BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai salah satu unsur esensial penbentuk
negara, tanah memegang peran penting dalam kehidupan dan penghidupan bangsa
pendukung negara yang bersangkutan., lebih-lebih yang corak agrarisnya
berdominasi. Di Negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang
berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
merupakan suatu condition sine qua non.[1]
Untuk mencapai tujuan itu, diperlukan campur
tangan Penguasa, cq yang competent dalam urusan tanah ini, khususnya mengenai
lahirnya, berpindahnya dan berakhirnya hak milik atas tanah. Di lingkungan
hukum adat, campur tangan itu dilakukan oleh Kepala berbagai persekutuan hukum,
seperti Kepala atau Pengurus Desa.[2]
Dari paparan latar belakang masalah di atas,
penulis tertarik untuk menggali lebih dalam lagi mengenai hukum tanah adat ini
dalam bab selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tanah ulayat atau tanah adat?
2. Bagaimana syarat-syarat agar terpenuhinya
tanah ulayat atau tanah adat?
3. Apa saja objek dalam tanah ulayat atau tanah adat?
BAB II
A. Pengertian Hak Ulayat/ Hak Purba
Hak purba adalah hak yang dipunyai oleh suatu suku (clan/
gens/ stam), sebuah serikat desa-desa (dorpenbond) atau biasanya
oleh sebuah desa saja untuk menguasai seluruh tanah dan seisinya dalam lingkungan
wilayahnya.[3]
Dalam redaksi lain disebutkan bahwa hak persekutuan atas
tanah adalah hak persekutuan (hak masyarakat hukum) dalam hukum adat terhadap
tanah tersebut. Hak Ulayat adalah pengakuan bersama oleh seluruh anggota
masyarakat dan didalamnya juga terkandung hak kepunyaan perorangan yang berarti
orang perorangan boleh mempunyai tanah di lingkungan hak ulayat tersebut.[4]
C.
Van
Vollenhoven menyebutkan lima ciri hak ulayat adalah sebagai berikut:
1.
Hak
individual diliputi juga oleh hak persekutuan.
2.
Pimpinan
persekutuan dapat menentukan untuk menyatakan dan menggunakan bidang-bidang
tanah tertentu ditetapkan untuk kepentingan umum dan terhadap tanah ini tidak
diperkenankan diletakkan hak perseorangan.
3.
Orang
asing yang mau menarik hasil tanah-tanah ulayat ini haruslah terlebih dulu
meminta izin dari kepada persekutuan dan harus membayar uang pengakuan, setelah
panen harus membaar uang sewa.
4.
Persekutuan
bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di atas lingkungan ulayat.
5.
Larangan
mengasingkan tanah yang termasuk tanah ulayat.
B. Tanah Ulayat
Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang
diyakini sebagai karunia suatu kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang
kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung utama
bagi kebidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa.
Apabila dipandang dari sudut bentuk masyarakat hukum adat,
maka lingkungan tanah mungkin dikuasai oleh suatu masyarakat hukum adat atau
beberapa masyarakat. Oleh karena itu biasanyanya lingkungan tanah adat dibedakan
antara :
1.
Lingkungan
tanah sendiri.
2.
Lingkungan
tanah bersama.
C. Hubungan Hak Ulayat Dengan Hak Perorangan
Menurut Ter Haar hubungan antara kepentingan perseorangan
dan kepentingan persekutuan adalah timbal balik dan memiliki kekuatan yang
sama. Selanjutnya hak ulayat juga juga berlaku terhadap orang-orang luar.
Apabila orang-orang di luar hendak memasuki persekutuan mereka harus terlebih
dahulu mendapatkan izin dari kepala persekutuan dan sebelum permohonan mereka dikabulkan
terlebih dahulu harus memberi sesuatu kepada persekutuan.
D. Kedudukan Hak Ulayat Dalam UUPA (UU No. 5 Tahun 1960)
Dalam Undang-undang Pokok Agraria pasal 5 UU No.5 1960
menyebutkan bahwa: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
adalah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UU ini dan dengan
peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur
yang bersandar pada hukum agama.”
Unsur-unsur yang penting dalam UUPA yang perlu kita
perhatikan dan mempunyai kaitan dengan uraian ini lebih lanjut adalah:
1.
Bahwa
tidak ada perbedaan tiap-tiap WNI baik laki-laki maupun wanita dalam memperoleh
kesempatan untuk mendapatkan sesuatu hak dan manfaat atas tanah. [pasal 9: (2)]
2.
Bahwa
UUPA No.5 1960 mengharuskan adanya pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Republik Indonesia dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum atas tanah
(pasal 19)
3.
Bahwa
UUPA No.5 1960 membenarkan adanya sistem pemilikan bersama (pasal 17)
4.
Perintah
penegasan hak-hak atas tanah adat yang telah ada sebelum UUPA No.5 1960
diundangkan (pasal-pasal ketentuan Konversi).
Untuk menerangkan bagaimana hubungan antara hak ulayat
dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)/ UU No. 5 Tahun 1960 kita dapat
melihat pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut: “Dengan mengingat
ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang
serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang
lebih tinggi.”
Berdasarkan pasal 3 di atas, hak ulayat atau hak tanah adat
diakui keberadaannya, akan tetapi pengakuan itu diikuti syarat-syarat yang
harus dipenuhi diantaranya:
1.
Eksistensinya
masih ada
2.
Tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional
3.
Tidak
bertentangan dengan aturan-aturan dalam undang-undang.
Ketentuan ini berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat
itu dalam hukum agraria yang baru (UUPA). Sebagaimana diketahui biarpun menurut
kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula di dalam
keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi di
dalam undang-undang, dengan akibat bahwa di dalam melaksanakan
peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu
seringkali diabaikan.
Berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam
Undang-Undang Pokok Agraria, yang pada hakikatnya berarti pula pengakuan hak
itu, maka pada dasarnya hak ulayat akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut
menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan.
Misalnya di dalam pemberian hak atas tanah (umpamanya hak guna usaha)
masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan
akan diberi “recognitie”, yang memang ia berhak menerimanya selaku
pemegang hak ulayat itu.
Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika
berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi
pemberian hak guna usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut di daerah itu
sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat
dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya
menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk
melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah
hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa
pembangunan daerah-daerah itu sendiri sering kali terhambat karena mendapat
kesukaran mengenai hak ulayat, inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua pada
ketentuan pasal 3 tersebut di atas. Kepentingan suatu masyarakat hukum harus
tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas dan hak ulayatnya
pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu.
Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat
tidak dihapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya, dalam artian adalah mengatur
hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya.
Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah,
yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat
yang bersangkutan (uraian 85 dan 106 E).[5]
E.
Kedudukan Tanah dalam Hukum Adat
Ada 2 hal yang menyebabkan tanah itu memiliki
kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, yaitu :
1.
Karena sifatnya
2.
Karena fakta
F.
Hak Persekutuan Atas Tanah
Mengingat akan fakta dimaksud diatas, maka
antara persekutuan dengan tanah yang didudukinya itu terdapat hubungan yang
erat sekali hubungan yang mempunyai sumber serta yang bersifat religio-magis.
Hak persekutuan atas tanah ini disebut hak pertuanan
atau hak ulayat. Hak ini oleh Van Vollenhoven disebut “beschikkingsrecht”.
Istilah lain dalam bahasa Indonesia merupakan suatu pengertian yang baru,
satu dan lain.
Istilah-istilah daerah yang berarti
lingkungan kekuasaan, wilayah kekuasaan ataupun tanah yang merupakan wilayah
yang dikuasai persekutuan adalah antara lain “Patuanan”(Ambon),“Panyampeto”(Kalimantan),“Wewengkon”(Jawa),“Prabumian”(Bali),
“Pawatasan” (Kalimantan), “Totabuan” (Balaang Mangondow), “Limpo”
(Sulawesi Selatan), “Nuru” (Buru), “Ulayat” (Minangkabau).
Beschikkingsrecht ataupun hak ulayat ini berlaku keluar
dan kedalam. Hak persekutuan ini pada hakikatnya membatasi kebebasan usaha atau
kebebasan gerak para warga persekutuan sebagai perseorangan. Pembatasan ini
dilakukan demi kepentingan persekutuan. Antara hak persekutuan ini (hak
ulayat) dan hak para warganya masing-masing ada hubungan timbal-balik yang
saling mengisi.
Objek hak ulayat ini adalah :
a.
Tanah (daratan)
b.
Air (perairan seperti misalnya : kali, danau, pantai
beserta perairannya).
c.
Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon
buah-buahan, pohon-pohon untuk kayu pertukangan atau kayu bakar dan lain
sebagainya).
d.
Binatang yang hidup liar.
Cara memelihara serta mempertahankan hak
ulayat yaitu:
1.
Pertama-tama persekutuan berusaha meletakkan batas-batas
di sekeliling wilayah kekuasaannya itu.
2.
Usaha kedua adalah menunjuk pejabat-pejabat tertentu yang
khusus bertugas mengawasi wilayah
kekuasaan persekutuan yang bersangkutan.
Disamping petugas-petugas yang khusus ini,
biasanya diadakan pula patrol-patroli perbatasan disebut sebagai salah satu
cara penegasan wilayah kekuasaan surat-surat pikukuh ataupun Piagam yang
dikeluarkan oleh raja-raja dahulu. Hak ulayat ini dalam bentuk dasarnya
adalah suatu hak daripada persekutuan atas tanah yang didiami.[6]
G.
Pengaruh Terhadap Hukum Tanah Adat
Faktor-faktor
extern yang mempengaruhi hukum tanah adat datangnya dari :
a.
Raja-raja
·
Yang
merusak
·
Yang
memperkuat
b.
Pemerintah
kolonial, Gubernemen.
Pada umumnya hak ulayat pada khususnya ternyata dari tindakannya
dalam politik agrarianya yang terpenting diantaranya adalah :
·
Pajak
Bumi (landrent) dari Raffles
·
Cultuurstelsel
dari Gubernur-Jenderal Van den Bosch
·
Agrarische
Wet, Agrarisch Besluit, Domeinverklaring
·
Verveemdingsverbod
(S. 1875-179).[7]
BAB III
PENUTUP
Simpulan:
Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama atau
peninggalan nenek moyang terdahulu dan bertujuan untuk kehidupan keturunannya
di masa yang akan datang. Hak ulayat atau hak tanah adat memiliki syarat-syarat
yang harus dipenuhi yaitu eksistensinya masih ada, tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan tidak bertentangan dengan aturan-aturan dalam
undang-undang
Adapun Objek
hak ulayat yaitu tanah (daratan), air (perairan seperti misalnya : kali, danau,
pantai beserta perairannya), tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon
buah-buahan, pohon-pohon untuk kayu pertukangan atau kayu bakar dan lain
sebagainya), binatang yang hidup liar.
DAFTAR PUSTAKA
Imam Sudiyat, Hukum Adat, Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta, 2010.
http://manusiapinggiran.blogspot.com/2013/01/mengenal-hukum-tanah-dalam
adat.html,
diakses pada hari Sabtu, 16 November 2013..
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum
Adat, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1983.
[1]
Imam Sudiyat, Hukum Adat, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2010), h. 1
[2] ibid
[3]
Ibid, h. 2
[4]
ibid
[5]
http://manusiapinggiran.blogspot.com/2013/01/mengenal-hukum-tanah-dalam-adat.html, diakses pada hari Sabtu, 16 November 2013, jam 09:00 Wita.
[6]
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT.
Gunung Agung, 1983), h. 197.
[7]
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, op.cit., h. 17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar