Kamis, 10 April 2014

PERADILAN AGAMA



                                                                    BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Indonesia telah menumbuhkan sebuah negara yang berdasarkan pada kedaulatan hukum. Oleh karena itu, supermasi hukum menjadi dari tujuan segala elemen didalam pemerintahan dan rakyat itu sendiri. Oleh karena melihat kenyataan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah negara yang terbentuk dari berbagai agama, ras, bahasa, dan budaya. Maka tuntutan hukum yang digunakan di dalam Peradilan Agama di Indonesia juga ditentukan. Dalam hal ini, jenis-jenis perkara yang dikuasai oleh sebuah badan peradilan juga ditentukan. Maka setiap pengadilan yang ada di indonesia, telah ditentukan dalam hal apa saja dan di mana proses peradilan itu patut untuk dilaksanakan. Sudah tentunya, Peradilan Agama yang berada   di Indonesia memiliki ciri-ciri yang sama. Ini dikarenakan kesemua peradilan yang ada di Indonesia ini berada di bawah naungan/kekuasaan Mahkamah Agung. Peradilan Agama pada awalnya diatur dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang tersebar di berbagai peraturan. Kemudian baru pada tahun 1989 Peradilan Agama diatur dalam satu peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dan telah dirubah sebanyak dua kali.Dengan adanya perubahan tersebut Peradilan Agama mengalami pula perubahan tentang kekuasaan atau kewenangan mengadili di pengadilan pada lingkungan Peradilan Agama.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kekuasaan mutlak peradilan agama ?
2.      Bagaimana wewenang peradilan agama ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kekuasaan Mutlak Peradilan Agama
Kata ‘kekuasaan’ sering disebut ‘kompetensi’ yang berasal dari bahasa Belanda ‘competentie’, yang kadang-kadang diterjemahkan dengan ‘kewenangan’ dan kadang dengan ‘kekuasaan’. Kekuasaan atau kewenangan peradilan ini kaitannya adalah dengan hukum acara. [1]
Kekuasaan Mutlak Peradilan Agama dilingkungan Peradilan Agama terdapat dua tingkat Pengadilan, yaitu Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai Pengadilan Tingkat Banding.[2]
B.     Wewenang (kompetensi) Peradilan Agama
Wewenang (kompetensi) Peradilan Agama diatur dalam pasal 49 sampai dengan Pasal 53 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Wewenang tersebut terdiri atas wewenang relatif dan wewenang absolut. Wewenang relatif Peradilan Agama merujuk pada pasal 118 HIR atau Pasal 142 RB.g. jo. Pasal 66 dan pasal 73 UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sedang wewenang absolut berdasarkan pasal 49 UU No. 7 tahun 1989.[3]
Menurut M. Yahya Harahap ada lima tugas dan kewenangan yang terdapat dilingkungan Peradilan Agama, yaitu :
1.      Fungsi kewenangan mengadili
2.      Memberi keterangan, pertimbangan
3.      Kewenangan lain berdasarkan undang-undang
4.      Kewenangan pengadilan tinggi agama mengadili perkara dalam tingkat banding dan mengadili sengketa kompetensi relatif
5.      Serta bertugas mengawasi jalannya peradilan.[4]

·         Kompetensi Relatif  Peradilan Agama
Dalam pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 ditentukan bahwa acara yang berlaku pada lingkungan peradilan agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada lingkungan peradilan umum. Oleh karena itu, landasan untuk menentukan kewenangan relatif pengadilan agama merujuk kepada ketentuan pasal 118 HIR atau pasal 142 R. Bg.jo. pasal 66 dan pasal 73 UU No. 7 tahun 1989. Penentuan kompetensi relatif  ini bertitik tolak dari aturan yang menetapkan ke pengadilan agama mana gugatan diajukan agar gugatan memenuhi syarat formal. Pasal 118 ayat (1) HIR. Menganut asas bahwa yang berwenang adalah pengadilan ditempat kediaman tergugat. Asas ini dalam bahasa latin disebut “ actor sequitur forum rei” , namun ada beberapa pengecualian yaitu yang tercantum dalam pasal 118 ayat (2),ayat (3) dan ayat (4), yaitu :
-          Apabila tergugat lebih dari satu, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman salah seorang dari tergugat.
-          Apabila ada tempat tinggal tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan kepada pengadilan ditempat tinggal penggugat.
-          Apabila gugatan mengenai benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan kepada peradilan diwilayah hukum dimana barang tersebut terletak.
-          Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan tempat tinggal yang diplih dalam akta tersebut.
·         Kompetensi Absolut Peradilan Agama
Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan peradilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkat Pengadilan,dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkat Pengadilan lainnya. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.
Pasal 10 UU No. 7 Tahun 1970 menetapkan empat jenis lingkungan peradilan dan masing-masing mempunyai kewenangan mengadili bidang tertentu dalam kedudukan sebagai badan-badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Untuk lingkungan peradilan agama menurut Bab I pasal 2 jo Bab III pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 ditetapkan tugas kewenangannya yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perdata bidang :
a.       Perkawinan
b.      Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam
c.       Wakaf dan sedekah.
Dengan perkataan lain, bidang-bidang tertentu dari hukum perdata yang menjadi kewenangan absolut peradilan agama adalah bidang hukum keluarga dari orang-orang yang beragama islam. Oleh karena itu, menurut Prof. Busthanul Arifin, perdilan agama dapat dikatakan sebagai peradilan keluarga bagi orang-orang yang beragama islam, seperti yang terdapat dibeberapa negara lain. Sebagai suatu peradilan keluarga, yaitu peradilan yang menangani perkara-perkara dibidang Hukum Keluarga, tentulah jangkauan tugasnya berbeda dengan peradilan umum. Oleh karena itu, segala syarat yang harus dipenuhi oleh para hakim, panitera dan sekretaris harus sesuai dengan tugas-tugas yang diemban peradilan agama.[5]
Ø  Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Perkawinan
Mengenai bidang perkawinan pasal 49 ayat (2) menyatakan bahwa yang dimaksud ialah hal-hal yang diatur dalam undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku, pasal 49 ayat (2).Yang menjadi kekuasaan mutlak Pengadilan Agama adalah perkara perkawinan sebagaimana diatur UU No. 1 Th. 74 dan PP No. 9 Th. 75. Perkara-perkara perkawinan dimaksud adalah:
1.      Izin beristri lebih dari seorang;
2.      Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3.      Dispensasi kawin;
4.      Pencegahan perkawinan;
5.      Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6.      Pembatalan perkawinan;
7.      Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
8.      Perceraian karena talak;
9.      Gugatan perceraian;
10.  Penyelesian harta bersama;
11.  Penguasaan anak-anak;
12.  Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bila mana bapak yang       seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya;
13.  Penentuan kewajiban memberi biaya peng-hidupan oleh suami kepada bekas istri atau   penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14.  putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15.  putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16.  pencabutan kekuasaan wali;
17.  penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
18.  menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya;
19.  pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20.  penetapan asal usul seorang anak;
21.  putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22.  pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Dalam Kompilasi Hukum Islam juga ada pasal-pasal memberikan kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa perkara perkawinan, yaitu:
23.  Penetapan Wali Adlal;
24.  Perselisihan penggantian mahar yang hilang sebelum diserahkan.

Ø  Kewenangan Mengadili Perkara Bidanag Kewarisan, Wasiat, dan Hibah
            Menurut pasal 49 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989, kewenangan pengadilan agama dibidang kewarisan yang disebut dalam pasal 49 ayat (1) huruf b, adalah mengenai :
a.       Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris
b.      Penentuan harta peninggalan
c.       Bagian masing-masing ahli waris dan
d.      Melaksanakan pembagian harta peninggalan.
Dalam pasal 2 jo. pasal 49 ayat (1) jo. penjelasan umum angka 2 alinea ketiga telah ditentukan bahwa salah satu asas sentral dalam undang-undang ini adalah asas personalitas keislaman. Oleh karena itu, dengan mengaitkan asas ini dengan ketentuan pasal 49 ayat 1 huruf b, jo. penjelasan umum angka 2 alinea tersebut, berarti asas personalitas keislaman dalam bidang perdata kewarisan, meliputi seluruh golongan rakyat beragama islam. Dengan perkataan lain, dalam hal ini terjadi sengketa kewarisan bagi setiap orang yang beragama islam, kewenangan mengadilinya tunduk dan takluk pada lingkungan peradilan agama, bukan kelingkungan peradilan umum. Jadi luas jangkauan mengadili lingkungan peradilan agama ditinjau dari subjek pihak yang berperkara, meliputi seluruh golongan rakyat yang beragama islam terkecuali.[6]
Mengenai jangkauan kewenangan mengadili sengketa kewarisan ditinjau dari sudut Hukum Waris Islam, dapat dilakukan melalui pendekatan pasal 49 ayat (3) jo penjelasan umum angka 2 alinea keenam. Jadi uraian singkat dari ketentuan pasal tersebut adalah bahwa pokok-pokok hukum waris islam yangakan diterapkan pada golongan rakyat yang beragama islam diperadilan agama terdiri atas :
1.      Siapa-siapa yang menjadi ahli waris, meliputi penentuan kelompok ahli waris, siapa yang berhak mewaris, siapa yang terhalang menjadi ahli waris, dan penentuan hak dan kewajiban ahli waris.
2.      Penentuan mengenai harta peninggalan, antara lain tentang penentuan tirkah yang dapat diwarisi dan penentuan besarnya harta warisan.
3.      Penentuan bagian masing-masing ahli waris, hal ini telah diatur dalam Al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijtihad, dan
4.      Melaksanakan pembagian harta peninggalan.

Ø  Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Wakaf dan Sedekah
Pasal 1 ayat(1) PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik menentukan pengertian tentang wakaf. Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaan yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-selamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama islam. Wakaf ini sangat penting ditinjau dari sudutpelembagaan keagamaan. PP No.28 Tahun 1977 merupakan peraturan perwakafan dalam ajaran islam yang telah menjadi hukum positif dan pengaturannya memiliki cakupan yang lengkap. Namun demikian, permasalahan wakaf juga semakin kompleks, seiring dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat. oleh karena itu, jika ada perselisihan tentang perwakafan tanah milik, maka penyelesaiannya dapat diajukan kepada pengadilan agama sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.[7]
C.    Eksepsi Peradilan Agama
Eksepsi dalam konteks hukum acara perdata memiliki makna tangkisan atau bantahan (objection). Bisa juga berarti pembelaan (plea) yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan penggugat. Namun, tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi ditujukan kepada hal yang menyangkut syarat formalitas gugatan dan tidak ditujukan atau menyinggung bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale). Salah satu eksepsi dalam hukum acara perdata adalah eksepsi mengenai kewenangan mengadili. Eksepsi kewenangan mengadili diajukan apabila dianggap pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. Eksepsi kewenangan mengadili dibagi menjadi:
1)      Eksepsi Kewenangan Absolut (Exceptio Declinatoir)
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan absolut 4 (empat) lingkungan peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer) dan Peradilan Khusus (Arbitrase, Pengadilan Niaga, dan lain-lain). Masing-masing pengadilan mempunyai yurisdiksi tertentu. Yurisdiksi suatu pengadilan tidak boleh dilanggar oleh yurisdiksi pengadilan lain.
Pengajuan eksepsi kewenangan absolut (exceptio declinatoir) diatur dalam Pasal 134 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”) dan Pasal 132 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”). Eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat. Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv mengatur bahwa eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung sejak proses pemeriksaan dimulai sampai sebelum putusan dijatuhkan di persidangan tingkat pertama (Pengadilan Negeri).
2)      Eksepsi Kewenangan Relatif (Relative Comprtitie)
Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang sama, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 118 HIR.
Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR mengatur bahwa pengajuan eksepsi kewenangan relatif harus disampaikan pada sidang pertama dan bersamaan pada saat mengajukan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara. Eksepsi kewenangan relatif hanya dapat diajukan bersama-sama dengan penyampaian jawaban pertama. Tidak terpenuhinya syarat tersebut, mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan eksepsi menjadi gugur.
Pengajuan eksepsi kewenangan relatif dapat secara lisan atau berbentuk tulisan. Pasal 133 HIR memberikan hak kepada tergugat untuk mengajukan eksepsi kompetensi relatif secara lisan. Hakim yang menolak dan tidak mempertimbangkan eksepsi lisan, dianggap melanggar tata tertib beracara dan tindakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai penyalah gunaan wewenang. Selain secara lisan, eksepsi kewenangan relatif dapat diajukan dalam bentuk tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 125 ayat (2) Rv jo Pasal 121 HIR.
Eksepsi berkaitan dengan kompetensi absolut yang diajukan bersamaan dengan pengajuan jawaban setelah pembacaan gugatan/permohonan pokok perkara, dan wajib diputus sebelum putusan pokok perkara. Namun, jika eksepsi menyangkut kewenangan relatif, maka majelis hakim dapat memutus sebelum maupun bersamaan dengan pokok perkara.[8]
Cara pengajuan eksepsi diatur dalam beberapa pasal 125 ayat (2), Pasal 133, Pasal 134, dan Pasal 136 HIR, cara pengajuan berkenaan dengan ketentuan kapan eksepsi disampaikan dalam proses pemeriksaan berdasarkan pasal pasal tersebut terdapat perbedaan cara mengenai saat pengajuan eksespsi, dikaitkan dengan jenis eksepsi yang bersangkutan.
Cara mengajukan Eksepsi Kewenangan Absolut dan Relatif (Exceptio Declinatoir)
Pengajuan Eksepsi kewenangan Absolut diatur dalam Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv, dalam kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa :
Eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung di sidang tingkat pertama (PN), dengan kata lain tergugat berhak mengajukannya sejak proses dimulai sampai sebelum putusan dijatuhkan. Bahkan dapat diajukan pada tingkat banding dan kasasi. Selanjutnya berdasarkan pasal 132 Rv, telah mengatur sebagai berikut “ dalam hal hakim tidak berwenang karena jenis pokok perkaranya, maka ia meskipun tidak diajukan tangkisan tentang ketidakwenangannya, karena jabatannya wajib menyatakan dirinya tidak berwenang.” Yang dimaksud dalam pasal ini adalah Hakim secara ex officio, wajib menyatakan diri tidak berwenang mengadili perkara yang diperiksanya, apabila perkara diajukan secara absolut berada diluar yurisdiksinya atau termasuk dalam kewenangan lingkungan peradilan lain, kewajiban tersebut mesti dilakukan secara ex-officio meskipun tergugat tidak mengajukan eksepsi tentang itu.
Cara pengajuan Eksepsi Kompetensi Relatif (Relative Competentie) Bentuk dan saat pengajuan eksepsi kompentensi relatif diatur dalam pasal 125 (2) dan pasal 133 HIR bertitik tolak dari kedua pasal tersebut dapat dijelaskan hal sebagai berikut :
Bahwa pengajuan eksepsi kompetensi relatif dapat diajukan secara lisan hal tersebut diatur dalam pasal 133 HIR oleh karenanya PN tidak boleh menolak dan mengenyampingkannya, dan hakim harus menerima dan mencatatnya dalam berita acara sidang, untuk dinilai dan dipertimbangkan sebagaimana mestinya. Selain itu pengajuan eksepsi kompetensi relatif diatur dapat diajukan secara tulisan (in writing) hal tersebut diatur dalam pasal 125 ayat (2) Jo. Pasal 121 HIR. Menurut Pasal 121 HIR, tergugat pada hari sidang yangditentukan diberi hak mengajukan jawaban tertulis, sedang pasal 125 ayat (2) HIR menyatakan dalam surat jawaban  terguugat dapat mengajukan eksepsi kompetensi relatif yang menyatakan perkara yang disengketakan tidak termasuk kewenangan relatif PN yang bersangkutan. Oleh karenanya eksepsi itu dikemukakan dalam surat jawaban, berarti oengajuannya bersama-sama dan merupakan bagian yang tidak terpisah dari bantahan terhadap pokok perkara.
Meskipun undang-undang hanya menyebut eksepsi kompetensi mengadili secara absolut dan relatif, namun masih banyak lagi eksepsi lain yang diakui keberadaannya dalam praktek hukum dan doktrin hukum. dan sebenarnya keabsahan dan keberadaan eksepsi selain eksepsi kompetensi diakui secara tersirat dalam pasal 136 HIR, Pasal 114 Rv, yang mengatur sebagai berikut :
Perlawanan yang hendak dikemukakan oleh tergugat (exceptie), kecuali tentang hal hakim tidak berkuasa, tidak akan dikemukakan dan ditimbang masing-masing, tetapi harus dibicarakan dan diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara. Dalam praktik acara perdata ternyata banyak sekali bentuk eksepsi diluar eksepsi mengenai kompetensi yang cara pengajuannya diatur dalam pasal 114 Rv. Ketentuan tersebut telah dijadikan pedoman oleh para praktisi hukum yang pada pokoknya menggariskan :
semua eksepsi kecuali eksepsi kompetensi absolut harus disampaikan bersama sama dengan jawaban pertama terhadap pokok perkara, dan jika tidak dilakukan bersamaan maka hilang hak tergugat untuk mengajukan eksepsi.
Bentuk pengajuan eksepsi tersebut dapat dilakukan secara lisan dan tertulis, sepanjang eksepsi disampaikan sekaligus bersama dengan bantahan/jawaban pokok perkara. Dan jika eksepsi tersebut terdiri dari beberapa jenis eksepsi selain eksepsi kompetensi absolut maka harus dilakukan secara sekaligus tidak bisa dipisah-pisahkan. Eksepsi lain yang tidak diajukan secara sekaligus bersama jawban pertama dianggap gugur sebagaimana tafsir pasal 136 HIR dan 114 Rv.
Penyelesaian Eksepsi lain diluar Eksepsi Kompetensi, diperiksa dan diputus bersama-sama pokok perkara. Berdasarkan pasal 136 HIR penyelesaian eksepsi lain diluar eksepsi kompetensi diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara dengan demikian pertimbangan dan amar putusan mengenai eksepsi dan pokok perkara, dituangkan bersama secara keseluruhan dalam putusan akhir dan jika eksepsi dikabulkan maka putusan bersifat negatif, yaitu dengan amar putusan : mengabulkan eksepsi tergugat dan menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard). Dan bila eksepsi ditolak maka pengadilan akan mengeluarkan putusan positif berdasarkan pokok perkara sehingga putusan yang dijatuhkan menyelesaikan persengketaan yang terjadi secara tuntas antara penggugat dan tergugat.[9]
a.       Jenis Eksepsi
Pasal 136 HIR mengindikasikan adanya beberapa jenis eksepsi. Sebagian besar diantaranya bersumber dari ketentuan pasal perundang-undangan tertentu. Misalnya eksepsi nebis in indem ditarik dan dikonstruksikan dari pasal 1917 KUH Perdata. Eksepsi dari surat kuasa khusus yang tidak memenuhi syarat, bertitik tolak dari pasal 123 ayat (1) HIR, dan sebagainya. Eksepsi Prosesual (Processuele Exceptie) yaitu eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan. Apabila gugatan yang diajukan mengandung cacat formil maka gugatan yang diajukan tidak sah, dengan demikian harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvantkelijke verklaard). Secara garis besar eksepsi prosesual dapat dibagi kepada dua bagian :
Eksepsi tidak berwenang mengadili yang sebelumnya telah dijelaskan dan dapat diklasifikasikan, eksepsi karena pengadilan tidak berwenang secara absolut dan eksespsi karena pengadilan tidak berwenang secara relatif. Dan untuk eksepsi kewenangan relatif pengadilan berkaitan langsung dengan pasal 118 HIR dan Pasal 99 Rv. Berdasarkan ketetuan tersebut telah digariskan cara menentukan kewenangan relatif PN berdasarkan patokan : (actor sequitor forumrer), (actor sequitor forumrer dengan hak opsi), (actor sequitor forumrer tanpa hak opsi), tempat tinggal tergugat, forum rei sitae, forum rei sitae dengan hak opsi, dan domisili pilihan.
Lebih lanjut dibawah ini dibahas mengenai eksepsi prosesual diluar eksepsi kompetensi. Eksepsi ini terdiri dari berbagai bentuk atau jenis dan yang paling sering ditemukan dalam praktek antara lain :
Eksepsi Surat Kuasa Khusus Tidak Sah, dalam hal ini dapat diajukan berbagai bentuk eksepsi, antara lain karena surat Kuasa bersifat umum, hal ini dapat menjadi bagian eksepsi karena untuk berperkara dipengadilan harus menggunakan surat kuasa khusus sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 123 HIR. Kemudian eksepsi karena surat kuasa tidak memenuhi syarat formil sebagaimana yang telah ditentukan oleh pasal 123 HIR dan SEMA No. 1 tahun 1971 (23 januari 1971) jo. SEMA No. 6 tahun 1994 (14 Oktober 1994). Dan eksepsi karena surat kuasa dibuat oleh orang yang tidak berwenang misalnya surat kuasa yang diberikan oleh komisaris perseroan, padahal menurut UU no 40 tahun 2007 tentang perseroan yang dapat mewakili perseroan didalam maupun diluar peradilan adalah direksi.
Eksepsi Error in Persona, tergugat dapat mengajukan eksepsi ini, apabila gugatan mengandung cacat error in persona yang disebut juga exceptio in person. Bentuk atau jenis eksepsi ini meliputi peristiwa sebagai berikut :
Eksepsi diskulifikasi atau gemis aanhoedanigheid, yaitu eksepsi yang mengemukakan bahwa penggugat tidak memiliki persona standi in judicio didepan PN karena penggugat bukan orang yang berhak oleh karenanya tidak mempunyai hak dan kapasitas untuk menggugat. Sebagai contoh apabila yang mengajukan gugatan atas nama yayasan bukan pengurus. Dalam hal ini tergugat dapat mengajukan exceptio in persona, atas alasan diskulifikasi in person, yakni orang yang mengajukan gugatan bukan orang yang mempunyai kedudukan hukum untuk menggugat atas nama yayasan.
Keliru pihak yang ditarik sebagai Tergugat,  sebagai contoh putusan MA no 601 K/Sip/1975, tentang seorang pengurus yayasan yang digugat secara pribadi untuk mempertanggung jawabkan sengketa yang berkaitan dengan yayasan. Dalam kasus demikian, orang yang ditarik sebagai tergugat tidak tepat, karena yang mestinya ditarik sebagai Tergugat adalah yayasan.
Exceptio plurium litis consortium, alasan dalam mengajukan eksepsi ini adalah apabila orang yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap. Atau orang yang bertindak sebagai penggugat tidak lengkap, masih ada orang yang harus diikut sertakan sebagai penggugat atau tergugat, baru sengketa yang dipersoalkan dapat diselsaikan secara tuntas dan menyeluruh.
Ekseptio Res Judicata atau Nebis In Idem, atau disebut juga exceptie van gewijsde zaak, kasus perkara yang sama tidak dapat diperkarakan dua kali, apabila suatu kasus perkara telah pernah diajukan kepada pengadilan, dan terhadapnya telah dijatuhkan putusan, serta putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka terhadap kasus perkara itu, tidak boleh diajukan gugatan baru untuk memperkarakannya kembali.

Exceptio Obscuur Libel,  yang dimaksud dengan obscuur libel surat gugatan tidak terang isinya atau disebut juga formulasi gugatan tidak jelas, padahal agar gugatan dianggap memenuhi syarat formil dalil gugatan harus terang dan jelas atau tegas (duidelijk). Dalam praktek dikenal beberapa bentuk eksepsi gugatan kabur. Masing masing bentuk didasarkan pada faktor faktor tertentu antara lain :
Tidak jelasnya dasar hukum gugatan, posita atau fundamentum petendi tidak menjelaskan dsar hukum (rechtsgrond) dan kejadian atau peristiwa yang mendasari gugatan. Bisa juga, dasar hukum jelas, tetapi tidak dijelaskan dasar fakta (Fatelijke grond). Dalil gugatan seperti itu tidak memenuhi syarat formil gugatan dengan kata lain gugatan dianggap tidak jelas dan tidak tertentu (eenduideljke en bepaalde conclusie).
Tidak jelasnya Objek Sengketa, kekaburan objek sengketa sering terjadi mengenai tanah terdapat beberapa aspek yang menimbulkan kaburnya objek gugatan mengenai tanah, anatara lain tidak disebutnya batas batas objek sengketa, luas tanah berbeda dengan pemeriksaan setempat, tidak disebutnya letak tanah yang menjadi objek gugatan, tidak samanya batas dan luas tanah dengan yang dikuasainya tergugat.
Petitum gugatan tidak jelas dan atau Petitum tidak rinci, untuk memahami hal ini perlu mengambil contoh putusan MA No. 582 K/Sip/1973. Petitum gugatan meminta : 1) menetapkan hak penggugat atas tanah sengketa, 2) menghukum tergugat supaya berhenti melakukan tindakan apapun atas tanah terebut. Namun hak apa yang dituntut penggugat tidak jelas, apakah penggugat ingin ditetapkan sebagai pemilik, pemegang jaminan atau penyewa. Begitu juga petitum berikutnya, tidak jelas tindakan apa yang dihentikan tergugat. MA berpendapat, oleh karena petitum gugatan tidak jelas, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Kontradiksi antara Posita dengan Petitum, sudah dijelaskan, posita dengan petitum harus saling mendukung tidak boleh saling bertentangan. Apabila hal itu tidak dipenuhi, mengakibatkan gugatan menjadi kabur. Sehubungan dengan hal itu hal hal yang dapat dituntut dalam petitum, harus mengenai penyelesaian sengketa yang didalilkan. Mesti terbina singkronisasi dan konsistensi antara posita dengan petitum. Selanjutnya hanya yang dijelaskan dalam posita yang dapat diminta dalam petitum. Sesuatu yang tidak dikemukakan dalam dalil gugatan, tidak dapat diminta dalam petitum.
Masalah Posita Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum, meskipun ada yang berpendapat wanprestasi atau ingkar janji (default) merupakan genus spesifik dari perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Alasannya, seorang debitur yang ingkar janji atau lalai memenuhi pembayaran utang tepat pada waktunya, jelas telah melakukan pelanggaran atas hak kreditur. Dengan demikian, terdapat persamaan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. akan tetapi jika diteliti lebih lanjut terdapat perbedaan prinsip antara keduanya, antara lain :
Ditunjau dari segi hukum, wanprestasi menurut pasal 1243 KUH Perdata timbul dari persetujuan (aggreement) yang berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata, 1) harus ada lebih dahulu perjanjian para pihak, 2) salah satu perjanjian menggariskan apa yang telah disepakati harus dipenuhi atau promise must be kept, 3) wanprestasi terjadi apabila debitur, tidak memenuhi janji, tidak memenuhi prestasi tepat waktu, tidak memenuhi prestasi yang dijanjikan. Sementara Perbuatan Melawan Hukum (PMH) menurut pasal 1365 KUH Perdata lahir akibat perbuatan orang yang merupakan perbuatan melanggar hukum pidana atau perdata maupun keduanya.
Ditinjau dari segi timbulnya hak menuntut, dasar timbulnya hak menuntut dalam wanprestasi pada prinsipnya diperlukan ingebrekkestelling atau pernyataan lalai atau in mora stelling (interpellatio) kecuali jika dalam perjanjian telah mencantumkan mengenai hal tersebut. Lain halnya dengan PMH tidak diperlukan somasi, kapan saja terjadi PMH pihak yang dirugikan langsung mendapat hak untuk menuntut ganti rugi.
Dari segi tuntutan ganti rugi, bertolak dari ketentual pasal 1237 KUH Perdata, mengatur jangka waktu perhitungan ganti rugi yang dapat dituntut sejak terjadi kelalaian (wanprestasi), dan pasal 1236 DAN 1243 KUH Perdata mengatur tentang jenis dan julah ganti rugi yang dapat dituntut yang terdiri dari : kerigian yang dialami oleh kreditur, keuntungan yang diperoleh sekiranya perjanjian dipenuhi dan ganti rugi bunga atau interest. Sedangkan pasal 1365 KUH Perdata sebagai dasar hukum PMH tidak menyebutkan bentuk ganti ruginyam juga tidak menyebutkan rincian ganti rugi dengan demikian dapat dituntut : a) ganti rugi nyata (actual loss) kerugian materiil; b) kerugian immateril berupa ganti rugi pemulihan kepada keadaan semula atau restoration to original condition (herstel in de oorspronkelijk toestand, hestel in de vorige toestand).
Berdasarkan uraian tersebut pada dasarnya tidak sama antara wanprestasi dengan PMH ditinjau dari sumber, bentuk, maupun wujudnya. Oleh karena itu dalam merumuskan dalil gugatan tidak dibenarkan 1) mencampur adukan wanprestasi dengan PMH dalam gugatan, 2) dianggap keliru merumuskan dalil PMH dalam gugatan jika terjadi in konkreto secara realistis adalah wanprestasi 3) atau tidak tepat jika gugatan wanpretasi sedang peristiwa hukum yang terjadi secara objektif ialah PMH, akan tetapi dimungkinkan menggabungkan atau mengakumulasikan keduanya dalam satu gugatan dengan syarat harus tegas pemisahannya.
Eksepsi Hukum Materiil (materiele exceptie) dari pendekatan doktrin terdapat beberapa macam eksepsi hukum materiil yang cara pengajuannya tunduk pada pasal 136 dan 114 Rv dengan demikian caranya sama dengan eksepsi prosesual. Namun perlu diketahui jenis jenis eksepsi materil sebagai berikut :
1.      Exceptio dilatoria,  atau disebut juga dilatoria exceptie yaitu gugatan penggugat tidak dapat diperiksa karena prematur dalam arti gugatan mengandung sifat atau keadaan prematur karena batas waktu untuk menggugat belum sampai pada waktu yang disepakati atau karena telah dibuat penundaan pembayaran oleh kreditur. Atau dengan kata lain tertundanya gugatan disebabkan adanya faktor yang menangguhkan.
2.      Exceptio Premtoria,  yaitu jenis eksepsi yang dapat menyingkirkan (set aside) gugatan karena masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan. Karena apa yang digugat telah tersingkir umpanya hal yang digugat bersumber dari perjanjian yang telah hapus berdasarkan 1381 KH Perdata, misalnya permasalahan yang digugat telah dibayar, dikonsinyasi, dinovasi, dikompensasi, dan sebagainya. Atau apa yang digugat telah dieksekusi berdasarkan pasal 224 HIR. Bentuk exceptio peremtoria (peremtoria exceptie) antara lain terdiri dari :
3.      Exceptio Temporis (eksepsi daluarsa). Menurut pasal 1946 KUH Perdata daluarsa atau lewat waktu (expiration) selain menjadi dasar hukum untuk memperoleh sesuatu, juga menjadi landasan hukum untuk membebaskan (release) seseorang dari suatu perikatan setelah lewat jangka waktu tertentu. Dan mengenai pengajuannya dapat diajukan disetiap tahapan sedangkan diperiksanya dan diputus bersama dengan pokok perkara dalam bentuk putusan akhir.
4.      Exceptio non pecuniae numeratae,  eksepsi yang berisikan sangkalan tergugat (tertagih), bahwa uang yang dijanjikan untuk dibayar kembali, tidak pernah diterima. Akan tetapi eksepsi ini sangat erat kaitannya denan kemampuan atau keberhasilan tergugat membuktikan bahwa uang yang disebut dalam perjanjian tidak pernah diterima. Apabila tergugat tidak mampu membuktikan eksepsinyapun ditolak.
5.      Exceptio doli mali,  atau biasa disebut juga exceptio doli presentis, yaitu keberatan mengenai penipuan yang dilakukan dalam perjanjian. Jadi eksepsi yang menyatakan penggugat telah menggunakan tipu daya dalam perbuatan perjanjian. Dengan demikian eksepsi ini berikaitan dengan ketentuan pasal 1328 KUH Perdata.
Exceptio metus,  eksepsi ini mengandung keberatan terhadap gugatan pengguagat yang bersumber dari perjanjian yang mengandung paksaan (dwang) atau compulsion (dures). Eksepsi ini berkaitan erat dengan ketentuan pasal 1323 dan 1324 KUH Perdata.
6.      Exceptio non adimpleti contractus, eksepsi ini dapat diterapkan dalam gugatan yang bersumber pada perjanjian timbal balik, masing masing pihak dibebani kewajiban (obligation) untuk memenuhi prestasi secara timbal balik. Seseroang tidak berhak menggugat apabilia dia sendiri tidak memenuhi apa yang menjadi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
7.      Exceptio Domini, eksepsi ini merupakan tangkisan yang diajukan tergugat terhadap gugatan, yang berisi bantahan yang menyatakan objek barang yang digugat bukan milik penggugat, tetapi milik orang lain atau milik tergugat.
8.      Exceptio litis pendentis, yaitu eksepsi yang berisikan bantahan bahwa sengketa yang digugat oleh penggugat, sama dengan perkara yang sedang diperiksa oleh pengadilan. Disebut juga eksepsi sub-judice yang berarti gugatan yang diajukan masih tergantung (aanhagig) atau masih berlangsung atau sedang berjalan pemeriksaannya dipengadilan. (boy).[10]
Macam-macam Eksepsi/tangkisan dalam Hukum Acara yaitu:
a.       Eksepsi mengenai kekuasaan relatif, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa PN tidak berwenang mengadili perkara. Diajukan sebelum tergugat menjawab pokok perkara.
b.      Eksepsi mengenai kekuasaan absolut, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa PN tidak berwenang untuk mengadili perkara tsb (psl 143 HIR), eksepsi mengenai kekuasaan absolut dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan perkara berlangsung, bahkan hakim wajib karena jabatannya (tanpa harus diminta oleh tergugat)
c.       Eksepsi Deklinatoir (mengelakkan), hakim tidak berwenang (psl 133, 134) jika benar maka gugatan penggugat diputus tidak dapat diterima. Dalam hal ini penggugat dapat mengajukan gugatan baru pada pengadilan yang berwenang.
d.      Eksepsi Dilatoir (menangguhkan, menunda): contoh, tergugat menyatakan bahwa gugatan diajukan prematur, belum saatnya. Kalau gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, penggugat dapat menggugat kembali setelah tiba saatnya.
e.       Eksepsi Peremptoir (menyudahi, menyelesaikan): Contoh daluwarsa, kalau oleh hakim gugatan tersebut ditolak, maka penggugat tidak dapat mengajukan gugatan lagi.
f.       Eksepsi Diskualifikatoir: yaitu penggugat dianggap tidak mempunyai kedudukan yang dimaksud dalam gugatan.
g.      Eksepsi ne bis in idem: eksepsi yang menyatakan bahwa perkara yang sekarang seluruhnya sama dengan perkara yang terdahulu diputus yaitu baik objeknya, persoalannya maupun pihak-pihaknya sama (nebis in idem).[11]










BAB III
PENUTUP
Simpulan :
Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
Kekuasaan mutlak peradilan agama dilingkungan peradilan agama terdapat dua tingkat pengadilan, yaitu pengadilan agama pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding.
Kekuasaan relative adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama. Seperti misal, antara Pengadilan Agama Bandung dengan Pengadilan Agama Bogor.
Kewenangan absolute adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.
Tugas kewenangannya yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perdata bidang :
a.       Perkawinan
b.      Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam
c.       Wakaf dan sedekah.



DAFTAR PUSTAKA

Harahap M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Perdata Agama, Jakarta: Pustaka Kartinii 1993.
Lubis Sulaikin, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama diindonesia, Jakarta: Kencana,2005.
Sutantio Retnowulan, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Gema insani Press, 1996.


[1] M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Perdata Agama, (Jakarta: Pustaka Kartini), 1993, h. 133.
[2] Ibid, h. 134.
[3] Ibid, h. 134.
[4] Ibid, h. 135.
[5] Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Gema insani Press), 1996, h. 11.
[6]  M. Yahya Harahap, Op.cit. h. 147-148.
[7] Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di indonesia, (Jakarta: Kencana,2005), h.101.
[8]http://www.hukumacaraperdata.com/2012/12/04/eksepsi-kewenangan-mengadili/, diakses pada hari Rabu, 20 November 2013, jam 14:00 Wita.

[11]Santoso, Macam-macam Eksepsi, 2010, http://www.santoslolowang.com/macam macam-eksepsi/, diakses pada hari jum’at, 22 November 2013, pada jam 09:00 Wita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar