Kamis, 10 April 2014

RAHN



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka. Karena itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat interaksi social dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang lainnya.
Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya dizaman kiwari ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.
Dalam hal jual beli sungguh beragam, bermacam-macam cara orang untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara Rahn (gadai). Para ulama berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika memenuhi syarat dan rukunnya.  Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut senghingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tampa mengetahui dasar hukum gadai tersebut. Oleh karena itu kami akan mencoba sedikit menjelaskan apa itu gadai dan hukumnya.

B.     Rumusan Masalah
Adapun masalah yang dapat dirumuskan adalah :
  1. Apa yang dimaksud dengan Rahn ?
  2. Apa dasar hukum Rahn ?
  3. Bagaimana hukum  Rahn ?
  4. Ada berapa macam dan jenis Rahn ?
C.    Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui jawaban dari apa yang dirumuskan di atas.










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Rahn (gadai)
Secara etimologi, rahn berarti الثبوت والدوام (tetap dan lama) yakni tetap berarti الحبس واللزوم  (pengekangan dan keharusan). Sedangkan menurut istilah ialah penahanan terhadap suatu barang sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.[1]
Ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn :
a.       Menurut ulama Syafi’iyah adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang.
b.      Menurut ulama Hanabilah adalah harta yang dijadikan utang sebagai pembayaran harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman.[2]
B.   Sifat Rahn
Secara umum rahn dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahn) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang di berikan murtaqin kepada rahn adalah utang, bukan penukar atas barang yang digadaikannya.
Rhan juga termasuk juga akad yang ainiyah yaitu dikatakan sempurna sesuadah menyerahkan benda yang dijadikan akad, sperti hibah, pinjam-meminjam, titipan dan qirad. Semua termasuk akad tabarru (derma) yang dikatakan sempurna setelah memegang (al qabdu).[3]
C.  Dasar Rahn (gadai)
Dalam Islam, rahn merupakan sarana saling tolong-menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan jasa. Rahn hukumnya jaiz (boleh) menurut Al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’, Adapun dasar hukum pegadaian syari’ah ini yaitu:
·         Al Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 283 :
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ …. (البقرة : ۲۸۳)
Apabila kamu dalam perjalanan dan bermuamalah tidak secar tunai, sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis hendaklah ada barang yang di pegang” (Q.S. 2: 283)
Dalam ayat di atas dijelaskan, bahwa apabila sesorang berada dalam keadaan bepergian dan hendak melakukan suatu tindakan bermuamalah ataupun suatu transaksi hutang-piutang, kemudian ia tidak mendapatkan seseorang yang adil dan pandai dalam hal penulisan transaksi hutang, maka hendaklah meminta kepadanya suatu bukti lain sebagai bukti kepercayaan atau penguat, yaitu dengan menyerahkan sesuatu berupa benda atau barang yang berharga sebagai jaminan yang dapat dipegang atau hutang. Hal ini dipandang perlu karena untuk menjaga agar kedua belah pihak yang melakukan perjanjian gadai itu timbul rasa saling mempercayai antara satu sama lainnya, sehingga dalam transaksi gadai tersebut tidak menimbulkan kecurigaan yang kemungkinan akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak yang bersangkutan.
Jaminan yang ada di tangan pihak piutang adalah amanah dan si piutang tidak memiliki hak untuk memanfaatkan atau menggunakannya di jalan yang tidak benar, melainkan ia harus berupaya memelihara dan menjaganya agar ketika orang yang berhutang membayar pinjamannya, maka jaminannya itu dikembalikan kepadanya secara utuh. Orang yang berhutang pada hakikatnya dianggap sebagai orang yang amanah sehingga diberikan pinjaman, maka ia harus membayar hutangnya itu tepat pada waktunya, agar orang yang memberikan pinjaman tidak memperoleh kerugian. Khususnya di tempat di mana orang yang berpiutang kepercayaannya kepada yang berhutang sedemikian besarnya sehingga tidak meminta jaminan, maka dalam kondisi seperti ini, pihak yang berhutang harus ingat kembali kepada ketentuan dasar yang diatur dalam hukum Islam dan tidak menzalimi orang lain dengan memakan hartanya secara batil.
·         As-Sunnah :
عن عائسة ر.ع. ان رسول الله ص.م. أشتر ى من يهودي طعاما ورهنه درعا من حديد. (روه البخارى والمسلم)
“Dari Siti Ai’sah r.a. bahwa rasulullah saw bersabda: pernah membeli makanan dengan baju besi”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
·         Ijma’
Para ulama telah bersepakat bahwa rahn/gadai itu boleh dan mereka tidak pernah mempermasalahkan kebolehannya, demikian pula dengan landasan hukumnya. Di samping itu, berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002, tanggal 26 Juni 2002 dinyatakan bahwa, pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan. Jumhur ulama berpendapat bahwa rahn disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian.[4]
D.    Hukum Rahn
Para ulama sepakat bahwa rahn di bolehkan, tetapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya jaminan jika kedua pihak tidak saling mempercayai. Firman Allah diatas hanyalah irsad (anjuran baik saja) kepada orang beriman sebab dalam lanjutan ayat tersebut dinyatakan, yang artinya :
Akan tetapi, jika sabagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya). (Q.S.Al baqarah :283).
Hukum rahn secara umum terbagi dua yaitu: shahih dan ghair shahih (fasid). Rahn shahih adalah rahn yang memenuhi persyaratan. Sedangkan Rahn Fasid ialah rahn yang tidak memenuhi persyaratan tersebut.[5]
E.     Rukun-rukun Rahn (gadai)
  1. Akad ijab dan qabul seperti seseorang berkata “aku gadaikan mejaku ini dengan harga Rp.10.000, dan yang satu lagi menjawab “aku terima gadai mejamu seharga Rp.10.000, atau bisa pula dilakukan selain dngan kata-kata, seperti dengan surat, isyarat atau yang lainnya.
  2. Aqid, yaitu yang menggadaikan (rabin) dan yang menerima gadai (murtabin). Adapun sarat  yang berakad adalah ahli tasauf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.
  3. Barang yang diajadikan jaminan, sarat pada benda yang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji uang harus dibayar. Rasul bersabda:
كل ما جازبيعه جازرهنه
 “Setiap barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan borg gadai”.
Menurut Ahmad bin Hijazi bahwa yang dapat dijadikan jaminan dalam masalah gadai ada tiga macam yaitu kesaksian, barang gadai dan barang tanggungan.[6]
F.     Syarat Rahn
  1. Aqid, kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al ahliyah yaitu orang yang  telah sah untuk jual beli, yakni berakal dan mumayiz, tetapi tidak disyariatkan harus balig. Dengan demikian anak kecil yang sudah mumayiz dan orang yang bodoh berdasarkan ijin dari walinya dibolehkan melakukan rahn.
  2. Shighat, ulama hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
  3. Marhun bih (utang), yaitu haq yang diberikan ketika melaksanakan rahn. Dengan syarat berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan, utang harus lajim pada waktu akad, utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.[7]
Dalam prinsip syariah, gadai dikenal dengan istilah Rahn. Rahn yang diatur menurut Prinsip Syariah, dibedakan atas 2 macam, yaitu:
  1. Rahn ‘Iqar/Rasmi (rahn Takmini/Rahn Tasjily)
Merupakan bentuk gadai, dimana barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya, namun barangnya sendiri masih tetap dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi gadai.
Contoh :
Tenriagi memiliki hutang kepada Elda sebesar Rp. 10jt. Sebagai jaminan atas pelunasan hutang tersebut, Tenriagi menyerahkan BPKB Mobilnya kepada Elda secara Rahn ‘Iqar. Walaupun surat-surat kepemilikan atas Mobil tersebut diserahkan kepada Elda, namun mobil tersebut tetap berada di tangan Tenriagi dan dipergunakan olehnya untuk keperluannya sehari-hari. Jadi, yang berpindah hanyalah kepemilikan atas mobil di maksud.
Konsep ini dalam hukum positif lebih mirip kepada konsep Pemberian Jaminan Secara Fidusia atau penyerahan hak milik secara kepercayaan atas suatu benda. Dalam konsep Fidusia tersebut, dimana yang diserahkan hanyalah kepemilikan atas benda tersebut, sedangkan fisiknya masih tetap dikuasai oleh pemberi fidusia dan masih dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari.
  1. Rahn Hiyazi
Bentuk Rahn Hiyazi inilah yang sangat mirip dengan konsep Gadai baik dalam hukum adat maupun dalam hukum positif.  Jadi berbeda dengan Rahn ‘Iqar yang hanya menyerahkan hak kepemilikan atas barang, maka pada Rahn Hiyazi tersebut, barangnya pun dikuasai oleh Kreditur.
Jika dilihat dalam contoh pada point 1 di atas, jika akad yang digunakan adalah Rahn Hiyazi, maka Mobil milik Tenriagi tersebut diserahkan kepada Elda sebagai jaminan pelunasan hutangnya. Dalam hal hutang Tenriagi kepada Elda sudah lunas, maka Tenriagi bisa mengambil kembali mobil tersebut. Sebagaimana halnya dengan gadai berdasarkan hukum positif, barang yang digadaikan bisa berbagai macam jenisnya, baik bergerak maupun tidak bergerak.
Dalam hal yang digadaikan berupa benda yang dapat diambil manfaatnya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat tersebut dengan menanggung biaya perawatan dan pemeliharaannya.
Dalam praktik, yang biasanya diserahkan secara Rahn adalah benda-benda bergerak, khususnya emas dan kendaraan bermotor.  Rahn dalam Bank syariah juga biasanya diberikan sebagai jaminan atas Qardh atau pembiayaan yang diberikan oleh Bank Syariah kepada Nasabah. Rahn juga dapat diperuntukkan bagi pembiayaan yang bersifat konsumtif seperti pembayaran uang sekolah, modal usaha dalam jangka pendek, untuk biaya pulang kampung pada waktu lebaran dan lain sebagainya. Jangka waktu yang pendek (biasanya 2 bulan) dan dapat diperpanjang atas permintaan nasabah.
Contoh:
Putri sudah merencanakan untuk memasukkan anaknya ke Universitas yang bermutu pada tahun ajaran baru ini. Namun demikian, ternyata anaknya hanya bisa diterima melalui jalur khusus. Uang pangkal untuk masuk ke jurusan favorit anaknya adalah sebesar Rp. 30 juta, sedangkan Putri hanya memiliki uang tunai sebesar Rp. 20 juta. Untuk mengatasi masalah tersebut, Putri mencari alternative dengan cara menggadaikan perhiasan emasnya ke Bank Syariah terdekat. Emasnya sebesar 50gram dan untuk itu, Putri berhak untuk mendapatkan pembiayaan sebesar Rp. 15juta. Karena Putri merasa hanya membutuhkan uang sebesar Rp. 10juta, maka Putri juga bisa hanya mengambil dana tunai sebesar Rp. 10 juta saja.
Oleh Bank Syariah, dibuatkan Akad Qardh untuk memberikan uang tunai kepada Putri, dan selanjutnya dibuatkan akad Rahn untuk menjamin pembayaran kembali dana yang dierima oleh Putri. Sebagai uang sewa tempat untuk menyimpan emas tersebut pada tempat penitipan di Bank sekaligus biaya asuransi kehilangan emas dimaksud, Bank berhak untuk meminta Ujrah (uang jasa), yang besarnya ditetapkan berdasarkan pertimbangan Bank. Misalnya Rp. 3.500,– per hari. Dengan demikian, jika Putri baru bisa mengembalikan uang tunai yang diterimanya pada hari ke 30 (1 bulan), maka uang sewa sekaligus asuransi yang harus dibayar oleh Putri adalah sebesar:
Rp. 3.500,–  X  30 hari     =    Rp. 105.000,–
Jadi, pada saat pengembalian dana yang diterima olehnya, Niken harus membayar uang sebesar:
Rp. 10 jt  +  Rp. 105.000,–   = Rp. 10.105.000,-
Bagaimana kalau ternyata dalam waktu 2 bulan Putri belum bisa mengembalikan dana tersebut? Jika demikian, maka  Putri dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu gadai tersebut kepada Bank yang berkenaan. Perpanjangan tersebut dapat dilakukan secara lisan, dengan mengajukan pemberitahuan kepada Bank tersebut. Begitu pula sebaliknya, jika baru 1 minggu Putri sudah bisa mengembalikan dana yang diterimanya, maka Putri tinggal menghubungi Bank dimaksud, dan membayar biaya sewa tempat sekaligus asuransi tersebut selama 1 minggu saja.
Jadi, prinsip pokok dari Rahn adalah:
  1. Kepemilikan atas barang yang digadaikan tidak beralih selama masa gadai
  2. Kepemilikan baru beralih pada saat terjadinya wanprestasi pengembalian dana yang diterima oleh pemilik barang. Pada saat itu, penerima gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan berdasarkan kuasa yang sebelumnya pernah diberikan oleh pemilik barang.
  3. Penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang yang digadaikan, kecuali atas seijin dari pemilik barang. Dalam hal demikian, maka penerima gadai berkewajiban menanggung biaya penitipan/penyimpanan dan biaya pemeliharaan atas barang yang digadaikan tersebut.[8]








BAB III
PENUTUP
Simpulan:
Rahn adalah akad penyerahan barang/harta (marhum) dari nasabah (rahin) kepada bank (murtahin) sebagai jaminan sebagian atau seluruh utang. Dan para ulama sepakat untuk membolehkan rahn, tetapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya jaminan jika kedua pihak tidak saling mempercayai.
Rukun-rukun Rahn (gadai)
  1. Akad ijab dan qabul
  2. Aqid,.
  3. Barang yang diajadikan jaminan (borg).
Syarat Rahn
  1. Aqid, kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al ahliyah yaitu orang yang  telah sah untuk jual beli, yakni berakal dan mumayiz, tetapi tidak disyariatkan harus balig. Dengan demikian anak kecil yang sudah mumayiz dan orang yang bodoh berdasarkan ijin dari walinya dibolehkan melakukan rahn.
  2. Shighat, ulama hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
  3. Marhun bih (utang), yaitu haq yang diberikan ketika melaksanakan rahn. Dengan syarat berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan, utang harus lajim pada waktu akad, utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
DAFTAR FUSTAKA

Ayaf’i, Rachmat, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia Bandung, cet 10, 2001.
Haroen Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Ismail, Nawawi, Konsep Dasar Gadai, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2012.
Karim, Helmi, Fiqih Muamalah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997.
Sabiq Sayyid, Fikih Sunnah, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2001.
Sholekul Hadi, M, Pegadaian Syariah, Jakarta: Selemba Diniyah, Cet. 1, 2003.
Suhendi Hendi , Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada,  Cet. 1, 2002.
Syafei Rachmat,  Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2006.



[1]  Nawawi Ismail, Konsep Dasar Gadai, (Jakarta: Ghalia Indonesia), h. 198.
[2]  Syafei Rachmat,  Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia), 2006, h. 159-160.
[3] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2002, h. 105.

[4] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: PT Grafindo Persada), 2001, h. 139.

[5] Helmi Karim, Fiqih Muamalah,( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada), 1997, h. 29.  
[6] M. Sholekul Hadi, Pegadaian Syariah, Cet. I, (Jakarta: Selemba Diniyah, 2003), hlm. 52.
[7]  Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama), 2007, h. 254.


[8] Rachmat Ayaf’i, Fiqh Muamalah, (Pustaka Setia Bandung), Cet 10, 2003, h. .57-60.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar