Jumat, 11 April 2014

MATERI HUKUM WARIS ADAT



HUKUM WARIS

Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta kekayaan materiil dan non materiil dari generasi ke generasi. Pengaruh aturan-aturan hukum lainnya atas lapangan hukum hukum waris dapat dilukiskan sebagai berikut:
  1. hak purba/pertuanan/ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan membatasi pewarisan tanah.
  2. Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus dilanjutkan oleh para ahli waris.
  3. Kewajiban dan hak yang timbul dari perbuatan-perbuatan kredit tetap berkekuatan hukum setelah si pelaku semula meninggal.
  4. Struktur pengelompokan wangsa/sanak, demikian pula bentuk perkawinan turut menentukan bentuk dan isi pewarisan.
  5. Perbuatan-perbuatan hukum seperti adopsi, perkawinan ambil anak, pemberian bekal/modal berumah tangga kepada pengantin wanita, dapat pula dipandang sebagai perbuatan di lapangan hukum waris. Hukum waris dalam arti luas yaitu penyelenggaraan pemindah tanganan dan peralihan harta kekayaan kepada generasi berikutnya.
Adapun aturan-aturan dalam hukum waris mengalami pengaruh yaitu:
1.      Perubahan/perkembangan sosial.
2.      Karena makin eratnya ikatan keluarga sejalan dengan melonggarnya ikatan clan dan suku.
3.      Aturan-aturan pewarisan dari stelsel-stelsel hukum asing yang karena hubungan tertentu dengan agama mendapat kewibawaan yang berasal dari religi, aturan-aturan itu misalnya oleh hakim-hakim agama diterapkan atas peristiwa-peristiwa kongkrit, meskipun pengaruh itu di dalam hukum waris lebih kecil daripada di dalam hukum perkawinan, tergantung kepada kekuatan hukum waris structural apakah hukum tersebut dapat bertahan ataukah akan terjadi perubahan yang mendalam.
Tak Terbaginya Harta Benda
Tidak terbaginya harta peninggalan ini di sementara lingkungan hukum berhubungan dengan asas bahwa harta benda yang diterima dari nenek moyang tidak mungkin dimiliki selain daripada bersama-sama dengan para ahli waris lainnya yang secara keseluruhan merupakan kesatuan yang tak terbagi. Setiap anak yang lahir hidup, menjadi warga di dalam kelompok wangsa/sanak yang memiliki harta kerabat seperti tanah pertanian, perkebunan dengan rumah, ternak, keris dan perhiasan mas intan, setiap pria atau wanita yang meninggal membiarkan kelompok tersebut berlangsung terus tanpa gangguan. Sepanjang seseorang semasa hidupnya memperoleh harta pencarian (harta hasil usaha pribadi), maka harta tersebut sepeninggalannya berpindah sebagai kebulatan tak terbagi kepada keturunannya yang berhak atas itu, yang semasa hidup si pewaris juga sudah berhubungan dengan harta tersebut selaku ahli waris.
Misalnya:
Jika seorang wanita Minangkabau pemilih sawah pribadi meninggal, maka sawah tersebut menjadi harta pustaka rendah, harta pusaka di dalam generasi pertama menjadi milik  kelompok tak terbagi dari anak-anaknya. Dengan cara serupa, harta pencarian seornag pria menjadi harta pusaka wangsa-wangsa/para sanaknya pria dan wanita serta keturunan saudaranya wanita dalam garis perempuan. dengan demikian terbentuklah jenjang-jenjang di dalam kelompok harta pusaka:
1.      Harta pustaka tinggi, harta benda tertua dari banyak generasi sebelumnya  berasal dari para nenek leluhur yang turut mendirikan nagari, di bawah pengurusan penghulu andiko (kepala kesatuan kerabat terbesar).
2.      Harta benda berasal dari para nenek beberapa generasi yang lalu.
3.      Harta benda termuda yang ditinggalkan oleh seorang pria atau wanita dari satu generasi sebelumnya.
Kesemuanya itu di dalam praktek menjadi lebih jelas dengan punahnya kelompok-kelompok kewangsaan dan penggabungan harta benda karenanya dan sebagainya. Bila suatu kelompok kerabat menjadi terlalu besar, maka ia memecah diri dan dengan demikian terbagilah pula harta kekayaan yang pada asasnya tidak dapat dipecah-pecah. Jika harta kerabat tak terbagi semacam itu berada di tangan bagian clan patrilineal, maka penerus-penerusnya terdiri atas anak-anak si suami (dan isterinya) beserta keturunan dari anak-anaknya laki-laki.
Kemungkinan-kemungkinan harta kekayaan itu tetap tak terbagi di karenakan:
1.      Kelompok kerabat mempunyai hak bersama atas harta tersebut.
2.       Harta tersebut hanya diwarisi oleh satu anak yaitu anak laki-laki tertua, anak perempuan tertua dan kalau tidak ada anak laki-laki bungsu.
3.      Sesudah meninggalnya si pemilik, hatanya dijadikan harta keluarga sebagai keastuan tak terbagi.




Ahli Waris
Pada umumnya yang menajdi ahli waris ialah para warga yang paling karib di dalam generasi berikutnya, ialah anak-anak yang dibesarkan di dalam keluarga/brayat si pewaris, yang pertama-tama mewarisi ialah anak-anak kandung. Namun, pertalian dan solidaritas keluarga itu di sementara leingkungan hukum diterobos oleh ikatan dan pertautan kelompok kerabat yang tersusun unilineal. Pada kerabat-kerabat yang merupakan bagian clan, maka dalam hal ini terasalah adanya ketegangan antara tuntutan hak dari kesatuan keluarga dengan tuntutan hak dari kerabat tersebut.
Bila keadaan-keadaan sosial berubah dan misalnya menyebabkan peningkatan peraturan/pengembaraan dan oleh karena itu juga tambahnya kehidupan brayat mandiri atau mengakibatkan tidak terpakainya rumah-rumah besar kerabat yang sangat berharga itu, yang berarti tambahnya rumah-rumah keluarga dan dengan demikian makin kuatnya ikatan hidup keluarga mandiri, maka hubungan hukum yang berdasarkan ikatan/pertalian keluarga lebih kuat daripada yang bertumpu kepada ikatan kerabat besar. melalui praktek pembekalan semasa hidup si pewaris, timbullah hak mewarisi bagi anak-anak terhadap harta keluarga sebagai keseluruhan.
Adapun hambatan-hambatan bagi anak-anak untuk mewarisi harta kekayaan orang tuanya ialah:
1.      Anak tidak mewarisi dari salah seorang di antara orang tuanya yang institusional tetap tinggal di dalam kelompok kerabatnya, sedangkan anak-anaknya tidak termasuk di dalamnya.
2.      Bagi anak di dalam tata sanak bersegi satu untuk mewaris dari kedua orang tuanya, ialah bentuk perkawinan yang berakibat bahwa anak yang kawin dilepaskan dari paguyuban hidup kerabatnya yaitu perkawinan jujur dalam arti sepenuhnya dan bentuk tertentu dari perkawinan ambil anak.

Di dalam golongan anak-anak yang berhak mewaris di berbagai lingkngan hukum terjadi suatu differensiasi yang berhubungan denga tak terbaginya harta (riil) orang tuanya dalam bentuk milik:
1.      Anak laki-laki tertua.
2.      Anak perempuan sulung.
3.      Anak laki-laki termuda.
4.      Anak laki-laki sulung dan bungsu.
Lembaga Hidup Waris
Titik pangkal harta keluarga sejak semula diperuntukkan dasar hidup materiil bagi mereka yang lahir dari keluarga yang bersangkutan, mendapatkan realisasinya di dalam asas penggantian tempat, lembaga hidup waris. Keturunan dari anak (waris) yang meninggal mendahului pewarisnya, menerima porsi orang tuanya dari harta peninggalan kakeknya. Hanya peradilan agama yang kadang-kadang menyebabkan penerobosan asas tersebut.
Kebersamaan Harta Perkawinan
Dalam hal ada kebersamaan harta perkawinan da tidak ada keturunan maka sepeninggal jodoh yang satu, yang tinggal hidup mewaris seluruh harta kekayaan/peninggalan. Jika jodoh terakhir inipun meninggal pula, maka harta tersebut dibagi sama rata di antara para warga kerabat kedua pihak atau dua sepertiga untuk kerabat suami dan sepertiga bagi kerabat pihak isteri.
Pembagian sedemikian itu dapat pula dilakukan sebelum jodoh terakhir meninggal, dan kadang-kadang mungkin dipaksakan lebih awal realisasinya bila yang bersangkutan kawin lagi ataupun karena alasan-alasan lain. Di wilayah-wilayah denga tata susunan parental sering terjadi bahwa tuntutan hak si janda atas nafkah dan atas bagiannya di dalam harta yang dihasilkan bersama semasa perkawinan dalam hal ada keturunan, pada saat pembagian harta peninggalan itu direalisasikan dalam bentuk penunjukan bagian yang kira-kira sama, sedangkan si suami sendiripun seringkali menjamin nafkah isterinya dengan jalan pengasingan/pewarisan hartanya sesama hidupnya.
Bagian-Bagian Harta Peninggalan
Harta peninggalan orang yang tutup usia tidak dapat dipandang sebagai kesatuan bulat yang diwariskan dengan cara serupa. Di dalam harta itu mungkin terdapat:
  1. Benda-benda yang masih terpancang dalam ikatan kerabat tertentu.
  2. Benda-benda yang terkait pada ikatan keluarga.
  3. Benda-benda yang termasuk martabat tertentu.
  4. Benda-benda yang masih terpaut pada paguyuban hukum dalam ikatan tertentu, pada kesatuan tata susunan rakyat yang bila si pemegang hak individual meninggal dapat dikuasai oleh hak purba paguyuban tersebut dengancara tertentu.
  5. Utang di samping piutang.
Harta Benda Kerabat
Perbedaan dalam pewarisan antara benda-benda yang berasal dari kerabat (harta warisan) dengan yang diperoleh secara mandiri di dalam keluarga, sering tampak jelas dalam hal si pewaris tidak mempunyai anak maka barang asalnya kemabali kepada kerabatnya sendiri (agar tidak hilang), sedangkan benda-benda keluarganya jatuh ke tangan jodoh yang masih hidup. Telah kita ketahui bahwa di sementara lingkungan hukum, ikatan kerabat yang kuat dapat pula mempengaruhi pewarisan benda-benda yang diperoleh di dalam keluarga.
Contoh:
Tanah yang di kalangan orang-orang Batak Toba diberikan sebagai hadiah perkawinan kepada anak perempuan, sepeninggal wanita tersebut tetap tinggal pada suami dan kerabat pria tersebut, dengan catatan bahwa pihak boru (kerabat si pria) sampai beberapa generasi tidak boleh menguasai tanah tersebut tanpa sepengetahuan pihak hula-hula (kerabat si wanita) dan memberikan hak mendahului beli kepada kerabat ini.
Harta Benda Keluarga
Perbedaan dalam pewarisan akibat solidaritas keluarga dapat timbul berhubung dengan adanya perkawinan kedua.
Contoh:
Anak- anak dari perkawinan pertama mewaris harta benda yang diperoleh selama perkawinan tersebut, sedangkan anak-anak dari perkawinan kedua tidak. Sesuai dengan itu, dinyatakan bahwa harta benda rumah yang satu tidak boleh beralih ke rumah yang lain ditenpat-tempat lain dalam lingkungan hukum tersebut dikenal peribahasa hukum adat dengan maksud yang sama. Kesulitan-kesulitan akibat perkawinan ganda biasanya di atasi dengan cara serupa, melalui praktek pewarisan/pembekalan semasa hidup. Jika misalnya anak-anak dari perkawinan pertama sudah dikawinkan dan oleh karena itu tidak lagi merupakan bagian dari keluarga yang dibentuk dalam perkawinan kedua, maka pada saat ayahnya meningal, mereka tidak mewarisi harta benda yang sudah diperoleh di dalam perkawinan kedua, amnakala mereka sudah mendapat bagian warisan dari harta keluarga pada perkawinan pertama, dalam pada itu mereka tetap dapat menuntut hak atas barang-barang asal ayahnya.
Harta Benda Martabat Tertentu
Benda-benda keramat di dalam suatu kerabat dapat terkait pada kualitas pemiliknya.
Contohnya:
Benda-benda Kraton Kasepuhan Cirebon terpaut pada orang yang memperoleh (mewaris) martabat Sultan Sepuh. Dengan cara serupa, suatu gelar atau nama hanya dapat diwarisi oleh keturunan yang berkualitas memadai. Dapat pula dikatakan bahwa ahli waris milik khas kerabat itu menjadi pengurus yang sah.
Harta Benda Paguyuban Hukum
Sebagai manifestasi kewibawaannya ke dalam hak purba suatu paguyuban hukum atas tanah kadang-kadang mencegah pewarisan tanah pertanian, karena dengan meninggalnya seorang warga desa inti, tanahnya kembali ke dalam hak purba desa sepenuhnya dan selanjutnya diberikan kepada warga desa tingkat kedua yang mendapat giliran. Bila tanah semacam itu biasanya diserahkan kepada waris si meninggal, maka ia melahirkan suatu tuntutan hak mewarisi tanah warga desa inti, andaikata keadaan sosial membantu ke arah itu. tetapi hak mewaris itu seringkali bertemu dengan kekuatan berlakunya hak purba ke dalam, yang hanya mengizinkan hak-hak individual atas tanah-tanah pertanian sampai batas-batas tertentu, tidak lebih dan tidak kurang. Ini berarti bahwa dengan jalan pewarisan:
  1. Kesatuan milik tanah pribadi si pewaris tidak boleh ditambahkan kepada kesatuan tanah yang sudah menjadi milik ahli waris.
  2. Sebaliknya kesatuan milik tanah si pewaris tidak pula boleh dibagi-bagikan kepada para ahli waris dalam kesatuan-kesatuan yang lebih kecil.
Larangan kumulasi dan pemecahan milik baku yang diizinkan oleh hak purba paguyuban hidup ituialah norma yang merupakan manifestasi berlakunya hak purba ke dalam. Larangan tersebut dapat menimbulkan bentk-bentuk campuran, di situ pihak karena berdasarkan berbagai alasan, norma itu secara formal hendak dipertahankan, sednagkan secara materiil terdapat toleransi terhadap pelanggaran atas prinsip tersebut.
Contohnya:
Waris yang sudah mempunyai tanah pertanian warga desa inti, mendaftarkannya atas nama isterinya atau anaknya laki-laki tertua, sednagkan is sendiri menerima tanah pertanian mendiang ayahnya ataupun dua orang laki-laki bersaudara mendaftarkan tanah pertanian ayah mereka atas nama saudara yang tertua, tetapi selama hidup mereka selaku sebagai orang-orang yang masing-masing berhak atas separo tanah tersebut. Pamong desa membantu tindakan itu dengan jalan mendaftarkan tanah pertanian yang bersangkutan atas nama anak laki-laki tertua.
Utang
Utang-utang yang ada timbul pada dank arena kematian si pewaris juga merupakan bagian harta peninggalan, meskipun dalam arti negative. Aktiva yang terdapat di dalam harta peninggalan si mati pertama-tama boleh dan harus dimanfaatkan untuk perawatan dan pemakaman jenazah. Seorang waris bertindak menurut hukum, kalau ia untuk keperluan tersebut, atas tanggung jawab sendiri dalam batas-batas kepatutan menjual suatu bagian dari kativa si pewaris. Biaya pemakaman berkedudukan mendahulu. Asas ini berlaku di mana-mana. Selamatan-selamatan ada kalanya dibiayai oleh para ahli waris dengan atau tanpa perhitungan dengan harta peninggalan kelak.
Ada dua macam titik pangkal berbeda para ahli waris bertanggung gugat atas utang-utang si pewaris yang belum terbayar pada saat meninggalnya.
  1. Norma yang berlaku sebagai titik pangkal tanpa restriksi di beberapa lingkungan hukum ialah para ahli waris bertanggung gugat atas utang-utang si pewarianya. Tanggung gugat tersebut diperlunak dengan adanya:
a.       Kewajiban para kreditur untuk memberitahukan piutangnya kepada ahli waris dalam waktu 40 hari sesudah si pewaris meninggal atau sebelum penyelenggaraan selamatan untuk kepentingan si meninggal.
b.      Pertimbangan bahwa dalam suasana duka demikian itu terdapat alasan yang kuat bagi kreditur untuk bersikap tolerant terhadap para ahli waris untuk tidak menagih seluruh piutangnya.
  1. Titik pangkal lain yang lebih sempit tetapi lebih umum berlakunya ialah bahwa harus yang digunakan untuk membayar utang-utang si pewaris hanyalah harta peninggalannya yang tidak terbagi. Titik tolak itu menimbulkan asas/norma di dalam hukum adat bahwa yang diwariskan hanyalah sisa harta peninggalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar