BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kitab-kitab hadis yang beredar di
tengah-tengah masyarakat dan dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam
hubungannya dengan hadits sebagai sumber ajaran Islam adalah kitab-kitab yang
disusun oleh para penyusunnya setelah lama Nabi wafat. Dalam jarak waktu antara
kewafatan Nabi dan penulisan kitab-kitab hadits tersebut telah terjadi berbagai
hal yang dapat menjadikan riwayat hadits tersebut menyalahi apa yang sebenarnya
berasal dari Nabi. Baik dari aspek kemurniannya dan keasliannya.
Dengan demikian, untuk mengetahui apakah
riwayat berbagai hadits yang terhimpun dalam kitab-kitab hadits tersebut dapat
dijadikan sebagai hujjah ataukah tidak, terlebih dahulu perlu dilakukan
penelitian. Kegiatan penelitian hadits tidak hanya ditujukan kepada apa yang
menjadi materi berita dalam hadits itu saja, yang biasa dikenal dengan masalah
matan hadits, tetapi juga kepada berbagai hal yang berhubungan dengan
periwayatannya, dalam hal ini sanadnya, yakni rangkaian para periwayat yang
menyampaikan matan hadis kepada kita.
Keberadaan perawi hadits sangat menentukan
kualitas hadits, baik kualitas sanad maupun kualitas matan hadits. Selama
riwayat-riwayat ini membutuhkan penelitian dan kajian mendalam untuk mengetahui
mana yang dapat diterima dan mana yang ditolak, maka mutlak diperlukan adanya
kaidah-kaidah dan patokan sebagai acuan melakukan studi kritik Hadits.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja pembagian
hadits dalam islam ?
2. Bagaimana ciri-ciri
dan kehujjahan hadits-hadits tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas Rawi
Kuantitas hadits disini yaitu dari segi
jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadits atau dari segi jumlah sanadnya.
Jumhur (mayoritas) ulama membagi hadis secara garis besar menjadi dua macam,
yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad, disamping pembagian lain yang diikuti
oleh sebagian para ulama, yaitu pembagian menjadi tiga macam yaitu: hadits
mutawatir, hadits masyhur (hadis mustafidh) dan hadits ahad.
1. Hadis Mutawatir
Mutawatir secara etimology berasal dari
kata tawatara yang berarti beruntun, atau mutatabi, yakni beriring-iringan
antara satu dengan lainnya tanpa ada jarak. Sedangkan secara terminology
mutawatir adalah hadits yang di riwayatkan oleh orang banyak yang terhindar
dari kesepakatan mereka untuk berdusta sejak awal sanad sampai akhir sanad
dengan didasarkan pada panca.
a. Syarat-syarat Hadits Mutawatir
-
Hadits mutawatir harus di riwayatkan oleh
sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak sepakat
untuk berbohong.
-
Bedasarkan tanggapan panca indra, yakni
bahwa berita yang mereka sampaikan harus benar-benar merupakan hasil
pendengaran atau penglihatan sendiri.
-
Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam
thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya.
b. Pembagian Hadits Mutawatir
Sebagian jumhur ulama menyebutkan Hadits
Mutawatir ada 3 yaitu:
-
Hadits Mutawatir Lafdhi adalah mutawatir dengan susunan redaksi
yang persis sama.
Contoh hadits mutawatir lafdhi yang
artinya: “Rasulullah SAW, bersabda: “Siapa yang sengaja
berdusta terhadapku, maka hendaklah dia menduduki tempat duduknya dalam
neraka”. (Hadis Riwayat Bukhari).
Hadits tersebut menurut keterangan Abu
Bakar al-Bazzar, diriwayatkan oleh empat puluh orang sahabat, bahkan menurut
keterangan ulama lain, ada enam puluh orang sahabat, Rasul yang meriwayatkan
hadis itu dengan redaksi yang sama.
-
Hadits Mutawatir Maknawi adalah hadits mutawatir dengan makna umum
yang sama, walaupun berbeda redaksinya dan berbeda perincian maknanya.
Contoh hadits mutawatir maknawi yang
artinya: “Rasulullah SAW pada waktu berdoa tidak mengangkat kedua tangannya
begitu tinggi sehingga terlihat kedua ketiaknya yang putih, kecuali pada waktu
berdoa memohon hujan”. (Hadis Riwayat Mutafaq’ Alaihi).
-
Hadits Mutawatir ‘Amali adalah hadits mutawatir yang menyangkut
perbuatan Rasulullah SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang
banyak, untuk kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang
banyak pada generasi-generasi berikutnya.
Contoh : Hadits-hadits Nabi tentang waktu
shalat, tentang jumlah rakaat shalat wajib, adanya shalat ‘ied, adanya shalat
jenazah, dan sebagainya.
c. Kedudukan Hadits Mutawatir
Hadits-hadits yang termasuk kelompok hadits
mutawatir adalah hadits-hadits yang pasti (qath’i atau maqth’u)
berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama menegaskan bahwa hadits mutawatir
membuahkan “ilmu qath’i” (pengetahuan yang pasti), yakni pengetahuan yang pasti
bahwa perkataan, perbuatan atau persetujuan berasal dari Rasulullah SAW. Kedudukan
hadits mutawatir sebagai sumber ajaran Islam tinggi sekali. Menolak hadits
mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama halnya dengan menolak kedudukan Nabi
Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan hadits mutawatir sebagai sumber
ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadis ahad.[1]
2. Hadits Ahad
Ahad menurut bahasa adalah kata jamak dari
wahid atau ahad. Bila wahid atau ahad berarti satu, maka ahad, sebagai
jamaknya, berarti satu-satu. Sedangkan menurut istilah hadits ahad adalah hadits
yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadist mutawatir, baik rawinya itu
satu, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi
pengertian bahwa hadits dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadist
mutawatir, atau dengan kata lain hadits ahad adalah hadits yang tidak mencapai
derajat mutawatir.
a. Pembagian hadits ahad
-
Hadits Masyhur
(Hadits Mustafidah) adalah Hadis
yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran bilang
mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah para sahabat dan demikian pula
setelah mereka.
Contoh:
“Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Muslim
adalah orang yang kaum Muslimin tidak mengganggu oleh lidah dan tangannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim, dan
Turmudzi).
-
Hadits ‘Aziz adalah Hadis
yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tabaqat sanad.
Contoh:
“Rasulullah SAW bersabda: “Kita adalah
orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu di hari kiamat.” (Hadist Riwayat Hudzaifah dan Abu
Hurairah)
-
Hadits Gharib adalah Hadis
gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam
meriwayatkannya tanpa ada orang lain yang meriwayatkan.
Contoh:
“Dari Umar bin Khattab, katanya: Aku
mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Amal itu hanya (dinilai) menurut
niat, dan setiap orang hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya.” (Hadist
Riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain)
b. Kedudukan hadits ahad
Bila hadits mutawatir dapat dipastikan
sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW, maka tidak demikian hadits ahad .
Hadist ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW, tetapi diduga ( zhanni
dan mazhnun) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan
bahwa hadits ahad mungkin benar berasal dari Rasulullah SAW, dan mungkin pula
tidak benar berasal dari beliau. Maka kedudukan hadits ahad, sebagai sumber
ajaran Islam, berada dibawah kedudukan hadits mutawatir. Lain berarti bahwa
bila suatu hadits, yang termasuk kelompok hadits ahad, bertentangan isinya
dengan hadits mutawatir, maka hadits tersebut harus ditolak.[2]
B. Pembagian Hadits Berdasarkan Kualitas Rawi
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hadits muatawatir
memberikan penertian yang yaqin bi alqath, artinya Nabi Muhammad
benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuan)
dihadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil
mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya sumbernya sungguh
telah meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti
lagi, baik terhadap sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad yang
hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya),
mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun
sanadnya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas, apakah diterima
sebagai hujjah atau ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits
dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits
hasan, dan hadits dhaif.
1.
Hadits Shahih
Kata shahih berasal dari bahasa arab as-shahih
bentuk pluralnya ashihha’ berakar kata pada shahha, yang berarti
selamat dari penyakit. Sedangkan menurut istilah hadits sahih adalah hadits
yang bersambung sampai kepada nabi Muhammad serta didalam hadits tersebut tidak
terdapat kejanggalan dan cacat.
Sebuah hadits dikatakan sahih apabila
memenuhi kriteria yang meliputi:
·
Sanadnya bersambung ialah sanadnya
bersambung sampai ke musnad, dalam sifat disebut hadits yang muttashil dan
mausul (yang bersambung).
·
Seluruh periwayat dalam sanad hadits sahih
bersifat adil adalah periwayat yang memenuhi syarat-syarat yaitu beragama
Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, memelihara kehormatan diri.
·
Seluruh periwayat dalam sanad bersifat
dhabith, ialah memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna. Dia memahami dengan
baik apa yang diriwayatkannya serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja
di kehendaki.
·
Sanad dan matan hadits yang sahih itu
terhindar dari syadz.
·
Sanad dan matan hadis terhindar dari
i’llat. I’llat adalah sifat tersembunyi yang mengakibatkan
hadits tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara lahiriah hadits
tersebar dari ‘illath.
Contoh:
Dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata:
Rasulullah s.a.w. bersabda: “Setiap sendi tubuh badan manusia menjadi
sedekah untuknya pada setiap hari matahari terbit, kamu melakukan keadilan
diantara dua orang yang berselisih faham adalah sedekah kamu membantu orang
yang menaiki kenderaan atau kamu mengangkat barang-barang untuknya kedalam
kenderaan adalah sedekah, Perkataan yang baik adalah sedekah, setiap langkah
kamu berjalan untuk menunaikan solat adalah sedekah dan kamu membuang
perkara-perkara yang menyakiti di jalan adalah sedekah.” (H.R Bukhari dan
Muslim).[3]
a.
Pembagian hadits shahih
Hadits sahih terbagi dua bagian, yaitu
-
Hadits sahih lidzatih adalah hadits yang karena kehadiran
dirinya sendiri telah memenuhi kelima kriteria hadits sahih sebagaimana
dikemukakan di atas.
-
Hadits sahih lighairih adalah hadits yang sahihnya lantaran di
bantu oleh keterangan yang lain jadi disimpulkan belum sampai kepada kualitas
sahih, kemudian ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya sehingga hadits
tersebut meningkat menjadi hadits sahih lighairih.
b. Kehujjahan hadits sahih
Hadits sahih dapat dijadikan hujjah untuk
menetapkan suatu akidah, tergantung kedhabitannya dan keadilan perawinya, dan
semakin dhabit dan adil si perawinya makin tinggi pula tingkatan kualitas
hadits yang diriwayatkan. Hadits sahih kedudukannya lebih tinggi dari hadits
hasan dan dho’if, tetapi berada dibawah kedudukan hadits mutawatir. Semua ulama
sepakat menerima hadits sahih sebagai sumber ajaran Islam atau hujjah, dalam
bidang hukum dan moral.
2. Hadits Hasan i
Adalah hadits yang mutttasil sanadnya
diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit ttetapi kadar kedhabitannya di
bawah kedhabittan hadis sahih dan hadits itu tidak syadz dan tidak pula
terdapat ‘illat.
Adapun kriteria hadits yaitu:
·
Sanadnya bersambung
·
Para periwayat bersifat adil
·
Diantara orang periwayat terdapat orang
yang kurang dhabith
·
Sanad dan matan hadits terhindar dari
kejanggalan
·
Tidak ber-illat (cacat)
a. Pembagian hadits hasan
-
Hasan lidzatih adalah hadits yang mencapai derajat hasan
dengan sendirinya sedikitpun tidak ada dukungan dari hadits lain.
-
Hadits hasan lighairih adalah hadits yang pada asalnya adalah
hadits dhaif yang kemudian meningkat derajatnya menjadi hasan karena ada
riwayat lain yang mengangkatnya.
Contoh hadits hasan:
“Sekiranya aku tidak memberatkan umatku,
tentu kuperintahkan mereka bersiwak menjelang setiap sholat”.
Matan hadits ini memiliki jalur sanad,
Muhammad bin Amr, dari Abi Salamah, dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW. dan
Muhammad bin Amr diragukan hafalan, kekuatan ingatan dan kecerdasannya meskipun
banyak yang menganggapnya terpecaya hadits ini bersifat hasan lizatih dan hasan lighairih, karena diriwayatkan pula oleh guru muhammad dan dari gurunya lagi
hadits itu diriwayatkan pula oleh Abu Hurairah oleh banyak orang
diantaranya al-A’raj bin Hurmuz dan Sa’id al-Maqbari. At- Tarmizi ia adalah
orang yang pertama kali mengeluarkan hadits hasan.
Meskipun ada hadits dahif yang meningkat
menjadi hadis hasan tidak semua hadits dhaif bisa meningkat menjadi hadits
hasan, hadits dhaif yang bisa meningkat menjadi hadits hasan adalah
hadits-hadits yang tidak terlalu lemah seperti hadits maudhu, matruk, dan
munkar derajatnya bisa lebih meningkat, jika hadits diriwayatkan oleh periwayat
yang dhaif karena banyaknya kesalahan atau karena mufsiq maka ia bukanlah
hadits hasan lighairih. Sebaliknya hadits daif yang diriwayatkan oleh periwayat
yang dhaif karena fasiq atau di tuduh berdusta lalu ada hadits yang juga
diriwayatkan oleh periwayat yang kualitasnya sama maka hadits itu bukan
hanya tidak bisa naik derajatnya menjadi hasan melainkan justru hadits itu
bertambah dhaif.
b. Kehujjahan hadits hasan
Hadits hasan dapat di gunakan sebagai
berhujjah dalam menentapkan suatu kepastian hukum dan ia harus diamalkan baik
hadits hasan lidzatih maupun hasan lighairih, al-
Khattabi mengungkapkan bahwa atas hadits hasanlah berkisar banyak hadits
karena kebanyakan hadits tidak mencapai tingkatan sahih, hadis ini kebanyakan
diamalkan oleh ulama hadits.[4]
3. Hadits Dhaif
Secara bahasa, hadits dhaif berasal dari
kata dhu’fun berarti hadits yang lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa
hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Secara terminologi hadits dhaif
adalah suatu hadits yang tidak terdapat ciri-ciri ke sahihan dan kehasanan
suatu hadits, sahih tidaknya suatu hadits merupakan hasil peninjaun dari sisi
di terima atau ditolaknya suatu hadits, oleh karena itu hadis ini terdapat
sesuatu yang di dalamnya tertolak yang tidak terdapat ciri-ciri di terimanya
hadits ini.
Adapun ciri-ciri hadits daif ialah:
-
Periwatnya seorang pendusta atau tertuduh
pendusta
-
Banyak membuat kekeliruan
-
Suka pelupa
-
Suka maksiat atau fasik
-
Banyak angan-angan
-
Menyalahi periwayat kepercayaan
-
Periwayatnya tidak di kenal
-
Penganut bid’ah bidang aqidah
-
Tidak baik hafalannya.
Dan yang kemungkinan besar merupakan hadits
dho’if adalah hadits yang diriwayatkan secara bersendirian oleh ‘Uqaili, Ibn
‘Adi, Khatib Al Baghdadi, Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh-nya, Adailami dalam Musnad
Firdaus, atau Tirmidzi Al Hakim dalam Nawadirul Ushul dan beliau bukanlah
Tirmidzi penulis kitab Sunan atau Hakim dan Ibnu Jarud dalam Tarikh keduanya.
Contoh hadits dhaif:
“ Bahwasannya Rasul wudhu dan beliau
mengusap kedua kaos kakinya”.
Hadits ini dikatakan dhaif karena
diriwayatkan dari Abu Qais al-Audi, seorang rawi yang masih dipersoalkan.
a. Pembagian hadits dhaif
-
Hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam
sanadnya.
-
Hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi
atau matan.
b. Kehujjahan
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits
kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits
dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat:
-
Level kedhaifannya tidak parah.
-
Berada di bawah nash lain yang shahih.
-
Ketika mengamalkannya, tidak boleh meyakini
ke-tsabit-annya. [5]
4. Hadits Maudhu
Menurut etimologi kata maudhu dari kata
diletakakan, dibiarkan, digugurkan, ditinggalkan dan dibuat-buat, sedangkan
menurut terminologi hadits maudhu ialah sesuatu yang disandarkan kepada rasul
secara mengada-ada dan bohong dari apa yang di katakan beliau atau tidak
dilakukan dan atau tidak di setujui.
a. Pembagian hadits maudhu
Hadits ini hukumnya bathil dan haram
meriwayatkannya, kecuali untuk mengajar untuk mengetahui hadis maudhu, ada
beberapa macam hadits maudhu yaitu, Seseorang mengatakan dengan sesuatu yang
sebenarnya keluar dari dirinya sendiri kemudian dia meriwayatkannya dengan
menghubungkan kepada Rasulullah SAW, seseorang mengambil perkataan dari
sebagian ahli fiqh atau lainnya kemudian ia menghubungkannya dengan nabi
Muhammad SAW, juga seseorang melakukan kesalahan dalam meriwayatkan suatu
hadits dengan tidak ada unsur kesengajaan mendustakan nabi seperti Habib bin
Musa Al-Zahid dalam haditsnya menyatakan barang siapa banyak shalatnya dimalam
hari wajahnya indah berseri di siang hari.
Hadis ini dimulai sejak tahun 41 H pada
masa pemerintahan Khalifah keempat ketika muslim saling bersellisih antara kaum
khawarij dengan kaum Syiah mereka banyak mengarang hadits untuk keperluannya
sendiri inilah pendorong terjadinya pemalsuan hadits pada berbagai masa
orang-orang suka menurutkan hawa nafsu terus menerus untuk berbohong.Hammad bin
Zaid telah memalsukan tak kurang dari 14.000 hadits palsu dan telah beredar dan
Abdul Karim bin Abi Al-Auja telah memalsukan 4000 hadits mengatakan
adapun yang melatar belakangi munculnya hadits palsu ini adalah :
-
Untuk menimbulkan kerusuhan didalam agama
yang dilakukan oleh orang –orang munafik.
-
Untuk mempertahankan pendapatnya sementara
tidak ada dalil yang mengetengahkan yang dilakukan oleh abu al- khathtthab bin
Dihyah dan Abdu al- Aziz bin Haris al- hanbali.
-
Untuk menarik perhatian dalam berpidato dan
dalam pembicaraan dan simpatti orang yang menamakan dirinya Zuhud,.
-
Untuk mempertahankan mahzabnya seperti yang
dilakukaukan oleh golongan Khattabiyah dari Aliran Rafidhah.
-
Untuk mendekatkan diri kepada raja-raja
atau pejabat dengan membuat hadis maudhu yang cocok dengan program dan
tujuan mereka.
-
Untuk mencari rezeki dengan membuat
haditts-hadits maudhu seperti yang dilakukan oleh pencerita-cerita
seperti yang dilakukan oleh Abu Said al- madaini.
b. Kriteria hadits maudhu
Hadits maudhu dapat di ketahui dari segi
sanadnya dan matannya, jika dilihat dari sanadnya dari kaum zindiq, munafik
atau seorang pendusta dari segi matannya dapat dilihat dari ciri-ciri yang
meliputi:
-
Susunan lafalnya kacau
-
Maknanya rusak
-
Bertentangan dengan nas Al-Qur’an yang tidak
dapat dilakukan penakwilan.
-
Bertentangan dengan hadis mutawatir
-
Bertentangan dengan aqidah umum baik dengan
Al-Qur’an amupun sunnah.
-
Pembuatnya sendiri bahwa ia telah membuat
hadis palsu.[6]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Demikian hadits dilihat dari kuantitas
jumlah para perawi yang dapat menunjukkan kualitas bagi hadits mutawatir tanpa
memerisa sifat-sifat para perawi secara individu, atau menunjukan kualitas
hadits ahad, jika disertai pemeriksaan memenuhi persyaratan standar hadits yang
makbul.
Hadits ahad masih memerlukan barbagai
persyaratan yaitu dari segi sifat-sifat kepercayaan para perawi atau
sifat-sifat yang dapat mempertanggungjawabkan kebenaran berita secara individu
yaitu sifat keadilan dan ke dhabithan, ketersambungan sanad dan
ketidakganjilannya. Kebenaran berita hadits mutawatir secara absolute dan pasti
(qath’i), sedangkan kebenaran berita yang dibawa oleh hadits ahad
bersifat relative ( zhanni ) yang wajib diamalkan.
Dalam kehidupan sehari-hari seseorang dalam
melaksanakan Islam tidak lepas dari zhan dan itu sah-sah saja, misalnya
menghadap ke kiblat ketika shalat, pemeraan air mandi janabah pada seluruh
anggota badan, masuknya waktu imsak dan fajar bagi orang yang berpuasa, dan
lain-lain. Pengertian zhan tidak terpaut dengan syakk
(ragu) dan juga tidak terpaut dengan waham. Zhan diartikan dugaan kuat (rajah)
yang mendekati kepada keyakinan, sedangkan Syakk diartikan dugaan yang
seimbang antara ya dan tidak sedang waham adalah dugaan lemah (marjuh).
DAFTAR PUSTAKA
·
Mudzakir, M, Ulumul Hadis, Bandung: CV Pustaka Setia, 1998.
·
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis, UIN-Malang
Press: Oktober 2008.
·
Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung: CV Pustaka Setia.
·
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, cet. IV, Jakarta: Amzah, 2010.
[1] Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia), h.
113-123.
[4] http://b3npani.wordpress.com/tugas-kuliah/92-2/(Kamis, tanggal 21 maret 2013 pada jam 12.15 WIT).
[5] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis,
(UIN-Malang Press: Oktober 2008), h. 31-38.
[6] http://b3npani.wordpress.com/tugas-kuliah/92-2/ (Kamis,
tanggal 21 Maret 2013 pada jam 12.15 WIT).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar