BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Al-Qur’an
diturunkan oleh Allah SWT adalah untuk menjadi petunjuk bagi orang-orang yang
bertaqwa. Bahkan al-Qur’an juga semestinya menjadi petunjuk bagi seluruh
manusia, baik ia muslim atau tidak. Selain sebagai petujuk, al-Qur’an juga
menjadi penjelas bagi petunjuk dan pembeda antara yang haq dan yang bathil,
yang salah dan yang benar. Berkedudukan
sebagai petunjuk hidup, maka al-Qur’an harus dipahami oleh umat manusia,
khususnya umat Islam. Untuk itulah dibutuhkan perangkat yang namanya ilmu
tafsir. Ilmu tafsir itulah yang
bisa dipakai untuk menguraikan maksud yang terkandung dalam ayat-ayat
al-Qur’an, mengingat al-Qur’an diturunkan selain dengan gaya bahasa yang sangat
tinggi, juga terdapat ayat-ayat yang muhkam. dan mutasyabih.
Dalam hal ini para
ulama’ sering mengklaim bahwa al-Qur’an diturunkan dengan kalimat yang ringkas
namun membawa unsur-unsur uslub (gaya) bahasa yang padat makna sehingga
membuat para ahli bahasa zaman dahulu (bahkan sampai sekarang) tidak mampu
menandingi al-Qur’an. Selain itu, juga tidak setiap orang memiliki kompetensi
untuk menafsirkan al-Qur’an. Dalam
buku Membumikan al-Qur’an, Quraish Shihab menjelaskan bahwa pada abad pertama
Islam, para ulama sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
Sebagian ulama bahkan bila ditanya mengenai satu ayat, mereka tidak memberikan
jawaban apapun.
Keengganan mereka
untuk menjelaskan ayat al-Qur’an bisa dimengerti mengingat masih ada Rasulullah
yang berkompeten dalam menjelaskannya, selain karena mereka umumnya takut
apabila salah dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an tersebut.
Namun pada
abad-abad berikutnya, sebagian besar ulama berpendapat bahwa setiap orang boleh
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an selama ia memiliki syarat-syarat tertentu
seperti : pengetahuan bahasa yang mencakup Nahwu, Sharaf, Balaghah, juga
Ilmu Ushuluddin, Ilmu Qira’ah, Asbab al- Nuzul,
Nasikh- Mansukh, dan lain sebagainya.
Makalah ini akan
menjelaskan tentang metodologi dalam menafsirkan al-Qur’an yang
diklasifikasikan dalam metode, bi al ma’tsur. Dan bagaimana cara
penggunaan metode bi al ma’tsur dalam rangka menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an akan dibahas dalam bab selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang Dimaksud dengan Tafsir bi al Ma’tsur?
2. Apa Saja Macam dan Bentuk Tafsir bi al
Ma’tsur?
3. Bagaimana Pandangan Para Ulama Tentang Nilai Tafsir
bi al Ma’tsur?
4. Bagaimana Perkembangan Tafsir bi al Ma’tsur?
5. Siapa Saja Para Ahli Tafsir bi al Ma’tsur?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tafsir bi al-Ma’tsur
Menurut ‘Ibn Hayyan
ialah tafsir suatu ilmu yang membahas cara menuturkan/membunyikan lafadz-lafadz
al-Qur’an, Madlul-Madlulnya baik mengenai kata tunggal maupun
mengenai kata tarkib dan makna-maknanya yang digantungkan oleh keadaan
susunan dan beberapa kesempurnaan bagi yang demikian seperti, Nasakh, Asbab
al-Nuzul, kisah yang mengatakan apa yang tidak terang di dalam al-Qur’an
dan lain-lain yang mempunyai hubungan erat dengannya.
Sedangkan ‘Ali
Hasan al-‘Aridl menjelaskan bahwa tafsir ialah ilmu yang membahas
tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an, makna-makna yang
ditunjukkannya dan hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun
serta makna-makna yang dimungkinkan ketika dalam keadaan tersusun.
Menurut
al-Zarkasyi, istilah tafsir bi al-ma’tsur merupakan gabungan dari
tiga kata yaitu itafsir, bi dan al-ma’tsur. Secara
leksikal tafsir berarti mengungkap atau menyingkap. Kata bi berarti
‘dengan’ sedangkan al-ma’tsur berarti ungkapan yang dinukil oleh khalaf
dari salaf. Dengan demikian secara etimologis tafsir bi al-ma’tsur berarti
menyingkap isi kandungan al-Qur’an dengan penjelasan yang dinukil oleh khalaf
dari salaf.
Sedangkan secara
terminologis pengertian tafsir bi al-ma’tsur yaitu:
هو الذى يعتمد على صحيح المنقول بالمراتب التي
ذ كرت سابقا في شروط المفسر من تفسر القران بالقران, او بالسنة ﻷ نها جاءت مبينة
لكتاب الله. او بما روي عن الصحاب نهم اعلم الناس لكتاب الله. او بماقاله كبار
التابعين ﻷنهم تلقوا ذ لك غالبا عن الصحابة.
Artinya :“Tafsir
bi al-Ma’tsur ialah tafsir yang berpegang kepada riwayat yang Shahih, yaitu
menafsirkan al-Qur’an dengan al -Qur’an, atau dengan sunnah karena ia berfungsi
menjelaskan kitabullah, atau dengan perkataan para Sahabat karena
merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang dikatakan oleh
tokoh-tokoh besar tabi’yn karena pada umumnya mereka menerima dari para
Sahabat”.
Definisi seperti
ini, menurut catatan al-Suyuthi berasal dari Ibnu Taimiyah, dan dipopulerkan
oleh al-Zarqani yang nota bene termasuk ulama’ kontemporer. Al-Zarqani
adalah orang yang pertama menyebutkan bahwa tafsir bi al-ma’tsur adalah
penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau hadits atau pendapat shahabat atau
tabi’in. Sedangkan sebelum al-Zarqani, yang dimaksud tafsir bi al-ma’tsur
adalah kompilasi penafsiran nabi, sahabat dan tabi’in. Ulama’ yang memahami
bahwa tafsir bi al-ma’tsur bukan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an
atau hadits atau pendapat sahabat atau tabi’in adalah al-Suyuthi. Dalam
muqaddimah tafsirnya, al-Suyuthi mengatakan bahwa isi dari kitab tafsirnya
adalah kompilasi penafsiran-penafsiran Nabi SAW dan para sahabat.[1]
B.
Macam dan
Bentuk Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi
al-Ma’tsur merupakan penafsiran dengan menggunakan riwayat sebagai sumber
pokoknya. Karena itu, tafsir ini dinamakan juga dengan tafsir bi al-riwayah
(tafsir dengan riwayat) atau tafsir bi al-manqal (tafsir dengan
menggunakan pengutipan riwayat). Penafsiran corak ini dapat dibagi menjadi
empat macam dan bentuknya yaitu:
1. Penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat yang lain. Ayat-ayat al-Qur’an,
menurut para ahli tafsir, saling menafsirkan antara sesamanya. Penafsiran satu
ayat dengan ayat lainnya juga bermacam-macam, yaitu:
Pertama, ayat atau
ayat-ayat lain menyebarkan apa yang diungkapkan pada ayat tertentu. Misalnya,
kata-kata al-Muttaqin (orang-orang yang bertaqwa) dalam ayat 2 surat
al-Baqarah, dijabarkan ayat-ayat sesudahnya (ayat-ayat 3, 4, 5) yang menyatakan
:
tûïÏ%©!$#
tbqãZÏB÷sã
Í=øtóø9$$Î/
tbqãKÉ)ãur
no4qn=¢Á9$#
$®ÿÊEur
öNßg»uZø%yu
tbqà)ÏÿZã
ÇÌÈ tûïÏ%©!$#ur
tbqãZÏB÷sã
!$oÿÏ3
tAÌRé&
y7øs9Î)
!$tBur
tAÌRé&
`ÏB
y7Î=ö7s%
ÍotÅzFy$$Î/ur
ö/ãf
tbqãZÏ%qã
ÇÍÈ y7Í´¯»s9'ré&
4n?tã
Wèd
`ÏiB
öNÎgÎn/§
(
y7Í´¯»s9'ré&ur
ãNèd
cqßsÎ=øÿßJø9$#
ÇÎÈ
Artinya : “Yaitu
orang-orang yang beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat dan menafkahkan
sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada
kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelumnya, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka
orang-orang yang beruntung”. (Q.S. al- Baqarah : 3, 4, 5).
Kedua, ada informasi
tertentu, misalnya tentang kisah Nabi Musa pada surah tertentu diungkapkan
secara singkat, sementara pada surah lain secara panjang lebar. Dalam hal ini
ayat-ayat yang panjang lebar menafsirkan ayat-ayat yang mengandung informasi
yang lebih singkat.
Ketiga, ayat-ayat yang mujmal
ditafsirkan oleh ayat-ayat yang mubayyan, ayat-ayat yang muthlaq
ditafsirkan oleh ayat-ayat yang khas. Ringkasnya, ayat-ayat yang
mengandung pengertian umum dan global ditafsirkan oleh ayat-ayat yang
mengandung pengertian khusus dan rinci.
Keempat, informasi yang
terkandung dalam satu ayat kadang-kadang terlihat berbeda dengan informasi yang
terdapat pada ayat-ayat lain. Penafsiran ayat-ayat itu dilakukan dengan
mengkompromikan pengertian-pengertian tersebut.
2. Penafsiran ayat al-Qur’an dengan hadits Nabi Saw. Firman Allah dalam soal
‘amar ma’ruf nahi munkar :
`ä3tFø9ur
öNä3YÏiB
×p¨Bé&
tbqããôt
n<Î)
Îösø:$#
tbrããBù'tur
Å$rã÷èpRùQ$$Î/
tböqyg÷Ztur
Ç`tã
Ìs3YßJø9$#
4
y7Í´¯»s9'ré&ur
ãNèd
cqßsÎ=øÿßJø9$#
ÇÊÉÍÈ
Artinya : “Dan
hendaklah kamu suatu golongan yang menyeru kepada kebaikan dan menyuruh ma’ruf
mencegah kemunkaran dan itulah mereka yang mendapat kemenangan”. (QS. Ali
Imran: 104).
Sabda Nabi dalam
soal tersebut sebagai berikut:
لتأمرن
بالمعروف ولتنهون عن المنكر او ليسلطن الله عليكم شراركم فيدعو خياركم فلا يستجاب
لهم.
Artinya : “Hendaklah
kamu menyuruh ma’ruf dan hendaklah kamu mencegah kemunkaran dan biarlah Tuhan
mengeraskan atas kamu orang-orang yang jahat dari kamu, lalu berdoalah kamu
orang-orang yang baik dari kamu tetapi tidak diperkenankan doanya”.
3. Penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapat para Sahabat.
Ayat al-Qur’an
surat al-Baqarah ayat 158 yang berbunyi sebagai berikut:
¨bÎ)
$xÿ¢Á9$#
nouröyJø9$#ur
`ÏB
Ìͬ!$yèx©
«!$#
(
ô`yJsù
¢kym
|Møt7ø9$#
Írr&
tyJtFôã$#
xsù
yy$oYã_
Ïmøn=tã
br&
§q©Üt
$yJÎgÎ/
4
`tBur
tí§qsÜs?
#Zöyz
¨bÎ*sù
©!$#
íÏ.$x©
íOÎ=tã
ÇÊÎÑÈ
Artinya : “Sesungguhnya
Shafa dan Marwa adalah di antara syiar-syiar Allah. Maka barang siapa yang
beribadah haji ke BaitullAh dan berumrah, maka tidak ada dosa baginya
mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu
kebaikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri Kebaikan
lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al- Baqarah : 158)
Mengenai ayat ini
seorang kemenakan `Aisyah menanyakan kepadanya, maka `Aisyah ra. menjelaskan
bahwa peniadaan dosa di sini dimaksudkan untuk penolakan terhadap keyakinan
kaum muslimin bahwa sa’i di antara Shafa dan Marwa termasuk perbuatan jahiliyah.
Sebagaimana hadis yang berbunyi sebagai berikut:
بدأ بما بدأ الله الصفا )رواه
مسلم(
Artinya : “Mulailah
dengan apa yang dimulai oleh Allah yakni Shafa.” (H.R.Muslim)
4. Penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapat Tabi’in. Firman Allah
dalam surat Al-Baqarah ayat 26 sebagai berikut :
¨bÎ)
©!$#
w
ÿ¾ÄÓ÷ÕtGó¡t
br&
z>ÎôØo
WxsVtB
$¨B
Zp|Êqãèt/
$yJsù
$ygs%öqsù
4
Artinya: “Sesungguhnya
Allah tiada segan membuat perumpamaan nyamuk atau yang lebih rendah dari itu.” (Q.S
al- Baqarah : 26).
Menurut Hasan ‘Ibn
Yahya, mengapa Allah menyebut nyamuk atau yang sebangsanya yaitu lalat dan
laba-laba, kemudian orang musyrik berkata, mengapa Allah Swt menyebut sebangsa
lalat dan laba-laba, menurut ‘Ibn `Abbas ini adalah merupakan tanda-tanda
kekuasaan Allah SWT.[2]
Penafsiran ayat
al-Qur’an dengan pendapatnya para Tabi’in setelah generasi para Sahabat,
mereka adalah orang yang mengetahui kandungan al-Qur’an karena generasi Tabi’in
bergaul dengan para Sahabat, pendapat mereka dipandang sangat membantu generasi
selanjutnya dalam memahami al-Qur’an. Perkembangan metode penafsiran ini dapat
dibagi dua periode, yaitu periode lisan, ketika penafsiran dari Nabi Saw dan
para Sahabat disebarluaskan secara periwayatan, dan periode tulisan, ketika
riwayat-riwayat yang sebelumnya tersebar secara lisan mulai dibukukan.
Bermacam-macam
metodologi tafsir dan coraknya telah diperkenalkan dan diterapkan oleh
pakar-pakars al-Qur’an, kalau kita mengamati metode penafsiran Sahabat
Nabi Saw mereka merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair `Arab,
cukup banyak contoh yang dapat dikemukakan tentang hal ini, misalnya `Umar bin
Khattab pernah bertanya tentang arti takhwwuf dalam firman Allah :
÷rr&
óOèdxäzù't
4n?tã
7$qsrB
¨bÎ*sù
öNä3/u
Ô$râäts9
íOÏm§
ÇÍÐÈ
Artinya : “Atau
Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa). Maka
sesungguhnya Tuhanmu adalah Maha Pengasih lagi Maha penyayang.” ( Q.S. An-
Nahl: 47).
Setelah masa
Sahabatpun, para Tabi’in dan atba’ at-Tabi’in masih mengandalkan
metode periwayatan dan kebahasaan seperti sebelumnya. Menurut Quraish Shihab,
mengandalkan metode ini jelas memiliki keistimewaan dan kekurangan. Adapun
keistimewaannya adalah :
a. Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur’an.
b. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
c.
Mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat
sehingga membatasi terjerumus dalam subjektivitas berlebihan.
Di sisi lain,
kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan metode ini
adalah :
- Terjerumusnya sang mufassir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Qur’an menjadi kabur di celah uraian itu.
- Sering kali konteks turunnya ayat hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.[3]
C.
Pandangan
Ulama Tentang Nilai Tafsir bi al-Ma’tsur
Di antara para
sahabat yang terkenal banyak menafsirkan al-Qur’an adalah khalifah yang empat,
‘Ibn Mas’ud, ‘Ibn `Abbas, `Ubai bin Ka`ab, Zaid bin Tsabit, ‘Abu Musa
al-‘Asy`ari, `Abdullah bin Zubair, ‘Anas bin Malik, `Abdullah bin `Umar, Jabir
bin `Abdullah, `Abdullah bin `Amr bin `Ash dan `Aisyah, dengan terdapat
perbedaan sedikit atau banyaknya penafsiran mereka. Cukup banyak
riwayat-riwayat yang dinisbahkan kepada mereka dan kepada sahabat yang lain di
berbagai tempat yang tentu saja berbeda-beda derajat keshahihan, dan kedha’ifannya
di lihat dari sudut sanad (mata rantai periwayat). Tidak diragukan lagi,
tafsir bi al-Ma’tsur yang berasal dari Sahabat mempunyai nilai
tersendiri.
Jumhur `ulama
berpendapat, tafsir Sahabat mempunyai status hukum marfu’ (disandarkan
kepada Rasulullah) bila berkenaan dengan asbab al’nuzul dan semua hal
yang tidak mungkin dimasuki ra’yu. Sedang hal yang memungkinkan dimasuki
ra’yu maka statusnya adalah mauquf (terhenti) pada sahabat selama tidak
disandarkan kepada Rasulullah.
Sebagian ulama
mewajibkan untuk mengambil tafsir mauquf pada Sahabat, karena merekalah
yang paling ahli bahasa `Arab dan menyaksikan langsung konteks dan situasi
serta kondisi yang hanya diketahui oleh mereka, di samping mereka mempunyai
pemahaman yang sahih. Yarkasy dalam kitabnya al-Burhan fi ’Ulum al Qur’an
berkata : ketahuilah al-Qur’an itu ada dua bagian. Satu penafsirannya datang
berdasarkan naql (riwayat) dan bagian yang lain tidak dengan naql.
Yang pertama, penafsirannya itu adakalanya dari Nabi, Sahabat atau tokoh Tabi’in.
Jika dari Nabi, hanya perlu dicari kesalahan sanadnya. Jika berasal dari
sahabat, perlu diperhatikan apakah mereka menafsirkan dari segi bahasa ? Jika
ternyata demikian maka mereka adalah yang paling mengerti tentang bahasa `Arab,
karena pendapatnya dapat dijadikan pegangan, atau jika mereka menafsirkan
berdasarkan asbab al-nuzul atau situasi dan kondisi yang mereka
saksikan, maka hal itupun tidak diragukan lagi.
D.
Perkembangan Tafsir Bil
Ma’tsur
Muhammad Husain al Dzahabi
dalam Tafsir Wal Mufassirun menyebutkan bahwa perkembangan tafsir bil
ma’tsur dapat dikategorikan menjadi dua periode, Pertama, periode
periwayatan (daur al riwayah).
Kedua periode
kodifikasi/pembukuan (daur al tadwin) yaitu:
Periode pertama yaitu Daur
al Riwayah dapat dibedakan dalam empat tahap, yaitu tahap pertama, masa
Rasulullah., tahap kedua, pada masa sahabat., tahap ketiga, pada masa tabi’in.,
dan tahap keempat, pada masa sesudah tabi’in, yang masing masing memilki corak
dan karakteristik sendiri sendiri.
Periode kedua adalah periode
kodifikasi (Daur al Tadwin) pada periode ini mula mula ditulis dan
dibukukan adalah tafsir bil ma’tsur, yaitu segala yang diriwayatkan dari
Rasulullah SAW dan sahabat, baik yang terjadi pada permulaan tahun 100 atau 200
Hijriyah. Periode kedua ini dalam
perkembangannya juga melalui beberapa tahap, yaitu:
a.
Tahap pertama pembukuan tafsir bil ma’tsur, belum
mengambil bentuknya yang sempurna dan belum berdiri sendiri, yaitu tafsir
ditulis dalam kitab kitab hadits, dan didalamnya banyak didapati berbagai macam
bab hadits yang berbeda beda , juga masih berupa kumpulan riwayat yang berasal
dari Nabi, para sahabat, dan juga tabi’in sebagaimana yang dilakukan oleh Imam
Malik bin Anas.
b.
Tahap kedua mulai dilakukan pemisahan antar tafsir bil
ma’tsur dengan kumpulan kumpulan tulisan hadits, sehingga tafsir menjadi
suatu disiplin ilmu tersendiri. Dan orang yang pertama kalinya mempelopori
adalah Ali bin Abi Talhah berdasarkan riwayat ibn Abbas.
c.
Tahap ketiga, tafsir bil ma’tsur mulai dibukukan
dalam bebrapa juz secara khusus, seperti yang dilakukan oleh Abi Rauq yang
menulis satu juz saja dari tiga juz lainnya oleh Muhammad bin Tsaur dari Ibn
Juraij.
d.
Tahap keempat, pengkodifikasian tafsir yang secara khusus
memuat tafsir bil ma’tsur lengkap dengan jalur sanad sempai kepada
Rasulullah SAW, kepada para sahabat, tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in, seperti yang
dilakukan oleh Ibn Jarir At Thabariy.
e.
Tahap kelima, yaitu pengkodifikasian tafsir bil ma’tsur
tanpa mengemukakan sanad periwatannya dan kebanyakan para mufassir menggunakan
pendapat pendapat tertentu didalam tafsir mereka tanpa membedakan hadits yang
sahih dan hadits yang keliru, sehingga mengakibatkan para peneliti tidak
tertarik pada isi kitab tafsir tersebut, karena ada kekhawatiran adanya unsur
pemalsuan . [4]
Adapun mengenai Perbedaan
yang terjadi di dalam tafsir Bil Ma`tsur dapat dibagi menjadi 3
klasifikasi yaitu:
1.
Berbeda lafazh, bukan Makna.
Hal seperti ini tidak
memiliki pengaruh terhadap makna ayat. Contohnya adalah firman Allah Ta’ala, “Wa
Qadla Rabbuka Alla Ta’buduu Illa Iyyaah [Dan Tuhanmnu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia].” (Q.s., al-Isra`:23) Ibn ‘Abbas
berkata, “Makna Qadla adalah Amara (memerintahkan).” Mujahid berkata, “Maknanya
adalah Washsha (berwasiat).” Ar-Rabi’ bin Anas berkata, “Maknanya adalah
Awjaba (mewajibkan).” Penafsiran-penafsiran seperti ini maknanya sama atau
mirip sehingga tidak ada pengaruhnya perbedaan tersebut terhadap makna ayat.
2.
Berbeda lafazh dan makna.
Dalam hal ini, ayat (yang
ditafsirkan) dapat menerima (mencakupi) kedua makna tersebut karena tidak
bertentangan (kontradiksi). Artinya, ayat tersebut dapat diarahkan kepada kedua
makna tersebut dan ditafsirkan dengan keduanya sehingga sinkronisasi terhadap
perbedaan ini adalah bahwa masing-masing dari kedua pendapat tersebut hanya
diketengahkan sebagai contoh/permisalan terhadap apa yang dimaksud ayat
tersebut atau dalam rangka variasi saja. Contohnya adalah firman Allah Ta’ala: “Dan
bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya
ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri
dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaithan (sampai dia tergoda),
maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat, Dan kalau Kami menghendaki,
sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia
cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah…” (Q.s.,al-A’raf:175-176)
Ibn Mas’ud berkata, “Ia [orang yang telah Kami berikan kepadanya] adalah
seorang yang berasal dari kalangan Bani Israil.” Dari Ibn ‘Abbas, ia
mengatakan, “[Ia adalah] seorang laki-laki dari penduduk Yaman”.
3.
Berbeda lafazh dan makna.
Dalam hal ini, ayat tidak
dapat mencakupi kedua makna tersebut secara bersama-sama karena terjadi
kontradisi di antara keduanya. Karena itu, maknanya harus diarahkan kepada
pendapat yang paling kuat dari keduanya, baik melalui petunjuk redaksinya atau
lainnya. Contohnya adalah firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang
disembelih dengan menyebut nama selain Allah, tetapi barangsiapa yang terpaksa
memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.s.,an-Nahl:115)
Ibn ‘Abbas berkata: “Makna Baaghin [dengan tidak menganiaya] terhadap
bangkai dan ‘Aadin [tidak pula melampaui batas] di dalam memakannya.“ Menurut
riwayat yang lain: “Tidak membangkang (angkat senjata) terhadap Imam
(pemimpin, penguasa) dan tidak berbuat maksiat di dalam perjalanannya.” Pendapat
yang paling kuat adalah pendapat pertama sebab dalil tidak mengarah kepada
makna kedua dalam ayat tersebut sedangkan yang dimaksud dengan kehalalan
hal-hal yang disebutkan disitu adalah melawan kondisi darurat (sehingga tidak
diharamkan karena khawatir jiwa binasa-red.,) sedangkan di dalam kondisi
membangkang terhadap imam (Pemimpin), dalam kondisi bepergian yang diharamkan
dan sebagainya; tetap berlaku (diharamkan).[5]
E. Para Ahli Tafsir Bi Al-Ma’tsur
1.
Tafsir Ibnu Jarir
Pengarangnya adalah Ibnu Jarir
Ath Thabary yang panggilannya Abu Ja’far. Ia dilahirkan pada tahun 224 H, dan
meninggal dunia pada tahun 310 H. Kitabnya termasuk kitab tafsir dengan ma’tsur
yang paling agung, paling benar dan paling banyak mencakup pendapat sahabat dan
tabi’in serta dianggap sebagai pedoman pertama bagi para mussafir. Imam Nawawy
mengatakan: “ kitab Ibnu Jarir tentang tafsir belum ada seorang pengarangpun
yang menyamainya.”
Beberapa
keistimewaan tafsir ini adalah:
a.
Berpegang pada atsar berupa
hadits (ucapan Nabi saw) sahabat dan Tabi’in.
b.
Senantiasa menyebutkan
sanad dan pendapat yang diriwayatkan serta memberi pentarjihan dari riwayat
yang dikemukakannya.
c.
Memaparkan ayat-ayat yang
nasikh dan mansukh serta menjelaskan tentang riwayat yang shahih dan riwayat
yang dha’if.
d.
Menyebutkan segi I’rab
(uraian kalimat) dan pengistimbathan hokum syari’at dari ayat-ayat Al-Qur’an. Kesimpulannya,
kitab ini adalah kitab yang paling agung dan penuh dengan keindahan, tapi
sayangnya kitab ini serring mengemukakan khabar dengan sanad yang tidak benar
dengan tidak menjelaskan ketidak benarannya itu. Contohnya adalah kitab ini
sering memuat cerita yang bersifat israilliat. Tafsirnya telah diterbitkan dan
tersebar luas diseluruh penjuru dunia, lagi pula dijadikan pedoman pokok
dikalangan musafir.
2.
Tafsir As Samarqandy
Pengarangnya adalah Nashr Ibnu
Muhammad As Samarqandy yang panggilannya adalah Abu Al Laits. Ia meninggal
dunia pada tahun 373 H. Kitabnya dinamakan dengan Bahrul Ulum. Tafsir ini
adalah tafsir ma’tsur. Didalamnya banyak memuat pendapat para sahabat dan
tabi’in, sayangnya beliau tidak menyebutkan sanad-sanadnya. Kitab ini terdiri
dari dua jilid dan salah satu dari naskah-naskahnya masih ada di perpustakaan
Al-Azhar.
3.
Tafsir Ats Tsa’laby
Pengarang tafsir ini adalah Ahmad
Ibnu Ibrahim Ats Tsa’laby An Naisabury. Ia adalah seorang musafir yang ahli
membaca Al-Qur’an. Panggilannya adalah Abu Ishak. Ia meninggal dunia pada tahun
427 H, Kelahirannya secara pasti tidak diketahui. Kitabnya dinamakan Al-Kasyfru
wal Bayan fi Tafsilih Qur’an. Ia menafsirkan kitabullah Al-Qur’an berdasarkan
hadits yang bersumber dari ulama salaf dengan meringkaskan sanadnya. Karena
menganggap cukup menyebutkannya pada pendahuluan kitab. Ia sedikit memperluas
pembahasan nahwu dan fiqih. Ia sangat senang dengan kisah-kisah dan
cerita-cerita isralliyat yang dianggap asing bahkan sama sekali tidak benar
adanya.
Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ats
Tsa’laby pada pribadinya tertanam kebaikan dan agama, tetapi ia bagaikan pencari
kayu di malam hari. “surat Al-Furqan.
4.
Tafsir Al-Baghawy
Pengarang tafsir ini adalah
Al-Musain Ibnu Mas’ud Al-Farra’ Al-Baghawy, seorang ahli fiqih, mussafir dan
ilmu hadits, yang dikenal dengan penghidup sunnah. Panggilannya adalah Abu
Muhammad. Beliau meninggal dunia pada tahun 510 H pada usia 80 tahun. Ia
sebagai seorang alim dan taat. Imam As-Sudhy menganggap bahwa ia adalah
termasuk ulama Syafi’iyah yang alim.
Tafsir ini telah di cetak
bersamaan dengan tafsir Ibnu Katsir dan tafsir Al-Khazin. Dalam kitabnya ada
sebagian kisah-kisah Isroilliyat, tetapi secara umum adalah lebih baik dan
lebih murni dari pada kebanyakan kitab-kitab tafsir dengan ma’tsur.
5.
Tafsir Ibnu ‘Athiyah
Pengarang tafsir ini adalah Abdul
Haq Ibnu ‘Athiyah Al-Andalusy Al Mafhriby Al-Qarnathy. Panggilannya adalah Abu
Muhammad. Beliau dilahirkan pada tahun 481 H dan meninggal dunia tahun 546 H.
6.
Murrah Al-Hamadzany
Nama lengkapnya adalah Murrah bin
Syarahil Al-Hamadzany dengan nama panggilan Abu Ismail, ia dijuluki dengan nama
Murrah Ath Thayyib dan Murrah Al-Khaer.
7.
Tafsir Ibnu Katsir
Pengarang tafsir ini adalah
Al-Hafizh Imaduddin Ismail bin Amr ibnu Katsir Al-Quraisyi Ad Dimasqy. Nama
panggilannya adalah Abul Firda. Tafsir ini termasuk tafsir ma’tsur yang ia
kutip dari pendapat ulama salaf, dengan membedakan pendapat yang shahih dan
yang dha’if.
8.
Tafsir As Suyuthy
Pengarang tafsir ini adalah
Al-Imam Al Hajjaj Ats Tsiqah Jalaluddin As Suyuthy, pengarang beberapa kitab
yang terkenal.[6]
BAB III
PENUTUP
Simpulan:
Tafsir bi
al-ma’tsur adalah suatu usaha untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan
al-Qur’an atau dengan al- Hadits bahkan perkataan para sahabat termasuk juga
para tabi’in, dan penafsiran ini adalah merupakan jalan yang paling aman
untuk menghindari terjadinya salah pemahaman terhadap makna ayat al-Qur’an yang
maknanya kurang jelas, dan tafsir ini sudah dimulai dari masa sahabat dan
mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang yang
semasa dengan mereka. Tidak mencakup semua ayat al-Qur’an, dan mereka juga
menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami orang semasa dengan mereka.
Tafsir bi
al-ma’tsur pada umumnya seragam, karena sumber yang dipakai adalah sama,
yakni al-Qur’an, Sunnah, perkataan Sahabat dan seterusnya. tafsir bi
al-ma’tsur, karena sumbernya sudah tetap, maka sifatnya akan statis.
Para ahli Tafsir
bi al-Ma’tsur yaitu:
1.
Tafsir Ibnu Jarir
2.
Tafsir As Samarqandy
3.
Tafsir Ats Tsa’laby
4.
Tafsir Al-Baghawy
5.
Tafsir Ibnu ‘Athiyah
6.
Murrah Al-Hamadzany
7.
Tafsir Ibnu Katsir
8.
Tafsir As Suyuthy
DAFTAR PUSTAKA
·
Mawardi Abdullah, Ulumul
Qur’an, Yoqyakarta, Pustaka Pelajar, 2011.
·
As-Shiddieqi, Hasby , Sejarah
dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Jakarta, Bulan Bintang, 1978.
·
al-‘Aridl, Ali Hasan , Sejarah
dan Metodologi Tafsir, Jakarta, Rajawali Press, 1992.
·
Amanah, Dra. H. St. , Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,
Semarang, CV. Asy-Syifa’, 1993.
[1]
Mawardi Abdullah, Ulumul Qur’an, (Yoqyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),
hal. 154-155.
[2]
Hasby As-Shiddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1978), hal. 163-165.
[3]
Ibid, hal. 160
[4]
‘Ali Hasan al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta : Rajawali
Press, 1992), hal.3-5
[5]
Http://Komenkch.blogspot.com/2012/03/tafsir-bil-matsur.html
[6]
Dra. H. St. Amanah, Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,( Semarang: CV.
Asy-Syifa’, 1993), cet. 1, h. 348-353.
Makalah yang bermanfaat, Mohon izin copas ,
BalasHapusizin copas dibagian kesimpulan brader
BalasHapusSangat membantu.
BalasHapus