BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Semakin banyaknya alat transportasi baik
itu darat, laut, maupun udara itu akan semakin mengundang banyaknya angka
kecelakaan dan kematian. Bukan alat transportasi saja yang akan menyebabkan
kematian, bencana alampun yang tak disangka kapan datangnya juga akan
mengakibatkan banyaknya angka kematian, baik itu bencana longsor, banjir,
tsunami, gempa bumi, kebakaran dan sebagainya. Semua kejadian itu akan
mengakibatkan kerugian bagi si penderitanya. Maka dari itu muncullah terobosan
baru tentang jaminan untuk menghindari segala hal di atas, baik itu untuk
dirinya sendiri, keluarganya maupun orang-orang yang disekitarnya yang
dinamakan asuransi. Dalam masa sekarang asuransi ada bermacam-macam, baik itu
asuransi kecelakaan, jiwa, harta maupun kematian. Sehingga dengan adanya
asuransi, kehidupan manusia akan menjadi lebih baik dan tidak takut kerugian
yang akan menimpanya.
B.
Rumusan Masalah
- Apa saja macam-macam asuransi?
- Apa saja perbedaan mendasar dari asuransi ta’awun dengan asuransi konvensional?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Asuransi
Dalam
bahasa Arab, asuransi dikenal dengan istilah
at-ta’min, penanggung disebut mu’ammin,
tertanggung disebut mu’amman lahu
atau musta’min. At-ta’min diambil dari amana
yang artinya memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa
takut, seperti yang tersebut dalam QS. Quraisy (106): 4, yaitu “Dialah Allah
yang mengamankan mereka dari ketakutan.”[1]
Pengertian dari at-ta’min adalah
seseorang membayar/menyerahkan uang cicilan agar ia tahu ahli warisnya
mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk
mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang.
Ahli
fikih kontemporer Wahbah Az-Zuhaili mendifinisikan asuransi berdasarkan
pembagiannya. Ia membagi asuransi dalam dua bentuk, yaitu at-ta’min at-ta’awuni dan at-ta’min
bi qist sabit. At-ta’min at-ta’awuni atau asuransi tolong menolong adalah:
“kesepakatan sejumlah orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi
ketika salah seorang di antara mereka mendapat kemudaratan. “[2] At-ta’min bi qist sabit atau asuransi
dengan pembagian tetap adalah: “akad yang mewajibkan seseorang membayar
sejumlah uang kepada pihak asuransi yang terdiri atas beberapa pemegang saham
dengan perjanjian apabila peserta asuransi mendapat kecelakaan, ia diberi ganti rugi.”[3]
B. Macam-macam
Asuransi
1.
Macam-macam
Asuransi Berdasarkan Fungsinya
Berdasarkan fungsinya, asuransi dibagi dalam dua bagian besar,
yaitu asuransi kecelakaan dan asuransi jiwa.
1.
Asuransi
kecelakaan atau asuransi kerugian, yaitu asuransi yang meng-cover kecelakaan yang menimpa harta
benda milik tertanggung. Tujuannya adalah untuk mengganti kerugian yang dialami
tertanggung karena kecelakaan yang menimpanya. Asuransi ini terbagi menjadi dua
jenis.
a. Asuransi
barang, yaitu penjaminan ganti rugi atas
barang-barang milik tertanggung. Bentuk asuransinya beragam, seperti asuransi
kebakaran, asuransi pencurian, atau asuransi kematian hewan peliharaan.
b. Asuransi
tanggung jawab, yaitu jaminan
untuk tertanggung bila ada klaim kerugian dari pihak lain karena suatu
kecelakaan yang harus ia pertanggungjawabkan. Bentuk asuransi yang paling umum
dari jenis ini antara lain asuransi kecelakaan lalu lintas atau asuransi
kecelakaan kerja.
2.
Asuransi jiwa, yaitu asuransi yang meng-cover segala jenis penjaminan yang
berkaitan dengan diri tertanggung. Maksudnya, tertanggung akan diberi sejumlah
uang kalau terjadi kecelakaan tertentu yang menimpa badannya atau mengancam
keselamatan. Jumlah uang yang diserahkan sudah disepakati sebelumnya antara
tertanggung dengan penanggung.[4]
C. Hukum
Asuransi dalam Islam
1.
Hukum
Asuransi Ta’awun
Ada dua jenis asuransi, yaitu asuransi ta’awun dan asuransi konvensional. Mengenai asuransi ta’awun, tidak
ada pebedaan pendapat mengenai kebolehannya.
Bahkan, asuransi ini sangat dianjurkan secara syariat. Setiap nasabah,
pada hakikatnya menyerahkan hartanya sebagai kebaikan (tabarru’) untuk kemudian
digunakan oleh seluruh nasabah perusahaan (asuransi) yang membutuhkan sesuai
dengan ketentuan yang disepakati bersama. Dengan demikian, asuransi ta’awun ini termasuk dalam kategori akad tabarru’at (pemberian atau sedekah).
Pada transaksi ini lebih tampak unsur berbuat baiknya (tabarru’) dari pada unsur untung-ruginya. Orang-orang yang
bergabung dalam asuransi ini tidak mengejar keuntungan. Tujuan mereka semata
adalah saling menolong dan meringankan beban. Namun, secara zhahir, jenis akad tabarru’-nya dalam bentuk yang khas, tidak sama dengan jenis akad tabarru’ lain yang sudah dikenal lebih
dahulu dalam literatur fikih Islam.[5]
2.
Hukum
Asuransi Konvensional
Asuransi sendiri (baik
ta’awun maupun konvensional) termasuk jenis transaksi yang baru ada setelah
abad ke-14 masehi. Ibnu abidin beliau termasuk ulama abad ke-13 hijriah,
menjelaskan mengenai fatwa syariah pertama asuransi. Ibnu abidin dalam bukunya
Hasyir Ibn’abidin (Radd Al-Mukhtar). Fatwa ini ini berkaitan dengan jaminan
(asuransi) bagi para pedagang di laut. Para pedagang adalah pihak tertanggung,
sedangkan penanggung (penjaminnya) adalah wakil militer. Tujuan transaksi ini
adalah untuk menjamin bila terjadi musibah yang menimpa barang-barang muatan
kapal. Wakil militer harus menyerahkan ganti rugi kepada pedagang atas
barang-barang yang hilang di atas kapal sebagai pengganti atas sejumlah uang
(premi) yang diserahkan para pedagang kepadanya. Ibnu Abidin mengeluarkan fatwa
haram terhadap transaksi ini. Hal ini dikarenakan sebab-sebab berikut.
a. Transaksi ini mengharuskan sesuatu yang tidak harus dilakukan. Ini
tidak diperbolehkan karena tidak ada sebab
syar’i yang mengharuskan adanya jaminan. Akad ini tidak memiliki sebab syar’i yang mewajibkan adanya jaminan.
b. Akad jaminan (asuransi) ini bukan termasuk jaminan barang titipan
jika upah titipan dikutip.[6]
BAB III
ANALISIS
Apakah dalam Asuransi Terdapat Unsur Gharar yang Dilarang ?
Gharar adalah suatu perkara yang tidak pasti antara ada dan tidak. Akad
asuransi sebenarnya termaksud akad gharar
(akad yang tidak pasti). Para fikih mengiaskan (menganalogikan) transaksi
tukar-menukar harta (mu’awadhat) kepada kepada jual beli. Mereka berkata, “Gharar (ketidakpastian) sangat
berpengaruh pada transaksi mu’awadhat
seperti ia berpengaruh pada transaksi jual-beli. “Asuransi adalah salah satu
jenis transaksi mu’awadhat. Oleh
karena itu, gharar dapat memengaruhi
transaksi ini, seperti pada seluruh transaksi mu’awadhat yang lain. Ketidakpastian ini terjadi karena bisa jadi,
suatu musibah atau kecelakaan terjadi langsung setelah akad asuransi, namun
terkadang terjadi dalam waktu yang sangat lama. Tidak ada yang mengetahuinya
selain Allah Swt. Oleh karena itu, akad asuransi mengandung unsur gharar (ketidakpastian), yaitu
ketidakpastian antara ada dan tidak ada sehingga menyebabkan transaksinya
batal.
Para ahli fikih membagi transaksi gharar dalam transaksi mu’awadhat
menjadi tiga bagian.
1.
Gharar katsir (banyak
ketidakpastian). Gharar yang
intensitasnya tinggi ini merusak transaksi mu’awadhat
berdasarkan kesepakatan para ahli fikih.
2.
Gharar yasir
(ketidakpastian ringan). Berdasarkan kesepakatan ulama (ijma’), ketidakpastian
yang ringan tidak berpengaruh pada transaksi.
3.
Gharar mutawassith (ketidakpastian
moderat). Para ulama fikih berbeda pendapat mengenai masalah ini. Sebagian
ulama mengategorikannya sebagai gharar
yasir dan sebagian lain memasukannya ke dalam kategori gharar katsir.
1.
Bolehkah
beransuransi (yang mengandung Gharar) karena adanya kebutuhan mendesak ?
Gharar dapat berpengaruh pada transaksi apabila manusia tidak
membutuhkan transaksi itu secara mendesak. Kalau ada hajat yang mendesak
terhadap akad tersebut, unsur gharar
dapat diabaikan sekalipun intensitasnya tinggi (gharar katsir). Hal ini
dikarenakan, semua akad disyariatkan untuk memenuhi hajat kebutuhan manusia.
Prinsip syariat yang disepakati ini adalah menghilangkan kesulitan manusia
(dengan memenuhi hajatnya) berdasarkan firman Allah swt, “Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan utnuk kamu dalam agama
suatu kesempitan,” (QS Al-Hajj [22]: 78)
2.
Makna
Hajat (kebutuhan)
Hajat (kebutuhan) adalah seseorang mengalami suatu keadaan yang
kalau dia tidak melakukan hal-hal yang dilarang akan terjebak dalam kesukaran
dan kesulitan, tetapi tidak sampai membuatnya mati. Hajat terhadap suatu akad
dapat terjadi apabila seseorang tidak melakukan akad tersebut, ia akan terjebak
dalam kesulitan dan kesukaran karena adanya kemaslahatan yang hilang.
Syarat kebutuhuan ada dua yaitu, bersifat umum atau khusus dan
harus jelas (muta’ayyinah).
Kebutuhan (hajat) yang bersifat umum adalah apabila hal yang
bersangkutan dibutuhkan oleh semua manusia, sedangkan hajat khusus adalah
apabila hal yang bersangkutan hanya dibutuhkan oleh sekelompok orang tertentu,
seperti hanya dibutuhkan oleh penduduk di satu negara tertentu atau oleh orang
yang memiliki pekerjaan tertentu.
Maksud kebutuhan harus jelas (muta’ayyinah) adalah ketika
semua cara yang dibolehkan syariat untuk mewujudkan suatu maksud sudah
ditempuh, namun tidak ada yang dapat memenuhinya selain dengan melakukan akad
yang memiliki unsur gharar.
Kadang-kadang, kebutuhan terhadap asuransi merupakan kebutuhan
umum. Setiap manusia membutuhkan sistem yang dapat menjaminnya untuk
mendapatkan keamanan dan ketenangan sejauh yang dapat dilakukan oleh manusia.
Apalagi di zaman sekarang, tuntutan dan kesulitan hidup semakin banyak. Bencana
dan musibah tiba-tiba sering terjadi. Namun, kebutuhan terhadap asuransi
konvensional dalam bentuknya yang paling mutakhir sekalipun dibutuhkan umum,
statusnya tidak dapat dipastikan (ghair muta’ayyinah). Kaidah fikih
Islam harus menetapkannya terlarang.
Memang dalam asuransi konvensional itu hanya mengejar keuntungan
semata bukan berdasarkan asas tolong menolong seperti dalam asuransi ta’awun.
Asuransi ta’awun ialah asuransi yang dianjurkan oleh agama Islam, sehingga
dengan adanya asuransi berbasis Islam ini masyarakat tidak merasa terbebani dalam
menjamin keselamatan dirinya maupun keluarganya dan juga sebagai jembatan
mereka untuk menolong sesamanya. Sedangkan dalam asuransi konvensional itu
adanya unsur akad jaminan yang sangat dilarang oleh ajaran Islam, karena dengan
adanya akad jaminan ini mendorong adanya unsur ketidakjelasan dalam status
tersebut yang akan mengakibatkan salah satu pihak mengalami kerugian.
BAB IV
PENUTUP
Simpulan
Pada umumnya, asuransi
terbagi menjadi dua macam, yaitu asuransi konvensional dan asuransi ta’awun (tolong-menolong). Pada asuransi
konvensional, posisi tertanggung tidak sama dengan (perusahaan) penanggung yang
selamanya mengejar keuntungan.
Pada asuransi ta’awun,
asuransi ini tidak mengejar keuntungan. Tujuan para pelakunya adalah saling
menolong untuk menghadapi musibah. Tujuan sosial peusahaan asuransi ta’awun
tidak terdapata pada perusahaan asuransi konvesional. Dalam asuransi ta’awun,
tertanggung pada praktinya menanggung (menjamin) diri mereka sendiri. Tugas
perusahaan penanggung hanya mengatur proses tolong-menolong ini dan memmberikan
perlindungan kepada para nasabah tertanggung. Jadi, posisi perusahaan
penanggung semacam penengah di antara nasabah-nasabah tertanggung, berperan
sebagai manajer dan administrator.
DAFTAR PUSTAKA
Mustafa Dib,
Al-Bugha, “Buku pintar transaksi syariah”.
Jakarta selatan: PT Mizan Publika.Tahun 2010.
Muhammad Syakir
Sula, Asuransi Syariah (Life and
General): Konsep dan Sistem Operasional, cet. 1, Jakarta: Gema Ansani
Press,2004.
Abdul Azis
Dahlan, et al., ed. Ensiklopedia Hukum Islam, cet. 4,
Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2000.
[1] Muhammad
Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and
General): Konsep dan Sistem Operasional, cet. 1, (Jakarta: Gema Ansani
Press,2004), h. 28.
[2] Abdul
Azis Dahlan, et al., ed. Ensiklopedia Hukum Islam, cet. 4,
(Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2000), h. 138.
[3] Sula, op.cit., h. 29.
[4] Mustafa
Dib, Al-Bugha, “Buku pintar transaksi
syariah”. Jakarta selatan: PT Mizan Publika.Tahun 2010, h. 83
[5] ibid
[6] Ibid, h.
87
Tidak ada komentar:
Posting Komentar