BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis merupakan rujukan kedua dalam kajian hukum Islam setelah Al-Qur’an. Oleh karena itu, kedudukan
hadis sangat signifikan dan urgen dalam Islam. Hanya saja urgensi dan signifikansi hadis tidak mempunyai makna, manakala
eksistensinya tidak didukung
oleh uji kualifikasi historis yang memadai dalam proses transmisinya (periwayatan). Mempelajari hadis adalah bagian dari keimanan umat
terhadap kenabian Muhammad Saw. Hal ini karena figur
Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah Allah Swt. itu tidak bisa diteladani
kecuali dengan pengetahuan yang memadai tentang diri dan sejarah hidupnya serta
tentang sabda dan perilaku hidupnya yang terkait sebagai pembawa risalah.
Kajian
tentang sabda dan perilaku Nabi oleh para ahli diformulasikan dalam wujud ilmu
hadis (ulumul hadis). Dalam ulumul hadis, hadis Nabi yang dipelajari tidak
hanya menyangkut sabda atau teks (matan) hadis, tetapi menyangkut seluruh aspek
yang terkait dengannya,
terutama menyangkut periwayatan hadis dan orang-orang yang meriwayatkannya.
Melakukan
pengkajian secara khusus tentang periwayatan hadis itu sangat penting. Dengan menunjukkan macam-macam
periwayatan hadis, adab atau tata cara periwayatan hadis, serta cara-cara menerima dan menyampaikan
hadis dapat diketahui mana hadis yang shahih dan mana hadis yang dha’if. Maka pengkajian seperti yang telah disebutkan di atas
dirasa perlu untuk menambah pengetahuan dan ilmu-ilmu baru serta sebagai
penunjang pemahaman terhadap hadis Nabi.
Hadis
dapat didefinisikan sebagai segala perbuatan, ucapan dan ketetapan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Faktanya hadis tidaklah
langsung disampaikan dari Nabi
langsung kepada periwayat hadis tersebut, karena mereka hidup di era
yang berbeda. Akan tetapi, hadis sampai kepada periwayat hadis melalui banyak cara yang dinamakan tahamul
wal ada’ dan banyak perantara. Mulai dari sahabat, tabi’in, tabi’uttabiin, syaikh dan akhirnya sampai pada
periwayat.
Pada
makalah ini penulis akan membahas tentang bentuk-bentuk periwayatan hadis pada
bab selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari periwayatan hadits?
2.
Bagaimana ciri-ciri orang yang meriwayatkan dan
menerima hadits?
3.
Bagaimana bentuk periwayatan hadits?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Periwayatan Hadits
Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadis,
hadis Nabi terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul
hadis atau al-riwayah, yang dalam bahasa Indonesia dapat
diterjemahkan dengan periwayatan. Kata al-riwayah adalah masdar dari
kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql (penukilan), al-zikr
(penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan al-istoqa’ (pemberian
minum sampai puas). Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa
disebut dengan riwayat.[1]
Sementara secara istilah ilmu hadis, menurut M.
Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-riwayah adalah kegiatan penerimaan dan
penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para
periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadis
dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaiakan hadis itu kepada orang
lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan
periwayatan hadis. Sekiranya orang tersebut menyampaiakan hadis yang
diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadis itu tidak
menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat
dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis.
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa
point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis Nabi, yaitu:
1.
Orang yang melakukan periwayatan hadis yang
kemudian dikenal dengan ar-rawiy (periwayat).
2.
Apa yang diriwayatkan (al-marwiy)
3.
Susunan rangkaian pera periwayat (sanad/isnad)
4.
kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian
dikenal dengan matan.
5.
kegiatan yang berkenaan dengan proses
penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al- Hadis).
Adapun metode mempelajari hadits / menerima
hadits yang biasa di pakai secara umum oleh ulama berbagai generasi adalah:
- Al-Sima’, yaitu seorang guru membaca hadits yang dihafalnya atau yang ada di kitab tertentu di hadapan murid, orang mendengarkan kata-katanya. Metode ini dipandang paling bagus di antara metode yang ada menurut para ulama hadits. Tetapi ada juga yang berpendapat, alangkah baiknya kalau disamping mendengar juga mencatat, ketimbang mendengar saja. Kedua metode yang menyatu ini mempersempit peluang tercecernya hadits.
- Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh. Yaitu seorang murid membaca hadits (yang boleh jadi diperoleh dari guru yang lain) di depan guru. Agaknya metode ini diilhami oleh sebuah peristiwa ketika Dhammam ibn Tsa’labah memperoleh informasi dari orang lain, kemudian bertanya kepada Rasulullah, “apakah Allah memerintahkan agar engkau sholat beberapa kali?” Rasulullah menjawab “ya”.
- Al-Ijazah. Metode ini adalah sebuah metode dengan pemberian izin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan buku hadits tanpa membaca hadits tersebut sata demi satu.
- Al-Munawalah. Yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadits atau kitab utuk diriwayatkan. Metode ini mirip ijazah ada ungkapan eksplisit dari guru bahwa murid diberi ijazah boleh meriwayatkan hadits yang diberikan.
- Al-Mukatabah yaitu sorang guru menulis hadits untuk seseorang.misalnya tulisan seorang ulama tentang hadits yang dikirimkan kepada ulama lain. Kelihatannya, metode ini secara implisit mengandung ijazah. Itu sebabnya, ada yang berpendapat bahwa metode ini dengan ijazah ini lebih baik. Menurut Prof, A’zami dalam terminologi modern, cara ini dapat disebut korespodensi.
- I’lam al-Syaikh yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadits-hadits yang ada dalam kitab tertentu itu hasil periwayatan yang diperoleh guru dari si fulan, tanpa menyebut izin / ijazah periwayatan si murid kepada orang lain.
- Al-Wasyiyah yaitu seorang guru mewasiatkan buku-buku hadits kepada muridnya sebelum pergi atau meninggal.
- Al-Wijada yaitu ada orang yang menemukan catatan atau buku hadits yang ditulis oleh orang lain tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkan hadits di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang. Metode ini disamping dilakukan orang pada masa lalu banyak juga dilakukan pada masa sekarang di mana banyak orang memperoleh hadits dari buku tanpa melalui proses seperti di atas.[2]
B. Bentuk Periwayatan Hadits
a.
Bil Lafadzi
Dalam kamus besar Indonesia, periwayatan adalah
kata yang memberoleh awalan “me” dan akhiran “an” yang berasal dari kata
“riwayat” yaitu cerita yang turun temurun. Periwayatan hadis dengan lafadz
dimaksudkan adalah periwayatan hadis dengan menggunakan lafadz sebagaimana
Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun
walaupun hanya satu kata. Riwayat hadis dengan lafal ini sebenarnya tidak ada
persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan
maupun perbuatan dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya.
Sahabat yang terkenal ketat dalam menjaga
otentisitas redaksi hadis adalah Abdullah bin Umar. Ia tidak memperkenankan
adanya pengurangan atau penambahan satu huruf pun dari redaksi hadis. Dalam
sebuah kasus, ia pernah menegur ‘Ubaid bin Amir ketika meletakkan puasa dalam
lima prinsip Islam pada urutan nomor tiga yang seharusnya ada pada urutan nomor
empat.
Dikisahkan pula bahwa Barrā’ ibn ‘Āzib pernah diajari oleh Rasulullah
saw. sebuah do’a sebelum tidur yang didalamnya ada kata “bi nabiyyika”
dan ketika itu al-Barra’ menyakan apakah kata itu bisa diganti dengan “bi
rasūlika” beliau menolak, dan tetap meneruskan dengan kata “bi nabiyyik”.
Tingkat kepedulian para sahabat dalam menjaga otentisitas hadis ini tergambar
jelas ketika mereka tidak gegabah dalam meriwayatkan hadis sebelum mereka yakin
betul kebenaran lafal dan ketepatan huruf serta memahami maknanya. Jika mereka
menemukan keraguan untuk meriwayatkan sebuah hadis, mereka memilih diam. Hal
demikian dilakukan karena mengingat peringatan keras Nabi saw yang akan
memasukkan mereka pada golongan pendusta hadis. Sikap demikian tidak hanya
terjadi di tingkatan pada sahabat tetapi dapat ditemui pula dari pendapat segolongan
ulama fiqh, ulama ushul dan ulama hadis yang tidak memberikan ruang sedikitpun
pada periwayatan hadis secara makna. Mereka mewajibkan periwayatan hadis dengan
lafal dan tidak memperbolehkan periwayatan dengan makna sama sekali.
Akan tetapi dalam kenyataannya periwayatan
hadis dengan lafal ini sangat sedikit jumlahnya. Ciri-ciri hadis yang memang
harus diriwayatkan dengan lafal ini hanya terbatas pada antara lain:
a. Hadis
yang merupakan lafal-lafal ibadah (ta’abbudiyyah), seperti tentang bacaan
azan, zikir, doa, syahadat. Hadis yang bisa dijadikan contoh untuk lafal ibadah
ini seperti bacaan dzikir yang diriwayatkan dari Shaddad bin Aus ra. bahwa
Rasulullah
saw.bersabda:
سيد الاستغفار: اللهم أنت ربي، لا إله إلا أنت، خلقتني وأنا عبدك، وأنا على عهدك ووعدك ما استطعت، أبوء لك بنعمتكّ عليّ، وأبوء لك بذنبي فاغفر لي، فإنه لا يغفر الذنوب إلا أنت، أعوذ بك من شر ما صنعت. إذا قال حين يمسي فمات دخل الجنة، أو كان من أهل الجنة، وإذا قال حين يصبح فمات من يومه مثله.
Artinya:
“Paling tingginya ucapan istighfar adalah: ‘Ya Allah Engkaulah Tuhanku,
tiada Tuhan selain Engkau, Engkau menciptakanku maka aku adalah hamba-Mu. Dan
atas janji dan ancaman-Mu aku lakukan semampuku. Aku akui segala nikmat-Mu
bagiku, dan ku akui segala dosa ini pada-Mu maka ampunilah aku karena tiada
yang bisa mengampuni segala dosaku selain Engkau. Aku berlindung pada-Mu dari
keburukan apa yang aku lakukan’. Jika ini dibaca pada waktu sore kemudian ia
mati maka ia langsung masuk surga atau ia termasuk dari penduduk surga,
demikian juga jika dibaca pada waktu pagi.”
b. Jawāmi’ al-kalimah
(ungkapan-ungkapan Nabi saw yang sarat makna) karena Nabi saw memiliki faṣaḥaḥ
dalam perkataan yang tidak dimiliki yang lainnya.Bisa diambil contoh seperti
sabda Nabi saw tentang umat Islam. Dari Abū Hurairah ra. bahwa Rasulullah bersabda
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده . والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه
artinya: “Orang Islam itu adalah orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya.”
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده . والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه
artinya: “Orang Islam itu adalah orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya.”
c. Hadis
yang berkaitan dengan masalah aqidah seperti tentang dzat dan sifat Allah,
rukun Islam, rukun iman, dan sebagainya. Untuk kategori ini penulis mengambil
contoh hadis tentang sifat Allah.
يقبض الله الأرض يوم القيامة، ويطوي السماء
بيمينه، ثم يقول: أنا الملك، أين ملوك الأرض؟
Artinya: “Pada hari kiamat Allah menggenggam
bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya. Kemudian Dia berfirman;
‘Akulah yang Raja Diraja, dimanakah para raja dunia itu?’”
Namun ketika dihadapkan pada persoalan bahwa
hadis bukan hanya berbentuk perkataan saja tetapi juga dengan perbuatan dan
ketetapan Nabi saw, para ulama yang bersikeras mempertahankan riwayat hadis
secara lafal, seperti Abu Bakar al-Arabi, Muhammad bin Sirin, Raja’ bin Haywah,
Qasim bin Muhammad, dan Sa’lab bin Nahwiy, mereka berpendapat bahwa periwayatan
redaksi hadisnya secara makna sepenuhnya hanya diperbolehkan pada tingkatan
sahabat, mengingat karena para sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang
tinggi (faṣaḥaḥ), meskipun tidak setingkat dengan susunan kalimat Nabi
saw. dan mereka telah menyaksikan secara langsung keadaan dan perbuatan Nabi
saw. Periwayatan secara lafal tidak mungkin seluruh hadis bisa dilaksanakan
mengingat pengertian hadis itu sendiri merupakan segala sesuatu yang
disandarkan pada Nabi saw, baik perkataan, perbuatan, penetapan, tekad dan
cita-cita Nabi saw, yang tidak semua dalam bentuk perkataan sehingga keharusan
periwayatan hadis harus dengan lafal itu tidak bisa terjadi. Tentunya hal ini
tetap dalam batasan-batasan yang telah diungkapkan oleh para ulama di atas, yaitu
tidak boleh masuk pada ranah hadis yang berbau aqidah, ibadah dan yang
mengandung kalimat-kalimat yang sarat makna dari Nabi saw.
Sebagaimana yang terdapat dalam suatu riwayat
bahwa Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk-bentuk/cara-cara sebagai berikut:
1.
Cara lisan dimuka orang banyak yang terdiri
dari kaum laki-laki.
2.
Pengajian rutin dikalangan kaum laki-laki.
3.
Pengajian diadakan juga dikalangan kaum wanita
setelah kaum wanita memintanya.
Selain itu masih ada riwayat lain
yang menyatakan cara-cara Nabi Menyampaikan hadisnya melalui yaitu:
1.
Dengan lisan dan perbuatan dihadapan orang
banyak, di mesjid pada waktu malam dan subuh.
2.
Hadis Nabi disampaikan sebagai teguran terhadap
orang yang melakukan “korupsi” berupa penerimaan hadiah dari masyarakat.
3.
Hadis Nabi disampaikan dengan cara lisan, tidak
dihadapan orang banyak, berisi jawaban yang diajukan oleh sahabat dan bentuk
jawaban Nabi itu berupa tuntutan tekhnis suatu kegiatan yang berkaitan dengan
agama.
4.
Cara Nabi juga menyampaikan hadisnya selain
cara lisan juga secara permintaan penjelasan terhadap sahabat, berupa taqrir
atas amalan ibadah sahabat yang belum dicontokan langsung oleh Nabi.
5.
Riwayat lain juga mengatakan cara Nabi
menyampaikan hadisnya dengan bentuk tulisan.
6.
Dalam bentuk lain juga Nabi menyampaikan
hadisnya tidak dalam bentuk kegiatan melainkan berupa keadaan.
Itulah tadi bentuk-bentuk
periwayatan hadis dari Nabi dengan beberapa bentuk baik melalui perkataan,
berbuatan, taqrir dan ihwal lainnya.
Adapun bentuk atau cara-cara Para
Sahabat Meriwayatkan Hadis sebagai berikut:
a.
Adakala dengan lafal asli, yakni menurut lafal
yang mereka terima dari Nabi yang mereka hafal benar lafal dari Nabi itu.
b.
Adakala dengan maknanya saja, yakni mereka
maeriwayatkan maknanya bukan lafalnya, karena mereka tidak hafal lafalnya yang
asli lagi dari Nabi SAW.
Yang penting dari hadis ialah isi, bahasa
dan lafal, boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya telah ada dan sama.
Berbeda dengan Periwayatan Alqur’an, yakni harus dengan lafal dan maknanya yang
asli tidak sedikitpun boleh diadakan perubahan dalam riwayat itu.[3]
b. Bil Ma’na
Dalam sejarah perjalanan hadits diketahui bahwa
sepeninggal Rasulullah SAW. periwayatan hadits itu diperketat agar tidak
terjadi periwayatan sesuatu yang bukan dari Nabi SAW tetapi disandarkan kapada
Nabi. Disamping itu, hadits harus dilakukan apa adanya, tidak ada penambahan
atau pengurangan. Diharapkan, redaksi hadits tidak mengalami perubahan.
Tetapi dalam kenyataan, banyak dijumpai hadits
yang dimaksudkannya sama diungkapkan dengan redaksi yang berbeda-beda. Karena
itu, kita menjumpai komentar hadits “muttafaq ‘alaih, wal-lafdzu li muslim, atau wa
lafzu lil- bukhori”. Tampaknya peluang riwayat hadits dengan makna
itu memang ada. Bukankah hadits itu tidak hanya berupa ucapan, tetapi terkadang
berupa tingkah laku nabi. Dalam mendeskripsikan tingkah laku nabi yang
diskasikan oleh para sahabat, boleh jadi akan muncul redaksi yang berbeda
kendati maksudnya sama. Bahkan, karena kemampuan daya tangkap masing-masing
sahabat berbeda, maka boleh jadi kesimpulannya juga berbeda.
Ada sebuah hadits yang menggambarkan bahwa
riwayat dengan redaksi yang berbeda itu ditolelir. Abdullah ibn Sulaiman
al-laits menyampaikan keterbatasan kemampuannya menerima hadits secara utuh.
Artinya ia mengaku tidak mampu menangkap hadits persis seperti apa yang
didengarnya. Hurufnya terkadang bertambah, terkadang juga berkurang.
Meskipun terjadi perbedaan dikalangan para
fukaha tentang kebolehan tidaknya
meriwayatkan dengan makna, tapi hal ini merupakan ilmu riwayah hadis
yang penting, . Diantara kewajiban para perawi, ialah menerangkan cara tahammul ialah dengan cara itu dia menerima apa
yang diwahnyukannya. Sebagaimana para ulama sangat memerlukan dengan cara-cara tahammul
di waktu menyampaikan hadis kepada orang lain, begitu pula sangat
memerlukan penyampaian hadis itu sebagaimana mereka dengar tampa menukar
ataupun menggati kalimat-kalimatnya. Bahkan sebahagian ahli hadis, ahli fiqh,
dan ahli ushul mengharuskan para rawi meriwayatkan hadis dengan lafalnya yang
didengar, tidak boleh dia meriwayatkan dengan maknanya sekali-kali. Demikian
juga yang dinukilkan oleh Ibnush Shalah dan An Nawawi, Ibnu Sirien, Tsailab,
dan Abu Bakar Ar Razi. mereka berpendapat bahwa perawi-perawi harus
meriwayatkan persis sebagai lafadz yang ia dengar.
Dalam bukunya Ahmad Muhammad Šakir yang
berjudul Ihtišar Ulum Al-Hadis, dalam kaitanya dengan Periwayatan dengan makna.
Bahwa seorang perawi yang tidak mengetahui makna hadis sesungguhnya tidak boleh
baginya meriwayatkan hadis dengan sifatnya itu. Namun demikian Jumhur Ulama
yang lain berpendapat, bahwa: boleh bagi perawi hadis menyebut makna bukan
lafal, atau meriwayatkan hadis dengan makna apabila dia seorang yang mengetahui
bahasa Arab dengan sempurna dan cara-cara orang arab menyusun
kalimat-kalimatnya, lagi dia sangat mengetahui makna-makna lafal dan mengetahui
pula hal-hal yang bisa merobahkan makna dan yang tidak merobahkannya, Jika ia
bersifat demikian, bolelah dia menukilkan lafal hadis dengan makna, karena dia
dengan pengertiannya mendalam dapat memelihara riwayatnya dari perobahan makna
tersebut. begitu juga dengan pendapat Malik menurut nukilan Al-Khalil ibn Ahmad
dan Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal boleh kalau yang diriwayatkan itu bukan hadis
marfu’. Bukti yang lebih empiris yang lebih akurat adalah kesepakatan umat
memperbolehkan seorang ahli hadis menyampaikan hadis dengan maknanya saja
bahkan dengan selain bahasa arab.
Bukti lain adalah bahwa periwayatan hadis
dengan maknanya telah dilakukan oleh para sahabat dan ulama salaf periode
pertama. Seringkali mereka mengemukakan suatu makna dalam suatu masalah dengan
beberapa redaksi yang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena mereka berpegang
kepada makna hadis bukan kepada lafalnya. Intinya bahwa periwayatan hadis
dengan lafal di utamakan dari pada periwayatan hadis dengan makna. Karena
apabila si perawi bukan seorang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna,
maka tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan makna. Semua ulama
sependapat menetapkan, bahwa orang yang demikian itu wajib menyampaikan dengan
hadis persis sebagaimana yang ia dengarnya.
Al- Imam Asy Syafi’i telah menerangkan tentang
sifat-sifat perawi yaitu:
“Hendaklah orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi dikenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadis persis sebgaimana yang didengar, bukan diriwayatkannya dengan makna, karena apabila dia meriwayatkan dengan makna sedang ia orang tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, niscanya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi dia memalingkan yang halal kepada yang haram. Tetapi apabila dia menyampaikan hadis secara yang didengarnya, tidaklah lagi kita khwatir bahwa dia memalingkan hadis kapada yang bukan maknanya, dan hendaklah ia benar-benar meriwayatkan hadis yang diriwayatkan itu apabila dia meriwayatkan dari lafalnya dan benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatkan hadis itu dari kitabnya”.
“Hendaklah orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi dikenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadis persis sebgaimana yang didengar, bukan diriwayatkannya dengan makna, karena apabila dia meriwayatkan dengan makna sedang ia orang tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, niscanya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi dia memalingkan yang halal kepada yang haram. Tetapi apabila dia menyampaikan hadis secara yang didengarnya, tidaklah lagi kita khwatir bahwa dia memalingkan hadis kapada yang bukan maknanya, dan hendaklah ia benar-benar meriwayatkan hadis yang diriwayatkan itu apabila dia meriwayatkan dari lafalnya dan benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatkan hadis itu dari kitabnya”.
Seluruh ulama sependapat menetapkan, bahwa
orang yang tidak mengetahui hal-hal yang merisaukan makna hadis yang
diriwayatkan dengan makna, tidak boleh meriwayakan hadis dengan makna. Adapun
orang-orang yang mengetahui hal-hal yang merusakkan makna dan yang tidak
merusakkannya, maka jumhur ulama membolehkan dia meriwayatkannya hadis dengan
makna dengan memenuhi syarat-syarat yang sudah diterangkan itu. Dengan demikian
sebagaimana pendapat para ulama maka untuk lebih hati-hati dan menghidari
kesalahan dalam meriwayatkan hadis, maka meriwayatkan hadis dengan lafal lebih
utama dari pada dengan makna.[4]
BAB III
PENUTUP
Simpulan:
Sebuah
periwayatan hadits merupakan bagian proses kodifikasi hadits yang sangat urgen,
penting. Karena dalam proses inilah letak kesahihan hadits, apakah hadits
tersebut yang memang benar-benar bisa diterima dan tidak ada kontradiksi secara
subtansinya dengan al-Qur’an. Sebagimana kita ketahui hadits adalah sebuah
perkataan seorang manusia, Nabi, yang tentunya secara gramtika bisa ditiru oleh
manusia lain.sedangkan al-Qur’an adalah perkataan Tuhan, Allah, yang susunan
kata-katanya bernilai lebih, baik bahasa, sastra atau tingkat kesulitan olah
letak akhir bunyi dan sisi hakikatnya.
Untuk itu perlu ada beberapa
criteria bagi orang yang akan menerima riwayat maupun yang akan
meriwayatkannya. Kesemuaya ini merupakan usaha untuk menjaga kesucian ajaran
islam dari pencampuradukan dengan ajaran-ajaran dari luar Islam.
Sedangkan dalam masalah matanya,
redaksinya, yang merupakan ruh dari hadits tu sendiri, sebisa mungkin redaksi
periwayatanya dengn riwayat bil-lafdzi, dan sebisa mungkin
menghindari riwayat bil-ma’na meskipipun dalam
realitanya ada riwayat dengan cara tersebut, bil-ma’na. seandainya jika kita
tidak bisa menghindari periwayatan dengan bil-ma’na tentulah harus kita
berikan komponen-kopoen atau variable kehati-hatian agar tidak merubah makna
yang tekandung dalam pesan Nabi.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H.
Endang Soetari Ad., M.Si, Ilmu Hadis, Bandung, Amal Bakti Perss, 1997.
M.Syhudi Ismail,
Kaedah Kesahihan Hadis Nabi, Jakarta, Bulan Bintang, 1988.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar