LANDASAN PENELAAHAN
ILMU
IV.1 Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah manusia, pemikiran
filosofis senantiasa berkembang. Hal itu dikarenakan pemikiran merupakan hal
yang paling mendasar dalam kehidupan manusia, bahkan merupakan ciri khas
manusia. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari anugerah akal yang dimiliki
oleh manusia. Pemikiran filosofis meniscayakan kelahiran filsafat sebagai induk
dari semua ilmu. Di antara corak pemikiran manusia adalah pengetahuan tentang
wujud, awal bermulanya hingga akhirnya. Oleh karena itu, buah pemikiran dari
manusia melahirkan berbagai macam aliran dalam filsafat yakni, aliran
empirisme, rasionalisme, idealisme, pragmatisme, eksistensialisme, positivisme,
vitalisme, strukturalisme, post-strukturalisme dan lain-lain.
Selain itu, permasalahan yang menjadi objek
kajian (pembahasan) dalam filsafat mengalami perkembangan yang signifikan.
Filsafat tidak hanya berhenti pada permasalahan wujud, tetapi juga merambah
pada pembahasan berkenaan dengan ilmu. Selain itu, filsafat juga menyentuh
tataran praktis, terutama berkaitan dengan moral. Perkembangan tersebut
merupakan implikasi logis dari perkembangan pola pikir manusia itu sendiri. Hal
tersebut tidak lain merupakan upaya untuk menemukan “kebenaran”.
Pencarian terhadap kebenaran seiring dengan
tujuan dari filsafat itu sendiri, yakni untuk mencari kebenaran yang hakiki.
Dengan kata lain, mengetahui segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya
(problem ontologis). Kemudian, timbul pertanyaan setelah mencari “Apa itu
kebenaran?” yaitu “Bagaimana kita bisa mendapatkan pengetahuan yang hakiki itu
atau sesuatu yang ada sebagaimana adanya (kebenaran)? Persoalan ini merupakan
problem epistemologis. Selanjutnya, setelah kita mengetahui kebenran dan cara
untuk mendapatkannya, muncul pertanyaan untuk apa pengetahuan tersebut. Dengan
kata lain, pemikiran selanjutnya berkaitan dengan pengaplikasian ilmu yang
telah didapatkan pada tataran praktis. Ini disebut dengan problem aksiologis,
artinya apakah ilmu pengetahuan yang didapat itu bisa diterapkan untuk
kemaslahatan umat atau justru sebaliknya, terutama kaitannya dengan moralitas.
Singkatnya, wilayah ontologi bertanya tentang “apa” wilayah epistemologi
bertanya tentang “bagaimana” sedangkan, wilayah aksiologi bertanya tentang
“untuk apa”.
Tiga problem filosofis inilah —ontologi,
epistemologi dan aksiologi— yang hingga kini masih menimbulkan perdebatan. Hal
itu dikarenakan masing-masing aliran filsafat memiliki sudut pandang tersendiri
berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Oleh karena itu, pembahasan mengenai
Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi topic pembahasan penting dalam dunia
Filsafat.
Filsafat ilmu merupakan bagian dari
epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu
(pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempunyai
ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara
ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan
teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi
filsafat ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan
pembatasan masing-masing bidang yang ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam atau
ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang filsafat yang bersifat otonom.
Ilmu memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak
terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial,
di mana keduanya mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama.
Filsafat ilmu merupakan telaahan secara
filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti:
Objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti
berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan? Bagaimana proses
yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana
prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya?
Cara atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang
berupa ilmu? Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana
kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana
penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana
kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah
dengan norma-norma moral atau profesional?
Jika disimpulkan berbagai macam pertanyaan di
atas maka yang pertama adalah persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masalah
ontologis. Kedua, masuk dalam wilayah kajian epistemologis. Sedangkan yang
ketiga adalah problem aksiologis. Semua disiplin ilmu pasti mempunyai tiga
landasan ini. Di bawah ini penulis akan memaparkan sekilas pembahasan mengenai
Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.
IV.2 Ontologi
“Secara terminologi, ontologi berasal dari
bahasa Yunani yaitu on atau ontos yang berarti “ada” dan logos yang berarti
“ilmu”. Sedangkan secara terminologi ontologi adalah ilmu tentang hakekat yang
ada sebagai yang ada (The theory of being qua being). Sementara itu, Mulyadi
Kartanegara menyatakan bahwa ontology diartikan sebagai ilmu tentang wujud
sebagai wujud, terkadang disebut sebagai ilmu metafisiska. Metafisika disebut
sebagai “induk semua ilmu” karena ia merupakan kunci untuk menelaah pertanyaan
paling penting yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupan, yakni berkenaan
dengan hakikat wujud.
Mulla Shadra berpendapat ‘Tuhan sebagai wujud
murni’. Hal ini dibenarkan oleh Suhrawardi bahwa alam merupakan emanasi. Alam
merupakan manifestasi (tajalli). Sedang Plato berpendapat bahwa cunia yang
sebenarnya adalah dunia ide. Dunia ide adalah sebuah dunia atau pikiran
univewrsal (the universal mind). Aristoteles tidak menyangsikan pendapat gurunya
(Plato), hanya saja dia lebih percaya bahwa yang kita lihat adalah riil.
Sedangkan Thales beranggapan bahwa sumber dari segala sesuatu adalah air. Kita
tidak tahu pasti apa yang dimaksudkannya dengan itu, dia mungkin percaya bahwa
seluruh kehidupan berasal dari air dan seluruh kehidupan kembali ke air lagi
ketika sudah berakhir.
Yang termasuk dalam pembahasan ontologi adalah
fisika, matematika dan Metafisika. Fisika sebagai tingkatan yang paling rendah,
matematika sebagai tingkatan tengah-tengah sedangkan teologi sebagai tingkatan
yang paling tinggi. Alasan pembagian tersebut adalah karena ilmu itu ada
kalanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat diindera, yaitu sesuatu yang
berbenda, yaitu fisika. Ada kalanya berhubungan dengan benda tetapi mempunyai
wujud tersendiri, yaitu matematika. Dan ada yang tidak berhubungan dengan suatu
benda yaitu metafisika.
Ontologi juga sering diidentikkan dengan
metafisika, yang juga disebut dengan proto-filsafat atau filsafat yang pertama
atau filsafat ketuhanan. Pembahasannya meliputi hakikat sesuatu, keesaan,
persekutuan, sebab dan akibat, substansi dan aksiden, yang tetap dan yang
berubah, eksistensi dan esensi, keniscayaan dan kerelatifan, kemungkinan dan
ketidakmungkinan, realita, malaikat, pahala, surga, neraka dan dosa.
Dengan kata lain, pembahasan ontologi biasanya
diarahkan pada pendeskripsian tentang sifat dasar dari wujud, sebagai kategori
paling umum yang meliputi bukan hanya wujud Tuhan, tetapi juga pembagian wujud.
Wujud dibagi ke dalam beberapa kategori, yakni wajib (wajib al-wujud), yaitu
wujud yang niscaya ada dan selalu aktual, mustahil (mumtani’al wujud) yaitu
wujud yang mustahil akan ada baik dalam potensi maupun aktualitas, dan mungkin
(mumkin al-wujud), yaitu wujud yang mungkin ada, baik dalam potensi maupun
aktualitas ketika diaktualkan ke dalam realitas nyata.
Persoalan tentang ontologi ini menjadi
pembahasan utama di bidang filsafat, baik filsafaf kuno maupun modern. Ontologi
adalah cabang dari filsafat yang membahas realitas. Realitas adalah kenyataan
yang selanjutnya menjurus pada suatu kebenaran. Bedanya, realitas dalam
ontologi ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan: apakah sesungguhnya realitas
yang ada ini; apakah realitas yang tampak ini suatu realita materi saja; adakah
sesuatu di ballik realita itu; apakah realita ini terdiri dari satu unsur
(monisme), dua unsur (dualisme) atau serba banyak (pluralisme).” Di bawah ini
adalah berbagai macam pandangan tentang ontologi.
a. Monisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal
dari seluruh kenyataan itu hanya satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu
hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun
berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri
sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan
menentukan perkembangan yang lainnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson
disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran
yaitu materialisme dan idealisme.
Materialisme menganggap bahwa yang benar-benar ada
hanyalah materi. Sedangkan ruh atau jiwa bukanlah suatu kenyataan yang bisa
berdiri sendiri bahkan ia hanya merupakan akibat saja dari proses gerakan
kebenaran dengan salah satu cara tertentu. Materialisme sering juga disebut
dengan naturalisme artinya bahwa yang benar-benar ada hanyalah alam saja.
Sedangkan yang di luar alam tidaklah ada. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh
para filosof pra-sokratik seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes, Democritos
dan lainnya. Thales misalnya beranggapan bahwa unsur dari semua makhluk hidup
adalah air. Sedangkan Anaximandros beranggapan bahwa alam semesta ini berasal
dari apeiron artinya “yang tak terbatas” yaitu yang bersifat ilahi, abadi, tak
terubahkan dan meliputi segalanya. Anaximenes beranggapan lain, bahwa prinsip
yang merupakan asal usul segala sesuatu adalah udara. Dan Democritos menganggap
bahwa alam ini tersusun dari atom-atom yang tak terhingga jumlahnya.
“Sedangkan sebagai lawan dari materialisme
yaitu idealisme yang berarti juga spiritualisme berarti serba cita, sedang
spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu
sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan
yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya,
yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu
hanyalah suatu jenis dari penjelmaan ruhani.”
“Perintis dari aliran ini adalah Plato yang
selanjtunya akan dikembangkan oleh George Barkeley, kemudian oleh Kant, Fichte,
Hegel hingga Schelling. Menurut Plato realitas seluruhnya seakan-akan terdiri
dari dua “dunia”. Satu “dunia” mencakup benda-benda jasmani yang disajikan
kepada panca indera. Pada taraf ini diakui bahwa semuanya tetap berada dalam
perubahan. Bunga yang kini bagus, keesokan harinya sudah layu. Lagi pula dunia
inderawi ditandai oleh pluralitas. Selain bunga tadi, masih ada banyak hal yang
bagus juga. Harus diakui juga bahwa di sini tidak ada sesuatu pun yang
sempurna. Di samping “dunia” inderawi itu terdapat satu “dunia” lain, suatu
dunia ideal atau dunia yang terdiri atas ide-ide. Dalam dunia ideal ini sama
sekali tidak ada perubahan. Semua ide bersifat abadi dan tak terubahkan. Dalam
dunia ideal tidak ada banyak hal yang bagus, hanya ada satu ide “yang bagus”.
Demikian halnya dengan ide-ide yang lain. Dan setiap ide-ide bersifat sama
sekali sempurna.” Oleh sebab itu, menurut Plato yang benar-benar real itu
hanyalah idea atau dunia ide sedangkan yang materi merupakan pengejawantahan
dari ide.
Dalam dialog Politeia yang sangat masyhur Plato
bercerita mitos tentang gua. Ia menggambarkan kehidupan di dunia ini ibarat
tahanan dalam gua yang hanya mempunyai pengalaman di dalam gua saja. Sebaliknya
mereka tidak mengetahui realitas di luar gua yang nyata adanya. Baru ketika
mereka keluar dari gua mereka baru percaya bahwa ada realitas selain pengalaman
yang mereka lihat selama di dalam gua. Artinya gua itu adalah dunia yang
disajikan kepada panca indera kita. Kita menerima semua pengalaman secara
spontan begitu saja. Padahal sebenarnya pengalaman inderawi itu tak lebih dari
sekedar bayang-bayang semata.
b. Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari
dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat
ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari ruh dan ruh
bukan muncul dari benda. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu
masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan
keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang
adanya kerja sama ini kedua hakikat ini adalah dalam diri manusia.
Tokoh paham ini adalah Rene Descartes. Sebagai
pendobrak filsafat modern Descartes mempunyai concern yang jauh lebih rumit. Ia
tidak lagi melihat alam yang secara terus-menerus dijadikan objek kajian dalam
ilmu pengetahuan. Lebih jauh lagi ia melihat relasi antara subjek yang
mengetahui dengan objek yang diketahui. Dengan demikian ia memosisikan manusia
tidak hanya sebagai subjek saja tetapi sekaligus sebagai objek. Pertanyaannya
adalah apakah pengetahuan yang kita miliki itu karena memang ada realitas di
luar sana atau justru karena faktor keberadaan manusia sebagai subjek yang
berpikir. Diktum Descartes Cogito Ergo Sum “aku berpikir maka aku” ada jelas
sekali memosisikan manusia sebagai subjek berpikir yang bebas. Karena saya
berpikir maka saya menjadi ada demikian realitas yang lain menjadi ada pula.
Manusia merupakan subjek yang sadar akan keberadaan dirinya. Paham inilah yang
kemudian menjadi cikal bakal aliran eksistensialisme.
c. Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segala macam
bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui
bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of
Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan
alam ini tersusun dari unsur banyak, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh
aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang
menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur,
yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James
seorang filosof dan psikolog kenamaan asal Amerika. Ia berpendapat bahwa dunia
ini terdiri dari banyak kawasan yang berdiri sendiri. Dunia bukanlah suatu
universum, melainkan suatu multi-versum. Dunia adalah suatu dunia yang terdiri
dari banyak hal yang beraneka ragam atau pluralis.
d. Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang
berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas
alternative yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev
dalam novelnya Fathers and Children yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia.
Dalam novel itu Bazarov sebagai tokoh sentral mengatakan lemahnya kutukan
ketika ia menerima nihilisme. Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada
semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Georgias yang memberika tiga
proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Realitas
itu sebenarnya tidak ada. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat
diketahui. Ini disebabkan oleh pengindraan itu sumber ilusi. Akal juga tidak
mampu meyakinkan kita tentang bahan alam semesta ini karena kita telah
dikungkung oleh dilema subjektif. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat
diketahui ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
e. Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk
mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata
agnosticisme berasal dari bahasa Yunani yaitu agnostos yang berarti “unknown”.
A artinya not dan no artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum
dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya
kenyataan yang berdiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu
menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat transcendent.” Beberapa
tokoh aliran ini misalnya Soren Kiekegaar, Heidegger, Sartre, dan Jasper.
Masalah ontologi ini semakin lama semakin
berkembang tidak hanya di dunia filsafat Barat tetapi juga di dunia filsafat
Islam. Misalnya dalam Islam kita kenal ada aliran Isyraqi dengan tokohnya
Suhrawardi dan Hikmah Mutaalliyah oleh Mulla Sadra. Suhrawardi misalnya
mendiskripsikan realitas ini bagaikan cahaya yang mempunyai gradasi dari sumber
cahaya itu sendiri yang paling terang hingga yang paling lemah. Sumber cahaya
itu adalah Tuhan dan cahaya yang semakin meredup itu bagaikan ciptaan-Nya yang
bermacam-macam dari yang paling sempurna hingga yang paling rendah. Sedangkan
Mulla Sadra terkenal dengan pandangan Asalat al-Wujud dan Wahdat al-Wujud. Sadra
beranggapan bahwa yang primer itu adalah wujud. Tanpa wujud segala sesuatu
tidak akan pernah ada. Dan wujud dari semua hal adalah sama. Oleh sebab itu ia
meyakini kesatuan wujud (Wahdat al-Wujud). Sedangkan yang membuat sesuatu itu
berbeda dengan yang lain adalah karena aksidennya seperti warna dan lainnya.
Masalah ontologis memang menjadi perhatian yang
paling serius dalam filsafat ilmu. Sebab ia bertanggungjawab atas kebenaran
dari suatu ilmu itu. Oleh sebab itu, ia tidak berbicara tentang apa yang tampak
tapi apa yang nyata. Sebab penampakan itu belum tentu sesuai dengan
kenyataannya.. Wilayah ontologi bukan berbicara pada tataran penampakan tapi
kenyataan. Mampu mengetahui kenyataan yang hakiki itulah sebagai ilmu
pengetahuan yang valid. Jadi, pembahasan wujud dalam ontologi merupakan
realitas mutlak dan lawan dari ketiadaan. Wujud dalam hal ini mencakup segala
hal, mulai dari Dzat Ilahi, realitas-realitas abstrak dan material, baik
substansi maupun aksiden dan baik esensi maupun keadaan.
IV.3 Epistemologi
Jika kita berbicara tentang ilmu pengetahuan,
apakah anda pernah memikirkan apa itu pengetahuan? Pastinya anda menganggap
bahwa saya orang yang aneh. Kalau saya bertanya, apakah kita tahu? Pastinya
kita semua tahu. Tentang nama kita sendiri, Jakarta sebagai ibu kota Indonesia,
Manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan, dan bahwa 2+2 = 4. Sebuah
lompatan drastis yang dilakukan Socrates pada zamannya, dan mungkin sampai
sekarang ini masih, dengan pernyataannya “apa yang saya ketahui adalah apa yang
tidak saya ketahui” bagaimana akal kita bisa menerima pernyataan yang
kontradiksi ini?
Akar permasalahan adalah pengetahuan yang
rupanya menuntutut sejenis kepastian tertentu yang tidak dimiliki oleh
kepercayaan yang biasa. Tetapi sekali saja anda bertanya, apa yang akan
membenarkan kepastian ini, anda mulai merasakan sangatlah sulit menemukan
jawabannya.
Mudah mengetahui mengapa begitu banyak pemikir
memperdebatkan pengetahuan yang menuntut adanya sebuah kepastian. “Mengetahui”
bisa kita sebut dengan kata yang sukses. Demikian dengan kata “belajar”. Untuk
mengetahui seseorang telah mempelajari sesuatu, sama denga mengatakan mereka
telah mempelajari sesuatu dengan sukses dan kini telah menyerap apa saja yang
telah mereka pelajari. (mengatakan mereka sedang belajar jelas tidak
menunjukkan bahwa mereka telah menguasai secara sempurna, hanya sedang mengejar
kesempurnaan itu. Misal; anda sedang mempelajari aritmatika, apakah bisa
dikatakan anda menguasai aritmatika?). kita bisa mengatakan bahwa seseorang
telah sukses dengan apa yang telah mereka pelajari apabila mereka dapat
menyatakan kembali apa yang telah mereka peroleh di masa lalu.
Epistemologi merupakan tahapan berikutnya
setelah pembahasan ontologi dalam filsafat. “Istilah epistemologi dipakai
pertama kali oleh J.F. Feriere yang maksudnya untuk membedakan antara dua
cabang filsafat, yaitu epistemologi dan ontologi (metafisika umum). Kalau dalam
metafisika pertanyaannya adalah apa yang ada itu? Maka pertanyaan dasar dalam
epistemologi adalah apa yang dapat saya ketahui?”
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani,
episteme dan logos. Episteme biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran, dan
logos diartikan pikiran, kata, atau teori. Epistemologi secara etimologi dapat
diartikan teori pengetahuan yang benar dan lazimnya hanya disebut teori
pengetahuan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi theory of knowledge.
Dengan kata lain, epistemologi adalah bidang
ilmu yang membahas pengetahuan manusia, dalam berbagai jenis dan ukuran
kebenarannya. Isu-isu yang akan muncul berkaitan dengan masalah epistemologi
adalah bagaimana pengetahuan itu bisa diperoleh? Jika keberadaan itu mempunyai
gradasi (tingkatan), mulai dari yang metafisik hingga fisik maka dengan
menggunakan apakah kita bisa mengetahuinya? Apakah dengan menggunakan indera
sebagaimana kaum empiris, akal sebagaimana kaum rasionalis atau bahkan dengan
menggunakan intuisi sebagaimana urafa’ (para sufi)? Oleh sebab itu yang perlu
dibahas berkaitan dengan masalah ini adalah tentang teori pengetahuan dan
metode ilmiah serta tema-tema yang berkaitan dengan masalah epistemologi.
Berbicara tentang asal-usul pengetahuan maka
ilmu pengetahuan ada yang berasal dari manusia dan dari luar manusia.
Pengetahuan yang berasal dari manusia meliputi pengetahuan indera, ilmu (akal)
dan filsafat. Sedangkan pengetahuan yang berasal dari luar manusia (berasal
dari Tuhan) adalah wahyu. Pembahasan epistemologi meliputi sumber-sumber atau
teori pengetahuan, kebenaran pengetahuan, batasan dan kemungkinan pengetahuan,
serta klasifikasi ilmu pengetahuan.
1. Sumber-Sumber Pengetahuan
Salah satu pokok pembahasan epistemologi adalah
mengenai sumber-sumber pengetahuan. Dengan fakultas apa manusia mencapai
pengetahuan? Bagaimanakah nilai pengetahuan yang diperoleh manusia? Sampai
batasan mana manusia memeroleh pengetahuan? Pertanyaan-pertanyaan ini terkait
erat dengan sumber-sumber pengetahuan.
Apa saja sumber-sumber pengetahuan? Murtadha
Muththahari mengatakan bahwa sumber pengetahuan tidak hanya rasio dan hati,
melainkan alam dan sejarah. Sedangkan M. Taqi Mishbah Yazdi lebih menekankan
fakultas indriawi dan akal sebagai sumber pengetahuan. Adapun fakultas hati,
dalam mencapai pengetahuan, merupakan ranah ‘irfan bukan filsafat. Agaknya
karena alasan inilah bahwa fakultas hati (qalb, fu’ad) merupakan pembahasan
‘irfan bukan filsafat, kita bisa memahami pandangan Yazdi yang tidak begitu
menekankan daya hati dalam epistemologi—yang merupakan cabang filsafat. Ada
juga yang menganggap bahwa sumber pengetahuan yang hakiki (primer) adalah wahyu
sedangkan daya-daya lain lebih sebagai sumber sekunder.
Setidaknya ada tiga sumber pengetahuan yaitu 1)
akal; 2) indriawi; dan 3) hati (intusi, qalb, fu’ad). Adapun wahyu, dalam hal
ini wahyu yang dikodifikasikan dalam bentuk teks (kitab suci), tidak dimasukkan
sebagai sumber pengetahuan. Karena kitab suci merupakan teks, yang akan
berbicara ketika seseorang membacanya, maka pemahaman seseorang atas teks-teks
suci tersebut yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan (Suteja, 2006).
Begitu juga dengan sejarah maupun alam. Sebab
alam untuk menyampaikan pengetahuan membutuhkan penafsiran dari sang pengamat,
walaupun struktur pengetahuan tersebut tidak memisahkan antara sang penahu
dengan yang diketahui, tetap saja ia meniscayakan kemampuan manusia untuk
menangkap pengetahuan tersebut. Alam sebagai alam luaran ditangkap dengan
fakultas indriawi, jadi, pemahaman fakultas indriawi yang dimasukkan sebagai
sumber pengetahuan atau pemahaman atasnyalah yang dimasukkan sebagai sumber
pengetahuan.
a. Indera
Salah satu sumber ilmu pengetahuan adalah
indera. Manusia bisa mendapatkan pengetahuan dengan menggunakan indera yang
dimilkinya. Dengan mata manusia bisa melihat, dengan hidung kita bisa mencium,
dengan kulit kita bisa meraba, dengan telinga kita bisa mendengar dan dengan
lidah kita bisa merasakan. Jadi, yang bisa ditangkap oleh indera adalah
benda-benda yang sifatnya fisik. Di luar fisik indera tidak mampu menangkapnya
atau mengetahuinya.
Aliran dalam filsafat yang mengatakan bahwa
manusia memperoleh pengetahuan melalui indera disebut dengan empirisme. Aliran
ini berpendapat, bahwa empirisme atau pengalamanlah yang menjadi sumber
pengetahuan, baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Akal bukan jadi sumber
pengetahuan, tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh
dari pengalaman. Metode yang diterapkan adalah induksi. Para Filosof empirisme
antara lain John Locke, David Hume dan William James. David Hume termasuk dalam
empirisme radikal menyatakan bahwa ide-ide dapat dikembalikan pada
sensasi-sensasi (rangsang indera). Pengalaman merupakan ukuran terakhir dari
kenyataan. Wiliam James mengatakan bahwa pernyataan tentang fakta adalah
hubungan di antara benda, sama banyaknya dengan pengalaman khusus yang
diperoleh secara langsung dengan indera.
John Locke dengan teori tabula rasanya
mengatakan bahwa manusia itu ketika lahir bagaikan kertas putih tanpa goresan
apa pun artinya ia sama sekali belum memiliki pengetahuan. Baru kemudian ia
mendapatkan pengetahuan dengan menggunakan panca inderanya untuk mengenali
objek-objek yang ada di sekelilingnya. Begitu seterusnya hingga semua
pengalaman dalam hidupnya tersimpan dalam memori pikirannya. Metode ilmiah yang
dipakai untuk memperoleh pengetahuan empiris ini adalah eksperimentasi atau
kalau di dalam Islam kita kenal metode tajribi.
b. Akal
Akal menjadi sumber ilmu pengetahuan
selanjutnya setelah indera. Akal semakin diperhitungkan sebagai sumber
pengetahuan karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh indera yang hanya
sebatas pada benda-benda fisik saja. Padahal di luar fisik masih terhampar luas
samudera pengetahuan. Selain itu juga pengetahuan inderawi cenderung
menempatkan antara subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui sama-sama
hadir artinya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Jika demikian sungguh manusia
akan mengalami kerepotan. Misalnya jika kita tidak mengenal pengetahuan
matematis—sebagai salah satu produk ilmu akal—seseorang akan kesulitan dalam
melakukan perhitungan. Tidak mungkin kita menghadirkan benda-benda dalam jumlah
yang banyak karena hal itu akan menyulitkan. Maka cukuplah dengan menggantinya
dengan konsep-konsep angka dalam matematika.
Akal dengan kemampuannya bisa membedakan antara
mana yang salah dan mana yang benar. Selain itu juga akal bekerja dengan
menggunakan hukum-hukum logika yang diakui kebenarannya. Akal dengan tegasnya
bisa menunjukkan kelemahan empiris sebagai sumber kebenaran. Misalnya ketika
sebatang kayu dicelupkan ke dalam air, kayu tersebut oleh indera akan tampak
membengkok. Tapi apakah benar kayu tersebut mengalami pembengkokan setelah
dicelupkan ke dalam air. Secara rasional tentu saja tidak mungkin melihat
karakter kayu itu bukan benda yang mudah bengkok apalagi hanya dicelupkan ke
dalam air. Di sinilah akal diakui sebagai sumber kebenaran. Dan tentu saja
banyak bukti yang lain. Faham filosofis yang yang menjadikan akal sebagai
sumber pengetahuan disebut rasionalisme.
Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan
yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat
umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang dipakai oleh semua pengetahuan
ilmiah. Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang
didapat oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran dari pada dirinya sendiri,
yaitu atas dasar asas pertama yang pasti. Metode yang diterapakan adalah
deduktif. Teladan yang dikemukakan adalah ilmu pasti. Di antara para filosof
rasionalis adalah Rene Descartes, B. Spinoza, dan Leibniz.” Rasionalisme
memakai prinsip koherensi dalam pembenarannya. Jadi apa yang benar adalah apa
yang koheren dengan akal. Metode ilmiah yang dipakai adalah metode burhani.
Descartes merupakan filosof pendobrak dalam
tradisi kefilsafatan Barat. Ia dianggap sebagai bapak filosof modern.
Gagasannya yang paling monumental adalah Cogito Ergo Sum “aku berpikir maka aku
ada”. Sejak itulah akal benar-benar mendapatkan tempat yang agung sebagai
sumber pengetahuan. Manusia mempunyai posisi yang sangat dominan sebagai subjek
yang berpikir karena ia mempunayi akal. Ia adalah subjek yang sadar akan
keberadaan dirinya sendiri dan keberadaan dunia di sekitarnya.
Berawal dari kesangsian dirinya akan segala
hal, ia berusaha membangun landasan filososif tentang kebenaran yang tak kuat.
Ia berpikir bahwa segala sesuatu bisa kita sanksikan. Bahkan keberadaan dirinya
sendiri ia meragukannya. Tapi ada satu hal yang tidak mungkin bisa ia sanksikan
bahwa ia dalam keadaan sanksi itu sendiri. Semakin ia sanksi semakin ia yakin
akan kebenaran kesanksian atas dirinya dan semakin pula ia yakin akan
keberadaan dirinya. Dari sinilah kemudian Descartes baru mengakui akan
keberadaan yang lain. Namun bagaimana jika manusia itu berhenti berpikir,
ketika dalam keadaan tidur misalnya? Descartes mengatakan bahwa masih ada Tuhan
yang selalu hidup, yang tidak pernah berhenti dari semua aktivitasnya.
c. Intuisi
Jika indera dan akal mampu digunakan untuk
memperoleh pengetahuan maka demikian halnya dengan intuisi. Bahkan pengetahuan
yang berasal dari intuisi inilah yang diakui kebenarannya. Sebab indera dan
akal hanya mampu mendiskripsikan, melukiskan dan menganalisa sedangkan intuisi
bisa menghadirkan pengetahuan secara langsung ke dalam diri seseorang. Maka
pengetahuan inderawi dan akal bisa disebut sebagai pengetahuan ushuli artinya
pengetahuan perolehan yang didapat melalui perantara. Sedangkan pengetahuan
intuisi merupakan pengetahuan hudluri karena objek dari ilmu itu sendiri hadir
ke dalam diri subjek yang mengetahui tanpa sebuah perantara apapun. Sehingga
pengetahuan hushuli cenderung rentan terhadap kesalahan. Misalnya saja ketika
ada yang tidak benar dengan indera maupun akal kita. Sebaliknya pengetahuan
intuisi tidak diragukan lagi kebenarannya.
Pengetahuan intuisi itu sifatnya penyingkapan
atas sebuah realita. Jadi seorang subjek benar-benar merasakan secara langsung
apa yang ia alami. Tidak ada pengenalan secara langsung terhadap sebuah realita
selain melalui intuisi. Di sinilah letak kevalidan pengetahuan intuisi berbeda
dengan pengetahuan inderawi dan akal yang hanya memperlihatkan penampakannya
saja.
Di antara para filosof intusionisme—sebuah aliran
yang menjadikan intuisi sebagai sumber pengetahuannya—adalah Henry Bergson
seorang filosof Perancis. Pengetahuan intuisi ini juga sangat familiar di
kalangan para mazhab irfani (kaum sufi). Metode yang dipakai kita kenal dengan
metode irfani.
d. Wahyu
Satu-satunya sumber pengetahuan yang tidak bisa
diusahakan oleh manusia adalah wahyu. Artinya ia benar-benar bersumber dan
pemberian dari Tuhan. Sehingga kebenarannya tidak perlu disanksikan lagi.
Biasanya pengetahuan ini disampaikan melalui orang-orang pilihan dan utusan
Tuhan dalam bentuk kitab suci.
Dasar dari pengetahuan ini adalah keyakinan dan
menjadi salah satu pilar keyakinan beragama. Orang yang beragama harus meyakini
kebenaran semua isi kandungan kitab suci. Di dalam kitab suci biasanya
terkandung cerita-cerita masa lalu. Berita tentang surga, neraka, pahala dan
dosa. Tentu saja yang tak kalah pentingnya adalah kebenaran akan keberadaan
Tuhan pencipta alam. Dan masih banyak berita-berita yang lainnya. Wahyu
merupakan sumber pengetahuan yang kaya. Metode yang dipakai adalah metode
bayani.
2. Kebenaran Pengetahuan
Sebelum membahas tentang teori kebenaran
terlebih dahulu penting kiranya untuk mendefinisikan apa arti kebenaran itu
sendiri. Kebenaran menjadi isu sentral dalam ilmu pengetahuan karena tujuan
dari ilmu pengetahuan adalah untuk mencari kebenaran.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis
oleh Purwadaminta ditemukan arti kebenaran, yakni keadaan (hal dan sebagainya)
yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya). Menurut William
James yang dikutip oleh Titus dkk (1984: 344), kebenaran (truth) adalah yang
menjadikan berhasil cara kita berpikir dan kebenaran adalah yang menjadikan
kita berhasil cara kita bertindak. Sedangkan menurut Louis Kattsoff (1992: 178)
‘kebenaran’ menunjukkan bahwa makna sebuah ‘pernyataan’ artinya, proposisinya
sungguh-sungguh merupakan halnya. Bila proposisinya bukan merupakan halnya,
maka kita mengatakan bahwa proposisi itu “sesat”. Selanjutnya berkaitan dengan
teori kebenaran ada beberapa macam.
a. Teori Koherensi
Teori koherensi dibangun oleh para pemikir
rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Hegel, dan Bradley. Menurut Kattsoff
(1986) dalam bukunya Elements of Philosophy, teori koherensi dijelaskan
“….suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling
berhubungan dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika makna yang
dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa
berdasarkan teori koherensi, suatu pernyataan dianggap benar jika pernyataan
itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya
yang dianggap benar. Bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti mati”
adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan, “si polan adalah manusia
dan si polan pasti mati” adalah benar, sebab pernyataan kedua adalah konsisten
dengan pernyataan yang pertama.
b. Teori Korespondensi
Teori korespondensi biasanya dianut oleh para
pengikut realisme, dan mereka berpegang pada pendirian fakta-fakta. Dan teori
ini yang diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut paham ini,
kebenaran adalah kesetiaan kepada realita objektif. Kebenaran adalah
persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri.
Kebenaran teori korespondensi berdasarkan
pengalaman inderawi sehingga ada atau tidak adanya keyakinan tidak mempunyai
hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan. Misalnya pernyataan “Kota
Bandung berada di wilayah Jawa Barat” bukan karena pernyataan ini berguna atau
apa, tapi karena secara geografis dan berdasarkan pengalaman maupun bukti
empiris memang demikian.
c. Teori Kebenaran Pragmatis
Teori kebenaran pragmatis dicetuskan oleh
Charles S. Pierce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878
yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan
oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan berkebangsaan Amerika yang
menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli
filsafat ini misalnya William James, John Dewey, George Herbert Mead dan C. I.
Lewis.
Teori pragmatisme beranggapan bahwa sesuatu itu
dianggap benar jika secara fungsional ia memberikan manfaat. Jadi ukurannya
adalah hasil yang didapatkannya. Jika hasilnya menguntungkan maka ia baik dan
benar dan sebaliknya jika hasilnya merugikan maka ia buruk dan salah.
Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori
kebenaran pragmatis ini adalah penganut pragmatisme meletakkan ukuran kebenaran
dalam salah satu macam konsekuensi. Atau proposisi itu dapat membantu untuk
mengadakan penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman, pernyataan itu
adalah benar. Misalnya pengetahuan naik bus berhenti di posisi kiri. Dengan
berhenti di posisi kiri, penumpang bisa turun dengan selamat. Jadi, mengukur
kebenaran bukan dilihat karena bus berhenti di posisi kiri, namun penumpang
bisa turun dengan selamat karena berhenti di posisi kiri.
3. Batasan Pengetahuan
Berbicara tentang masalah ontologi memang
sangat luas sekali cakupannya. Ia tidak hanya berbicara soal keberadaan yang
sifatnya materi tetapi juga immateri. Kalau wujud yang materi bisa diketahui
dengan menggunakan pendekatan empiris maka wujud immateri hanya kita yakini
keberadaannya begitu saja. Paling kita percaya karena wujud yang immateri
itu—seperti keberadaan Tuhan, surga, neraka dan lainnya—diterangkan dalam kitab
suci (wahyu) bagi kalangan yang beragama. Bagi para penganut paham ateisme
tentu saja mereka tidak memercayai hal-hal yang bersifat immateri tersebut.
Lantas apakah batas yang merupakan ruang
lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu berhenti dan menyerahkan pengkajian
selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik objek
ontologis ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan yang lain?
Jawaban dari semua pertanyaan itu sangat sederhana. Ilmu memulai
penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman
manusia. Apakah ilmu mempelajari hal ihwal surga dan neraka? Jawabnya adalah
tidak sebab surga dan neraka berada di luar jangkauan pengalaman manusia.
Apakah ilmu mempelajari sebab musabab kejadian terciptanya manusia? Jawabnya
juga adalah tidak sebab kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman kita.
Baik hal yang terjadi sebelum hidup maupun yang terjadi setelah kematian kita,
semua itu berada di luar penjelajahan ilmu.
Dengan demikian yang dimaksud dengan ilmu di
sini adalah pengetahuan yang hanya bisa dijangkau oleh akal manusia dan bahkan
yang bisa diuji kebenarannya secara empiris. Sebuah ilmu harus memenuhi standar
metodologis dan bisa diuji dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Jika suatu
ilmu itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia bagaimana kita bisa
menguji kebenarannya dengan standar metodologis dan metode-metode ilmiah.
Pembatasan ruang lingkup ilmu yang seperti ini
nampaknya sangat sempit sekali. Memang hal ini tidak bisa dilepaskan dari
tradisi keilmuan yang berkembang di Barat. Ilmu yang dalam bahasa Barat disebut
dengan science merupakan suatu pengetahuan yang tidak diragukan lagi
kebenarannya karena ia memenuhi standar-standar ilmiah. Ia bisa dibuktikan
secara empiris dan bisa di eksperimentasi. Sehingga suatu ilmu yang tidak
memenuhi kualifikasi itu bukanlah merupakan ilmu. Oleh sebab itu sesuatu hal
yang sifatnya immateri bukan termasuk objek kajian ilmu dan bahkan ia dianggap
tidak ada. Seperti itulah asumsi para saintis tentang ilmu terutama yang
berkembang di dunia Barat.
4. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
Ada berbagai macam kalsifikasi ilmu pengetahuan
yang diberikan oleh para ahli. Tapi dalam kesempatan ini saya hanya akan
memberikan gambaran klasifikasi ilmu yang disusun oleh Ibn khaldun dalam kitab
al-Muqaddimah. Ia memberikan gambaran yang sangat komprehensif mulai dari yang
paling utama—dalam arti mencapai tingkat kematangannya—hingga yang paling bawah
yaitu ilmu fisik. Ia membagi ilmu ke dalam dua kategori besar yaitu:
I. Ilmu-ilmu Naqliyyah (Transmitted Science) yang terdiri dari:
(1) Tafsir al-Qur’an dan Hadits
(2) Ilmu fiqih yang meliputi fiqh, fara’id dan ushul fiqh
(3) Ilmu Kalam
(4) Tafisr-tafsir ayat Mutasyabihat
(5) Tasawuf
(6) Tabir Mimpi (ta’bir al-Ru’yah)
II. Ilmu-ilmu Aqliyyah (Rational Science)
(1) Ilmu logika, yang terdiri dari
a. Burhan (Demonstrasi)
b. Jadal (Dialektika)
c. Khitbah (Retorik)
d. Syi’r (Puitik)
e. Safsathah (Sofistik)
(2) Fisika, yang terdiri dari:
a. Minerologi
b. Botani
c. Zoologi
d. Kedokteran
e. Ilmu Pertanian
(3) Matematika, yang terdiri dari:
a. Aritmetika
- Kalkulus
- Aljabar
b. Geometri
- Figur Sferik
- Kerucut
- Mekanika
- Surveying
- Optik
c. Astronomi
(4) Metafisika
a. Ontologi
b. Teologi
c. Kosmologi
d. Eskatologi
Selain itu, ada kelompok ilmu-ilmu praktis yang meliputi etika, ekonomi dan politik. Ibn Khaldun juga terkenal sebagai bapak sosiologi Islam yang telah melahirkan sebuah disiplin ilmu sosial yang disebut ilmu budaya atau yang biasa kita sebut “sosiologi” yang meliputi:
1. Sosiologi secara umum
2. Sosiologi politik
3. Sosiologi ekonomi
4. Sosiologi kota
5. Sosiologi ilmu
5. Metode Ilmiah
Proses kegiatan ilmiah, menurut Ritchie Calder,
dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Tentu saja hal ini membawa kita
kepada pertanyaan lain, mengapa manusia mulai mengamati sesuatu? Kalau kita
telaah lebih lanjut ternyata bahwa kita mulai mengamati objek tertentu kalau
kita mempunyai perhatian tertentu terhadap objek tersebut. Perhatian tersebut dinamakan
John Dewey sebagai suatu masalah atau kesukaran yang dirasakan bila kita
menemukan sesuatu dalam pengalaman kita yang menimbulkan pertanyaan.
Selanjutnya setelah seseorang mendapatkan suatu
permasalahan, tahapan selanjutnya adalah berusaha mencoba menyelesaikan
permasalahan itu. Hanya saja dalam penyelesaian suatu masalah itu seseorang
mempunyai cara yang berbeda-beda. Mungkin itu hanyalah kenyataan yang sering
terjadi di dalam kehidupan sehari-hari.
Namun dalam tradisi keilmuan kita mengenal apa yang
disebut dengan metode ilmiah. Metode ilmiah ini merupakan langkah-langkah yang
harus ditempuh supaya mendapatkan ilmu pengetahuan yang valid. Oleh sebab itu
metode ilmiah ini terdiri dari beberapa tahapan yang harus dilalui mulai dari
awal—yaitu perumusan masalah—hingga tahap yang paling terakhir yaitu penarikan
kesimpulan. Jika suatu ilmu didapatkan dengan melalui tahapan-tahapan ini
kepastian kebenarannya tidak diragukan lagi.
Metode ilmiah pada dasarnya sama bagi semua
disiplin keilmuan baik yang termasuk dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu
sosial. Bila pun terdapat perbedaan dalam kedua kelompok ilmu ini maka
perbedaan itu sekedar terletak pada aspek-aspek tekniknya dan bukan pada
struktur berpikir atau aspek metodologisnya.
Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah
dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam
kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses
logic-hypothetico verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah
sebagai berikut:
(1) Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan
mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan
faktor-faktor yang terkait di dalamnya
(2) Penyusunan kerangka berpikir dalam
pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang
mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling terkait dan membentuk
konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional
berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan
faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
(3) Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban
sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya
merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan
(4) Pengujian hipotesis yang merupakan
pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk
memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut
atau tidak
(5) Penarikan kesimpulan yang merupakan
penilaian apkah sebuah hipotesis yang diajukan itu diterima atau ditolak.
Kiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang mendukung
hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses
pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis
itu ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari ilmu
pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai
kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta
telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran di sini harus ditafsirkan
secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini belum terdapat fakta yang
menyatakan sebaliknya.
Semua itu adalah langkah-langkah yang harus
ditempuh dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah. Meskipun antara langkah yang
satu dengan yang lain saling terkait dan langkah yang awal menjadi dasar bagi
langkah yang selanjutnya tapi dalam praktiknya bisa berbeda. Seorang peneliti
bisa memulainya dengan menemukan fakta-fakta di lapangan kemudian merumuskannya
dan mengambil kesimpulan secara umum (induksi) atau membuktikan premis-premis
yang sudah ada kemudian disesuaikan dengan fakta (deduksi).
Dalam sebuah tradisi keilmuan, ilmu bisa
berkembang bila dilakukan sebuah proses falsifikasi. Artinya kita sesuaikan
antara teori-teori yang ada dengan kenyataan yang ada di lapangan (mencari
pembuktian). Artinya jika teori yang kita miliki tidak sesuai dengan kenyataan
di lapangan maka kewajiban kita adalah merumuskan teori baru. Demikian proses
itu berlangsung secara terus menerus hingga dicapai kesesuaian antara teori
dengan fakta. Dari sinilah sebuh ilmu itu akan selalu mengalami perkembangan.
Bukan sebaliknya mencari pembenaran terhadap teori yang sudah ada. Artinya
teori yang sudah ada tersebut dianggap sudah benar sehingga tinggal mencari
pembenaran fakta-faktanya di lapangan. Jika tidak sesuai antara fakta dengan
teori fakta tersebut disingkirkan sampai menemukan fakta yang sesuai dengan
teori. Jika demikian maka suatu ilmu itu tidak akan mengalami perkembangan.
IV.4 Aksiologi
Jika ontologi berbicara tentang hakikat yang
ada (objek ilmu) dan epistemologi berbicara tentang bagaimana yang ada itu bisa
diperoleh (cara memperoleh ilmu) maka aksiologi berkaitan dengan manfaat dari
pada ilmu itu sendiri atau kaitan penerapan ilmu itu dengan kaidah-kaidah
moral.
Dalam Wikipedia aksiologi berasal dari bahasa
Yunani yaitu axion yang berarti “nilai” dan logos yang berarti “ilmu” atau
“teori”. Jadi, aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Adapun Jujun S.
Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu mengatakan bahwa aksiologi adalah
cabang filsafat yang mempelajari tentang nalai secara umum. Sebagai landasan
ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu
dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau profesional?
Menurut Brameld, ada tiga bagian yang
membedakan di dalam aksiologi. Pertama, moral conduct, tindakan moral. Bidang
ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika. Kedua, esthetic expression,
ekspresi keindahan yang melahirkan estetika. Ketiga, socio-political life, kehidupan
sosio-politik. Bidang ini melahirkan ilmu filsafat sosio-politik.
1. Teori Nilai (Etika)
Problem aksiologis yang pertama berhubungan
dengan nilai. Berkaitan dengan masalah nilai sebenarnya telah dikaji secara
mendalam oleh filsafat nilai. Oleh sebab itu dalam kesempatan kali ini akan
dibahas beberapa hal saja yang kiranya penting untuk dipaparkan berkaitan
dengan masalah nilai. Tema-tema yang muncul seputar masalah ini misalnya apakah
nilai itu subjektif atau objektif.
Perdebatan tentang hakikat nilai, apakah ia
subjektif atau objektif selalu menarik perhatian. Ada yang berpandangan bahwa
nilai itu objektif sehingga ia bersifat universal. Di mana pun tempatnya,
kapanpun waktunya, ia akan tetap dan diterima oleh semua orang. Ambil misal
mencuri, secara objektif ini salah karena hal itu merupakan perbuatan tercela.
Siapa pun orangnya, di mana pun dan kapanpun pasti akan sepakat bahwa mencuri
dan perbuatan tercela lainnya adalah salah. Jadi nilai objektif itu terbentuk
jika kita memandang dari segi objektivitas nilai.
Sementara jika kita melihat dari segi diri
sendiri terbentuklah nilai subjektif. Nilai itu tentu saja bersifat subjektif
karena berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang penilaian yang
diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu. Tentunya penilaian setiap orang
berbeda-beda tergantung selera, tempat, waktu, dan juga latar belakang budaya,
adat, agama, pendidikan, yang memengaruhi orang tersebut. Misalnya bagi orang
Hindu tradisi Ngaben (membakar mayat orang mati) merupakan suatu bentuk penghormatan
terhadap orang mati dan bagi mereka hal itu dianggap baik dan telah menjadi
tradisi. Namun bagi orang Islam hal itu diangap tidak baik. Berhubungan seksual
di luar nikah asal atas dasar suka sama suka hal ini tidak menjadi masalah dan
biasa di Barat. Tapi bagi orang Islam hal itu jelas hina, jelek, dan salah.
Bagi orang-orang terdahulu, ada beberapa hal yang dianggap tabu, tidak boleh
dilakukan dan tidak pantas tapi hal-hal tersebut tidak lagi bermasalah bagi
orang-orang sekarang ini. Dari sini bisa dilihat bahwa nilai itu bersifat
subjektif tergantung siapa yang menilai, waktu dan tempatnya.
Berbicara tentang nilai berarti berbicara
tentang baik dan buruk bukan salah dan benar. Apa yang baik bagi satu pihak
belum tentu baik pula bagi pihak yang lain dan sebaliknya. Apa yang baik juga
belum tentu benar misalnya lukisan porno tentu bagus—setiap orang tidak
mengingkarinya kecuali mereka yang pura-pura dan sok bermoral—tapi itu tidak
benar. Membantu pada dasarnya adalah baik tapi jika membantu orang dalam
tindakan kejahatan adalah tidak benar.
Jadi, persoalan nilai itu adalah persoalan baik
dan buruk. Penilaian itu sendiri timbul karena ada hubungan antara subjek
dengan objek. Tidak ada sesuatu itu dalam dirinya sendiri mempunyai nilai.
Susuatu itu baru mempunyai nilai setelah diberikan penilaian oleh seorang
subjek kepada objek. Suatu barang tetap ada, sekalipun manusia tidak ada, atau
tidak ada manusia yang melihatnya. “Bunga-bunga itu tetap ada, sekalipun tidaak
ada mata manusia yang memandangnya. Tetapi nilai itu tidak ada, kalau manusia
tidak ada, atau manusia tidak melihatnya. Bunga-bunga itu tidak indah, kalau
tidak ada pandangan manusia yang mengaguminya. Karena, nilai itu baru timbul
ketika terjadi hubungan antara manusia sebagai subjek dan barang sebagai
objek.”
Namun yang paling penting dari masalah etika
adalah implikasi praksisnya. Artinya sesuatu yang buruk itu seharusnya
ditinggalkan sedangkan yang baik seharusnya dilaksanakan. Dengan demikian ilmu
pengetahuan akan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia bukan justru malah
mengancam eksistensi manusia itu sendiri.
Jika kita melihat fenomena yang ada sekarang
ini—dunia modern—bagaimana sebuah ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) banyak
yang disalahgunakan untuk tujuan-tujuan kejahatan. Misalnya saja dalam
kejahatan perang. Banyak kasus yang bisa kita utarakan berkaitan dengan masalah
ini seperti Perang Dunia, Perang Teluk, Perang Vietnam hingga perseturuan
antara Palestina dan Israel yang tidak ada henti-hentinya. Mereka yang secara
persenjataan lebih maju seolah dengan alasan pembelaan membenarkan tindakan
pengeboman dan pembantaian masal di mana seringkali korbannya adalah warga
sipil. Tindakan seperti ini tentu tidak bisa dibenarkan, tak berperikemanusiaan
dan amoral. Selain itu juga misalnya pembuatan senjata nuklir dan senjata
pemusnah masal yang jelas sekali mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Itu
adalah sekedar contoh dari pemanfaatan teknologi yang tidak tepat guna.
Tentunya masih banyak yang lainnya. Oleh sebab itu aksiologi dalam hal ini
berfungsi untuk memberikan tuntunan bagaimana suatu hal itu bisa digunakan
secara tepat guna.
Memang segala sesuatu itu—termasuk implikasi
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan—mempunyai dampak negatif dan positif. Tapi
sebenarnya dampak yang negatif itu bisa dihindari atau setidaknya
diminimalisir. Semua itu adalah demi kepentingan kehidupan manusia itu sendiri.
2. Estetika
Estetika (aesthetica) mula-mula berarti teori
tentang pencerapan penghayatan pengalaman indera, sesuai dengan istilah Kant
dengan transzendentale asthetik (teori tentang susunan penghayatan panca-indra
dalam ruang dan waktu, berlawanan dengan transzendentale logic: pengetahuan
rasional dan penuturan). Perlawanan yang dikemukakan oleh Kant itu juga
dinyatakan oleh Baumgarten.
Ia menempatkan logika sebagai teori pemakaian
pemikiran yang benar dan estetika sebagai teori tentang penghayatan sempurna
panca-indera. Masalah yang timbul tentang estetika yang dihadapi oleh banyak
ahli pikir semenjak Plato dan Aristoteles ialah pernyataan tentang hakikat
keindahan dan seni. Dengan demikian seluruh lapangan nilai, dalam mana
keindahan dan seni merupakan bagiannya, dinamakan lapangan estetika,
dikordinasikan dengan logika dan estetika. Estetika dalam pengertian baru itu
diapakai oleh Kant dan Schiller sehingga menjadi umum di Jerman, meluas ke
dalam pemakaian internasional.”
Perdebatan lain yang menarik perhatian
berkaitan dengan masalah estetika adalah tentang keindahan, apakah keindahan
itu sesuatu yang sifatnya objektif atau subjektif? Jika teori tentang nilai
mengatakan bahwa persoalan nilai itu adalah masalah yang subjektif maka
sebaliknya dengan persoalan estetika. Persoalan estetika lebih berpihak pada
pandangan objektivisme. Artinya bahwa keindahan itu merupakan sifat yang
objektif yang dimiliki oleh suatu benda. Ia bukanlah penilain subjektif
seseorang. Diantara yang berpandangan seperti ini adalah Hegel. Hegel
menganggap bahwa seluruh alam adalah manifestasi dari Cita Mutlak, Absolut
Idea. Keindahan adalah pancaran Cita Mutlak melalui saluran indera. Ia adalah
sejenis pernyataan ruh. Seni, agama dan filsafat merupakan tingkat-tingkat
tertinggi dari perkembangan ruh.
Sedangkan Kant memberikan arah yang baru sama
sekali dalam mencari keterangan tentang estetika. Dengan Kant dimulailah studi
ilmaih dan psikologi tentang teori estetika. Ia mengatakan dalam The Critique
of Judgement bahwa akal memiliki indera ketiga di atas pikiran dan kemauan.
Itulah inder rasa. Yang khas pada rasa atau kesenangan estetika ialah ia tidak
mengandung kepentingan. Ini membedakannya daripada kesenangan-kesenangan yang
lain yang mengandung unsur keinginan atau terlibat dalam kepentingan pribadi
atau hayat. Gula misalnya tidaklah indah tapi dikehendaki. Kita menginginkannya
untuk menikmatinya. Demikian pula tindakan moral tidal indah. Ia adalah baik.
Kita menyetujuinya karena kepadanya kita mempunyai kepentingan. Sebaliknya
dengan keindahan. Selalu Ia merupakan objek kepuasan yang tidak mengandung
kepentingan, berbeda dari keinginan-keinginan yang lain. Indah, sekalipun
ruhaniah adalah objektif. Karena itu ia selalu merupakan objek penilaian. Kita
mengatakan: “Barang ini indah”. Hal ini menunjukkan bahwa keindahan itu
merupakan sifat objek, tidak hanya sekedar selera yang subjektif. Demikianlah
teori Kant.
Di dalam Islam sendiri konsep “keindahan” itu
sangat jelas sekali. Sumber keindahan itu bahkan bersumber dari Ilahi.
Dikatakan bahwa “Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan”. Demikian juga
alam sebagai ciptaannya merupakan sesutau yang indah dan menakjubkan. Bagaimana
kita seringkali mengagumi keindahan alam yang ada di sekitar kita. Hal ini
merupakan sebuah ekspresi nyata yang sering kali kita ungkapkan. Artinya suatu
nilai estetika benar-benar merupakan sesuatu yang objektif bukan subjektif
sebagaimana nilai etika.
3. Sosio Politik
Bagian ketiga dari aksiologi adalah tentang
sosio-politik. Sosio-politik ini merupakan ilmu praksis. Yang pertama mengenai
ilmu sosial, dalam hal ini ia berfungsi sebagai ilmu yang mengatur bagaimana
manusia hidup bermasyarakat. Hanya saja ia mempunyai concern yang lebih
spesifik yaitu berkaitan dengan masalah tindakan manusia atau bagaimana manusia
itu harus bergaul, berinteraksi antara yang satu dengan yang lain. Manusia
sebagai makhluk sosial pasti tidak bisa dilepaskan dari manusia yang lain untuk
mempertahankan hidup. Artinya mereka saling membutuhkan satu sama lain. Dalam
perkembagannya, ilmu sosial ini nantinya akan menjadi disiplin ilmu trsendiri
yaitu sosiologi.
Berbicara tentang ilmu sosial tentu juga tidak
bisa dilepaskan dari yang namanya ilmu ekonomi karena masalah sosial juga
mencakup masalah ekonomi. Misalnya bagaimana manusia membutuhkan keberadaan
manusia yang lain untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Ekonomi dalam tradisi ilmiah Islam, sebagaimana
dipahami juga di dalam tradisi Yunani, harus dipahami sebagai manajemen rumah
tangga (tadbir al-manzil), yang tujuannya adalah memberi bimbingan kepada semua
anggota keluarga—terutama anggota keluarganya—tentang berbagai masalah yang
berkaitan dengan pengelolaan rumah tangga. Jadi bukan dalam arti ekonomi makro
atau ekonomi perusahaan seperti yang layaknya dipelajari pada masa sekarang di
sekolah-sekolah. Karena itu sebagaimana etika memberikan petunjuk-petunjuk
praktis bagaimana bertindak sebaik mungkin sebagai individu, demikian juga
ekonomi memberikan bimbingan praktis bagaimana bertindak sebaik mungkin sebagai
anggota keluarga.”
Berkaitan dengan masalah manajemen rumah tangga
juga adalah bagaimana caranya mencari nafkah yang halal, cara menyimpannya,
membelanjakannya dan sebagainya. Bahkan juga dibahas bagaimana mencari pembantu
yang baik, apa kriteria pembantu yang baik dan bagaimana sikap kita
terhadapnya. Yang tidak kalah pentingnya dalam membangun sebuah rumah tangga
adalah bagaimana mencari istri yang baik. Karena istri merupakan tiang dari
sebuah rumah tangga itu sendiri. Demikian juga dibahas alasan-alasan apa yang
menyebabkan seseorang butuh rumah tangga. Apa prinsip-prinsipnya dan hal apa
saja yang diperlukan dalam pengelolaan sebuah rumah tangga.
Selanjutnya adalah masalah politik. Sebagaimana
etika dan ekonomi, politik juga dipandang dalam tradisi ilmiah Islam, sebagai
ilmu praktis, yang tujuannya member bimbingan kepada manusia, bagaimana menjadi
manusia sebaik-baiknya sebagai seorang anggota masyarakat atau dengan kata lain
sebagai makhluk sosial. Ilmu politik ini terutama penting sekali bagi para
pemimpin masyarakat ataupun pemerintah, karena Ia juga memberi kita arahan
tentang bagaimana memerintah atau mengelola masyarakat yang dipimpinnya.
Masalah politik juga menyangkut masalah
kenegaraan sehingga ia juga berbicara tentang bagaimana mencari seorang
pemimpin yang baik dan adil. Apakah kualifikasinya. Demikian juga dibahas
tipe-tipe negara. Misalnya ada negara utama dan tidak utama. Negara utama hanya
punya satu jenis saja sedangkan negara tidak utama ada yang disebut negara
bodoh, negara yang durjana dan negara yang keliru.
IV.5 Rangkuman
Dari uraian di atas kita bisa mengetahui betapa
luasnya objek kajian filsafat mulai dari masalah ontologis, epistemologis hingga
aksiologis. Tiga cabang utama filsafat tersebut merupakan masalah yang paling
fundamental dalam kehidupan. Ia memberikan sebuah kerangkan berpikir yang
sangat sistematis. Hal itu dikarenakan ketiganya merupakan proses berpikir yang
diawali dengan pembahasan “Apa itu kebenaran?”, “Bagaimana mendapatkan
kebenaran?”, dan “Untuk apa kebenaran tersebut (aplikasinya) dalam kehidupan
sehari-hari?”
Hal tersebut mengindikasikan bahwa filsafat
layak dikatakan sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan. Perkembangan
ilmu-ilmu lain akan mengalami hambatan tanpa peranan filsafat. Hal itu
dikarenakan semua permasalah mendasar dari seluruh ilmu adalah problem
filosofis. Hal tersebut harus segera dipecahkan sebagai langkah awal untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan sekunder. Dengan kata lain, pada
dasarnya semua ilmu pengetahun tidak terlepas dari tiga problem filosofis
tersebut (ontologis, epistemologis dan aksiologis). Artinya semua ilmu
pengetahuan pasti berbicara tentang apa yang menjadi objek kajiannya, bagaimana
cara mengetahuinya dan apa manfaatnya buat kehidupan manusia.
Demikianlah makalah singkat, yang mengangkat
tema fundamental dalam dunia filsafat, ini. Kami mengharapkan tulisan ini bisa
menjadi bahan pertimbangan demi perkembangan pemikiran manusia. Sehingga, buah
pemikiran tersebut dapat melahirkan peradaban besar. Perbedaan pendapat
berkaitan dengan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi di kalangan filosof
semata karena berdasaekan pada aliran filsafat yang mereka anut. Tetapi, semua
itu harus kita apresiasi karena merupakan tahapan pencarian “kebenaran yang
hakiki”. Hal itu dikarenakan ilmu pengetahun berbicara tentang peluang dan
prediksi. Walaupun, sesungguhnya terdapat kebenaran absolut, tetapi hanya
Realitas Absolut yang mengetahui hal itu. Kita sebagai manusia yang memiliki
akal dan hati nurani hanya berupaya mencapai kebenaran tersebut sampai akhir
hayat dan mengaplikasikannya untuk kemaslahatan umat manusia.
IV.6 Soal dan Diskusi
- jelaskan pengertian Ontologi, epistemologi dan axiologi?
2. Jelaskan
hubungan landasan ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam eksistensi sebuah
ilmu? Dan berikian contohnya sesuai bidang ilmu saudara ?
3.
Jelaskan
macam-macam dan kegunaan dari sarana berfikir ilmiah?
4.
Jelaskan
perbedaan metoda sikluis empirik dengan metode linier?
Daftar Pustaka
Bakar, Osman. Tauhid dan Sains. Bandung: Pustaka Hidayah. 2008
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo. 2004
Berten, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius. 2006
Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat, Pengantar Kepada Teori nilai.
Jakarta: Bulan Bintang.
1978
Idi, Abdullah dan Jalaluddin. Filsafat Pendidika:Manusia, Filsafat dan
Pendidikan.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2007
Kartanegara, Mulyadi. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta:
Baitul Ihsan. 2006.
Mishbah Yazdi, Muhammad Taqi. Buku Daras Filsafat Islam. Bandung:
Mizan. 2003.
Mulyana. Filsafat Agama, Diktat Kuliah Filsafat Agama UIN Bandung.
Bandung: Fak
Ushuluddin. 2001
Surajiyo. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2008
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: PT Total Grafika
Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi sebagai Landasan Penelaahan Ilmu
January
20, 2013 by zainabzilullah
Oleh Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Tidak ada komentar:
Posting Komentar