ‘kompetensi’ yang berasal dari bahasa Belanda ‘competentie’,
yang kadang-kadang diterjemahkan dengan ‘kewenangan’ dan kadang dengan ‘kekuasaan’.
Kekuasaan atau kewenangan peradilan ini kaitannya adalah dengan hukum acara. [1]
Kekuasaan
Mutlak Peradilan Agama dilingkungan Peradilan Agama terdapat dua tingkat
Pengadilan, yaitu Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan
Pengadilan Tinggi Agama sebagai Pengadilan Tingkat Banding.[2]
B. Wewenang (kompetensi) Peradilan Agama
Wewenang (kompetensi) Peradilan Agama diatur
dalam pasal 49 sampai dengan Pasal 53 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Wewenang tersebut terdiri atas wewenang relatif dan wewenang absolut.
Wewenang relatif Peradilan Agama merujuk pada pasal 118 HIR atau Pasal 142
RB.g. jo. Pasal 66 dan pasal 73 UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
sedang wewenang absolut berdasarkan pasal 49 UU No. 7 tahun 1989.[3]
Menurut M. Yahya Harahap ada lima tugas dan
kewenangan yang terdapat dilingkungan Peradilan Agama, yaitu :
1. Fungsi kewenangan mengadili
2. Memberi keterangan, pertimbangan
3. Kewenangan lain berdasarkan undang-undang
4. Kewenangan pengadilan tinggi agama mengadili perkara dalam tingkat banding
dan mengadili sengketa kompetensi relatif
5. Serta bertugas mengawasi jalannya peradilan.[4]
·
Kompetensi Relatif Peradilan Agama
Dalam pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 ditentukan
bahwa acara yang berlaku pada lingkungan peradilan agama adalah Hukum Acara
Perdata yang berlaku pada lingkungan peradilan umum. Oleh karena itu, landasan untuk menentukan kewenangan relatif pengadilan
agama merujuk kepada ketentuan pasal 118 HIR atau pasal 142 R. Bg.jo. pasal 66
dan pasal 73 UU No. 7 tahun 1989. Penentuan kompetensi relatif ini bertitik tolak dari aturan yang
menetapkan ke pengadilan agama mana gugatan diajukan agar gugatan memenuhi
syarat formal. Pasal 118 ayat (1) HIR. Menganut asas bahwa yang berwenang
adalah pengadilan ditempat kediaman tergugat. Asas ini dalam bahasa latin
disebut “ actor sequitur forum rei” , namun ada beberapa pengecualian
yaitu yang tercantum dalam pasal 118 ayat (2),ayat (3) dan ayat (4), yaitu :
-
Apabila tergugat lebih dari satu, maka gugatan
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman salah
seorang dari tergugat.
-
Apabila ada tempat tinggal tergugat tidak
diketahui, maka gugatan diajukan kepada pengadilan ditempat tinggal penggugat.
-
Apabila gugatan mengenai benda tidak bergerak,
maka gugatan diajukan kepada peradilan diwilayah hukum dimana barang tersebut
terletak.
-
Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan
suatu akta, maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan tempat tinggal yang
diplih dalam akta tersebut.
·
Kompetensi Absolut Peradilan Agama
Kewenangan
absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan peradilan yang
berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkat Pengadilan,dalam
perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkat Pengadilan
lainnya. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat
tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.
Pasal 10 UU No. 7 Tahun 1970 menetapkan empat
jenis lingkungan peradilan dan masing-masing mempunyai kewenangan mengadili
bidang tertentu dalam kedudukan sebagai badan-badan peradilan tingkat pertama
dan tingkat banding. Untuk lingkungan peradilan agama menurut Bab I pasal 2 jo
Bab III pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 ditetapkan tugas kewenangannya yaitu
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perdata bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam
c. Wakaf dan sedekah.
Dengan perkataan lain, bidang-bidang tertentu
dari hukum perdata yang menjadi kewenangan absolut peradilan agama adalah
bidang hukum keluarga dari orang-orang yang beragama islam. Oleh karena itu, menurut
Prof. Busthanul Arifin, perdilan agama dapat dikatakan sebagai peradilan
keluarga bagi orang-orang yang beragama islam, seperti yang terdapat dibeberapa
negara lain. Sebagai suatu peradilan keluarga, yaitu peradilan yang menangani
perkara-perkara dibidang Hukum Keluarga, tentulah jangkauan tugasnya berbeda
dengan peradilan umum. Oleh karena itu, segala syarat yang harus dipenuhi oleh para hakim, panitera dan sekretaris harus sesuai dengan tugas-tugas yang
diemban peradilan agama.[5]
Ø Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Perkawinan
Mengenai bidang perkawinan pasal 49 ayat (2)
menyatakan bahwa yang dimaksud ialah hal-hal yang diatur dalam undang-undang
mengenai perkawinan yang berlaku, pasal 49 ayat (2).Yang menjadi
kekuasaan mutlak Pengadilan Agama adalah perkara perkawinan sebagaimana diatur
UU No. 1 Th. 74 dan PP No. 9 Th. 75. Perkara-perkara perkawinan dimaksud
adalah:
1. Izin beristri
lebih dari seorang;
2. Izin
melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu)
tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat;
3. Dispensasi
kawin;
4. Pencegahan
perkawinan;
5. Penolakan
perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. Pembatalan
perkawinan;
7. Gugatan
kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
8. Perceraian karena
talak;
9. Gugatan
perceraian;
10. Penyelesian
harta bersama;
11. Penguasaan
anak-anak;
12. Ibu dapat
memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bila mana bapak yang seharusnya
bertangung jawab tidak memenuhinya;
13. Penentuan
kewajiban memberi biaya peng-hidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14. putusan tentang
sah atau tidaknya seorang anak;
15. putusan tentang
pencabutan kekuasaan orang tua;
16. pencabutan
kekuasaan wali;
17. penunjukkan orang lain
sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
18. menunjuk seorang wali
dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang
ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang
tuanya;
19. pembebanan kewajiban ganti
kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak
yang ada di bawah kekuasaannya;
20. penetapan asal
usul seorang anak;
21. putusan tentang
hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22. pernyataan
tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Dalam Kompilasi
Hukum Islam juga ada pasal-pasal memberikan kewenangan Peradilan Agama untuk
memeriksa perkara perkawinan, yaitu:
23. Penetapan Wali Adlal;
24.
Perselisihan penggantian mahar yang hilang
sebelum diserahkan.
Ø Kewenangan Mengadili
Perkara Bidanag Kewarisan, Wasiat, dan Hibah
Menurut pasal 49 ayat (3)
UU No. 7 Tahun 1989, kewenangan pengadilan agama dibidang kewarisan yang disebut
dalam pasal 49 ayat (1) huruf b, adalah mengenai :
a. Penentuan siapa-siapa yang
menjadi ahli waris
b. Penentuan harta
peninggalan
c. Bagian masing-masing ahli
waris dan
d. Melaksanakan pembagian
harta peninggalan.
Dalam pasal 2 jo. pasal 49 ayat (1) jo. penjelasan umum angka 2 alinea
ketiga telah ditentukan bahwa salah satu asas sentral dalam undang-undang ini
adalah asas personalitas keislaman. Oleh karena itu, dengan mengaitkan asas ini
dengan ketentuan pasal 49 ayat 1 huruf b, jo. penjelasan umum angka 2 alinea
tersebut, berarti asas personalitas keislaman dalam bidang perdata kewarisan,
meliputi seluruh golongan rakyat beragama islam. Dengan perkataan lain, dalam
hal ini terjadi sengketa kewarisan bagi setiap orang yang beragama islam,
kewenangan mengadilinya tunduk dan takluk pada lingkungan peradilan agama,
bukan kelingkungan peradilan umum. Jadi luas jangkauan mengadili lingkungan
peradilan agama ditinjau dari subjek pihak yang berperkara, meliputi seluruh
golongan rakyat yang beragama islam terkecuali.[6]
Mengenai jangkauan kewenangan mengadili sengketa kewarisan ditinjau dari
sudut Hukum Waris Islam, dapat dilakukan melalui pendekatan pasal 49 ayat (3)
jo penjelasan umum angka 2 alinea keenam. Jadi uraian singkat dari ketentuan
pasal tersebut adalah bahwa pokok-pokok hukum waris islam yangakan diterapkan
pada golongan rakyat yang beragama islam diperadilan agama terdiri atas :
1. Siapa-siapa yang menjadi
ahli waris, meliputi penentuan kelompok ahli waris, siapa yang berhak mewaris,
siapa yang terhalang menjadi ahli waris, dan penentuan hak dan kewajiban ahli
waris.
2. Penentuan mengenai harta
peninggalan, antara lain tentang penentuan tirkah yang dapat diwarisi dan
penentuan besarnya harta warisan.
3. Penentuan bagian
masing-masing ahli waris, hal ini telah diatur dalam Al-Qur’an, as-Sunnah, dan
Ijtihad, dan
4. Melaksanakan pembagian
harta peninggalan.
Ø Kewenangan Mengadili
Perkara Bidang Wakaf dan Sedekah
Pasal 1 ayat(1) PP No. 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik menentukan pengertian tentang wakaf. Wakaf adalah
perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta
kekayaan yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-selamanya
untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan
ajaran agama islam. Wakaf ini sangat penting ditinjau dari sudutpelembagaan
keagamaan. PP No.28 Tahun 1977 merupakan peraturan perwakafan dalam ajaran
islam yang telah menjadi hukum positif dan pengaturannya memiliki cakupan yang
lengkap. Namun demikian, permasalahan wakaf juga semakin kompleks, seiring
dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat. oleh karena itu, jika ada
perselisihan tentang perwakafan tanah milik, maka penyelesaiannya dapat
diajukan kepada pengadilan agama sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.[7]
C.
Eksepsi
Peradilan Agama
Eksepsi dalam konteks hukum acara perdata
memiliki makna tangkisan atau bantahan (objection). Bisa juga berarti
pembelaan (plea) yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan
penggugat. Namun, tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi
ditujukan kepada hal yang menyangkut syarat formalitas gugatan dan tidak
ditujukan atau menyinggung bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten
principale). Salah satu eksepsi dalam hukum acara perdata adalah eksepsi
mengenai kewenangan mengadili. Eksepsi kewenangan mengadili diajukan apabila
dianggap pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. Eksepsi
kewenangan mengadili dibagi menjadi:
1)
Eksepsi Kewenangan Absolut (Exceptio
Declinatoir)
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan
absolut 4 (empat) lingkungan peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha
Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer) dan Peradilan Khusus
(Arbitrase, Pengadilan Niaga, dan lain-lain). Masing-masing pengadilan mempunyai
yurisdiksi tertentu.[8]
Pengajuan eksepsi kewenangan absolut (exceptio
declinatoir) diatur dalam Pasal 134 Herziene Inlandsch Reglement
(“HIR”) dan Pasal 132 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”). Eksepsi
kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat. Pasal 134 HIR dan
Pasal 132 Rv mengatur bahwa eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan oleh
tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung sejak proses
pemeriksaan dimulai sampai sebelum putusan dijatuhkan di persidangan tingkat pertama
(Pengadilan Negeri).[9]
2)
Eksepsi Kewenangan Relatif (Relative
Comprtitie)
Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah
hukum dari suatu pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang sama, hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 118 HIR.
Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR mengatur
bahwa pengajuan eksepsi kewenangan relatif harus disampaikan pada sidang
pertama dan bersamaan pada saat mengajukan jawaban pertama terhadap materi
pokok perkara.[10]
Pengajuan eksepsi kewenangan relatif dapat
secara lisan atau berbentuk tulisan. Pasal 133 HIR memberikan hak kepada
tergugat untuk mengajukan eksepsi kompetensi relatif secara lisan. Hakim yang
menolak dan tidak mempertimbangkan eksepsi lisan, dianggap melanggar tata
tertib beracara dan tindakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai penyalah
gunaan wewenang. Selain secara lisan, eksepsi kewenangan relatif dapat diajukan
dalam bentuk tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 125 ayat (2) Rv jo Pasal
121 HIR.[11]
Eksepsi berkaitan dengan kompetensi absolut
yang diajukan bersamaan dengan pengajuan jawaban setelah pembacaan
gugatan/permohonan pokok perkara, dan wajib diputus sebelum putusan pokok
perkara. Namun, jika eksepsi menyangkut kewenangan relatif, maka majelis hakim
dapat memutus sebelum maupun bersamaan dengan pokok perkara.[12]
Cara pengajuan eksepsi
diatur dalam beberapa pasal 125 ayat (2), Pasal 133, Pasal 134, dan Pasal 136
HIR, cara pengajuan berkenaan dengan ketentuan kapan eksepsi disampaikan dalam
proses pemeriksaan berdasarkan pasal pasal tersebut terdapat perbedaan cara
mengenai saat pengajuan eksespsi, dikaitkan dengan jenis eksepsi yang
bersangkutan.[13]
Cara mengajukan Eksepsi
Kewenangan Absolut dan Relatif (Exceptio Declinatoir) Pengajuan Eksepsi
kewenangan Absolut diatur dalam Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv, dalam kedua
pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa : Eksepsi kewenangan absolut dapat
diajukan tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung di sidang
tingkat pertama (PN), dengan kata lain tergugat berhak mengajukannya sejak
proses dimulai sampai sebelum putusan dijatuhkan. Bahkan dapat diajukan pada
tingkat banding dan kasasi. Selanjutnya berdasarkan pasal 132 Rv, telah
mengatur sebagai berikut “ dalam hal hakim tidak berwenang karena jenis pokok
perkaranya, maka ia meskipun tidak diajukan tangkisan tentang
ketidakwenangannya, karena jabatannya wajib menyatakan dirinya tidak
berwenang.” Yang dimaksud dalam pasal ini adalah Hakim secara ex officio, wajib
menyatakan diri tidak berwenang mengadili perkara yang diperiksanya, apabila
perkara diajukan secara absolut berada diluar yurisdiksinya atau termasuk dalam
kewenangan lingkungan peradilan lain, kewajiban tersebut mesti dilakukan secara
ex-officio meskipun tergugat tidak mengajukan eksepsi tentang itu.[14]
Cara pengajuan eksepsi
kompetensi relative (Relative Competentie) bentuk dan saat pengajuan eksepsi
kompetensi relative diatur dalam pasal 125(2) dan pasal 133 HIR bertitik tolak
dari kedua pasal tersebut.[15]
Meskipun undang-undang
hanya menyebut eksepsi kompetensi mengadili secara absolut dan relatif, namun
masih banyak lagi eksepsi lain yang diakui keberadaannya dalam praktek hukum
dan doktrin hukum. dan sebenarnya keabsahan dan keberadaan eksepsi selain
eksepsi kompetensi diakui secara tersirat dalam pasal 136 HIR, Pasal 114 Rv,
yang mengatur sebagai berikut : Perlawanan yang hendak dikemukakan oleh
tergugat (exceptie), kecuali tentang hal hakim tidak berkuasa, tidak akan
dikemukakan dan ditimbang masing-masing, tetapi harus dibicarakan dan
diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara. Dalam praktik acara perdata
ternyata banyak sekali bentuk eksepsi diluar eksepsi mengenai kompetensi yang
cara pengajuannya diatur dalam pasal 114 Rv. Ketentuan tersebut telah dijadikan
pedoman oleh para praktisi hukum yang pada pokoknya menggariskan: Semua eksepsi
kecuali eksepsi kompetensi absolut harus disampaikan bersama sama dengan
jawaban pertama terhadap pokok perkara, dan jika tidak dilakukan bersamaan maka
hilang hak tergugat untuk mengajukan eksepsi.[16]
Bentuk pengajuan
eksepsi tersebut dapat dilakukan secara lisan dan tertulis, sepanjang eksepsi
disampaikan sekaligus bersama dengan bantahan/jawaban pokok perkara. Dan jika
eksepsi tersebut terdiri dari beberapa jenis eksepsi selain eksepsi kompetensi
absolut maka harus dilakukan secara sekaligus tidak bisa dipisah-pisahkan.
Eksepsi lain yang tidak diajukan secara sekaligus bersama jawban pertama
dianggap gugur sebagaimana tafsir pasal 136 HIR dan 114 Rv.
Penyelesaian Eksepsi
lain diluar Eksepsi Kompetensi, diperiksa dan diputus bersama-sama pokok perkara.
Berdasarkan pasal 136 HIR penyelesaian eksepsi lain diluar eksepsi kompetensi
diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara dengan demikian
pertimbangan dan amar putusan mengenai eksepsi dan pokok perkara, dituangkan
bersama secara keseluruhan dalam putusan akhir dan jika eksepsi dikabulkan maka
putusan bersifat negatif, yaitu dengan amar putusan : mengabulkan eksepsi
tergugat dan menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima (niet
onvankelijke verklaard). Dan bila eksepsi ditolak maka pengadilan akan
mengeluarkan putusan positif berdasarkan pokok perkara sehingga putusan yang
dijatuhkan menyelesaikan persengketaan yang terjadi secara tuntas antara
penggugat dan tergugat.[17]
a. Jenis Eksepsi
Pasal 136 HIR
mengindikasikan adanya beberapa jenis eksepsi. Sebagian besar diantaranya
bersumber dari ketentuan pasal perundang-undangan tertentu. Misalnya eksepsi
nebis in indem ditarik dan dikonstruksikan dari pasal 1917 KUH Perdata. Eksepsi
dari surat kuasa khusus yang tidak memenuhi syarat, bertitik tolak dari pasal
123 ayat (1) HIR, dan sebagainya. Eksepsi Prosesual (Processuele Exceptie)
yaitu eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan. Apabila gugatan yang
diajukan mengandung cacat formil maka gugatan yang diajukan tidak sah, dengan
demikian harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvantkelijke verklaard).
Secara garis besar
eksepsi prosesual dapat dibagi kepada dua bagian :Eksepsi tidak berwenang
mengadili yang sebelumnya telah dijelaskan dan dapat diklasifikasikan, eksepsi
karena pengadilan tidak berwenang secara absolut dan eksespsi karena pengadilan
tidak berwenang secara relatif. Dan untuk eksepsi kewenangan relatif pengadilan
berkaitan langsung dengan pasal 118 HIR dan Pasal 99 Rv. Berdasarkan ketetuan
tersebut telah digariskan cara menentukan kewenangan relatif PN berdasarkan
patokan : (actor sequitor forumrer), (actor sequitor forumrer dengan hak opsi),
(actor sequitor forumrer tanpa hak opsi), tempat tinggal tergugat, forum rei sitae,
forum rei sitae dengan hak opsi, dan domisili pilihan.[18]
Lebih lanjut dibawah
ini dibahas mengenai eksepsi prosesual diluar eksepsi kompetensi. Eksepsi ini
terdiri dari berbagai bentuk atau jenis dan yang paling sering ditemukan dalam
praktek antara lain : Eksepsi Surat Kuasa Khusus Tidak Sah, dalam hal ini dapat
diajukan berbagai bentuk eksepsi, antara lain karena surat Kuasa bersifat umum,
hal ini dapat menjadi bagian eksepsi karena untuk berperkara dipengadilan harus
menggunakan surat kuasa khusus sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 123 HIR.
Kemudian eksepsi karena surat kuasa tidak memenuhi syarat formil sebagaimana
yang telah ditentukan oleh pasal 123 HIR dan SEMA No. 1 tahun 1971 (23 januari
1971) jo. SEMA No. 6 tahun 1994 (14 Oktober 1994). Dan eksepsi karena surat
kuasa dibuat oleh orang yang tidak berwenang misalnya surat kuasa yang
diberikan oleh komisaris perseroan, padahal menurut UU no 40 tahun 2007 tentang
perseroan yang dapat mewakili perseroan didalam maupun diluar peradilan adalah
direksi.[19]
Eksepsi Error in
Persona, tergugat dapat mengajukan eksepsi ini, apabila gugatan mengandung
cacat error in persona yang disebut juga exceptio in person. Bentuk atau jenis
eksepsi ini meliputi peristiwa sebagai berikut :
Eksepsi diskulifikasi
atau gemis aanhoedanigheid, yaitu eksepsi yang mengemukakan bahwa penggugat
tidak memiliki persona standi in judicio didepan PN karena penggugat bukan
orang yang berhak oleh karenanya tidak mempunyai hak dan kapasitas untuk
menggugat. Sebagai contoh apabila yang mengajukan gugatan atas nama yayasan
bukan pengurus. Dalam hal ini tergugat dapat mengajukan exceptio in persona,
atas alasan diskulifikasi in person, yakni orang yang mengajukan gugatan bukan
orang yang mempunyai kedudukan hukum untuk menggugat atas nama yayasan.
Keliru pihak yang
ditarik sebagai Tergugat, sebagai contoh putusan MA no 601 K/Sip/1975,
tentang seorang pengurus yayasan yang digugat secara pribadi untuk
mempertanggung jawabkan sengketa yang berkaitan dengan yayasan. Dalam kasus
demikian, orang yang ditarik sebagai tergugat tidak tepat, karena yang mestinya
ditarik sebagai Tergugat adalah yayasan.[20]
Exceptio plurium litis
consortium, alasan dalam mengajukan eksepsi ini adalah apabila orang yang
ditarik sebagai tergugat tidak lengkap. Atau orang yang bertindak sebagai
penggugat tidak lengkap, masih ada orang yang harus diikut sertakan sebagai
penggugat atau tergugat, baru sengketa yang dipersoalkan dapat diselsaikan
secara tuntas dan menyeluruh.[21]
Ekseptio Res Judicata
atau Nebis In Idem, atau disebut juga exceptie van gewijsde zaak, kasus perkara
yang sama tidak dapat diperkarakan dua kali, apabila suatu kasus perkara telah
pernah diajukan kepada pengadilan, dan terhadapnya telah dijatuhkan putusan,
serta putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka terhadap
kasus perkara itu, tidak boleh diajukan gugatan baru untuk memperkarakannya
kembali.[22]
Exceptio Obscuur
Libel, yang dimaksud dengan obscuur libel surat gugatan tidak terang
isinya atau disebut juga formulasi gugatan tidak jelas, padahal agar gugatan
dianggap memenuhi syarat formil dalil gugatan harus terang dan jelas atau tegas
(duidelijk). Dalam praktek dikenal beberapa bentuk eksepsi gugatan kabur.
Masing masing bentuk didasarkan pada faktor faktor tertentu antara lain :
Tidak jelasnya dasar
hukum gugatan, posita atau fundamentum petendi tidak menjelaskan dsar hukum
(rechtsgrond) dan kejadian atau peristiwa yang mendasari gugatan. Bisa juga,
dasar hukum jelas, tetapi tidak dijelaskan dasar fakta (Fatelijke grond). Dalil
gugatan seperti itu tidak memenuhi syarat formil gugatan dengan kata lain
gugatan dianggap tidak jelas dan tidak tertentu (eenduideljke en bepaalde
conclusie). Tidak jelasnya Objek Sengketa, kekaburan objek sengketa sering
terjadi mengenai tanah terdapat beberapa aspek yang menimbulkan kaburnya objek
gugatan mengenai tanah, anatara lain tidak disebutnya batas batas objek
sengketa, luas tanah berbeda dengan pemeriksaan setempat, tidak disebutnya
letak tanah yang menjadi objek gugatan, tidak samanya batas dan luas tanah
dengan yang dikuasainya tergugat.
Petitum gugatan tidak jelas dan atau Petitum tidak rinci, untuk memahami hal ini perlu mengambil contoh putusan MA No. 582 K/Sip/1973.
Petitum gugatan tidak jelas dan atau Petitum tidak rinci, untuk memahami hal ini perlu mengambil contoh putusan MA No. 582 K/Sip/1973.
Petitum gugatan meminta
:
1. menetapkan hak penggugat atas tanah sengketa,
2. menghukum tergugat supaya berhenti melakukan tindakan apapun atas tanah
terebut. Namun hak apa yang dituntut penggugat tidak jelas, apakah penggugat
ingin ditetapkan sebagai pemilik, pemegang jaminan atau penyewa. Begitu juga
petitum berikutnya, tidak jelas tindakan apa yang dihentikan tergugat. MA
berpendapat, oleh karena petitum gugatan tidak jelas, gugatan harus dinyatakan
tidak dapat diterima.[23]
Kontradiksi antara
Posita dengan Petitum, sudah dijelaskan, posita dengan petitum harus saling
mendukung tidak boleh saling bertentangan. Apabila hal itu tidak dipenuhi,
mengakibatkan gugatan menjadi kabur. Sehubungan dengan hal itu hal hal yang
dapat dituntut dalam petitum, harus mengenai penyelesaian sengketa yang
didalilkan. Mesti terbina singkronisasi dan konsistensi antara posita dengan
petitum. Selanjutnya hanya yang dijelaskan dalam posita yang dapat diminta
dalam petitum. Sesuatu yang tidak dikemukakan dalam dalil gugatan, tidak dapat
diminta dalam petitum.
Masalah Posita
Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum, meskipun ada yang berpendapat
wanprestasi atau ingkar janji (default) merupakan genus spesifik dari perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad). Alasannya, seorang debitur yang ingkar
janji atau lalai memenuhi pembayaran utang tepat pada waktunya, jelas telah
melakukan pelanggaran atas hak kreditur. Dengan demikian, terdapat persamaan
antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. akan tetapi jika diteliti
lebih lanjut terdapat perbedaan prinsip antara keduanya, antara lain :
Ditunjau dari segi
hukum, wanprestasi menurut pasal 1243 KUH Perdata timbul dari persetujuan
(aggreement) yang berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata,
1. harus ada lebih dahulu perjanjian para pihak,
2. salah satu perjanjian menggariskan apa yang telah disepakati harus dipenuhi
atau promise must be kept,
3. wanprestasi terjadi apabila debitur, tidak memenuhi janji, tidak memenuhi
prestasi tepat waktu, tidak memenuhi prestasi yang dijanjikan. Sementara
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) menurut pasal 1365 KUH Perdata lahir akibat
perbuatan orang yang merupakan perbuatan melanggar hukum pidana atau perdata
maupun keduanya.[24]
Ditinjau dari segi
timbulnya hak menuntut, dasar timbulnya hak menuntut dalam wanprestasi pada
prinsipnya diperlukan ingebrekkestelling atau pernyataan lalai atau in mora
stelling (interpellatio) kecuali jika dalam perjanjian telah mencantumkan
mengenai hal tersebut. Lain halnya dengan perbuatan melawan hukum tidak diperlukan
somasi, kapan saja terjadi Perbuatan melawan hukum pihak yang dirugikan langsung mendapat hak
untuk menuntut ganti rugi.
Dari segi tuntutan
ganti rugi, bertolak dari ketentual pasal 1237 KUH Perdata, mengatur jangka
waktu perhitungan ganti rugi yang dapat dituntut sejak terjadi kelalaian (wanprestasi),
dan pasal 1236 dan 1243 KUH Perdata mengatur tentang jenis dan julah ganti rugi
yang dapat dituntut yang terdiri dari : kerigian yang dialami oleh kreditur,
keuntungan yang diperoleh sekiranya perjanjian dipenuhi dan ganti rugi bunga
atau interest. Sedangkan pasal 1365 KUH Perdata sebagai dasar hukum perbuatan
melawan hukum tidak menyebutkan bentuk ganti ruginya juga tidak menyebutkan
rincian ganti rugi dengan demikian dapat dituntut :
a) ganti rugi nyata (actual loss) kerugian materiil;
b) kerugian immateril berupa ganti rugi pemulihan kepada keadaan semula
atau restoration to original
condition (herstel in de oorspronkelijk toestand, hestel in de vorige
toestand).[25]
Berdasarkan uraian
tersebut pada dasarnya tidak sama antara wanprestasi dengan Perbuatan melawan
hukum ditinjau dari sumber, bentuk, maupun wujudnya. Oleh karena itu dalam
merumuskan dalil gugatan tidak dibenarkan
1) mencampur adukan wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum dalam gugatan,
2) dianggap keliru merumuskan dalil perbuatan melawan hukum dalam gugatan jika
terjadi in konkreto secara realistis adalah wanprestasi atau tidak tepat jika
gugatan wanpretasi sedang peristiwa hukum yang terjadi secara objektif ialah
perbuatan melawan hukum, akan tetapi dimungkinkan menggabungkan atau mengakumulasikan
keduanya dalam satu gugatan dengan syarat harus tegas pemisahannya.[26]
Eksepsi Hukum Materiil
(materiele exceptie) dari pendekatan doktrin terdapat beberapa macam eksepsi
hukum materiil yang cara pengajuannya tunduk pada pasal 136 dan 114 Rv dengan
demikian caranya sama dengan eksepsi prosesual. Namun perlu diketahui jenis
jenis eksepsi materil sebagai berikut :
1. Exceptio dilatoria, atau disebut juga dilatoria exceptie yaitu gugatan
penggugat tidak dapat diperiksa karena prematur dalam arti gugatan mengandung
sifat atau keadaan prematur karena batas waktu untuk menggugat belum sampai
pada waktu yang disepakati atau karena telah dibuat penundaan pembayaran oleh
kreditur. Atau dengan kata lain tertundanya gugatan disebabkan adanya faktor
yang menangguhkan.[27]
2. Exceptio Premtoria, yaitu jenis eksepsi yang dapat menyingkirkan (set
aside) gugatan karena masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan. Karena apa
yang digugat telah tersingkir umpanya hal yang digugat bersumber dari
perjanjian yang telah hapus berdasarkan 1381 KH Perdata, misalnya permasalahan
yang digugat telah dibayar, dikonsinyasi, dinovasi, dikompensasi, dan
sebagainya. Atau apa yang digugat telah dieksekusi berdasarkan pasal 224 HIR.
Bentuk exceptio peremtoria (peremtoria exceptie) antara lain terdiri dari :
3. Exceptio Temporis (eksepsi daluarsa). Menurut pasal 1946 KUH Perdata
daluarsa atau lewat waktu (expiration) selain menjadi dasar hukum untuk
memperoleh sesuatu, juga menjadi landasan hukum untuk membebaskan (release)
seseorang dari suatu perikatan setelah lewat jangka waktu tertentu. Dan
mengenai pengajuannya dapat diajukan disetiap tahapan sedangkan diperiksanya
dan diputus bersama dengan pokok perkara dalam bentuk putusan akhir.[28]
4. Exceptio non pecuniae numeratae, eksepsi yang berisikan sangkalan
tergugat (tertagih), bahwa uang yang dijanjikan untuk dibayar kembali, tidak
pernah diterima. Akan tetapi eksepsi ini sangat erat kaitannya denan kemampuan
atau keberhasilan tergugat membuktikan bahwa uang yang disebut dalam perjanjian
tidak pernah diterima. Apabila tergugat tidak mampu membuktikan eksepsinyapun
ditolak.[29]
5. Exceptio doli mali, atau biasa disebut juga exceptio doli presentis,
yaitu keberatan mengenai penipuan yang dilakukan dalam perjanjian. Jadi eksepsi
yang menyatakan penggugat telah menggunakan tipu daya dalam perbuatan
perjanjian. Dengan demikian eksepsi ini berikaitan dengan ketentuan pasal 1328
KUH Perdata.
6. Exceptio metus, eksepsi ini mengandung keberatan terhadap gugatan pengguagat
yang bersumber dari perjanjian yang mengandung paksaan (dwang) atau compulsion
(dures). Eksepsi ini berkaitan erat dengan ketentuan pasal 1323 dan 1324 KUH
Perdata.[30]
7. Exceptio non adimpleti contractus, eksepsi ini dapat diterapkan dalam
gugatan yang bersumber pada perjanjian timbal balik, masing masing pihak
dibebani kewajiban (obligation) untuk memenuhi prestasi secara timbal balik.
Seseroang tidak berhak menggugat apabilia dia sendiri tidak memenuhi apa yang
menjadi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
8. Exceptio Domini, eksepsi ini merupakan tangkisan yang diajukan tergugat
terhadap gugatan, yang berisi bantahan yang menyatakan objek barang yang
digugat bukan milik penggugat, tetapi milik orang lain atau milik tergugat.
9. Exceptio litis pendentis, yaitu eksepsi yang berisikan bantahan bahwa
sengketa yang digugat oleh penggugat, sama dengan perkara yang sedang diperiksa
oleh pengadilan. Disebut juga eksepsi sub-judice yang berarti gugatan yang
diajukan masih tergantung (aanhagig) atau masih berlangsung atau sedang
berjalan pemeriksaannya dipengadilan. (boy).[31]
Macam-macam Eksepsi/tangkisan dalam Hukum Acara
yaitu:
a.
Eksepsi
mengenai kekuasaan relatif, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa PN tidak
berwenang mengadili perkara. Diajukan sebelum tergugat menjawab pokok perkara.
b.
Eksepsi
mengenai kekuasaan absolut, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa PN tidak
berwenang untuk mengadili perkara tsb (psl 143 HIR), eksepsi mengenai kekuasaan
absolut dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan perkara berlangsung,
bahkan hakim wajib karena jabatannya (tanpa harus diminta oleh tergugat)
c.
Eksepsi
Deklinatoir (mengelakkan), hakim tidak berwenang (psl 133, 134) jika benar maka
gugatan penggugat diputus tidak dapat diterima. Dalam hal ini penggugat dapat
mengajukan gugatan baru pada pengadilan yang berwenang.
d.
Eksepsi
Dilatoir (menangguhkan, menunda): contoh, tergugat menyatakan bahwa gugatan
diajukan prematur, belum saatnya. Kalau gugatan penggugat dinyatakan tidak
dapat diterima, penggugat dapat menggugat kembali setelah tiba saatnya.
e.
Eksepsi
Peremptoir (menyudahi, menyelesaikan): Contoh daluwarsa, kalau oleh hakim
gugatan tersebut ditolak, maka penggugat tidak dapat mengajukan gugatan lagi.
f.
Eksepsi
Diskualifikatoir: yaitu penggugat dianggap tidak mempunyai kedudukan yang
dimaksud dalam gugatan.
g.
Eksepsi
ne bis in idem: eksepsi yang menyatakan bahwa perkara yang sekarang seluruhnya
sama dengan perkara yang terdahulu diputus yaitu baik objeknya, persoalannya
maupun pihak-pihaknya sama (nebis in idem).[32]
BAB
III
PENUTUP
Simpulan :
Setelah
membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai
berikut:
Kekuasaan
mutlak peradilan agama dilingkungan peradilan agama terdapat dua tingkat
pengadilan, yaitu pengadilan agama pengadilan tingkat pertama dan pengadilan
tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding.
Kekuasaan
relative adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam
lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah
hukum antar Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama. Seperti misal,
antara Pengadilan Agama Bandung dengan Pengadilan Agama Bogor.
Kewenangan
absolute adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa
kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan
golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.
Tugas
kewenangannya yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara
perdata bidang :
a.
Perkawinan
b.
Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hukum islam
c.
Wakaf dan sedekah.
Eksepsi adalah
suatu tangkisan atau bantahan pembelaan yang diajukan tergugat terhadap materi
gugatan penggugat. Namun, tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk
eksepsi ditujukan kepada hal yang menyangkut syarat formalitas gugatan dan
tidak ditujukan atau menyinggung bantahan terhadap pokok perkara.
Eksepsi
kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat, selama proses
pemeriksaan berlangsung. Sejak proses pemeriksaan dimulai sampai sebelum
putusan dijatuhkan dipersidangan tingkat pertama (peradilan negeri). Sedangkan
eksepsi kewenagan relatif pengajuannya harus disampaikan pada siding pertama
dan bersamaan pada saat mengajukan jawaban pertama terhadap materi pokok
(perkara) apabila tidak terpenuhi syarat tersebut mengakibatkan hak tergugat
untuk mengajukan eksepsi menjadi gugur. Eksepsi kewenangan relative ini dapat
berupa lisan dan tulisan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Lubis Sulaikin, Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama diindonesia, Jakarta: Kencana,2005.
Sutantio Retnowulan, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Gema insani Press, 1996.
Artikel :
Santoso, Macam-macam Eksepsi,
2010, http://www.santoslolowang.com/macam
macam-eksepsi/
[1] M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Perdata Agama, (Jakarta:
Pustaka Kartini), 1993, h. 133.
[2] Ibid, h.
134.
[3] Ibid, h.
134.
[4] Ibid, h.
135.
[7] Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di indonesia, (Jakarta: Kencana,2005), h.101.
[8] http://www.hukumacaraperdata.com/2012/12/04/eksepsi-kewenangan-mengadili/, diakses pada hari Rabu, 20 November 2013, jam
14:00 Wita.
[9] Ibid.,
[10] Ibid,.
[11] Ibid,.
[12] Ibid,.
[14] Ibid.,
[15]
Ibid.,
[16] Ibid.,
[19] Ibid.,
[20] Ibid.,
[21] Ibid.,
[22] Ibid.,
[23] Ibid.,
[24] Ibid.,
[25] Ibid.,
[26] Ibid.,
[27] Ibid.,
[28] Ibid.,
[29] Ibid.,
[30] Ibid.,
[31] Ibid.,
[32] Santoso, Macam-macam
Eksepsi, 2010, http://www.santoslolowang.com/macam macam eksepsi/, diakses pada hari
jum’at, 22 November 2013, pada jam 09:00 Wita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar