Rabu, 31 Juli 2013

TAFSIR IJ'MALI


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab yang agung dan sempurna. Keagungan dan kesempurnaannya bukan hanya dirasakan oleh orang-orang yang memahami karakteristik bahasanya yaitu bahasa arab tetapi juga dirasakan  oleh mereka yang mempercayai dan mengharapkan petunjuk-petunjuknya dan semua orang yang  mengenalnya sebagai kitab yang diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Tinggi.
Seseorang yang mempelajari dari aspek bahasanya akan ditemukan berbagai keindahan bahasa Al-Qur’an dari susunan kata dan kalimatnya serta ketelitian dan keseimbangan redaksi-redaksinya. Keagungan dan kesempurnaan Al-Qur’an dari aspek kebahasaannya ini merupakan salah satu bukti kebenaran Al-Qur’an sebagai wahyu Allah dan bukti kemukjizatan Nabi Muhammad Saw.
Keyakinan dan harapan untuk memperoleh petunjuk-petunjuk Al-Qur’an lebih dipahami dalam konteks bahwa Allah memberikan hidayah kepada manusia melalui Al-Qur’an dengan hidayah Aqidah dan syariat. Selain itu Allah juga akan mengangkat derajat suatu kaum atau merendahkan kaum yang lain dengan Al-Quran. ( H.R. Muslim dari Umar Ibn Khattab ).
Upaya memahami Al-Quran melalui kegiatan tafsir  telah menjadi sesuatu yang amat penting. Hal ini dikarenakan bahwa Al-Quran adalah wahyu Allah yang tidak pernah habisnya untuk  dikaji, diperdebatkan atau bahkan didekonstruksi. Selain itu, Al-Quran adalah kitab suci dan sumber ajaran bagi umat Islam yang menjadi inspirator, pemandu dan pemadu   gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah  pergerakan umat, sehingga pemahaman-pemahaman yang aktual dan kontekstual berperan penting bagi maju mundurnya umat Islam.
Ditinjau dari segi metode, penafsiran terhadap Al-Quran  yang berkembang hingga saat ini dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu : metode tafsir tahlili ( al-manhaj al-tahlili ), metode tafsir ijmali ( al-manhaj al-ijmali ), metode tafsir muqarin ( al-manhaj al-muqarin ) dan metode tafsir maudhu’i ( al-manhaj al-maudhu’i ).
Dalam makalah  ini, akan dikemukakan salah satu metode penafsiran di atas. yakni metode penafsiran ijmali pada bab selanjutnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan tafsir Ijmali?
2.      Bagaimana Sejarah Metode Tafsir Ijmali?
3.      Apa saja langkah-langkah yang ditempuh dalam metode Tafsir Ijmali?
4.      Bagaimana Analisis Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Ijmali?









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian  Metode Tafsir Ijmali
Secara etimologi tafsir berasal dari akar  kata al-fasr yang berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata at-tafsir berarti  menyingkap maksud sesuatu lafadz yang musykil. Dan menurut istilah banyak pendapat ulama dalam mendefinisikannya diantaranya adalah:
1.      Al-Zarkasy dalam Al- Burhan mendefinisikan tafsir sebagai berikut :
اﻋﻟﻢ ﯦﻌﺭﻑ ڊﻪ ﻔﻬﻡ ﻜﺗﺍﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻠﻣﻧﺯﻞﻋﻟﻰ ﻧﺑﻴﮫ ﻣﺤﻣد ﺼﻟﻰ ﺍﻠﻟﮫ ﻋﻟﻳﮫ ﻮﺴﻟﻢ   ﻮبيان معاﻧﻴﮫ  واستخراج احكامه و حكمه.
“Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah ( Al-Quran )  yang diturunkan kepada nabi-Nya Muhammad Saw serta menerangkan makna Alquran dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.”
2.      Al - Jurjaniy berkata:
التفسير في الاصل الكشف والاظهار, وفي الشرعي توضيخ معني الاية, شأنها وقصّتها والسبب الذي نزلت فيه بلفظ او يدل عليه دلالة ظاهرة.
“Tafsir pada asalnya adalah membuka dan menzahirkan. Pada istilah syara’ ialah menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya dan sebab yang karenanya diturunkan ayat, dengan lafaz yang menunjuk kepadanya secara jelas.”
3.      Al-Kilby dalam at Tashiel yang dikutip Hasbi Ash-Shiddieqy  menyatakan:
التفسير: شرح القرآن وبيان معناه ولإفضاح بما يقتضيه بنصه او اشارته او نجواه.
“Tafsir ialah: Mensyarahkan Al-Quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya, atau dengan tujuannya.”
Kata metode berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan gabungan dua kata yakni metha, yang berarti menuju, melalui, mengikuti, dan kata hodos yang berarti jalan, perjalanan, cara, arah. Kata methodos sendiri berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesa ilmiah, uraian ilmiah. Dalam bahasa Inggris, kata tersebut ditulis dengan method dan dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan manhaj atau thariqah. Dalam bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti cara yang teratur terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan juga lainnya), cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai sesuatu yang ditentukan. [1]
Kata Ijmali secara bahasa artinya ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlahan. Dengan demikian tafsir ijmaliy adalah penafsiran Al-Quran yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan Al-Quran melalui pembahasan yang bersifat umum ( global ) tanpa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak dilakukan secara rinci.
Keterangan lain menyebutkan bahwa metode tafsir ijmali berarti menafsirkan ayat Al-Quran  yang dilengkapi dengan penjelasan  yang mengatakan bahwa  sistematika penulisannya adalah menurut urutan ayat dalam mushaf Al-Quran dengan bahasa yang populer, mudah dipahami, enak dibaca dan mencakup.
            Dengan demikian, metode tafsir ijmali berarti cara sistematis untuk  menjelaskan atau menerangkan makna-makna Al-Quran baik dari aspek hukumnya dan hikmahnya dengan pembahasan yang bersifat umum ( global ), ringkas,  tanpa uraian yang panjang lebar dan tidak secara rinci tapi mencakup sehingga mudah dipahami oleh semua orang mulai dari orang yang berpengetahuan rendah sampai orang-orang yang berpengetahuan tinggi.
Diantara beberapa kitab tafsir yang ditulis  sesuai metode tafsir ijmali  adalah;
1.      Al-Tafsir al-farid li al-Qur’an al-Madjid, oleh Muhammad Abd. Al-Mun’im
2.      Marah Labid Tafsir al-Nawawi/al-tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, oleh Al-Syekh Muhammad nawawi al-jawi al-Bantani.
3.      Tafsir al Wafiz fi Tafsir Alquran al Karim, oleh Syauq Dhaif.
4.      Tafsir al Wadih oleh Muhammad Mahmud Hijazi.
5.      Tafsir Alquran al Karim , oleh Mahmud Muhammad Hadan ‘Ulwan dan Muhammad Ahmad Barmiq.
6.      Fath   al-Bayan fi Maqashid al-Qur’an, oleh al-Mujtahid Shiddiq Hasan Khan,
7.      Tafsir Alquran al- Karim, oleh Jalaluddin as Suyuthi dan Jalaluddin al Mahalliy.
8.      Tafsir Alquran al Karim oleh Muhammad Farid Wajdi. [2]
Kitab-kitab tafsir di atas pada hakikatnya bukan saja bisa ditinjau dari segi metode penafsirannya saja sebagai bentuk tafsir dengan metode ijmali, tetapi boleh jadi jika ditijnjau dari segi jenis/pendekatan maupun coraknya bisa tergolong pada jenis dan corak tafsir yang lain. Misalnya, meskipun tafsir al-Jalalain digolongan sebagai tafsir metode ijmali tapi dari segi jenis/pendekatanya digolongan pada jenis tafsir bil ra’yi.

B.     Sejarah Metode Tafsir Ijmali
Ketika Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah Muhammad Saw, fungsi beliau adalah sebagai  mubayyin ( pemberi penjelasan )  kepada sahabat-sahabat nabi tentang arti dan maksud dari  kandungan al-Quran yang diwahyukan itu, terutama dalam kaitannya dengan ayat-ayat yang tergolong tidak dipahami ataupun samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai  dengan wafatnya Rasul Saw. Posisi Rasulullah Saw dalam kaitannya dengan penafsiran Al-Quran ini dikatakan sebagai al-mufassir al-awwal ( mufassir  pertama ).
Setelah wafatnya Rasul Saw, para sahabat tidak mendapatkan lagi tempat bertanya yang selevel beliau. Akhirnya para sahabat melakukan ijtihad dalam memahami Al-Quran, khususnya mereka yang tergolong memiliki kemampuan semacam Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, ‘Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud.  Selain itu mereka juga tidak segan-segan untuk menanyakan suatu permasalahan sejarah, terutama sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul kitab yang telah memeluk Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Ahbar, dan lain-lain.
Perkembangan tafsir selanjutnya ditandai dengan tokoh-tokoh tafsir di atas yang memiliki murid dari kalangan tabi’in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari para tabiin tersebut, diantaranya : Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu Abbas, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang berguru kepada Ubay bin Ka’ab dan Al-Hasan Al-Bashri, Amir Al-Sya’bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.
Ketiga golongan di ataslah yang pada hakikatnya dapat disebut kelompok Tafsir bil Ma’tsur. Periode ini merupakan perkembangan awal penafsiran terhadap Al-Quran sampai sekitar tahun 150 H.  Perkembangan tafsir selanjutnya berada di tangan generasi berikutnya, yaitutabi’ al-tabi’in dengan tokoh-tokohnya antara lain  Sufyan bin Uyainah, Waki’ al-Jarrah, Syu’bah al-Hajjaj, Zaid bin Harun dan Abd bin Humaid.  Penulis tafsir yang terkenal pada periode ini adalah al-Waqidi ( w.207 H ), sesudah itu Ibnu Jarir ath-Thabary ( w. 310 H ). Para penafsir yang datang kemudian banyak mengutip dan mengambil bahan dari tafsir ath-Thabary tersebut yang berjudul : Jami’al-Bayan.
Bersamaan dengan masa tabi’in dan tabi’ al-tab’in, ekspansi Islam ke berbagai wilayah jazirah arab  maupun luar arab semakin berkembang dan meluas mencapai daerah-daerah yang masyarakatnya heterogen dan memiliki dasar-dasar kebudayaan kuno, seperti Persia,  Messopotamia, India, Syiria, Turki, Mesir, dan Afrika Selatan, sehingga berkembanglah ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh kaum muslimin, seperti ilmu logika, filsafat, ilmu eksakta, ilmu hukum, ilmu ketabiban. Ilmu-ilmu yang disebut terakhir ini berpengaruh terhadap perkembangan tafsir Al-Quran. Dalam menafsirkan Al-Quran, para ahli tafsir  tidak lagi merasa cukup dengan hanya mengutip atau tepatnya menghafal riwayat dari generasi sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in seperti yang diwarisinya selama ini, akan tetapi telah mulai berorientasi pada penafsiran Al-Quran yang didasarkan pada pendekatan ilmu-ilmu bahasa pada khususnya dan penalaran-penalatan ilmiah yang lain pada umumnya. Maka pada saat ini berkembanglah apa yang disebut dengan tafsir bil ra’yi atau tafsir bi al-dirayah. Penulis tafsir jenis ini antara lain :
-          Al-Zamakhsyari, dengan karyanya Tafsir al-Kasysyaf   
-          al-Qurthubi dengan tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Quran
-          Imam Ar-Razi dengan karyanya  Mafatih al-Ghaib
-          Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf al-Andalusi karyanya  al-Bahr al-Muhith
-          Ibn al-‘Arabi dengan tafsirnya Ahkam al-Quran, dll. 
Berdasarkan  uraian di atas, periodesasi sejarah perkembangan tafsir pada umumnya dibagi menjadi 3 peiode, yaitu : Pertama, periode mutaqaddimin ( abad  1 H –abad 4 H ) ; kedua, periode muta’akhirin ( abad 4 H – 12 H ) ; ketiga, peride baru ( abad 13 H/19 M – sekarang ).[3]
Jika dicermati bentuk-bentuk penafsiran terhadap Al-Quran sejak masa Rasul Saw, sahabat dan tabi’in sebagaimana yang digolongkan oleh M. Quraish Shihab sebagai tafsir bil ma’tsur,  boleh dikatakan sebagai dasar-dasar bagi tafsir Al-Quran yang  menerapkan metode  IjmaliTafsir bil ma’tsur adalah jenis tafsir Al-Quran dengan Al-Quran, penafsiran Al-Quran dengan As-Sunnah atau penafsiran Al-Quran menurut Atsar yang timbul dari kalangan sahabat. 
Contoh tafsir al-Quran pada masa sahabat sepeninggal Rasul Saw yang mengindikasikan  dasar-dasar metode tafsir Ijmali adalah ketika Ibnu Abbas menafsirkan kata “aulamastum dalam surah  An-Nisa [4] : 43 dengan jima ( bersetubuh ).  Ayat tersebut adalah :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s? Ÿwur $·7ãYã_ žwÎ) ̍Î/$tã @@Î6y 4Ó®Lym (#qè=Å¡tFøós? 4 bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3ƒÏ÷ƒr&ur 3
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
Demikianlah penafsiran Rasul Saw terhadap ayat-ayat Al-Quran, demikian pula tafsir para sahabat nabi pada umumnya dijelaskan secara  mujmal ( global ) dalam arti tidak panjang-panjang, tidak secara rinci yang bisa mengakibatkan bertele-tele. Hal ini dilakukan oleh Rasul Saw dan para sahabat supaya mudah dipahami oleh orang-orang yang bertanya atau pada umumnya kaum muslimin pada saat itu. Muhammad Amin Suma menjelaskan bahwa salah satu karakteristik tafsir, khususnya  pada masa sahabat adalah lebih menekankan pendekatan pada al-ma’na al-ijmali, dan tidak melakukannya dengan panjang lebar dan mendetail serta membatasi diri pada penjelasan makna-makna lughawi ( etimologis ) dalam ungkapan sederhana dan singkat. 
Dengan demikian metode tafsir ijmali secara historis muncul sejak awal perkembangan Islam, yakni  zaman Rasul Saw sampai pada masa sahabat ( abad I H ).
C.    Langkah-Langkah Yang Ditempuh Dalam Metode Tafsir Ijmali
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa Tafsir al-Ijmali merupakan metode menjelaskan dan menerangkan ayat-ayat Al-Quran secara global, tanpa uraian panjang lebar dan tidak rinci. Metode ini ditempuh dengan cara menafsirkan  ayat-ayat Alquran berdasarkan susunan ayat-ayat yang ada di dalam mushaf Usmaniy.
Seorang mufassir memaparkan ayat demi ayat, surat demi surat secara teratur dengan penjelasan sederhana sehingga memungkinkan seorang pembaca dapat memahaminya, baik pembaca tersebut orang-orang yang istimewa, seperti tinggi ilmu pengetahuannya atau orang lain yang awam. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur'an mufassir menggunakan hadist Nabi, atsar salaf shalih, kejadian sejarah, kisah-kisah yang termaktub di dalam Al Qur'an dan juga menyebutkan sebab-sebab diturunkan ayat jika ada. Tujuan asasi penafsiran dengan metode ini adalah menggunakan bahasa yang dipergunakan oleh jumhur untuk mendekatkan makna supaya dapat dipahami pembaca.
Dengan demikian langkah-langkah yang ditempuh oleh para mufassir  yang tergolong dalam metode ini antara lain :
1.      Menentukan ayat Al-Quran yang akan ditafsirkan menurut urutannya dalam mushaf atau menurut urutan turunnya.
2.      Menjelaskan makna mufradat ( kosa kata ) dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami.
3.      Menjelaskan makna ayat-ayat tersebut berdasarkan kaidah- kaidah bahasa arab, seperti menjelaskan hukum dhamir dan susunan kalimatnya.
4.      Kadangkala  juga menjelaskan asbabun nuzulnya dan munasabahnya.
5.      Dalam penafsirannya dijelaskan dengan hadis, atsar para sahabat dan orang-orang shaleh terdahulu  atau pendapat penafsir sendiri. [4]



D.    Analisis Kelebihan Dan Kekurangan
Dalam menganalisa metode tafsir ijmali, muncul  pertanyaan apa keistimewaan atau kelebihan  dan kelemahan metode tafsir ini ?
Suatu metode yang dilahirkan seorang manusia, selalu saja memliki kelemahan dan keistimewaan. Demikian halnya juga dengan metode tafsir ijmali ini. Namun perlu disadari keistimewaan dan kelemahan yang dimaksud disini bukanlah suatu hal yang negatif, akan tetapi rujukan dalam ciri-ciri metode  yang lain. Metode ijmali, sebagai salah satu metode penafsiran Alqur'an memiliki beberaa kelebihan yang tidak dimiliki oleh tafsir-tafsir lainnya, diantara kelebihan  ini adalah:
1.      Jelas  dan Mudah di pahami.
Sesuai dengan sebutannya, tafsir ijmali ini merupakan penafsiran yang dalam menafsirkan suatu ayat tidak terbelit-belit, ringkas, jelas  dan mudah dipahami oleh pembacanya. Selain itu juga pesan-pesan yang terkandung dalam tafsir ini, sangat mudah ditangkap oleh pembaca.
2.      Bebas dari penafsiran Israiliyat.
Peluang masuknya penafsiran Israiliyat dalam metode penafsiran ini dapatdihindarkan, bahkan dapat dikatakan sangat jarang sekali ditemukan. Hal ini disebabkan uraiannya yang singkat hanya mengemukakan tafsir dari kata-kata dalam suatu ayat dengan ringkas dan padat.
3.      Akrab dengan bahasa Alquran
Uraiannya yang singkat dan padat mengakibatkan tidak dijumpainya penafsiran ayat-ayat Alquran yang keluar dari kosa kata ayat tersebut. Metode ini lebih mengedepankan makna sinonim dari kata-kata yang bersangkutan, sehingga bagi pembacanya merasa dirinya sedang membaca Alquran dan bukan membaca suatu tafsir.[5]
Adapun kelemahan yang dimiliki metode penafsiran ini diantaranya adalah:
1.      Menjadikan petunjuk Al-Quran tidak utuh.
Penafsiran yang ringkas dan pendek membuat pesan Al-Quran tersebut tidak utuh dan terpecah-pecah. Padahal Al-Quran, menurut Subhi As-Shaleh  mempunyai keistimewaan dalam hal kecermatan dan cakupannya yang menyeluruh. Setiap kita menemukan ayat yang bersifat umum yang memerlukan makna lebih lanjut, kita pasti menemukan pada bagian lain, baik yang bersifat membatasi maupun memperjelas secara rinci. 
2.      Penafsiran dangkal atau tidak mendalam.
Metode tafsir ini tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian atau pembahasan yang mendalam dan  memuaskan pembacanya berkenaan dengan pemahaman suatu ayat. Ini boleh disebut suatu kelemahan yang harus disadari para mufassir yang akan menggunakan metode ijmali ini. Akan tetapi, kelemahan yang dimaksud di sini  tidaklah bersifat negatif melainkan hanyalah merupakan karakteristik atau ciri-ciri metode penafsiran ini.

E.     Contoh Penafsiran Ijmali
Contoh dalam penafsiran Ijmali ini dapat kita lihat pada tafsir al Jalalain, yang hanya membutuhkan beberapa baris saja saat menafsirkan lima ayat pertama di dalam surat al Baqarah. Al Jalalain saat menafsirkan Firman Allah QS al-Baqarah 1 memaparkan “الم” misalnya dia berkata Allah Yang Maha Tahu maksudnya.
Demikian pula halnya saat menafsirkan Firman Allah “الكتاب” hanya menyatakan yang dibaca oleh Muhammad SAW. “لا ريب فيه” berfungsi sebagai predikat dan subjeknya adalah “ذالك”. “هدى” berfurngsi sebagai predikta kedua bagi “ذالك” yang mengandung arti memberi petunjuk bagi orang yang bertaqwa.
Berbeda halnya dengan imam Qurthubiy dalam tafsirnya al Jami’ Liahkamil Qur’an, yang membutuhkan tiga halaman dalam menjelaskan atau menafsirkan Firman Allah QS Al Baqarah 1. Imam memulai penafsiran ayat ini dengan mengemukakan pentakwilan huruf-huruf muqattha’ah di dalam Alquran. didalamnya ada beberapa pendapat diantaranya yang dikemukakan ‘Amir as Sya’biy dan Sufyan at Tsauriy beserta sekelompok muhaddistin yang menyatakan huruf-huruf muqattha’ah adalah bentuk rahasia-rahasia Allah, yang hanya Allah Mengetahuinya dan kita tidak perlu untuk membahas dan membicarakannya. Dalam pendapat ini Qurthubiy memaparkan beberapa perkataan sahabat yang berkenaan dengan masalah ini, diantaranya perkataan Abu Laist ats Tsamarqadiy dari Umar, Ustman dan Ibnu Mas’ud yang berkata: “ Huruf -huruf muqattha’ah tidak perlu untuk ditafsirkan.
Kemudian pada pendapat lainnya, imam memaparkan pendapat yang mengharuskan orang mukmin untuk membahas dan membicarakan tentang huruf-huruf muqattha’ah, untuk mengambil faedah-faedah yang tersirat di dalamnya. Dalam pendapat ini terdapat berbagai perbedaan pendapat lain diantaranya menyatakan bahwa huruf-huruf muqattha’ah merupakan Asma Allah. Pendapat lainnya menyatakan huruf-huruf muqattha’ah ini adalah isyarat dari huruf hijaiyah yang hanya Allah mengetahui maksud yang tersirat di dalamnya. Pendapat selanjutnya adalah pendapat sekelompok ulama yang menyatakan bahwa huruf-huruf muqattha’ah ini adalah diambil dari Asma Allah yang sebagian dari kata-katanya dihapus. Misalnya huruf alif diambil dari kata Allah, huruf laam diambil dari kata Jibril, dan huruf miim diambil dari kata Muhammad. Dan juga ada yang berpendapat lain bahwa huruf-huruf muqattha’ah ini diambil dari dari Asma Allah kesemuanya. Huruf aliif dari Allah, huruf laam dari Asma Allah Latif, dan huruf miim diambil dari Asma Allah Majiid.
Kemudian pada selanjutnya imam memaparkan pendapat lain mengenai huruf-huruf muqattha’ah ini yaitu yang dikemukakan oleh Zaid bin Aslam yang menyatakan bahwa huruf-huruf muqattha’ah ini adalah nama-nama surat di dalam Alquran. selanjutnya al Kalbiy mengatakan bahwa huruf-huruf muqattha’ah ini adalah bentuk sumpah Allah. Juga dalam pendapat-pendapat diatas imam Qurthubiy juga memaparkan beberapa perbedaan dan perdebatan ulama dalam ikhtilaf ini.
Kemudian imam membahas kata dzalika dan kata kitab. Dalam masalah ini imam memaparkan penafsirkan dzalika dengaan isyarat kepada Alquran, yang dilakukan oleh Abu Ubaidah dan Akramah.
Megenai kata Kitab, terdapat beberapa pendapat dalam penafsirannya, diantaranya Dzalika kitab yakni kitab yang telah Aku tulis atas makhluk-makhluk, dengan berbagai bentuk kesedihan, kegembiraan, ajal rezeki yang tidak ada keraguan di dalamnya. Ada juga yang berpendapat dzalikal kitabu adalah suatu isyarat kepada Lauhul Mahfuz. Yang lainnya berpendapat dzalikal kitabu adalah Kitab yang dijanjikan Allah kepada Nabi-Nya yang tidak akan terhapus oleh air. Juga ada yang berpendapat maksudnya adalah isyarat kepada apa yang termaktub di dalam Taurat dan Injil, serta juga ada yang berpendapat kata tersebut maksudnya adalah suatu isyarat akan apa yang telah diturunkan Allah di Makkah atau yang lazim disebut surat-surat Makkiy. Serta beragam pendapat lainnya yang tidak dapat ditulis penulis kesemuanya.
Dalam penafsirkan “فيه هدي للمتقين” juga terdapat beberapa permasalahan, dan pada makalah ini penulis akan memaparkan sebagian dari kesemuanya. Pertama, hudaa adalah petunjuk yang didapat oleh para Rasul beserta para pengikut mereka. Kedua, ada yang menafsirkan hudaa disini adalah salah satu nama sungai, karena sungai merupakan suatu tempat yang sangat dibutuhkan manusia dalam kehidupan sehari-harinya, sebagaimana juga hidayah/petunjuk sangat dibutuhkan manusia untuk menemukan kebahagian hidup.
Kemudian imam memaparkan makna taqwa menurut beberapa ulama, diantaranya ada yang menafsirkan taqwa adalah kebaikan, juga ada yang menafsirkan taqwa disini dengan sedikit cakap. Karena kata taqwa asalnya adalah sedikit cakap. Serta berbagai permasalahan lainnya yang diutarakan imam Qurthubiy dalam menafsirkan ayat pertama surat al Baqarah ini.
 Dari pemaparan contoh dari kedua bentuk penafsiran ini, dapat dilihat perbedaan mendasar dalam penafsiran ayat Alquran dengan menggunakan metode ijmali dengan perbedaannya dengan metode tafsir tahlili. Tafsir ijmali menggunakan metode yang ringkas dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, yang polanya adalah meletakkan tafsir di dalam rangkaian ayat-ayat seperti penjelasan kata yang kemudian disimpulkan dengan penjelasan yang umum.[6]








BAB III
PENUTUP
Simpulan:
Metode tafsir ijmali berarti cara sistematis untuk  menjelaskan atau menerangkan makna-makna Al-Quran baik dari aspek hukumnya dan hikmahnya dengan pembahasan yang bersifat umum ( global ), ringkas,  tanpa uraian yang panjang lebar dan tidak secara rinci tapi mencakup sehingga mudah dipahami oleh semua orang mulai dari orang yang berpengetahuan rendah sampai orang-orang yang berpengetahuan tinggi.
Semua jenis, metode dan corak tafsir Al-Quran memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka, metode tafsir Ijmali pasti juga memiliki kelebihan dan kekurangan.
Adapun kelebihannya antara lain :
·         Jelas  dan Mudah di pahami.
·         Bebas dari penafsiran Israiliyat.
·         Akrab dengan bahasa Alquran
Sedangkan kekurangannya antara lain :
·         Menjadikan petunjuk Al-Quran bersifat parsial.
·         Terlalu dangkal dan berwawasan sempit



DAFTAR PUSTAKA

·         M. Hasybiy as Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur'an dan Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang Indonesia, 1992.
·         Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, Cet.I, Yogyakarya : Pustaka Pelajar, 1998.
·         Rosihan Anwar,  Ilmu Tafsir, Cet.III, Bandung : Pustaka Setia, 2005.
·         http://juniantositorus.blogspot.com/2012/05/metode-tafsir-ijmali.html (Tanggal 19 Maret 2013, Selasa pada jam 11.05 Wit).
·         http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/02/tafsir-ijmali.html (Tanggal 21 maret 2013, Kamis pada jam 11.00 Wit).




[1] M. Hasybiy as Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur'an dan Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang Indonesia, 1992), h. 178.
[2] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, Cet.I, (Yogyakarya : Pustaka Pelajar, 1998), h. 13.
[3] Rosihan Anwar,  Ilmu Tafsir, Cet.III, ( Bandung : Pustaka Setia, 2005 ), h. 159.
[4] http://juniantositorus.blogspot.com/2012/05/metode-tafsir-ijmali.html (Tanggal 19 Maret 2013, Selasa pada jam 11.05 Wit).

[5] Ibid, h. 180
[6] http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/02/tafsir-ijmali.html (Tanggal 21 maret 2013, Kamis pada jam 11.00 Wit).