BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ayat
yang memerintahkan kepada orang mukmin agar melaksanakan amal dan pekerjaan
mereka dengan cermat, jujur dan ikhlas karena Allah, baik pekerjaan yang
bertalian dengan urusan agama maupun pekerjaan yang bertalian dengan urusan
keduniawi. Karena hanya demikianlah mereka bisa sukses dan memperoleh hasil
atau balasan yang mereka harapkan. Dalam persaksian mereka harus adil
menerangkan apa yang sebenarnya, tanpa memandang siapa orangnya, sekalipun akan
menguntungkan lawan dan merugikan sahabat kerabat.
Perintah
untuk melakukan sopan santun dalam pergaulan agar terpelihara hubungan
persaudaraan dengan jalan mengadakan tata tertib yang dilakukan ketika bertemu
dengan seseorang.seseorang harus membalas penghormatan yang diberikan kepadanya
berupa salam yang diterimanya dengan balasan yang setimpal atau dengan cara
lebih baik.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
penafsiran surah al-Hujarat ayat 13 ?
2.
Bagaimana
penafsiran surah al-Maidah ayat 8 ?
3.
Bagaimana
penafsiran surah an-Nisa ayat 86 ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Al-Hujarat ayat 13
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
“Hai
manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
·
Asbabun
Nuzul al-Hujarat ayat 13
Ibn
Abi Mulaikah ra. Menurunkan bahwa ayat ini diturunkan berkanaan dengan orang-orang
yang ketika Bilal ra naik keatas ka’bah untuk mengumandangkan azan setelah
fushia pembebasan kota makkah, mengalami bilal ra. “Bagaimana mungkin budak
hutan ini yang mengumandangkan azan diatas ka’bah ?”Sebagian yang lain berkata
“apakah Allah akan murka jika bukan ia yang mengumandangkan azan ? (HR. Ibnu Abi Hatim. Lihat Qurthbi : 9/6390
& ad-durrul matsur : 7/97).[1]
Setiap muslim memiliki hak atas saudaranya yang
sesama muslim. Dalam hadits riwayat Bukhari dari Anas bin Malik, Rasulullah saw
bersabda, “Orang muslim itu adalah saudara orang muslim,jangan berbuat aniaya
kepadanya, jangan membuka aibnya, jangan menyerahkannya kepada musuh, dan
jangan meninggikan bagian rumah sehingga menutup udara tetangganya kecuali
dengan izinnya, jangan mengganggu tetangganya dengan asap makanan dari
periuknya kecuali jika ia memberi segayung dari kuahnya. Jangan membeli
buah-buahan untuk anak-anak, lalu dibawa keluar (diperlihatkan) kepada
anak-anak tetangganya kecuali jika mereka diberi buah-buahan itu. “Kemudian
Nabi saw bersabda, “Peliharalah (norma-norma pergaulan) tetapi (sayang) hanya
sedikit di antara kamu yang memeliharanya. “Dalam hadits shahih lain yang
dinyatakan, “Apabila seorang muslim mendo’akan saudaranya yang ghaib, maka
malaikat berkata ‘Amin’, dan semoga kamu pun mendapat seperti itu.”
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, sabda
Rasulullah saw,”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa dan hartamu
tetapi Ia memandang kepada hati dan perbuatanmu.”
Pada ayat ini pula Allah menyebutkan wanita
secara khusus sebagai peringatan terhadap kebiasaan tercela kaum wanita dalam
bergaul. Terdapat riwayat yang melatarbelakangi turunnya ayat ini ialah
berkenaan dengan kisah Shafiyah binti Huyay bin Akhtab yang pernah datang
menghadap Rasulullah saw dan melaporkan bahwa beberapa wanita di Madinah pernah
menegur dia dengan kata-kata yang menyakitkan hati, seperti: “Hai perempuan
Yahudi,Keturunan Yahudi dan sebagainya”, sehingga Nabi saw bersabda kepadanya,
“Mengapa tidak engkau jawab saja, ayahku Nabi Harun, pamanku Nabi Musa, dan
suamiku adalah Muhammad.”
Pada ayat 13, Allah menjelaskan bahwa manusia
diciptakan-Nya bermacam-macam bangsa dan suku supaya saling mengenal dan saling
menolong dalam kehidupan bermasyarakat dan tidak ada kemuliaan seseorang di
sisi Allah kecuali dengan ketakwaannya.
Dalam suatu hadits riwayat Abu Hatim yang
bersumber dari Ibnu Mulaikah berkenaan turunnya ayat ini ialah bahwa ketika
fathu Makkah, Bilal naik ke atas Ka’bah untuk adzan. Beberapa orang berkata,
“Apakah pantas budak hitam adzan di atas Ka’bah?”. Maka berkatalah yang lain,
“Sekiranya Allah membenci orang ini, pasti Allah akan menggantinya. “Maka
datanglah malaikat Jibril memberitahukan kepada Rasulullah saw apa yang mereka
ucapkan. Maka turunlah ayat ini yang melarang manusia menyombongkan diri karena
kedudukan,pangkat, kekayaan, dan keturunan dan bahwa kemuliaan seseorang di
sisi Allah dinilai dari derajat ketakwaannya.
Persaudaraan merupakan pilar masyarakat Islam
dan salah satu basis kekuatannya. “Seorang mukmin terhadap mukmin yang lainnya
bagaikan bangunan yang saling mengikat dan menguatkan serta bagaikan jalinan
antara jari-jemari.” (HR.Muttafaq’alaih dari Abu Musa r.a.)
Rasulullah saw pernah menganggap persaudaraan
antar umat Islam adalah basis yang sangat penting sehingga hal yang dilakukan
beliau adalah mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar secara formal satu
dengan yang lainnya ketika hijrah ke Madinah.[2]
B.
Al-Maidah ayat 8
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. úüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( wur öNà6¨ZtBÌôft ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã wr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 cÎ) ©!$# 7Î6yz $yJÎ/ cqè=yJ÷ès? ÇÑÈ
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.
Firman Allah SWT bermaksud
antara misi islam diutuskan kepada seluruh alam untuk menyebarkan pesan
keadilan dan keseksamaan dalam kehidupan manusia sejagat. Pesan ini yang
mengiringi perutusan nabi dan rasul kepada kaum masing-masing. Justru, islam
menganjurkan umatnya melaksanakan keadilan dalam setiap aspek kehidupan mereka.
Perintah itu datang seiringan dengan sifat Allah sendiri yang maha adil dan
mengharamkan Zat-nya daripada melakukan kezhaliman, dalam hadist : Wahai
hamba Ku ! sesungguhnya Aku teah mengharamkan sifat kezhaliman dalam Zat Ku dan
Aku juga mengharamkan sifat itu dikalangan kamu. Oleh karena itu jangan lah kamu
zalim menzalimi antara sesama kamu. (hadis riwayat muslim)
Adil membawa arti
melekatkan sesuatu pada tempatnya, bukan seperti difahami kebanyakan umat islam
kini bahwa adil itu sama rata atau persamaan hak. Dalam al-Qur’an ada banyak
ayat suci membicarakan mengenai keadilan supaya dapat dijulang untuk mendasari
setiap ruang hidup manusia sejagat. Keadilan yang ditawar-tawarkan islam tidak
terhadap kepada golongan pemimpin saja tetapi semua lapisan masyarakat islam terdiri
daripada suami isteri, penjual dan pembeli, sesama Muslim dan antara pemimpin
dengan rakyatnya. Oleh itu, setiap warga Muslim yang melafazkan dua kalimah
syahadah sewajarnya menjulang tinggi perintah Ilahi ini supaya konsep keadilan
dapat direalisasikan dan ditegakkan dalam masyarakat sejagat. Pada masa sama,
Allah memberi amaran kepada umat Islam supaya jangan terperangkap dengan
penyakit hati seperti dengki dan kebencian yang akan mengakibatkan keruntuhan
serta kehancuran bangsa itu sendiri.[3]
Kemudian imam syafi’i menyebutkan sejumlah ayat tentang mati syahid
dan kesaksian. Imam syafi’i, pelajaran yang aku petik dalam setiap keterangan
ulama yang aku dengar perihal ayat ini adalah bahwa ayat ini berbicara tentang
saksi yang telah dikenai kewajiban untuk bersaksi, dia wajib memberikan
kesaksian atas kedua orang tua dan anaknya, kerabatnya yang dekat maupun jauh,
dan kepada orang yang dia benci (dekat maupun jauh), dia tidak boleh menyembunyikan
kesaksian dari seorang pun, tidak boleh berat sebelah, dan tidak boleh mencegah
kesaksian orang lain. Dalam surah al-maidah ayat 12 :
ôs)s9ur xyzr& ª!$# t,»sWÏB û_Í_t/ @ÏäÂuó Î) $uZ÷Wyèt/ur ÞOßg÷YÏB óÓo_øO$# u|³tã $Y7É)tR ( tA$s%ur ª!$# ÎoTÎ) öNà6yètB ( ÷ûÈõs9 ãNçFôJs%r& no4qn=¢Á9$# ãNçF÷s?#uäur no4q2¨9$# NçGYtB#uäur Í?ßãÎ/ öNèdqßJè?ö¨tãur ãNçGôÊtø%r&ur ©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¨btÏeÿ2c{ öNä3Ytã öNä3Ï?$t«Íhy öNà6¨Zn=Åz÷_{ur ;M»¨Yy_ ÌøgrB `ÏB $ygÏFøtrB ã»yg÷RF{$# 4 `yJsù txÿ2 y÷èt/ Ï9ºs öNà6YÏB ôs)sù ¨@|Ê uä!#uqy È@Î6¡¡9$# ÇÊËÈ
“Dan Sesungguhnya Allah telah mengambil Perjanjian (dari) Bani
Israil dan telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah
berfirman: "Sesungguhnya aku beserta kamu, Sesungguhnya jika kamu
mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan
kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik
Sesungguhnya aku akan menutupi dosa-dosamu. dan Sesungguhnya kamu akan
Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka
Barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, Sesungguhnya ia telah tersesat
dari jalan yang lurus”.[4]
Surah an-nisa
ayat 135 memiliki redaksi yang serupa dengan ayat diatas, hanya saja disana
dinyatakan :
(
كو نوا قوامين لله شهداء بالقسط شهداء الله
Sedangkan ayat di atas berbunyi
كو نوا قوامين لله شهداء بالقسط
Perbedaan redaksi
boleh jadi disebabkan karena ayat surah an-nisa diatas dikemukakan dalam
konteks ketetapan hukum dalam pengadilan yang disusul dalam pembicaraan tentang
kasus seorang muslim yang menuduh seorang Yahudi secara tidak sah, selanjutnya
dikemukakan uraian tentang hubungan pria dengan wanita, sehingga yang ingin
digaris bawahi oleh ayat ini adalah pentingnya keadilan, kemudian disusul dengan
kesaksian. Karena itu redaksinya mendahulukan kata al-qisth (adil), baru
kata syuhada (saksi-saksi). Adapun pada ayat maidah ini, maka ia
dikemukakan setelah mengingatkan perjanjian-perjanjian dengan Allah dan
Rasulnya, sehingga orang ingin digaris bawahi adalah pentingnya melaksanakan
secara sempurna seluruh perjanjian itu, dan itulah yang dikandung oleh kata qawwamin
lillah. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat surah an-nisa dikemukakan
dalam konteks kewajiban berlaku adil terhadap diri, kedua orang tua dan
kerabat, sehingga wajar jika kata al-qisth/keadilan yang didahulukan,
sedang ayat al-maidah di atas dikemukakan dalam konteks permusuhan dan
kebencian, sehingga perlu lebih dahulu diingatkan adalah keharusan melaksanakan
sesuatu demi karena Allah, karena hal ini akan lebih mendorong meninggalkan
permusuhan dan kebencian.
Bukan kah jika anda merasa kasihan kepada seorang penjahat, anda
tidak akan menghukumnya ? adil adalah menempatkan segala sesuatu pada
tempatnya. Jika seseorang memerlukan kasih maka dengan berlaku adil anda dapat
mencurahkan kasih kepadanya. Jika
seorang melakukan pelanggaran dan wajar mendapat sanksi yang berat, maka ketika
itu kasih tidak boleh berperanan karena ia dapat menghambat jatuhnya ketetapan
hukum atasnya, ketika itu yang dituntut adalah adil, yakni menjatuhkan hukuman
setimpal atasnya.[5]
·
Munasabah
Al-Maidah ayat 8
Setelah Allah memerintahkan kepada Hamba-Nya yang mukmin supaya
memenuhi janji secara umum, kemudian menyebutkan karunia-Nya dengan
menghalalkan bagi mereka makanan yang baik dan mengharamkan makanan yang tidak
baik serta membolehkan mereka makan sembelihan Ahli kitab dan mengawini
wanita-wanitanya, maka pada ayat ini Allah menerangkan tentang bagaimana
sebaiknya kita berlaku terhadap orang lain, baik mereka Ahli Kitab, musuh,
maupun sahabat dan kerabat.[6]
C.
An-Nisaa
ayat 86
#sÎ)ur LäêÍhãm 7p¨ÅstFÎ/ (#qyssù z`|¡ômr'Î/ !$pk÷]ÏB ÷rr& !$ydrâ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. 4n?tã Èe@ä. >äóÓx« $·7Å¡ym ÇÑÏÈ
“Apabila
kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah
penghormatan itu (dengan yang serupa) Sesungguhnya Allah memperhitungankan
segala sesuatu”.[7]
Ayat ini mengajarkan cara lain untuk menjalin
hubungan yang lebih akrab lagi. Demikian Sayyid Muhammad Tanthawi menghubungkan
ayat ini dengan ayat sebelumnya.
Kata tahiyyah terambil dari
kata hayat (hidup). Kata tahiyyah berarti “do’a untuk
memperpanjang usia”. Kata ini kemudian digunakan untuk menggambarkan segala
macam penghormatan, baik dalam bentuk ucapan maupun selainnya.
Ucapan yang diajarakan dan
dianjurkan islam bila bertemu dengan sesama, bukan sekedar assalamu’alaikum,
tetapi ditambah lagi dengan warahmatullahi wabarakatuh. Salam/damai
yang dipersembahkan harus dinilai sebagai satu penghormatan dari yang
mempersembahkannya. Disisi lain, damai yang didambakan adalah perdamaian yang
langgeng dan tidak semu. Perlu dicatat bahwa ada petunjuk Nabi saw yang
melarang memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani (HR. Muslim dari Abu
Hurairah).
Asy-Sya’rawi menggaris bawahi kata hayyitum
dalam konteks ucapan salam ini. Menurutnya semua makhluk Allah hidup dengan
kehidupan yang sesuai dengan kodratnya. Maka jika datang seseorang mengucapkan tahiyyah,
yakni salam kepadanya dan bermohon agar ia hidup dalam keadaan damai, maka
ia akan merasa sangat bergembira dan ia bagaikan diberi hidup yang menenangkan.
Assalamu’alaikum menjadikan tenang dan meraskan nilai hidupnya. Kata hayyu
yang diperintahkan oleh ayat ini menurutnya adalah perintah untuk
memberikan kepada siapa yang dihadapan kehidupan yang tenang, mantap dan penuh
damai.
Dapat ditambah bahwa ucapan salam
mengandung juga makna persamaan kemanusiaan. Itu sebabnya terhadap anak-anak
kecil pun Nabi saw mengucapkan salam.
Kata hasiban
yang akarnya terdiri dari huruf-huruf Ha, Sin dan Ba mempunyai
empat kisaran makna, yakni : menghitung, mencukupkan, bantal kecil dan penyakit
yang menimpa kulit sehingga memutih. Tentu saja makna ketiga dan empat mustahil
dikaitkan atau disandang oleh Allah swt. dalam al Qur’an, kata hasib terulang
sebanyak empat kali, tiga diantaranya menjadi sifat Allah dan yang ketempat
tertuju kepada manusia.
Seseorang yang
meyakini bahwa Allah adalah hasib terhadap dirinya akan selalu merasa
tentram, tidak terusik oleh gangguan, tidak kecewa oleh kehilangan materi atau
kesempatan, karena selalu merasa cukup dengan Allah. Kalau kata hasib dipahami
dalam arti menghitung, maka Allah antara lain adalah yang melakukan
perhitungan menyangkut amal-amal baik dan buruk manusia secara amat teliti lagi
amat cepat, termasuk dalam konteks ayat ini, kualitas dan kuantitas tahiyyah/ucapan
dan pemberian salam.[8]
·
Munasabah
An-nisa ayat 86
Perintah dalam ayat yang lalu kepada Nabi agar menggalakkan kaum
muslimin untuk menangkis serangan orang kafir, maka ayat ini menerangkan bahwa
barang siapa yang memberikan pertolongan, pasti akan ditolong pula dan mendapat
pahala dari Allah.[9]
BAB III
PENUTUP
Simpulan :
Ayat ini juga
menyatakan bahwa persaudaraan Islam berlaku untuk seluruh umat manusia tanpa
dibatasi oleh bangsa, warna kulit, kekayaan dan wilayah melainkan didasari oleh
ikatan aqidah. Persaudaraan merupakan pilar masyarakat Islam dan salah satu
basis kekuatannya. “Seorang mukmin terhadap mukmin yang lainnya bagaikan
bangunan yang saling mengikat dan menguatkan serta bagaikan jalinan antara
jari-jemari.
Diatas dinyatakan adil bahwa adil lebih dekat kepada taqwa. Perlu
dicatat bahwa keadilan dapat merupakan kata yang menunjuk subtansi ajaran
islam. jika ada agama yang menjadikan kasih sebagai tuntutan tertinggi, islam
tidak demikian. Ini, karena kasih dalam kehidupan pribadi apalagi masyarakat,
dapat berdampak buruk. Dan jika diberi penghormatan hendaknya membalas dengan
demikian juga, balasan yang setimpal atau yang lebih baik dapat berbentuk
ucapan yang menyenangkan dengan suara yang lemah lembut atau dengan gerik-gerik
yang menarik hati, memperhatikan kehidupan dalam menegakkan sopan santun yang
memperkuat hubungan persaudaraan antara sesama mereka.
Allah menciptakan kita bermacam-macam dan berbangsa-bangsa supaya
saling mengenal, saling tolong menolong, saling menghormati, dan berlaku adil
dalam kehidupan bermasyarakat. Bahwasanya Allah mengukur kemulian dengan
ketaqwaannya disisi Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
:
Ahmad Mustafa
al-Farran,Syaikh Tafsir Imam Syafi’I Surah An-nisa-surah Ibrahim, Jakarta
: almahira, 2008.
Hatta Ahmad, Tafsir
Qur’an Perkata dilengkapi dengan Asbabun nuzul & Terjemah, Jakarta:
Maghfirah Pustaka, 2009.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati,
2002.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid II,
(Jakarta: Lentera Abadi, 2010.
Artikel :
[1]
Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Perkata dilengkapi dengan Asbabun nuzul &
Terjemah, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009), cet. 3, h. 517.
[2]
http://mentoring98.wordpress.com/2008/08/06/tadabur-ayat-qs-al-hujurat-10-13/,
diakses pada hari Rabu, 30 Oktober 2013, jam 15:00 Wita.
[3] http://www.slideshare.net/embunsiang/86198048-tafsirayattentangakhlak,
pada hari Rabu, 30 Oktober 2013, jam 12:00 Wita.
[4] Syaikh Ahmad
Mustafa al-Farran, Tafsir Imam Syafi’I Surah An-nisa-surah Ibrahim, (Jakarta
: almahira, 2008), h. 326.
[5] M. Quraish Shihab,
Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 33.
[6]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid II, (Jakarta: Lentera
Abadi, 2010), h.365.
[7] http://www.alquran-indonesia.com/web/quran/listings/details/4/80,
diakses pada hari Kamis, 31 Oktober 2013, jam 08:30 Wita.
[8]
Shihab, Tafsir
Al-Misbah, Op.Cit, h. 513-517.
[9]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid II,Op. Cit, h. 228.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar