BAB I
PENDAHULUAN
“Remaja”, kata itu
mengandung aneka kesan. Ada orang berkata bahwa remaja merupakan kelompok yang
biasa saja, tiada beda dengan kelompok manusia yang lain. Sementara pihak
lainnya lagi, menganggap bahwa remaja adalah kelompok orang-orang yang sering
menyusahkan orang-orang tua. Pada pihak lainnya lagi, menganggap bahwa remaja
sebagai potensi manusia yang perlu dimanfaatkan. Tetapi, manakala remaja
sendiri yang dimintai kesannya, maka mereka akan menyatakan yang lain. Mungkin
mereka berbicara tentang ketakacuhan atau ketidakperdulian orang-orang dewasa
terhadap kelompok mereka, sehingga menyebabkan mereka berbuat semaunya untuk
menarik perhatian orang-orang dewasa tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Penyebab Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja yang sering terjadi di masyarakat bukanlah suatu
keadaan yang berdiri sendiri. Kenakalan remaja tersebut timbul karena adanya
beberapa sebab dan tiap-tiap sebab dapat ditanggulangi dengan cara-cara
tertentu. Adapun penyebab kenakalan remaja ialah:[1]
1.
Keluarga
dan Peranan kontrol di dalamnya
Keluarga merupakan lingkungan yang terdekat untuk membesarkan,
mendewasakan dan di dalamnya anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali.
Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil, akan tetapi merupakan
lingkungan paling kuat dalam membesarkan anak dan terutama bagi anak yang belum
sekolah. Oleh karena itu keluarga memiliki peranan yang penting dalam
perkembangan anak, keluarga yang baik akan berpengaruh positif bagi
perkembangan anak, sedangkan keluarga yang jelek akan berpengaruh negatif Oleh
karena sejak kecil anak dibesarkan oleh keluarga dan untuk seterusnya, sebagian
besar waktunya adalah di dalam keluarga maka sepantasnya kalau kemungkinan
timbulnya delinquency itu sebagian besar juga berasal dari keluarga.
Adapun keadaan keluarga yang dapat menjadi sebab timbulnya delinquency
dapat berupa keluarga yang tidak normal (broken home), keadaan
jumlah anggota keluarga yang kurang menguntungkan.
a.
Broken
Home dan Quasi Broken Home
Menurut pendapat umum pada broken home ada kemungkinan besar
bagi terjadinya kenakalan remaja, di mana terutama perceraian atau perpisahan
orang tua mempengaruhi perkembagan si anak. Dalam broken home pada
prinsipnya strukutur keluarga tersebut sudah tidak lengkap lagi yang disebabkan
adanya hal-hal:[2]
1)
Salah
satu kedua orang tua atau kedua-duanya meninggal dunia.
2)
Perceraian
orang tua.
3)
Salah
satu kedua orang tua atau keduanya “tidak hadir” secara kontinyu dalam tenggang
waktu yang cukup lama.
4)
Ayah
mempunyai simpanan istri yang lain.[3]
5)
Keluarga
yang diliputi konflik kekerasan.
Sehingga dari adanya keadaan keluarga yang tidak normal di atas,
ini mengakibatkan dampak negative terhadap keadaan anak yaitu:[4]
1)
Anak
kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang dan tuntunan pendidikan orang tua,
terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing sibuk mengurusi
permasalahan serta konflik batin sendiri.
2)
Kebutuhan
fisik maupun psikis anak-anak remaja menjadi tidak terpenuhi. Keinginan dan
ahrapan anak-anak tidak bisa tersalur dengan memuaskan atau tidak mendapatkan kompensasinya.
3)
Anak-anak
tidak pernah mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan untuk
hidup susila. Mereka tidak dibiasakan dengan disiplin dan kontrol diri yang
baik.
Sebagai akibat ketiga bentuk pengabaian di atas, anak menjadi
bingung, risau, sedih, malu, sering diliputi perasaan dendam benci, sehingga
anak menjadi kacau dan liar. Di kemudian hari mereka mencari kompensasi bagi
kerisauan batin sendiri di luar lingkungan keluarga, yaitu menjadi anggota dari
suatu gang kriminal, lalu melakukan banyak perbuatan brandalan dan kriminal.
Anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua itu
selalu merasa tidak aman, merasa kehilangan tempat berlindung dan tempat
berpijak. Di kemudian hari mereka akan mengembangkan reaksi kompensatoris dalam
bentuk dendem dan sikap bermusuh terhadap dunia luar. Anak-anak tadi mulai
menghilang dari rumah, lebih suka bergelandangan dan mencari kesenangan hidup
yang imaginer di tempat-tempat lain. Dia mulai berbohong dan mencuri untuk menarik
perhatian dan mengganggu orang tuanya atau ia menjadi mulai mengembangkan
reaksi kompensatoris negatif untuk mendapatkan keenakan dan kepuasan hidup
dengan melakukan perbuatan kriminal.[5]
Adakalanya di secara terang-terangan menunjukkan ketidakpuasan terhadap
orang tuanya dan mulai melawan atau memberontak sambil melakukan tindak
destruktif merusak yang tidak terkendali, baik terhadap orang tua maupun
terhadap dunia luar yang kelihatan tidak ramah baginya.[6]
Tegasnya, anak-anak yang merasa tidak bahagia dipenuhi banyak konflik batin
serta mengalami frustasi terus menerus akan menjadi sangat agresif. Kemudian
dia mulai mengadakan serangan-serangan kemarahan ke dunia sekitar, menteror
lingkungan, menggarong milik orang lain dan sebagainya. Semua itu dilakukan
sebagai tindak penyalur atau pelepas bagi semua ketegangan, kerisauan dan
dendam hatinya. Penolakan oleh orang tua atau ditinggalkan oleh salah seorang
dari kedua orang tuanya, jelas menimbulkan emosi dendam, rasa tidak percaya
karena merasa dikhianati, kemarahan dan kebencian. Sentiment hebat itu
menghambat perkembangan relasi manusiawi anak. Muncullah kemudia disharmoni
sosial dan lenyapnya kontrol diri, sehingga anak dengan mudah bisa dibawa oleh
arus buruk, lalu menjadi kriminal. Anak-anak delinkuen ini memang sadar, akan
tetapi yang dikembangkan justru kesadaran yang salah.[7]
b.
Keadaan
jumlah anak yang kurang menguntungkan
Aspek lain di dalam keluarga yang dapat menimbulkan anak remaja
menjadi delinkuen adalah jumlah anggota keluarga (anak) serta kedudukannya yang
dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Keadaan tersebut berupa:[8]
1)
Keluarga
Kecil. Titik beratnya adalah anak
kedudukan anak dalam keluarga misalnya anak sulung, anak bungsu dan anak
tunggal. Kebanyakan anak tunggal sangat dimanjakan oleh orang tuanya dengan
pengawasan luar biasa, pemenuhan kebutuhan yang berlebih-lebihan dan segala
permintaannya dikabulkan. Perlakuan orang tua terhadap anak akan menyulitkan
anak itu sendiri di dalam bergaul dengan masyarakat dan sering timbul konflik
di dalam jiwanya, apabila suatu ketika keinginannya tidak dikabulkan oleh
anggota masyarakat yang lain, akhirnya mereka frustasi dan mudah berbuat jahat
misalnya melakukan penganiayaan, berkelahi, dan melakukan pengrusakan.
2)
Keluarga
Besar. Di dalam rumah tangga dengan
jumlah anggota warga yang beitu besar karena jumlah anak banyak, biasanya
mereka kurang pengawasan dari kedua orang tua. Sering terjadi di dalam
masyarakat kehidupan keluarga besar kadang-kadang disertai dengan tekanan
ekonomi yang agak berat, akibatnya banyak sekali keinginan anak-anak yang tidak
terpenuhi. Akhirnya mereka mecari jalan pintas yakni mencuri, menipu, dan
memeras. Ada kemungkinan lain, dalam keluarga besar dengan jumlah anak yang
banyak biasanya pemberian kasih saying dan pemberian perhatian dari kedua orang
tua sama sekali tidak sama. Akibatnya, di dalam interm keluarga timbul
persaingan dan rasa hati satu sama lain yang pada dasarnya akan mempengaruhi
perkembangan jiwa anak.
Pada prinsipnya sikap negatif dari kedua orang tua terhadap anak
dalam kedua bentuk keluarga, baik keluarga kecil maupun keluarga besar ternyata
menyesatkan anak-anak remaja dan sangat merugikan masyarakatnya. Sebenarnya
keadaan tersebut dapat dicari cara mendidiknya. Misalnya dalam keluarga kecil
(anak tunggal) orang tua tidak berlebih-lebihan di dalam memberikan kasih
sayang kepada anaknya dan supaya ditanamkan rasa hormat menghormati sesama
kawan. Sedangkan dalam keluarga besar yang mengalami tekanan ekonomi seharusnya
anaknya di didik hidup sederhana, diberi pengertian tata cara mencari nafkah
yang besar menurut norma sosial, norma agama, norma susila dan norma hukum.
Orang tua, wali atau pengasuhan harus memahami semua kebutuhan
anak-anaknya, baik yang bersifat biologis maupun yang bersifat psikologis.
Anak-anak di dalam hidupnya perlu makan, minum, pakaian. Di samping itu mereka
membutuhkan cinta (kasih sayang) serta rasa aman dalam keluarga, juga perlakuan
adil dari kedua orang tua sangat mereka harapkan. Keluarga memiliki peranan
untuk menanamkan disiplin bagi anak-anak sejak masih kecil agar setelah dewasa
hal tersebut dapat menjadi kebiasaan
Dalam kaitan ini secara nasional ada harapan yang menggembirkan
dengan adanya program “Panca Warga” yaitu Ayah, ibu, dan tiga anak. Dalam
periode pemula dapat dikatakan berjalan baik, kemudian dicanangkan program
“Catur Warga”, yakni ayah, ibu, dan dua anak (laki-laki atau perempuan sama
saja). Program Keluarga Berencana (KB) dengan target NKKBS (Norma Keluarga
Kecil Bahagia Sejahtera) pantas mendapatkan tanggapan positif, sebab dengan
target NKKBS tersebut akan terwujud:[9]
1)
Kesehatan
ibu lebih terjamin.
2)
Pemenuhan
kebutuhan anak baik rohani maupun jasmani mendekati keadaan normal.
3)
Kesempatan
untuk mencari nafkah bagi kedua orang tua lebih menguntungkan.
4)
Terbuka
kesempatan bagi anak-anak untuk menuntut ilmu yang lebih memadai.
2.
Eksistensi
Pendidikan Formal dan Masalahnya.
Pendidikan formal dilaksanaka dalam semesta pendidikan nasional.
Menurut TAP MPR No. II/MPR/1988. Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila,
bertujuan untuk menigkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur,
berkepribadian, berdisplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri,
cerda dan terampil serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga
harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta pada tanah air, mempertebal
semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial. Sejalan dengan itu
dikembangkan iklim belajar dan mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri
sendiri serta sikap dan perilaku yang inovatif dan kreatif.
Dengan demikian pendidikan nasioanal akan mampu mewujudkan
manusia-manusia. Pembagunan yang dapat membangunan dirinya sendiri serta
besama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Sedangkan menurut
Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 4
menegaskan pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia beriman, bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri
serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Dalam konteks ini sekolah merupakan ajang pendidikan yang kedua
setelah lingkungan keluarga bagi anak remaja. Di kota-kota besar di Indonesia
masa remaja masih merupakan masa di sekolah terutama pada masa-masa permulaan.
Dalam masa tersebut pada umumnya remaja duduk di bangku sekolah menengah
pertama atau yang lebih setingkat. Adapun di desa-desa terutama
dipelosok-pelosok masih dijumpai banyak anak remaja yang sudah tidak sekoah
lagi, meskipun mereka pada umumnya dapat menikmati pendidikan sekolah dasar.
Selama mereka menempuh pendidikan formal di sekolah terjadi interaksi antara
remaja dengan sesamanya, juga interaksi antara remaja dengan pendidik.
Interaksi yang mereka lakukan di sekolah sering menimbulkan akibat sampingan
yang negatif bagi perkembangan mental sehingga anak remaja menjadi delikuen.[10]
a.
Pengaruh
Negatif yang Timbul di Sekolah
Anak-anak yang memasuki sekolah tidak semua berwatak baik, misalnya
pengisap ganja, cross boys dan cross girls yang memberikan kesan
kebebasan tanpa control dari semua pihak terutama dalam lingkungan sekolah.
Dalam sisi lain, anak-anak yang masuk sekolah ada yang berasal dari keluarga
yang kurang memperhatikan kepentingan anak dalam belajar yang kerap kali
berpengaruh pada teman yang lain. Seuai dengan keadaan seperti ini
sekolah-sekolah sebagai tempat pendidikan anak-anak dapat menjadi sumber
terjadinya konflik-konflik psikologis yang pada prinsipnya memudahkan anak
menjadi delinkuen. Pengaruh negatif yang menangani langsung proses pendidikan
antara lain kesulitan ekonomi yang dialami pendidik antara lain kesulitan
ekonomi yang dialami pendidik dapat mengurangi perhatiannya terhadap anak-anak
didik terlantar, bahkan sering terjadi pendidik marah kepada muridnya. Biasanya
guru marah apabila terjadi suatu yang menghalangi keinginannya tertentu. Dia
akan marah, apabila kehormatannya direndahkan, baik secara langsung maupun
tidak langsung atau sumber rejekinya dan sebangsanya dalam keadaan bahaya,
sebagian atau seluruhnya atau lain dari itu.
Dewasa ini sering terjadi perlakuan guru yang tidak adil,
hukuman/sanksi-sanksi yang kurang menunjang tercapainya tujuan pendidikan,
ancaman yang tiada putus-putusnya disertai disiplin yang terlalu ketat,
disharmonis antara peserta didik dan pendidik, kurangnya kesibukan belajar
dirumah. Proses pendidikan yang kurang menguntungkan bagi perkembangan jiwa
anak kerap kali memberi pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap peserta
didik di sekolah sehingga dapat menimbulkan kenakalan remaja (juvenile
delinquency).[11]
b.
Upaya
Global Dalam Prevensi
Mewujudkan lingkungan sekolah yang sehat dimulai dari menetapkan
peraturan tentang pakaian seragam dengan maksud agar kehidupan peserta didik
tampak serasi, tidak terjadi penonjolan kemewahan di antara mereka, dididik
untuk hidup sederhana agar tidak suka berfoya-foya di lingkungan sekolah
khusunya. Dalam waktu-waktu tertentu di adakan operasi tertib dilingkungan
sekolah secara kontiyu. Diusahakan semaksimal mungkin untuk menghilangkan
sumber-sumber kenakalan remaja. Jika perlu diadakan kontak ikut membengkitkan
semangat mereka untuk menunaikan kewajiban-kewajiban di sekolah serta memeberi
motivasi agar sanggup meningkatkan kualitas/prestasi belajar dalam segala
bidang.
Sebagian besar prestasi belajar yang dicapai peserta didik di
sekolah ditunjang oleh dukungan positif dari orang tua/wali. Bagi pendidik
layak bersikap objek peserta didik di kelas, jika ada kebiasaan/sifat yang
dapat mengganggu iteraksi pendidik dan peserta didik atau emosional di dalam
kelas, selayaknya cepat diubah dan diperbaiki. Pendidik harus memiliki disiplin
yang tinggi terutama kehadiran mereka yang lebih teratur di dalam mengajar.
Perhatian pendidik terhadap peserta didik dalam banyak aspek terutama dalam
proses belajar dan pergaulan yang sehat sehingga pendidik mendapat cara yang
paling baik untuk menolong peserta didik serta mengatasi kesulitan lainnya.[12]
B.
Peranan Masyarakat Dalam Menanggulangi Kenakalan Remaja
1.
Masyarakat
Pendukung Kenakalan Remaja
Anak remaja sebagai anggota masyarakat selalu mendapat pengaruh
dari keadaan masyarakat dan lingkungannya baik langsung maupun tidak langsung.
Pengaruh yang dominan adalah akselerasi perubahan sosial yang ditandai dengan
peristiwa-peristiwa yang sering menimbulkan ketegangan seperti persaingan dalam
perekonomian, pengangguran, mass media, dan fasilitas rekreasi.
Pada dasarnya kondisi ekonomi global memiliki hubungan yang erat
dengan timbulnya kejahatan. Di dalam kehidupan sosial adanya kekayaan dan
kemiskinan mengakibatkan bahaya besar bagi jiwa manusia sebab kedua hal
tersebut akan mempengaruhi keadaan jiwa manusia di dalam hidupnya termasuk
anak-anak remaja. Dalam hidupnya termasuk anak-anak remaja. Dalam kenyataan ada
sebagian anak remaja miskin yang memiliki perasaan rendah diri dalam masyarakat
sehingga anak-anak tersebut melakukan perbuatan melawan hukum terhadap hak
milik orang lain, seperti pencurian,
penipuan dan penggelapan. Biasanya hasil dari perbuatan tersebut mereka gunakan
untuk bersenang-senang, seperti membeli pakaian yang bagus-bagus, nonton film
dan makan yang serba lezat.
Dalam hal ini ada kesan bahwa perbuatan delinkuen tersebut timbul
sebagai konpensasi untuk menyamakan dirinya dengan kehidupan para keluarga kaya
yang biasa hidup gemerlapan dan berfoya-foya. Kemiskinan keluarga ekonomi lemah
bukanlah penyebab satu-satunya bagi timbulnya kenakalan remaja akan tetapi
memiliki titik singgung di dalamnya.
Di negara-negara yang sedang berkembang atau dalam proses membangun
pada umumnya masalah penyediaan lapangan kerja dalam proses upaya maksimal.
Dalam satu sisi pemerintah berusaha terus menerus membangun sarana-sarana
industry dan infrastrukturnya yang lebih memadai sedangkan di sisi lain
pertambahan penduduk tetap melaju dengan cepat, akhirnya pengangguran makin
meningkat. Adanya pengangguran di dalam masyarakat terutama anak-anak remaja
akan menimbulkan peningkatan kejahatan bahkan timbulnya niat jahat dikalangan
masyarakat maupun anak-anak remaja disebabkan karena menganggur.
Di kalangan masyarakat sudah sering terjadi kejahatan seperti
pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, pemerasan, gelandangan, dan pencuri.
Kejahatan-kejahatan tersebut dilakukan oleh penjahat dari tingkatan umur yang
beranekaragam, terdiri dari orang lanjut usia, orang dewasa dan anak remaja.
Bagi anak remaja keinginan/kehendak untuk berbuat jahat kadang-kadang timbul
karena bacaan, gambar-gambar dan film. Bagi mereka yang mengisi waktu
senggangnya dengan bacaan-bacaan yang buruk (misalnya novel seks), maka hal itu
akan berbahaya dan dapat menghalang-halangi mereka untuk berbuat hal-hal yang
baik.
Demikian pula tontonan yang berupa gambar-gambar porno akan memberi
rangsangan seks terhadap remaja. Rangsangan seks tersebut akan berpengaruh
negative terhadap perkembangan jiwa anak remaja. Mengenai hiburan film
adakalanya memiliki dampak kejiwaan yang baik, akan tetapi hiburan tersebut
member pengaruh yang tidak menguntungkan bagi perkembangan jiwa anak remaja.
Misalnya film detektif yang memilki figure penjahat sebagai peran utama serta
film-film action yang penuh kekerasan dengan latar belakang balas dendam.
Adegan-adegan film tersebut akan mudah mempengaruhi perilaku anak remaja dalam
kehidupan sehari-hari. Kondisi yang serba distruktif ini dapat berpengaruh
negative terhadap anak remaja.[13]
2.
Upaya-Upaya
Untuk Menanggulangi
Memang sulit untuk menemukan cara yang terbaik di dalam menanggulangi
kenakalan remaja, akan tetapi masyarakat, perseorangan bahkan pemerintah
sekalipun dapat melakukan prevensi. Langkah-langkah tersebut terutama dapat
dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kehidupan warga masyarakat, agar di
bidang sosial ekonomi mengalami peningkatan, misalnya kenaikan gaji pegawai
negeri, peningkatan subsidi tehadap pusat-pusat industry kecil agar mereka
dapat mengembangkan usahanya dan penyuluhan yang lebih baik terhadap petani
sehingga dapat meningkatkan produksi dan mampu mempertinggi mutu hasil
pertanian. Jika tempat-tempat industri kecil mampu meluaskan usahanya dan
pemerintah member dukungan seperti yang diharapkan, maka pengangguran akan
dapat diatasi.
3.
Partisipasi
Aktif Konstruktif Masyarakat
Ada sebagian masyarakat yang bersifat kekanak-kanakan terhadap
kenakalan remaja, anak delinkuen biasanya menjadi sasaran utama untuk diberi
predikat buruk dan menyesatkan, mereka dikucilkan di dalam masyarakat. Anak
remaja yang menjadi delinkuen karena keadaan keluarga, sekolah dan lingkungan
masyarakat pada umumnya sering melakukan perbuatan yang meresahkan dan
mengancam ketenteraman masyarakat, misalnya penganiayaan, penggelapan,
penipuan, pencurian dan pembunuhan. Kejahatan yang mereka lakukan sudah pasti
melanggar hak-hak orang laon baik berupa harta maupun jiwanya, perbuatan
tersebut akan dapat menimbulkan ketegangan sosial di dalam masyarakat.
Keresahan yang ditimbulkan oleh anak-anak remaja sebenarnya menjadi
tanggung jawab seluruh anggota masyarakat. Ditinjau dari segi penyebabnya,
masyarakat terlibat di dalamnya dan jika dilihat dari sisi lain masyarakatlah
yang memikul beban kerugian. Suatu hal yang layak jika di dalam menanggulangi
kenakalan remaja masyarakat juga bertanggung jawab secara moral. Keterlibatan masyarakat di dalam
menanggulangi anak delinkuen dapat berupa:[14]
a.
Memberi
nasihat secara langsung kepada anak yang bersangkutan agar mereka tersebut
meninggalkan kegiatannya yang tidak sesuai dengan seperangkat norma yang
berlaku, yakni norma hukum, sosial, susila dan agama.
b.
Membicarakan
dengan orang tua/ wali anak yang bersangkutan dan dicarikan jalan keluarnya
untuk menyadarkan anak tersebut.
c.
Langkah
yang terakhir, masyarakat harus berani melaporkan kepada pejabat yang berwenang
tentang adanya perbuatan delinkuen sehingga segera dilakukan langkah-langkah
prevensi secara menyeluruh.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Kenakalan remaja ditimbulkan oleh beberapa sebab yaitu salah satu
kedua orang tua atau kedua-duanya meninggal dunia, perceraian kedua orang
tuanya, kurangnya kasih sayang dari kedua orang tuanya, ayahnya mempunyai
simpanan istri yang lain, keluarga yang diliputi konflik kekerasan, kondisi
ekonomi yang kurang memadai, salah dalam memilih pergaulan, dan lain
sebagainya.
Adapun cara menanggulanginya ialah dengan cara:
1.
Memberi
nasihat secara langsung kepada anak yang bersangkutan agar mereka tersebut
meninggalkan kegiatannya yang tidak sesuai dengan seperangkat norma yang
berlaku, yakni norma hukum, sosial, susila dan agama.
2.
Membicarakan
dengan orang tua/ wali anak yang bersangkutan dan dicarikan jalan keluarnya
untuk menyadarkan anak tersebut.
3.
Langkah
yang terakhir, masyarakat harus berani melaporkan kepada pejabat yang berwenang
tentang adanya perbuatan delinkuen sehingga segera dilakukan langkah-langkah
prevensi secara menyeluruh.
DAFTAR PUSTAKA
Kartono,
Kartini, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1986.
Mappiare, Andi, Psikologi Remaja, Surabaya: Usaha Nasional,
1982.
Soesilowindradini,
Psikologi Perkembangan Masa Remaja, Surabaya: Usaha Nasional, tt.
Sudarsono, Kenakanalan
Remaja(Prevensi, Rehabilitasi dan Resosialisasi), Cet. IV, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2004.
[1]
Sudarsono, Kenakanalan Remaja(Prevensi, Rehabilitasi dan Resosialisasi), Cet.
IV, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), h. 124.
[2]
Ibid, h. 125
[3]Kartini
Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1986), h. 59
[4]
Ibid, h. 60
[5]
Soesilowindradini, Psikologi Perkembangan Masa Remaja, (Surabaya: Usaha
Nasional, tt), h. 110
[6]
Andi Mappiare, Psikologi Remaja, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), h.
190
[7]Kartini
Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, op.cit., h. 61
[8]
Sudarsono, Kenakanalan Remaja(Prevensi, Rehabilitasi dan Resosialisasi),
op.cit. h. 127
[9]
Ibid, h. 128
[10]
Ibid, h. 129
[11]
Ibid, h. 130
[12]
Ibid, h, 131
[13]
Ibid, h. 132
[14]
ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar