BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Tafsir Bi Al-Ra’y
Kata Al-ra’yu berasal dari
akar kata راي ج- اراء. Memiliki kata jamak ārā’un atau ar’ā’un yang
bisa berarti berpendapat.[1][1] Sedangkan secara istilah bisa didefinisikan sebagaimana pendapat beberapa
ulama yaitu :
1.
Tafsir Bi Al-Ra’y ialah tafsir yang didalam
menjelaskan maknanya hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan
yang didasarkan pada ra’yu semata. Golongan ini telah menulis sejumlah kitab
tafsir menurut pokok-pokok mazhab mereka, seperti tafsir (karya) Abdurrahman
bin Kaisan al-asam, al-Juba’I, Abdul Jabbar,
Ar-Rummani, Zamakhsyari dan lain sebagainya.[2][2]
2.
Tafsir Bi Al-Ra’y ialah Tafsir
berdasarkan ijtihad mufassir; pendapat atau ijtihadnya yang didasarkan atas
sarana ijtihad.[3][3]
3.
Muhammad Ali
Ash Shaabuniy, ialah ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shohih,
kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya digunakan oleh orang
yang hendak mendalami tafsir Al-Qur’an
atau mendalami pengertiannya.5
Dari
beberapa pendapat diatas dapat penulis simpulkan bahwa tafsir bi al-ra’y adalah
suatu metode tafsir dengan menggunakan kekuatan akal pikiran yang sudah
memenuhi syarat dan memiliki pengakuan dari para ulama untuk menjadi seorang
mufassir, namun penafsirannya harus tetap sejalan dengan hukum syari’ah tanpa
ada pertentangan.
Tidaklah
yang dimaksud dengan ra’yu ini dengan menafsirkan Al-Quran berdasarkan kata
hati atau kehendaknya. Al- Qurtubi berkata “barang siapa yang menafsirkan
Al-Qur’an berdasarkan imajinasinya (yang tepat menurut pandangannya tanpa
berdasarkan kaidah-kaidah) maka ia adalah orang yang keliru dan tercela.”
Dalam sebuah
hadis diriwayatkan :
من كذّب عليّ
متعمدا فليتبوُأ مقعده من النار, ومن قال فى القران برأيه فليتبوّ أ مقعده من النار. (
رواه التر مذ )
Artinya :
“Barang siapa mendustakan secara sengaja niscaya ia harus
bersedia menepatkan dirinya di neraka.
Dan barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan Ra’yu atau pendapatnya
maka hendaklah ia bersedia menepatkan dirinya di neraka .”( H.R. Turmuzi dan
Ibnu Abbas ) Dan sabdanya
pula :
من قال فى القران برأ يه فاصاب
فقد اخطأ
Artinya :
“Dan barang
siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan Ra’yunya dan kebetulan tepat, niscaya
ia telah melakukan kesalahan.” (H.R. Abi Dawud dari Jundab)
Imam Al-Qurtuby, mengatakan bahwasannya hadits Ibnu
Abbas tersebut memiliki dua penafsiran:
Pertama : Barang siapa yang berpendapat dalam
persoalan Al-Qur’an yang pelik dengan tidak berdasarkan pengetahuan dari mazhab
sahabat atau tabi’in berarti menentang Allah
Kedua : Barang siapa
yang mengatakan tentang Al-Qur’an suatu pendapat, sedang ia mengetahui bahwa
yang benar adalah pendapat yang lain, maka ia hanya bersedia menempatkan diri
di neraka.[4][4]
B.
Sebab-Sebab Timbulnya Tafsir Bi Al-Ra’y
Pertama kali tafsir Al-Qur’an
disampaikan secara syafāhiy (wicara, dari mulut ke mulut). Kemudian
setelah dimulai pembukuan kitab-kitab kumpulan hadis, maka tafsir Al-Qur’an
dibukukan bersama-sama dengan hadis, dan merupakan satu dari beberapa bab yang
terkandung dalam kitab hadis. Pada masa itu belum ada penafsiran ayat per ayat,
surat per surat, dari permulaan mushaf sampai dengan akhir, dan belum ada
penafsiran per judul pembahasan.
Pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal
pemerintahan Bani Abbasiyah, di tengah-tengah masa pentadwinan cabang-cabang
ilmu pengetahuan, tafsir Al-Qur’an mulai memisahkan diri dari hadis, hidup
mandiri secara utuh dan lengkap. Dalam artian, tiap-tiap ayat mendapat
penafsiran, secara tertib menurut urutan mushhaf. Penafsiran Al-Qur’an pada
masa-masa pertama memakai cara naqli, yaitu yang terkenal dengan istilah al-manhaj
al-tafsīr bi al-ma’tsūr. Setelah itu para ahli ilmu menafsirkan Al-Qur’an
menurut keahlian mereka masing-masing. Kemudian setelah lahirnya sekte-sekte
aqidah didukung dengan semakin berkembangnya ilmu-ilmu kebahasaan dibuktikan
dengan dijadikan ilmu tersebut sebagai disiplin ilmu tersendiri, bermuncullah
penta’wilan terhadap ayat-ayat mutasyabihat, untuk menopang paham mereka
masing-masing, meskipun sebenarnya bibit-bibit ta’wil Al-Qur’an sudah dimulai
oleh beberapa sahabat, seperti ‘Ali bin Abi Ṭālib, ‘Abdullāh bin Mas’ūd, dan
‘Abdullāh bin ‘Abbās ra. Kemudian setelah itu, melalui Mu’tazilah, terjadilah
perluasan tafsir bi al-ra’yi, sehingga tidak terjadi pertentangan antara
nash Al-Qur’an dan akal pikiran, seperti kitab tafsir al-Kashshaf oleh
al-Zamakhshāriy.[5][5]
Diantara mereka ada yang menulis tafsirnya dengan ungkapan
yang indah dan menyusupkan madzhabnya ke dalam untaian kalimat yang dapat
memperdaya banyak orang sebagaimana dilakukan penulis Tafsir al-kassyaf dalam menyisipkan paham ke-mu’tazila-annya.[6][6]
C.
Pendapat Ulama Tentang Tafsir Bi Al-Ra’y
Setelah
membahas sebab-sebab timbulnya
tafsir bi al-ra’y, kami akan menjelaskan
pendapat ulama tentang boleh tidaknya menafsiri Al-Qur’an bi al-ra’y beserta
dengan alasannya. Sebagian ulama
mengatakan “ yang dimaksud dengan ra’yu disini adalah ijtihad”. Karena
itu, tafsir ra’yu berarti tafsir Al-Qur’an berdasarkan ijtihad setelah mufassir
mengetahui kata-kata dan uslub orang arab dalam berbicara, serta mengetahui
lafal-lafal bahasa arab dan
pengertiannya.
Para ulama
berbeda pendapat tentang kebolehan menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu yang
terbagi dalam dua pendapat :
Pertama : Tidak diperbolehkan menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu karena tafsir ini
harus bertitik tolak dari penyimakan. Itulah pendapat sebagian ulama.
Kedua :
Pendapatkan yang membolehkan penafsiran dengan ra’yu dengan syarat harus
memenuhi persyaratan-persyaratan diatas. Ini adalah pendapat dari kebanyakan
ulama (jumhur ulama).
1. Alasan
pendapat yang tidak memperbolehkan
Menafsirkan
Qur’an dengan ra’yu dam ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram,
tidak boleh dilakukan.
Ulama yang
tidak membolehkan penafsiran dengan ra’yu menyebutkan beberapa alasan yang dapat kami ringkaskan
sebagai berikut :
a.
Tafsir
dengan ra’yu adalah membuat-buat (penafsiran) Al-Qur’an dengan tidak
berdasarkan ilmu. Karena itu tidak dibenarkan berdasarkan firman Allah :
Artinya :
Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan
mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. ( QS. Al-Baqoroh : 169)
b.
Sebuah
hadits tentang acaman terhadap orang
yang menafsirkan dengan ra’yu, yaitu sabda Rasul SAW :
من كذّب عليّ
متعمدا فليتبوُأ مقعده من نار, ومن قال فى القران برأيه فليتبوّ أ مقعده من النار.
( رواه التر مذ )
Artinya :
“Barang siapa
mendustakan secara sengaja niscaya ia harus bersedia menepatkan dirinya di
neraka. Dan barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan Ra’yu atau
pendapatnya maka hendaklah ia bersedia menepatkan dirinya di neraka.”( H.R.
Turmuzi dan Ibnu Abbas ).
c.
Firman Allah
SWT :
Artinya ::
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.”
d.
Para sahabat
dan tabi’in merasa berdosa bila menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yunya, sehingga
abu Bakar Shiddiq mengatakan, “ langit manakah yang akan menaungiku dan bumi
manakah yang akan melindungiku? Bila aku menafsirkan Al-Qur’an menurut ra’yuku
atau aku katakan tentangnya sedang aku sendiri belum mengetahui betul.”
2.
Alasan-alasan Pendapat yang Membolehkan Tafsir dengan
Ra’yu
Ulama’ yang
membolehkan tafsir dengan ra’yu adalah golongan jumhur yang menyebutkan
beberapa alasan yang dapat kami simpulkan sebagai berikut:
a.
Allah telah
manganjurkan kita untuk memperhatikan dan mengikuti Al-Qur’an, seperti dalam firman-Nya:
Artinya : “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan
berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran
orang-orang yang mempunyai fikiran” (QS. Shaad:29).
Proses tazakkur tidak akan bisa dilakukan tanpa
mendalami rahasia-rahasia Al-Qur’an dan berusaha untuk memahami artinya.
b.
Allah
SWT. membagi manusia dalam dua
klasifikasi; kelompok awam dan kelompok ulama (cerdik cendikiawan). Allah
memrintahkan mengembalikan segala persoalan kepada ulama yang bisa mengambil
dasar hokum, firman Allah:
Artinya :
“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[322] di antara
mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri).” (QS. An-Nisa’:83)
c.
Mereka
berpendapat, “bila penafsiran menurut ijtihad tidak dibenarkan maka ijtihad itu
sendiri niscaya tidak diperbolehkan. Akibatnya banyak hukum yang
terkatung-katung. Hal ini tidak mungkin karena bila seorang mujtahid berijtihad
dalam hukum syara’, ia akan mendapatkan pahala, baik benar maupun salah dalam
ijtihadnya.[7][7]
D.
Pedoman Penafsiran dengan Ra’yu
Faktor yang
harus di penuhi dalam penafsiran secara ra’yu, terdiri atas empat pokok
sebagaimana yang kutip oleh Ali Ash-Shaabuuniy yang dikemukakan oleh Az-Zarkasi
dalam kitabnya Al-Burhan yang dikutip
oleh Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan,
yaitu:
1.
Dikutip dari Rasul dengan memperhatikan hadits-hadits yang daif dan maudhu’.
2.
Mengambil dari pendapat sahabat dalam hal tafsir
karena kedudukan mereka adalah marfu (sampai kepada Nabi)
3.
Mengambil berdasarkan bahasa secara mutlak karena
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas, dengan membuang alternatif yang
tidak tepat dalam Bahasa Arab.
4.
Pengambilan berdasarkan ucapan yang populer di
kalangan orang Arab yang sesuai dengan ketentuan syara’.[8][8]
E.
Macam-Macam dan Contoh Tafsir Bi Al-Ra’y
1.
Macam-macam Tafsir Bi Al-Ra’y
Berdasarkan
pengertian di atas, para mufassir membagi tafsir bi al-ra’y kepada dua macam, yaitu ra’y madhmumah
(yang tercela) dan ra’y mahmudah (yang terpuji). Yang pertama adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat
semata-mata, yang tidak didukung oleh ilmu alat. Hal ini yang dimaksud dalam hadits
Nabi SAW yang artinya : “Barang siapa
yang berbicara tentang Al-Qur’an menurut pendapatnya sendiri, maka hendaklah
dia menempati tempat duduknya di neraka” (HR. Tirmidzi).[9][9] Sebagian besar orang
yang menafsirkan dengan ra’yu adalah orang-orang yang mementingkan hawa nafsu
dan bid’ah. Mereka menganut faham-faham yang sesat, tidak ada alur periwayatan
(rujukan) yang jelas, tidak ada dalil yang kuat.[10][10] Dimana ia menyatakan bahwa kalam
Allah itu maksudnya ini … atau itu… tafsir semacam ini adalah tafsi yang
madzmum atau tafsir yang salah.[11][11] Yang kedua adalah pendapat yang didasarkan atas ilmu
dan memenuhi kriteria atau syarat tafsir, yaitu penguasaan ilmu bahasa Arab
yang meliputi nahwu, sharraf, isytiqaq dan balaghah. Selain itu, seorang
mufassir juga dituntut menguasai ilmu qira’at, ushuluddin, ushul fiqh, asbabun
nuzul, qoss Al-qur’an, nasikh mansukh, dan lain sebagainya.[12][12]
Kitab-kitab
tafsir bi al-ra’y yang tergolong al-mahmūdah yang banyak dikenal, antara lain, adalah:
a.
Mafātih al-Ghayb, oleh: Fakhr al-Dīn al-Rāziy
b. Anwār
al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl, oleh Al-Baidawi
c.
Madārik al-Tanzīl wa aqā’iq al-Ta’wīl, oleh:
Al-Nasāfi
d. Lubāb
al-Ta’wīl fi Ma’ān al-Tanzīl, oleh: Al-Khāzin
e.
Al-Bahr al-Mu’ī, oleh: Abū Hayyān
f.
Al-Tafsīr al Jalālayn, oleh: Jalāl al-Dīn Al-Mahalliy dan
Jalāl al-Dīn Al-Suyūti
g. Gharā’ib
al-Qur’ān wa Raghā’ib al-Furqān, oleh: Al-Naisabūriy
h. Al-Sirāj
al-Munīr, oleh: Al Khātib Al-Sharbiniy
i.
Irsyâd al-‘Aql as-Salîm, oleh: Abū al-Sa’ūd
j.
Rūh al-Ma’āniy, oleh Al-Alūsiy
2.
Contoh Tafsir Bi-Al-Ra’y
Ayat
Al-Quran yang jika ditafsirkan oleh orang yang bodoh akan menjadi rusak
maksudnya.
Artinya :
“Barang
siapa yang buta (hatinya)di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari
jalan yang benar.” (Q.S. Al-Isra : 72)
Ia
menetapkan bahwa setiap orang yang buta adalah celaka dan rugi serta akan masuk
neraka jahanam. Padahal yang dimasud dengan buta di sini bukan mata, tetapi
buta hati berdasarkan alasan firman Allah.
Artinya
“…….. Karena
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati dalam
dada.” (Q.S. Al- Hajj : 46)[13][13]
Ayat lain
yang dikemukakan oleh sebagian orang yang mengaku pandai tentang firman Allah
SWT.
Artinya:
“ (ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan
pemimpinnya” (QS. Al-Isra:71)
Mereka berkata
bahwa maksud firman Allah di atas adalah “ Allah Ta’ala memanggil manusia
pada hari kiamat dengan nama ibunya
karena menutupi mereka.” Mereka menafsirkan kata “imam” dengan “ummahat” (ibu)
dengan berpendapat bahwa imam adalah jamak dari umum padahal
menurut ketentuan bahasa arab tidak demikian, karena jamak dari umum adalah
ummahat sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
Artinya :
“Ibu-ibumu yang menyusui kamu…” (QS. An-Nisa’)
Bentuk jamak dari ummum itu
bukanlah kata imam, karena itu pengertian di atas menurut bahasa dan syara’ tidaklah
benar. Yang dimaksud imam disana adalah nabi yang diikuti oleh ummatnya atau
catatan amal.[14][14]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada saat ini rupanya sangat sulit
untuk memahami fenomena-fenomena tanpa adanya pemahaman fenomena yang terjadi
dimasa-masa awal ketika Al-Qur’an diturunkan. Jika kita rasakan sepertinya
wahyu sangat terasa membumi ketika awal-awal Al-Qur’an di turunkan dan rasul
berserta sahabatnya masih hidup, karena rujukan dan sumbernya dapat ditemukan
langsung. Tetapi hal ini tidaklah menjadi suatu peghalang dalam melihat dan
menganalisis Al-Qur’an yang tentunya tetap berpijak pada pemahaman yang pertama
kali dicontohkan.
Pendapat yang tidak membolehkan
adanya penafsiran bi al-ra’y pernah dianggap sebagai biang keladi adanya
kejumudan berpikir dikalangan umat Islam, karena pendapat tersebut memberikan
rasa takut dan menyebabkan tidak mengkaji isi Al-Qur’an, masalah-masalah lain
yang menjadi bukti kuat kekalnya Al-Quran. Penggunaan tafsir logika tidak
dibenarkan jika dipakai dalam mengkaji kegiatan ubudiyah yang tidak mungkin
terjadi adanya perubahan. Penafsiran ini hanya bisa dipakai untuk
masalah-masalah sosial atau aspek kehidupan yang sangat dinamis, dan berkembang
pesat yang membutuhkan kajian sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an, menghasilkan
teori yang relevan dengan dinamika yang ada dengan berdasar pada kekalnya
Al-Qur’an dan jawaban terhadap masalah-masalah yang terjadi, hal ini merupakan
konsekuensi logisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ar-Rumi,
Fahd bin Muhammad, 1996, Dirasat Fi
‘ulum Al-Qur’an, terj. Cet.1, Yogyakarta: Titian Ilahi
Ash
Shaabuniy, Muhammad Ali, 1998, Study Ilmu Al-Qur’an, Alih Bahasa
Aminuddin, Bandung:
Pustaka Setia
Al-Qattan, Manna’ Khalil, 2007, Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir As,
Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa
Yunus,
Mahmud, Kamus Arabi – Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Pentafsiran Al-Qur’an
Yusuf, Kadar
M, 2009, Study Al-Qur’an, Jakarta:
AMZAH
[1][1] Mahmud
Yunus, Kamus Arabi – Indonesia. (
Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsiran Al-Qur’an), 136
[2][2] Manna’ Khalil
Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir As (Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa , 2007, 488
5 Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an. Alih Bahasa
Aminuddin (Bandung, Pustaka Setia, 1998) , 258
[10][10] Fahd bin
Muhammad Ar-Rumi, Dirasat Fi ‘ulum Al-Qur’an, terj. Cet.1, (Yogyakarta: Titian
Ilahi, 1996)…,274
Tidak ada komentar:
Posting Komentar