PEMBAHASAN
HUKUM KEKERABATAN DAN PERKAWINAN
A.
Hukum Kekerabatan
1.
Pengertian Keturunan
Keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada perhubungan darah
antara seorang dengan seorang yang lain. Individu sebagai keturunan (anggota
keluarga) mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu yang berhubungan
dengan kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan, misalnya boleh ikut
menggunakan nama keluarga, boleh ikut menggunakan dan berhak atau bagian
kekayaan keluarga, wajib saling pelihara memelihara dan saling bantu-membantu,
dapat saling mewakili dalam melakukan perbuatan dengan pihak ketiga dan lain
sebagainya.[1]
Keturunan dapat bersifat:[2]
a.
Lurus,
apabila orang yang satu itu merupakan langsung keturunan yang lain, misalnya
antara bapak dan anak, antara kakak, bapak dan anak. Disebut lurus ke bawah
kalau rangkaiannya dilihat dari kakek, bapak ke anak, sedangkan disebut lurus
ke atas kalau rangkaiannya dilihat dari anak, bapak ke kakek.
b.
Menyimpang
atau bercabang, apabila antara kedua orang atau lebih itu terdapat adanya
keturunan, misalnya bapak ibunya sama (saudara sekandung) atau se-kakek-nenek
dan lain sebagainya.
Selain keturunan itu dapat bersifat lurus atau menyimpang,
keturunan ada tingkatan-tingkatan atau derajat-derajatnya. Tiap kelahiran
merupakan satu tingkatan atau derajat, jadi misalnya seorang anak merupakan
keturunan tingkat 1 dari bapaknya, cucu merupakan keturunan tingkat 2 dari
kakeknya, aku dengan saudaraku sekandung merupakan hubungan kekeluargaan
tingkat 2 dan lain sebagainya.[3]
Tingkat-tingkat atau derajat-derajat demikian itu lazimnya
digunakan atau yang sering dipergunakan untuk kerabat-kerabat raja, misalnya
untuk menggambarkan dekat atau sudah jauhnya hubungan kekeluargaan dengan raja
yang bersangkutan sehingga ada yang disebut bangsawan tingkat 1 atau derajat 1
(putera raja), bangsawan tingkat 2 (cucu raja), bangsawan tingkat 3 (cicit
raja) dan lain sebagainya.[4]
Kita mengenal juga keturunan garis bapa (keturunan patrilineal)
dan keturunan garis ibu (keturunan matrilineal). Keturunan patrilineal
adalah orang-orang yang hubungan darahnya hanya melulu melewati orang laki-laki
di antara mereka ada orang laki-laki dan orang perempuan. yang laki itu adalah
para “acabah” (Islam). demikian juga keturunan matrilineal adalah
orang-orang yang hubungan darahnya hanya melulu melewati orang perempuan saja.
Suatu masyarakat yang dalam pergaulannya sehari-hari hanya mengakui keturunan patrilineal
atau matrilineal saja, disebut unilateral. Sedangkan yang mengakui
keturunan dari kedua belah pihak disebut bilateral.[5]
2.
Hubungan Anak Dengan Orang Tua
Hubungan anak dengan orang tua dapat dibedakan antara anak kandung,
anak tiri, anak angkat, anak pungut, anak akuan dan anak piara, yang
kedudukannya masing-masing berbeda menurut hukum kekerabatan setempat, terutama
dalam hubungannya dengan masalah warisan.
a.
Anak
kandung
Semua anak yang lahir dari perkawinan ayah dan ibunya adalah anak
kandung. Apabila perkawinan ayah dan ibunya sah, maka anaknya adalah anak
kandung yang sah, apabila perkawinan ayah dan ibunya tidak sah, maka anaknya
menjadi anak kandung yang tidak sah. Anak kandung yang sah adalah ahli waris
dari orang tuanya yang melahirkannya, sedangkan anak kandung yang tidak sah ada
kemungkinan sebagai berikut:[6]
-
Tidak
berhak sebagai ahli waris dari orang tua yang melahirkannya, baik dari ayahnya
maupun dari ibunya.
-
Hanya
berhak sebagai ahli waris dari ibu yang melahirkannya, atau mungkin dari
ayahnya saja tanpa dari ibunya
-
Berhak
sama dengan anak kandung yang sah sebagai ahli waris dari ayah ibu kandungnya.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 42 dikatakan bahwa anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah,
selanjutnya menurut pasal 43 ayat 1 dikatakan anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Perkataan “diluar perkawinan” sebenarnya tidak sama dengan pengertian “dalam
perkawinan yang tidak sah”. Oleh karena “diluar perkawinan berarti tidak melakukan
perkawinan alias perzinahan, lain halnya dengan perkawinan yang tidak sah yang
belum tentu dapat dikatakan perzinahan. Hal ini dapat menimbulkan salah tafsir.[7]
Menurut pasal 56 UU No. 1 Tahun 1974 ayat 1 dikatakan perkawinan
yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia
denga warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang
berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara
Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini.[8]
Menurut hukum adat Lampung perkawinan yang sah adalah perkawinan
yang dilaksanakan menurut hukum agama Islam dan diakui oleh hukum adat. Anak
yang dilahirkan dari perkawinan itu adalah anak yang sah menurut hukum adat dan
oleh karenanya ia berhak sebagai ahli waris dari ayahnya baik dalam harta
warisan maupun dalam kedudukan adat. Tetapi jika perkawinan itu dilakukan
menurut hukum agama Islam tidak diakui oleh hukum adat atau belum dimasukkan
dalam kewargaan adat, maka si anak hanya mungkin menjadi ahli waris dari orang
tuanya tetapi belum berhak sebagai ahli waris dalam kedudukan adat orang
tuanya.[9]
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 pasal 46 anak wajib menghormati orang
tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. Jika anak sudah dewasa, ia wajib
memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke
atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya. Kewajiban ini menurut hukum adat
harus ditafsirkan lebih luas, sesuai dengan susunan kekerabatan yang
bersangkutan. Sebaliknya merupakan kewajiban orang tua untuk memaafkan
perbuatan anaknya yang salah, perbuatan orang tua yang sampai membuang anak
atau melakukan pengusiran terhadap anak sehingga hubungan hukum antara anak dan
orang tua menjadi terhapus, sebenarnya ini merupakan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum adat. Misalnya membuat anaknya karena melakukan kawin
lari. Pada kenyataannya walaupun orang tua sampai membuang anaknya namun
kerabat tidak sampai pula bertindak demikian. Kecuali apabila perbuatan si anak
sudah tidak dapat dimaafkan lagi menurut pandangan umum, sehingga si anak
terpaksa dihukum buang.[10]
b.
Anak
tiri
Anak tiri yang dimaksud di sini adalah anak kandung yang dibawa
oleh suami atau isteri ke dalam perkawinan, sehingga salah seorang dari mereka
menyebut anak itu sebagai anak tiri. Jadi anak tiri adalah anak bawaan dalam
perkawinan. Kedudukan anak tiri di dalam suatu keluarga/rumah tangga di
kalangan masyarakat adat juga terdapat perbedaan-perbadaan, baik dikarenakan
susunan kekerabat maupun karena bentuk perkawinan ayah atau ibu kandung dengan
ayah atau ibu tirinya. Kewajiban orang tua tiri terhadap anak tiri yang
diikutsertakan dalam perkawinan, baik untuk memelihara atau mendidik mereka
tidak ada ubahnya dengan anak sendiri. Demikian pula sebaliknya kewajiban anak
tiri terhadap orang tua tiri yang memelihara dan mendidiknya. Namun demikian
harus diperhatikan bahwa ayah tiri dalam perkawinan kedua tidak boleh begitu
saja melakukan transaksi atas hak milik anak tiri yang masih dibawah umur tanpa
ada kesepakatan anggota kerabat.[11]
Kedudukan anak tiri dalam bentuk perkawinan jujur atau semanda
tidak terlepas dari pengaruh kekerabatan ayah atau kekerabatan ibu. Lain halnya
dalam bentuk perkawinan mentas, yang berlaku para masyarakat adat seibu
sebapak, di mana harta perkawinan orang tua dapat dipisah-pisahkan dengan
nyata, antara harta bawaan, harta penghasilan, harta pencaharian dan
barang-barang hadiah perkawinan. Dalam hal ini anak tiri pada dasarnya hanya
mewaris dari orang tua yang melahirkannya.[12]
c.
Anak
angkat
Anak angkat adalah anak orang lain yang diangkat oleh orang tua
angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk
kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.
Pengangkatan anak biasanya dilakukan terhadap anak kemekan sendiri yang
biasanya diambil dari keturunan yang lebih muda dan pengangkatan anak tersebut
harus terang kejelasannya dan disetujui oleh semua anggota kerabat yang
bersangkutan.[13]
Kedudukan anak angkat demikian sama halnya dengan kedudukan anak kandung yang
akan menjadi penerus dan pewaris selanjutnya dari orang tua angkatnya, dan anak
angkat itu tidak lagi mewaris dari orang tua kandungnya, kecuali apabila orang
tua kandungnya tidak mempunyai anak lelaki lain, sehingga si anak menjadi
penerus dan pewaris dari dua orang ayah bersaudara.[14]
d.
Anak
akuan
Anak akuan atau juga di sebut “anak semang” (Minangkabau), “anak
pupon atau anak pungut” (Jawa), ialah anak orang lain yang diakui
anak oleh orang tua yang mengakui karena belas kasihan atau juga dikarenakan
keinginan mendapatkan tenaga pembantu tanpa membayar upah. Demikian kita bnayak
dapat melihat keluarga/rumah tangga seseorang yang tidak saja memelihara
anggota keluarga sendiri, tetapi juga orang lain yang terdiri dari orang-orang
yang kehidupannya susah. Disamping itu ada kemungkinan suatu keluarga yang
tidak atau belum mempunyai keturunan, mengambil anak orang lain untuk
dipelihara sebagai “anak panutan” sebagai anak pancingan, agar keluarga yang
memelihara anak itu mendapat keturunan karenanya.[15]
Kedudukan anak-anak akuan terhadap orang tua yang mengakui bukan
sebagai warisnya, oleh karena pada dasarnya pengakuan anak itu tidak mengubah
hubungan hukum antara si anak dengan orang tua kandungnya. Kecuali jika
kedudukan si anak dirubah dari anak akuan menjadi anak angkat. Adakalanya anak
akuan itu mendapat bagian harta warisan dari orang tua yang mengakuinya, hal
demikian dilakukan karena kebijaksanaan atau belas kasihan orang tua atau pihak
kerabat yang mengakuianya.[16]
e.
Anak
piara
Anak piara atau anak titipan adalah anak yang diserahkan orang lain
untuk dipelihara sehingga orang yang tertitip merasa berkewajiban untuk
memelihara anak itu. biasanya penitipan anak untuk dipelihara orang lain
terjadi dalam lingkungan orang-orang yang masih ada hubungan kekerabatan.
Misalnya penitipan cucu kepada kakek merupakan kebiasaan dikalangan masyarakat
adat Jawa. Adakala penitipan anak untuk dipelihara orang lain terjadi diantara orang
yang tidak ada hubungan kekerabatan, termasuk perbuatan menitipkan anak di
rumah sakit atau di rumah pemeliharaan “panti asuhan”.[17]
Dalam hal ini hubungan hukum antara si anak dengan orang tua yang
menitipkan tetap ada, anak tersebut adalah waris dari orang tua kandungnya,
bukan waris dari orang tua yang memeliharanya. Orang tua kandung si anak tetap
berhak untuk mengambil si anak kembali ke tangannya, atau sebaliknya orang tua
kandung itu berkewajiban menerima penyerahan kembali si anak dari tangan pemeliharanya.
Apabila si anak piara diambil kembali atau diserahkan kembali kepada orang tua
kandungnya, maka orang tua kandung berkewajiban memberi ganti rugi atas jerih
payah pemelihara tidak berlaku, jika pemeliharaan terhadap si anak didasarkan
atas sukarela.[18]
3.
Hubungan Anak Dengan Kerabat Orang Tuanya
Pada umumnya hubungan anak dengan keluarga ini sangat tergantung
dari keadaan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Seperti telah
diketahui, di Indonesia terdapat persekutuan-persekutuan yang susunannya
berlandaskan tiga macam garis keturunan, yaitu garis keturunan ibu, garis
keturunan bapak dan garis keturunan bapak-ibu. Dalam persekutuan yang menganut
garis keturunan bapak-ibu misalnya, maka hubungan anak dengan keluarga dari
pihak bapak ataupun ibu ialah sama eratnya ataupun derajatnya. Dalam susunan
kekeluargaan yang bilateral ini, maka masalah-masalah tentang larangan
kawin, warisan, kewajiban memelihara dan lain-lain hubungan hukum terhadap
kedua belah pihak keluarga adalah sama.[19]
Lain halnya dalam persekutuan yang sifat susunan kekeluargaan adalah
unilateral, yaitu patrilineal (menurut garis keturunan bapak)
atau matrilineal (menurut garis keturunan ibu). Dalam persekutuan-persekutuan
yang matrilineal, hubungan antara anak dengan keluarga dari pihak ibu
adalah jauh lebih erat dan jauh lebih penting dianggapnya daripada hubungan
antara anak dengan keluarga pihak bapak. Demikian sebaliknya dalam persekutuan patrilineal
hubungan dengan keluarga pihak bapak dianggapnya lebih penting dan tinggi
derajatnya.[20]
Tetapi perlu ditegaskan dalam persekutuan yang sifat hubungan
kekeluargaannya unilateral ini adalah bahwa dengan dilebih-lebihkannya
peningkatannya hubungan dengan salah satu pihak keluarga saja sama sekali tidak
berarti, bahwa persekutuan dimaksud hubungan kekeluargaan dengan keluarga pihak
kedua tidak diakui, hubungan dengan kedua belah pihak keluarga diakui adanya,
hanya sifat susunan masyarakatnya yang unilateral itu menyebabkan
hubungan keluarga dengan salah satu pihak menjadi lebih erat dan lebih penting.[21]
B.
Hukum Perkawinan
1.
Pengertian Perkawinan
Perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang,
dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan
tujuan material, yakni membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal
itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam
Pancasila.[22]
Dalam buku Hukum Adat, perkawinan adalah salah satu
peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita, sebab
perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja,
tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan
keluarga-keluarga mereka masing-masing.[23]
2.
Sistem Perkawinan Dalam Tiga Sistem Kekerabatan
a.
Sistem
Endogami
Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang
dari suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini kini jarang sekali
terdapat di Indonesia. Menurut Van Vollenhoven hanya ada satu daerah saja yang
secara praktis mengenal system endogamy ini, yaitu daerah Toraja. Tetapi dalam
waktu dekat, di daerah ini pun sistem ini akan lenyap dengan sendirinya kalau
hubungan daerah itu dengan daerah lain lebih erat dan mudah. Sebab sistem
tersebut di daerah ini hanya terdapat secara praktis saja, lagi pula endogamy
sebetulnya tidak sesuai dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada di daerah
itu, yaitu parental.[24]
b.
Sistem
Exogami
Dalam sistem ini orang diharuskan kawin dengan orang diluar suku
keluarganya. Sistem demikian ini terdapat misalnya di daerah Gayo, Alas,
Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram. Dalam perkembangan
jaman ternyata, bahwa sistem exogami ini dalam daerah-daerah tersebut di
atas lambat laun mengalami proses perlunakan sedemikian rupa, hingga larangan perkawinan itu
diperlakukan hanya pada lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja. Dengan
demikian sistem ini dalam daerah-daerah tersebut dalam perkembangan masa akan
mendekati sistem eleutherogami.[25]
c.
Sistem
Eleutherogami
Sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau
keharusan-keharusan seperti halnya dalam sistem endogami atau exogami.
Larangan-larangan yang terdapat dalam system ini adalah larangan-larangan yang
bertalian dengan ikatan kekeluargaan yakni larangan karena:[26]
·
Nasab
(keturunan yang dekat) : seperti kawin dengan ibu, nenek, anak
kandung, cucu (keturunan garis lurus ke atas dan ke bawah) juga dengan saudara
kandung, saudara bapak atau ibu.
·
Musyaharah
(pe-iparan): seperti kawin dengan ibu tiri, menantu, mertua, anak
tiri.
Eleutherogami ternyata yang
paling meluas di Indonesia, misalnya di Aceh, Sumatera Timur, Bangka Biliton,
Kalimantan, Minahasa, Sulawesi Selatan, Ternate, Irian Barat, Timor, Bali,
Lombok dan seluruh Jawa Madura.[27]
3.
Prosedur Perkawinan
Menurut UU No. 1 Tahun 1974, maka prosedur perkawinan menurut hukum
adat adalah sebagai berikut:[28]
a.
Perkawinan
bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun
dan damai, bahagia dan kekal.
b.
Perkawinan
tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaan, tetapi
jug harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat.
c.
Perkawinan
dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai isteri yang
kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.
d.
Perkawinan
harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat
adat dapat menolak kedudukan suami atau isteri yang tidak diakui masyarakat
adat.
e.
Perkawinan
dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau masih
anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan
izin orang tua/keluarga dan kerabat.
f.
Perceraian
ada yang dibolehkan dan ada yang tidak dibolehkan. Perceraian antara suami dan
isteri dapat berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara dua pihak.
g.
Keseimbangan
kedudukan antara suami dan isteri berdasarkan ketentuan hukum adat yang
berlaku, ada isteri yang berkedudukan sebagi ibu rumah tangga dan ada isteri
yang bukan ibu rumah tangga.[29]
4.
Putusnya Perkawinan dan Akibat Perceraian
Pada dasarnya suatu perkawinan itu dapat putus dikarenakan
“kematian” atau “perceraian”, walaupun hubungan perkawinan itu sendiri belum
tentu putus sama sekali, dikarenakan hukum adat setempat tidak mengenal putus
hubungan perkawinan. Tegasnya perkawinan antara suami isteri itu putus karena
kematian, tetapi hubungan sebagai akibat perkawinan diantara kerabat para pihak
bersangkutan tidak putus, apalagi jika dari perkawinan itu terdapat keturunan.[30]
Dikalangan masyarakat adat yang bersifat bilateral, apabila suami
wafat, maka isteri yang putus perkawinannya dapat kembali kekerabat asalnya.
Tetapi dikalangan masyarakat adat patrilineal dalam bentuk perkawinan
jujur, apabila suami wafat, isteri tetap dirumah kerabat suami, walaupun ia
tidak mempunyai keturunan, oleh karena kedudukan isteri bukan lagi warga adat
dari kekerabatan asalnya tetapi telah menjadi warga adat kekerabatan suami.[31]
Putusnya perkawinan dikarenakan perceraian baik menurut hukum adat
maupun menurut hukum agama adalah perbuatan tercela, karena perbuatan itu
dibenci oleh Tuhan. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 bahwa perceraian hanya
dapat dilakukan di depan siding pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak dan untuk melakukan
perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan
dapat hidup rukun sebagai suami isteri.[32]
Adapun menurut hukum adat yang merupakan sebab-sebab terjadinya
perceraian dari suatu perkawinan adalah sebagai berikut:
a.
Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.
Suami
tidak memberi nafkah zohir dan batih kepada isterinya dalam waktu yang lama,
misalnya suaminya masuk penjara dan dihukun selama bertahun-tahun.
c.
Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
terhadap pihak yang lain.
d.
Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
e.
Antara
suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.[33]
DAFTAR PUSTAKA
Surojo
Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: PT. Gunung
Agung, 1983.
Hilman
Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,
1995.
Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta: Sinar
Grafika, 1992.
[2]
Ibid
[3]
Ibid, h. 109
[4]
ibid
[5]
ibid
[6]
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti, 1995), h. 143
[7]
Ibid, h. 144
[8]
ibid
[9]
Ibid, h. 145
[10]
Ibid , h. 147
[11]
Ibid, h. 148
[12] Ibid, h. 149
[13]
Ibid
[14]
Ibid
[15]
Ibid, h. 150
[16]
Ibid, h. 151
[17]
Ibid, h. 152
[18]
Ibid
[19]
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, op.cit., h. 115
[20]
Ibid, h. 116
[21]
ibid
[22]
Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika,
1992), h. 6
[23] Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan
Asas-Asas Hukum adat, op.cit., h. 122
[24]
Ibid, h. 132
[25]
ibid
[26]
ibid
[27]
Ibid, h. 133
[28]
Ibid, h. 70
[29]
Ibid, h. 71
[30]
Ibid, h. 170
[31]
ibid
[32]
Ibid, h. 171
[33]
Ibid, h. 172
OBAT PEMBESAR PENIS TITAN GEL ASLI
BalasHapusOBAT PEMBESAR PENIS TITAN GEL
OBAT PEMBESAR PENIS HAMMER OF THOR ASLI
OBAT PEMBESAR PENIS HAMMER OF THOR ASLI
OBAT PEMBESAR PENIS KLG
OBAT PEMBESAR PENIS HAMMER OF THOR
BalasHapusOBAT PEMBESAR PENIS HAMMER OF THOR ASLI
OBAT PEMBESAR PENIS KLIK
agen poker
BalasHapusagen poker terbaik
agen poker terpercaya
poker uang asli
situs poker
poker online
agen bola
agen bola terpercaya
agen sbobet
casino online
judi bola
situs judi online
poker online
agen judi bola
agen judi terpercaya dan terlengkap
judi online
SITUS NONTON Bokep HD TANPA BUFFERING Update setiap hari dan Terlengkap KUNJUNGI -->>
BalasHapushttp://indogirlfriend.net/
The blog article very surprised scr888 android and ios download to me! Your writing is good. In this I learned a lot! Thank you!
BalasHapusIt was another joy to see 918kiss download ios your post. It is such an important topic and ignored by so many, even professionals. I thank you to help making people more aware of possible issues. Great stuff as usual...
BalasHapusThis is a brilliant writing and very pleased to find this site. I couldn’t discover to much different information scr888 apk download android 2019 on your blog. I will surely be back again to look at some other important posts that you have in future.
BalasHapusI visited your blog 119 127 162 8099 apk scr888 casino game 4 for the first time and just been your fan. I Will be back 119 127 162 8099 apk scr888 casino game 4 often to check up on new stuff 103 155 104 8099 APK SCR888 CASINO GAME you post!
BalasHapusValuable site, where did u come up with mega888 for pc
BalasHapusthe information in this posting? I am pleased I discovered it though, ill be checking back soon to find out what new content pieces u have.