BAB I
PENDAHULUAN
Iman merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Iman diberikan Allah khusus kepada siapa yang mau menerimanya
dengan sukarela, tulus ikhlas dan berdasarkan pertimbangan masak-masak, tanpa
dipengaruhi apa dan siapa. Tuhan pun melarang muslim memaksa orang untuk
meyakini dan mematuhi-Nya. Maka siapa yang melakukannya berarti ia telah
melanggar aturan Tuhan. Iman yang dikehendaki Allah ialah iman yang berasaskan
kebebasan, kemerdekaan dan kemauan serta kemampuan daya terima manusia itu
sendiri. Tuhan benar-benar membuktikan adanya kebebasan yang diberikan kepada
kita, sehingga alternatifnya pun cuma ada dua yaitu patuh dengan segala
konsekuensinya dan membangkang dengan segala konsekuensinya pula.
Kita ketahui rukun iman atau hal-hal pokok yang harus dipercayai
dan diyakini oleh setiap mukmin ada enam, yakni iman kepada Allah, iman kepada
Malaikat, iman kepada Kitab-kitab Allah, iman kepada Rasul-rasul, iman kepada
Hari Kiamat, dan iman kepada Takdir. Sedangkan dalam makalah ini penulis akan
membahas tentang rukun iman yang pertama yaitu iman kepada Allah secara lebih
detail. Maka dari itu agar lebih jelasnya tentang rukun iman yang pertama ini
akan dibahas dalam bab selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Iman
Iman adalah kepercayaan yang meresap ke dalam hati dengan penuh
keyakinan, tidak bercampur syak dan ragu, serta memberi pengaruh bagi pandangan
hidup, tingkah laku dan perbuatan pemiliknya sehari-hari. Iman bukanlah
semata-mata dengan lidahnya, “Saya beriman”. Banyak orang mengaku beriman
tetapi hatinya tidak percaya. Iamn bukan pula semata-mata mengerjakan amal dan
syari’at yang biasa dikerjakan oleh orang-orang beriman, karena banyak orang
yang pada lahirnya mengerjakan peribadatan dan perbuatan baik, tetapi hatinya kosong
dari rasa kebaikan dan keikhlasan kepada Allah.[1]
Al-qur’an menyebutkan :
z`ÏBur Ĩ$¨Y9$# `tB ãAqà)t $¨YtB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$$Î/ur ÌÅzFy$# $tBur Nèd tûüÏYÏB÷sßJÎ/ ÇÑÈ cqããÏ»sä ©!$# tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä $tBur cqããyøs HwÎ) öNßg|¡àÿRr& $tBur tbráãèô±o ÇÒÈ
Artinya: “Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami
beriman kepada Allah dan hari kemudian," pada hal mereka itu Sesungguhnya
bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang
beriman, Padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.
(QS. Al-baqarah : 8-9).
Dan Hadits juga menyebutkan:
عَنْ أَبِي هُريْرَةَ قَالَ: كَانَرَسُولُ
اللهِ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَم يَوْمًابَارِزًالِنَّاسِ فَأَتَاهُ رَجُلٌ
فَقَالَ يَارَسُولَ اللهِ مَا الْإِيْمَانُ قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِااللهِ
وَملَائِكَتِهِ وَكِتَابِهِ وَلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ
الْاخِرِقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ مَا الْإِسْلَامُ قَالَ الْإِسْلَامُ أَنْ
تَعْبُدَ اللهَ وَلَاتُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمَ الصَّلَاةَ الْمَكْتُوْبَةَ
وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوْضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ قَالَ يَا رَسُولَ
اللهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ
إِنْ لَاتَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ مَتَى السَّاعَةُ
قَالَ مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَابِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ وَلَكِنْ سَأُحِدِّثُكَ
عَنْ أَشْرَاطِهَاإِذَا وَلَدَتْ الْأَمَةُ رَبَّهَافَذَاكَ مِنْ أَشْرَاطِهَا
وَإِذَاكَانَتْ الْعُرَاةُ الْحُفَاةُ رُءُوسَ النَّاسِ فَذَاكَ مِنْ أَشْرَاطِهَا
وَإِذَ تَطَا وَلَ رِعَاءُالْبَهْمِ فِي الْبُنْيَانِ فَذَاكَ مِنْ أَشْرَاطِهَافِي
خَمْسٍ لَايَعْلَمُهُنَّ إِلَّا اللهُ ثُمَّ تَلَا صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَم
(إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَافِي
الْأَرْحَامِ وَمَاتَدْرِي نَفْسٌ مَاذَاتَكْسِبُ غَدًا وَمَاتَدْرِي نَفْسٌ
بِأَيَّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللهَ عَلَيْمٌ خَبِيْرٌ). قَالَ ثُمَّ
أَدْبَرَالرَّجُلُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَم
رُدُّواعَلَيَّ الرَّجُلَ فَأَخَذُوالِيَرُدُّوهُ فَلَمْ يَرَوْاشَيْئًا فَقَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَم هَذَاجِيْرِيْلُ جَاءَلِيُعَلِّمَ
النَّاسَ دِيَنَهُمْ.
Artinya : “Bersumber dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Pada
suatu hari Rasulullah Saw muncul di tengah-tengah kaum muslimin, lalu datanglah
kepada beliau seorang laki-laki lalu bertanya kepada beliau. Ya Rasulullah,
apakah iman itu? Rasulullah Saw menjawab,“Engkau beriman kepada Allah, kepada
para Malaikat, kepada Kitab-Nya, kepada hari pertemuan dengan-Nya, kepada para
Rasul-Nya, dan engkau beriman kepada Hari Kebangkitan akhir. Orang itu bertanya
lagi, “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud Islam? Jawab beliau, “Islam ialah
engkau beribadah kepada Allah dan kamu tidak menyekutukan sesuatupun
dengan-Nya, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat wajib, dan engkau
melaksanakan puasa ramadhan. Ia bertanya (lagi), “Wahai Rasulullah, apa itu
ikhsan? Jawab beliau, Yaitu engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau
melihat Dia, sesungguhnya engkau tidak bisa melihat-Nya, namun sesungguhnya Dia
pasti melihatmu. Ia bertanya (lagi), “Wahai Rasulullah, kapan hari kiamat itu
akan tiba? Jawab beliau, “Tidaklah yang ditanya tentangnya lebih tahu daripada
ynag bertanya, akan tetapi aku akan menjelaskan kepadamu tentang
tanda-tandanya. Yaitu apabila budak perempuan melahirkan anak majikannya, maka
itu termasuk diantara tanda-tandanya. Apabila seorang yang semula miskin papa
dan bodoh sekali menjadi penguasa di muka bumi, maka itu termasuk diantara
tanda-tandanya. Apabila orang-orang yang tadinya menggembalakan ternak berpacu
membangun gedung bertingkat, maka itu termasuk diantara tanda-tandanya. Ada
lima perkara ghaib yang hanya diketahui Allah, kemudian Rasulullah Saw membaca,
WAINNALLAAHA ‘ALIIMUN KHABIIR (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha
Mengenal), kemudian orang itu mundur, lalu Rasulullah Saw bersabda, ini adalah
Malaikat Jibril datang untuk mengajar orang-orang tentang agama mereka.” (HR.
Muslim)[2]
Iman hendaknya berwujud pernyataan dengan lidah, dilandasi
keyakinan dalam hati dan disertai perbuatan dengan ikhlas dan jujur dalam
menjalankan perintah dan putusan Allah dan Rasul-Nya.
B.
Iman Kepada Allah
Rukun iman yang pertama adalah Allah SWT, inilah ajaran paling
pokok yang mendasari seluruh ajaran Islam. inilah yang tersimpul dalam kalimat
tauhid, kalimat tayyibah: La ilaha illallah yang artinya Tiada
Tuhan selain Allah. Ini tertuang dalam dua kalimat syahadat, kunci menuju Islam
sebagai jalan hidupnya. Mengenal Allah SWT dapat ditempuh melakukan dua jalur. Pertama,
dengan menggunakan akal pikiran untuk memeriksa dan memikirkan secara
teliti apa yang diciptakan Allah. Kedua, dengan mengerti nama-nama dan
sifat-sifat-Nya dalam Al-qur’an. Al-qur’an telah mendorong akal pikiran manusia
untuk mengenal Allah dengan mengemukakan ayat-ayat tentang alam yang
menjelaskan segala isi dunia. Dengan pemikiran itu akan tercapailah pengenalan
kepada Allah. Dengan mengenal ciptaan-Nya, manusia akan mengenal kesempurnaan
sifat-sifat-Nya, kebesaran dan keluhuran-Nya, bukti-bukti keperdulian-Nya,
kelengkapan ilmu-Nya, dan kelangsungan kekuasaan-Nya dalam menciptakan.[3]
C. Tauhid (Zat), Sifat, Af’al, Rububiyah, Uluhiyah, dan Syirik
1. Tauhid (Zat) Allah
Sebenarnya wujudnya Allah itu sudah nyata, bahkan merupakan suatu
hakikat yang tidak perlu lagi diragukan persoalannya dan tidak ada jalan untuk
memungkirinya. Sesungguhnya hakikat dari zat tuhan itu tidak mungkin dapat
diketahui dengan akal pikiran manusia dan tidak dapat dicapai keadaan atau
kenyataan yang sebenarnya. Sebabnya adalah pikiran manusia tidak dapat
menjangkau hal tersebut, sehingga manusia tidak diberi dan tidak ditunjuki cara
menemukannya atau perantara untuk mencapainya. Karena itulah sampai sekarang
ilmu pengetahuan modern belum dapat menguraikan berbagai hakikat benda dan
semua yang ada di alam semesta ini secara memuaskan. Sesunggunya zat Allah itu
masih jauh lebih besar dari apa yang dapat dicapai oleh akal ataupun yang dapat
diliputi oleh pemikiran-pemikiran.[4]
Oleh sebab itu, alangkah tepatnya firman Allah Swt:
w çmà2Íôè? ã»|Áö/F{$# uqèdur à8Íôã t»|Áö/F{$# ( uqèdur ß#Ïܯ=9$# çÎ6sø:$# ÇÊÉÌÈ
Artinya: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang
Dia dapat melihat segala yang kelihatan dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha
mengetahui.”(QS. Al-An’am: 103)
Jika manusia dengan akal pikirannya tidak dapat mencapai hakikat
zat Tuhan tidak berarti bahwa zat Allah itu tidak ada, tetapi yang benar adalah
bahwa zat Allah itu ada dengan penetapan sebagai sesuatu yang wajib adanya.
Untuk menjelaskan bahwa wujud Allah itu ada, semua yang ada dilingkungan alam
semesta ini dapat digunakan sebagai bukti nyata tentang wujudnya Tuhan.[5]
2. Tauhid Sifat Allah
Seseorang muslim harus menyadari dan menyakini bahwa Allah Swt itu
maujud yakni ada dan Dia memiliki Asmaul husna (nama-nama yang terbaik) dan
memiliki sifat-sifat yang luhur yang menunjukkan kesempurnaan-Nya yang mutlak.
Yang dimaksud dengan sifat Allah ialah bahwa sifat-sifat Allah tidak sama
dengan sifat-sifat yang lain dan tak seorangpun yang mempunyai sifat
sebagaimana sifat Allah. Sifat-sifat luhur yang dimiliki Allah merupakan
penetapan dan kesempurnaan ketuhanan-Nya serta keagungan Illahi-Nya. Sifat
Allah itu berbeda dengan sifat-sifat manusia yang terbagi-bagi. Kekuasaan Allah
tidak terbagi-bagi, sedangkan kekuasaan manusia adalah terbagi-bagi, demikian
juga sifat-sifat lain yang ada pada manusia pun terbagi-bagi.[6]
Dengan demikian, jelas bahwa segala pikiran yang mempersamakan
sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya adalah tidak benar.
Allah berfirman:
4 ¼çmoY»ysö7ß 4n?»yès?ur $£Jtã cqàÿÅÁt ÇÊÉÉÈ
Artinya: “Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang
mereka berikan” (QS. Al-An’am: 100).
3. Tauhid Af’al Allah
Sifat-sifat yang dimiliki Allah Swt ada yang termasuk dalam
sifat-sifat zat dan ada yang termasuk dalam sifat-sifat Af’al (perbuatan).
Sifat-sifat zat yaitu sifat-sifat Subutiah atau sifat-sifat Maknawiah,
yakni sifat hidup, mengetahui, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat dan
berfirman. Adapun sifat-sifat Af’al itu ialah seperti sifat menciptakan dan
member rejeki. Jadi, Allah yang Maha Menciptakan dan Maha Pemberi rejeki Dialah
yang membuat mekhluk ini dan juga yang mengaruniakan rejeki kepada mereka.
Para alim ulama telah sependapat bahwa sifat Af’al bukanlah sifat
zat dan kedudukan sifat Af’al itu adalah sebagai tambahan dari sifat zat itu.
adapun yang dimaksud dengan Tauhid Af’al atau Esa dalam perbuatannya ialah
bahwa alam semesta ini seluruhnya ciptaan Allah, tidak ada bagian-bagian alam
yang diciptakan oleh selain Allah SWT. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam
mencipta, memerintah, dan menguasai kerajaan-Nya.[7]
Allah SWT berfirman:
(. . .
Iw tm»s9Î) wÎ) uqèd (
ß,Î=»yz Èe@à2 &äó_x« . .
.
Artinya: “tidak ada Tuhan selain dia, Pencipta segala sesuatu .
. .(QS. Al-An’am: 102).
D. Arasy, Kursi, Sidratul Muntaha Lauhil dan Mahfudz
- Arsy (Singgasana)
Arsy adalah simbol keagungan dan tepat tajali serta kehususan dzat.
Arsy juga disebut tubuh Hadrah (presensi), namun ia tersucikan dari enam arah
(mata angin). Arsy merupakan pandangan tertinggi, dan tempat termulia yang
meliputi semua ragam Maujudaat (segala yang ada), Arsy dalam wujud mutlak,
seperti Jisim (tubuh) dalam wujud manusia, dengan i’tibar bahwa alam jisim
mencakup, alam ruh, imajinasi, estimasi, logika dan lain sebagainya.[8]
- Kursi
Kursi merupakan symbol dari Taqdir Illahi (ketuhanan), tempat
keluarnya konsesus perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya. Kursi juga
tempat lahirnya segala hal yang bersifat parsial dan absurd, sentra kemanfaatan
dan marabahaya, keterkumpulan dan ketercerai-beraian, dari Kursi pula terlihat
bekas-bekas (Atsaar) sifat-sifat yang kontradiktif. Dari Kursi tersiarkan
perintah dan warta ketuhanan kepada segala yang wujud, ia tempat memutuskan
konsesus ketentuan-Nya (qadha’-Nya) sedang Qolan (pena) tempat memutuskan
taqdir-Nya. Kursi merupakan tempat (pusat) pandangan segala sifat-sifat
aktualiatas (perbuatan) al-Haq. Kursi juga merupakan tempat tajali dan simbol ketuhanan,
ia juga merupakan tempat berpijaknya kaki al-Haq, dari Kursi tersebut al-Haq
melakukan Qadha-Nya, tempat mengadakan atau meniadakan, menghancurkan atau
menyelamatkan, member atau menahan, memuliakan atau menistakan segala yang ada,
al-Haq melakukan semua itu melalui wajah Kursi-Nya.[9]
- Sidratul Muntaha
Sidratul Muntaha adalah penghujung (muara) tempat dan puncak
kedudukan, yang bisa dicapai makhluk-Nya dalam meniti jalan Allah, tempat
setelah Sidratul Muntaha adalah khusus untuk al-Haq, tidak ada satupun makhluk
yang bisa menginjakkan kakinya di tempat paska Sidratul Muntaha, karena makhluk
yang melintas melebihi batas Sidratul Muntaha akan lenyap terbakar dan hilang
tak berbekas. Hal ini diisyaratkan Jibril as, yang berkata kepada Muhammad Saw
: “Jika kau melangkah sejengkal lagi, niscaya kau akan terbakar, esensinya
ketika rasul Muhammad Saw berada di Sidratul Muntaha, beliau dilarang melangkah
meski hanya sejengkal, sebab beliau akan terbakar lenyap.[10]
- Lauhul Mahfudz
Lauhul Mahfudz merupakan induk benda pertama (Umm al-Huyuli),
karena benda tidak berbentuk (memiliki rupa) kecuali setelah tertulis di Lauhul
Mahfudz. Ketika benda pertama itu diwacanakan, bentuk (rupa) ditulis oleh Qolam
(pena) tertinggi itulah sejatinya yang disebut Lauhul Mahfudz. Adanya benda
pertama itu sejalan dengan kehendak al-Haq, karenanya dikatakan: Jika benda
pertama itu telah terwacanakan dalam sebuah bentuk (citra), niscaya Sang
pemberi bentuk akan tertampakkan pada citra bentuk tersebut di semesta
alam-Nya, begitu pula ujaran Sang Pemberi bentuk akan tertampakkan, citra
bentuk itu juga mengindikasikan peliputan, sejalan dengan sabda rasulullah
Muhammad Saw yang artinya: “Sesungguhnya adalah hak Allah, mengangkat atau
meletakkan dunia.[11]
E. Hikmah Iman Kepada Allah
Iman yang telah merasuk ke dalam hati membuahkan kebajikan bagi
pemiliknya. Mereka yang menghayati dan mengalaminya Insya Allah merasakan
kenikmatan lebih besar daripada yang dapat diungkapkan dengan kata-kata. Di
antara buah iman adalah sebagai berikut:[12]
- Membesarkan hati dari rasa takut dan menumbuhkan keberanian
Iman kepada Allah menumbuhkan keberanian dan kebesaran hati. Orang
beriman tidak takut berjuang menegakkan kebenaran dan menjunjung tinggi kalimat
Allah. Jika ia mati dalam perjuangan itu, maka ia yakin memperoleh ridha Allah
Swt. Ia yakin pula bahwa Allah sajalah yang memegang soal hidup dan matinya.
Seseorang akan mati jika Allah telah menghendaki dengan sebab-sebab yang
diketahui Allah saja. Kematian itu pasti datang dan tidak akan dapat dihindarkan.
Cepat atau lambat, orang mukmin tentu pilih mati yang disukai Allah. Allah pun
melarang menyebut “mati” bagi mereka yang gugur di jalan-Nya.[13]
2. Menenangkan hati dan menenteramkan jiwa
Manusia kadang takut dan cemas karena berbagai sebab. Orang beriman
tidak kesal atau berkeluh kesah menghadapi apa yang sedang dialami dan tidak
takut atau cemas menanti masa-masa datang. Ia menutup segala pintu ketakutan.
Firman Allah Swt:
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& spoYÅ3¡¡9$# Îû É>qè=è% tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#ÿrß#y÷zÏ9 $YZ»yJÎ) yì¨B öNÍkÈ]»yJÎ) 3
¬!ur ßqãZã_ ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4
tb%x.ur ª!$# $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇÍÈ
Artinya: “Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati
orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang
telah ada). dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. Al-Fait: 4)
Seorang mukmin tidak pernah takut dalam arti sesungguhnya, kecuali
kepada Allah. Pandangannya, hatinya, kesadarannya selalu terikat pada Allah.
Orang beriman yakin bahwa rizki ada pada Allah Yang Maha Kaya. Maka ia tidak
terpukau untuk memusatkan segala aktivitasnya untuk rizki. Bertebaran ayat-ayat
Al-Qur’an yang menegaskan jaminan rizkinya.[14]
3. menimbulkan rasa dekat dengan Tuhan
Orang mukmin yakin bahwa Allah senantiasa dekat. Allah Swt, selalu
bersamanya di mana saja ia berada. Karena Allah amat dekat, maka ia merasakan
hubungan yang erat dengan Tuhan. Karena itu pula ia tidak pernah lupa
menyebut-nyebut-Nya (dzikir) dan selalu berbisik keapda-Nya setiap waktu,
dengan menjalankan shalat dan berdoa kepada-Nya. Ia tidak enggan dan bosan
memanggil-Nya, hingga Allah mengaruniakan nikmat hubungan timbal balik yang
menambah akrab dirinya dengan Tuhannya. Tak semua orng merasa dekat dengan
tuhan, padahal Dia amat dekat. Itu antara lain karena ia merasa tidak pernah
mendekati-Nya. Ia menyadari, sering melakukan sesuatu yang tidak disukai Allah
Swt. ia malu dan merasa tidak layak berada di dekat-Nya.
Sungguh, Allah Maha Luas pengampunan-Nya. Dia mengampuni segala
dosa dan kesalahan hamba-Nya asal saja tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya.
Pintu ampunan Allah terbuka luas buat hamba-Nya yang mau memohon ampunan. Dan
ampunan-Nya lebih besar daripada dosa-dosa yang pernah diperbuat hamba-Nya.[15]
Firman Allah Swt:
#sÎ)ur y7s9r'y Ï$t6Ïã ÓÍh_tã ÎoTÎ*sù ë=Ìs% (
Ü=Å_é& nouqôãy Æí#¤$!$# #sÎ) Èb$tãy (
(#qç6ÉftGó¡uù=sù Í< (#qãZÏB÷sãø9ur Î1 öNßg¯=yès9 crßä©öt ÇÊÑÏÈ
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan
orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar
mereka selalu berada dalam kebenaran.”(QS. Al-Baqarah: 186).
BAB III
PENUTUP
Simpulan
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Mummad, Tauhid-Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka
Setia, 1998.
Al-Albani,
Muhammad Nashiruddin, Ringkasan Shahih Muslim, Jakarta: Pustaka As-Sunnah,
2010.
al-Jaili,
Syeikh. Abd. Karim Ibrahim, Insan Kamil, Surabaya: Pustaka Hikmah
Perdana, 2005.
Chirzin,
Muhammad, Konsep dan Hikmah Akidah Islam, Yogyakarta: Mitra Pustaka,
1997.
[1]Muhammad
Chirzin, Konsep dan Hikmah Akidah Islam, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,
1997), h. 13
[2]Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka
As-Sunnah, 2010), h. 26
[3]Muhammad
Chirzin, Konsep dan Hikmah Akidah Islam, op. cit., h. 23-24
[4]Mummad Ahmad, Tauhid-Ilmu
Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), h. 23
[8]Syeikh . Abd.
Karim Ibrahim al-Jaili, Insan Kamil, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana,
2005), h. 223
[12]Muhammad
Chirzin, Konsep dan Hikmah Akidah Islam, op. cit., h. 45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar