BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kepemimpinan
wanita dalam dunia politik menjadi hal yang hangat dibicarakan, mulai dari
meningkatnya jumlah minimum 30% kursi di parlemen untuk perempuan, isu – isu
kesetaraan gender yang mengatakan bahwa wanita hanya menjadi pelayan seks bagi
para suami mereka, dan berbagai hal lainnya yang berkaitan dengan feminisme.
Fenomena – fenomena inilah yang kini menghasilkan perbincangan hangat bagaimana
kedudukan wanita dalam Islam dan seperti apa pandangan Islam terhadap wanita
yang terlibat dalam politik dan bahkan menjadi pemimpin dalam sebuah
perpolitikan itu. Adanya pandangan bahwa wanita di pandang lebih rendah dalam Islam
menjadi sebuah perbincangan hangat pada kalangan penggiat feminisme dan
liberalisme. Serta adanya pendapat kaum feminis bahwa jika parlemen diisi
dengan keseimbangan (equity) jumlah laki-laki dan
perempuan maka akan memberikan kesejahteraan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian politik dan peranan wanita dalam Islam?
2.
Bagaimana pandangan ulama kontemporer tentang
kepemimpinan wanita dalam berpolitik?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Politik dan peranan wanita dalam
Islam
Politik
dalam Islam dikenal dengan as-siyasah yang artinya segala aktivitas
manusia yang berkaitan dengan penyelesaian berbagai konflik dan menciptakan
keamanan bagi masyarakat. Sedangkan
pemimpin adalah seorang yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya
kecakapan/ kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang
lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian
satu atau beberapa tujuan.[1]
Dikalangan
fuqoha atau ahli fiqih menyatakan bahwa peran wanita dalam politik masih
menjadi perdebatan dan perbedaan pendapat. Namun pendapat banyak ulama terutama
para fuqoha salaf sepakat bahwa wanita dilarang menjadi pemimpin. Kesepakatan
ini didasari oleh firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 34 yang berbunyi:
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs%
n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$#
$yJÎ/ @Òsù
ª!$#
óOßgÒ÷èt/
4n?tã
<Ù÷èt/
!$yJÎ/ur
(#qà)xÿRr&
ô`ÏB
öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù
ìM»tGÏZ»s%
×M»sàÏÿ»ym
É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym
ª!$#
4 ÓÉL»©9$#ur
tbqèù$srB
Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr&
xsù
(#qäóö7s? £`Íkön=tã
¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$#
c%x. $wÎ=tã #ZÎ62
ÇÌÍÈ
Artinya:
”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah
Telah memelihara (mereka) wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya. Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”
Hal yang
senada juga dapat ditemui dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari “Tidak
akan beruntung suatu kaum yang meyerahkan kepemimpinannya kepada seorang
perempuan”. Inilah yang menjadi dasar kesepakatan para ulama terhadap
kepemimpinan perempuan.
Pernyataan
dan kesepakatan ulama ini menjadi pertanyaan dan pernyataan bahwa Islam
mendeskriditkan atau mengenyampingkan dan menganggap wanita itu lebih rendah
kedudukannya dalam Islam. Berdasarkan pandangan inilah mulai bermunculan adanya
berbagai faham yang menyatakan diri sebagai kaum feminisme yang bercita-cita
memajukan Islam.[2]
B.
Pandangan
Ulama Kontemporer tentang kepemimpinan wanita dalam berpolitik
Ulama
kontemporer ternama Yusuf Al-Qordhawi memiliki pandangan dan pendapat yang
berbeda terhadap kepemimpinan wanita dalam berpolitik. Beliau menjelaskankan
bahwa penafsiran terhadap surat an-nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin
bagi wanita dalam lingkup keluarga atau rumah tangga. Jika ditinjau tafsir
surat An-Nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita, bertindak sebagai
orang dewasa terhadapnya, yang menguasainya, dan pendidiknya tatkala dia
melakukan penyimpangan. “Karena Allah telah mengunggulkan sebagian mereka atas
sebagian yang lain. Yakni, karena kaum laki-laki itu lebih unggul dan lebih
baik daripada wanita. Oleh karena itu kenabian hanya diberikan kepada kaum
laki-laki.
Laki-laki
menjadi pemimpin wanita yang dimaksud ayat ini adalah kepemimpinan dirumah
tangga, karena laki-laki telah menginfakkan hartanya, berupa mahar, belanja dan
tugas yang dibebankan Allah kepadanya untuk mengurus mereka. Tafsir ibnu katsir
ini menjelaskan bahwa wanita tidak dilarang dalam kepemimpinan politik, yang
dilarang adalah kepemimpinan wanita dalam puncak tertinggi atau top
leader tunggal yang mengambil keputusan tanpa bermusyawarah, dan
juga wanita dilarang menjadi hakim. Hal inilah yang mendasari Qardhawi memperbolehkan
wanita berpolitik.[3]
Qordhawi
juga menambahkan bahwa wanita boleh berpolitik dikarenakan pria dan wanita
dalam hal mu’amalah memiliki kedudukan yang sama hal ini dikarenakan keduanya
sebagai manusia mukallaf yang diberi tanggung jawab penuh untuk beribadah,
menegakkan agama, menjalankan kewajiban, dan melakukan amar ma’ruf nahi
munkar. Pria dan wanita memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih,
sehingga tidak ada dalil yang kuat atas larangan wanita untuk berpolitik. Namun
yang menjadi larangan bagi wanita adalah menjadi imam atau khilafah (pemimpin
negara).
Quraish
Shihab juga menambahkan bahwa dalam Al-Qur’an banyak menceritakan persamaan
kedudukan wanita dan pria, yang membedakannya adalah ketaqwaanya kepada Allah.
Tidak ada yang membedakan berdasarkan jenis kelamin, ras, warna kulit dan suku.
Kedudukan wanita dan pria adalah sama dan diminta untuk saling bekerjasama
untuk mengisi kekurangan satu dengan yang lainnya, sebagai mana di jelaskan
dalam surat At-Taubah ayat 71 yang berbunyi:
tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt/
âä!$uÏ9÷rr&
<Ù÷èt/
4 crâßDù't Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ztur
Ç`tã
Ìs3ZßJø9$# cqßJÉ)ãur
no4qn=¢Á9$# cqè?÷sãur no4qx.¨9$# cqãèÏÜãur
©!$#
ÿ¼ã&s!qßuur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNßgçHxq÷zy
ª!$#
3 ¨bÎ)
©!$#
îÍtã ÒOÅ3ym ÇÐÊÈ
Artinya:
”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.
mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.”
Islam
sebenarnya tidak menempatkan wanita berada didapur terus menerus, namun jika
ini dilakukan maka ini adalah sesuatu yang baik, hal ini di nyatakan oleh imam
Al-Ghazali bahwa pada dasarnya istri tidak berkewajiban melayani suami dalam
hal memasak, mengurus rumah, menyapu, menjahid, dan sebagainya. Akan tetapi
jika itu dilakukan oleh istri maka itu merupakan hal yang baik. Sebenarnya suamilah
yang berkewajiban untuk memberinya/menyiapkan pakaian yang telah dijahid dengan
sempurna, makanan yang telah dimasak secara sempurna. Artinya kedudukan wanita
dan pria adalah saling mengisi satu dengan yang lain, tidak ada yang superior.
Hanya saja laki-laki bertanggung jawab untuk mendidik istri menjadi lebih baik
di hadapan Allah SWT.
Sebenarnya
hanyalah permainan kaum feminis saja yang menyatakan bahwa laki-laki superior
dibandingkan dengan wanita, agar mereka dapat melakukan hal-hal yang melampaui
batas, dengan dalih bahwa wanita dapat hidup tanpa laki-laki, termasuk dalam
hal seks, sehingga muncullah fenomena lesbian percintaan sesama jenis,
banyaknya fenomena kawin cerai karena sang istri menjadi durhaka terhadap
suami, padahal dalam rumah tangga pemimpin keluarga adalah laki-laki, sedangkan
dalam hal berpolitik tidak ada larangan dalam islam untuk berpolitik dan
berkarier.
Taqiyuddin
al-Nabhani menjelaskan ada tujuh syarat seorang kepala negara atau (Khalifah)
dapat di bai’at yaitu muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan
mampu. Syarat
muslim merupakan syarat mutlak untuk mengangkat pemimpin dalam sebuah negara
yang mayaritas penduduk islam, dan dilarangkan mengangkat pimpinan dari
kalangan kafir. Hal ini termaktub dalam surat An-Nisa ayat 144 yang berbunyi:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä
w
(#räÏGs? tûïÍÏÿ»s3ø9$#
uä!$uÏ9÷rr&
`ÏB Èbrß tûüÏZÏB÷sßJø9$# 4 tbrßÌè?r& br& (#qè=yèøgrB ¬!
öNà6øn=tæ
$YZ»sÜù=ß
$·YÎ6B
ÇÊÍÍÈ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk
menyiksamu) ?
Kedua
laki-laki, wanita dalam hal ini dilarang menjadi khalifah, imam, ulil amri,
atau kepala negara dalam hal ini kepala negara tidak dimaksud Presiden, yang
dimaksud disini adalah kepemimpinan yang dapat mengambil keputusan tanpa
dimusyawarahkan terlebih dahulu, sedangkan presiden dalam membuat keputusan
harus dilakukan dengan bermusyawarah terlebih dahulu terhadap pembantu-pembantunya
baik menteri, staff ahli, maupun dengan penasihat pribadinya.
Ketiga
baligh, dengan syarat baligh maka pemimpin dibebani oleh hukum, sehingga apa
yang di pikulnya atau diamanahi kepada mereka maka akan dapat dipertanggung
jawabkan secara hukum, baik hukum dunia, maupun hukum dihadapan Allah.
Keempat
berakal, orang yang hilang akalnya dilarang menjadi pemimpin karena akan
mengambil keputusan yang tidak tepat, dan kehilangan akal akan membebaskan
seseorang dari hukum, sehingga tidak dapat dimintai pertanggung jawabannya.
Kelima adil, yaitu pemimpin yang konsisten dalam menjalani agamanya hal
ini termaktub dalam surah An-Nahl ayat 90 yang berbunyi:
¨bÎ)
©!$#
ããBù't
ÉAôyèø9$$Î/
Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGÎ)ur Ï 4n1öà)ø9$#
4sS÷Ztur
Ç`tã
Ïä!$t±ósxÿø9$#
Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur
4 öNä3ÝàÏèt
öNà6¯=yès9
crã©.xs? ÇÒÉÈ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil
dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran”
Keenam, merdeka terbebas dari perbudakan sehingga dapat mengambil keputusan
tanpa interfensi dari tuannya. Dan seorang hamba sahaya dilarang diangkat
menjadi pemimpin karena dia tidak memiliki wewenang untuk mengatur orang lain
dan bahkan terhadap dirinyapun tidak memiliki wewenang.
Ketujuh, mampu melaksanakan amanat khilafah, jika tidak mampu menjalankan
amanat maka tunggulah hasilnya. Sebagaimana di jelaskan dalam hadist yang
diriwayatkan oleh Bukhari ” Jika urusan diserahkan kepada yang bukan
ahlinya, maka tunggulah Kiamat” (HR Bukhari).
Qardhawi dalam hal ini kembali mempertegas bahwa kepemimpinan kepala negara
dimasa sekarang ini kekuasaannya tidak sama dengan seorang ratu atau khalifah
di sama lalu yang identik dengan seorang imam dalam shalat. Sehingga kedudukan
wanita dan pria dalam hal perpolitikan adalah sejajar karena sama-sama memiliki
hak memilih dan hak dipilih. Dengan alasan bahwa wanita dewasa adalah manusia
mukallaf (diberi tanggung jawab) secara utuh, yang dituntut untuk beribadah
kepada Allah, menegakan agama, dan berdakwah.
Menurut
Abu Hanifah seorang perempuan dibolehkan menjadi hakim, tetapi tidak boleh
menjadi hakim dalam perkara pidana. Sementara Imam Ath-Thabari dan aliran
Dhahiriyah membolehkan seseorang perempuan menjadi hakim dalam semua perkara,
sebagaimana mereka membolehkan kaum perempuan untuk menduduki semua jabatan
selain puncak kepemimpinan Negara.[4]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Ulama-ulama
kontemporer saat ini tidak mentafsirkan ayat al-qur’an dan al-hadist mutlak
dengan terjemahannya, namun dibahas berdasarkan asbab-asbabnya, sehingga tidak
memandang dalil dengan kacamata kuda. Kepemimpinan wanita dalam perpolitikan
menurut islam di perbolehkan, menurut Qardhawi wanita diperbolehkan terjun
berpolitik dan bahkan menjadi pemimpin dalam sebuah negara. Qordhawi memandang
kepemimpinan dalam sebuah negara pada saat ini tidaklah sama dengan kepemimpinan
khilafah yang dapat mengambil keputusan secara langsung, sedangkan kepemimpinan
negara pada saat ini dalam mengambil keputusan harus dilakukan dengan
bermusyawarah terlebih dahulu dengan para menteri, ataupun dengan staff
ahlinya. Hal senada juga di sampaikan oleh Imam Ath-Thabari, bahwa puncak
kepemimpinan yang tidak boleh diduduki oleh perempuan adalah kepemimpinan
khilafah yang meliputi seluruh umat Islam di dunia, bukan puncak kepemimpinan
di sebuah kawasan atau negara tertentu semata, yang pada saat ini lebih dikenal
dengan kepemimpinan “waliyul wilayah” yakni kepemimpinan de facto yang bersifat
regional. Kepemimpinan ini boleh di pegang oleh perempuan. Disamping itu beliau
juga menyatakan bahwa wanita boleh menjadi hakim disegala urusan perkara yang
ada. Namun Imam Abu Hanifah memperpolehkan menjadi hakim namun dilarang menjadi
hakim yang memutuskan perkara pidana.
Larangan
perempuan menjadi pemimpin dalam perpolitikan dikarenakan memandang dengan kaca
mata kuda, sehingga mengabaikan kajian yang lebih dalam, berkaca dari
kesuksesan ratu Balqis dalam memimpin dengan adil, jujur, taat ibadah dan
berhasil membawa rakyatnya hidup sejahtera sehingga ini dapat mematahkan
pernyataan bahwa terlarangnya wanita dalam memimpin di perpolitikan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-qaradhawi,
Yusuf, Meluruskan
Dikotomi Agama & Politik “Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan
Liberalisme”, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2008.
Nasib
Ar-Rifa’I, Muhammad, Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir IBNU KATSIR Jilid
1, Depok : Gema Insani Press, 2007.
Zainuddin,
Muhammad dan Maisaroh, Ismail. 2005. Posisi Wanita Dalam Sistem PolitikIslam,http://mimbar.lppm.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/396/254
[1]
Al-qaradhawi, Yusuf, Meluruskan Dikotomi Agama & Politik “Bantahan Tuntas Terhadap
Sekularisme dan Liberalisme”, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2008),
h. 58
[2]
Nasib Ar-Rifa’I, Muhammad, Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir IBNU KATSIR
Jilid 1, (Depok : Gema Insani Press, 2007), h. 68-67
[4]
Zainuddin, Muhammad dan Maisaroh, Ismail. 2005. Posisi Wanita Dalam Sistem
Politik Islam,http://mimbar.lppm.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/396/254
diakses 10/09/2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar