Jumat, 04 April 2014

AL-QUR'AN SEBAGAI SUMBER HUKUM



AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM
1.      Pengertian Al-Qur’an
Menurut sebagian besar ulama, kata ulama, kata Al-Qur’an berdasarkan segi bahasa merupakan bentuk mashdar dari kata qara’a, yang bisa dimasukkan pada wajan fu’lan, yang berarti bacaan atau apa yang tertulis padanya, maqru’ , seperti terdapat dalam surat Al-Qiyamah [75] : 17-18 :
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ   #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ  
Artinya :
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah : 17-18)
Adapun definisi Al-Qur’an secara terminology, menurut sebagian besar ulama Ushul Fiqih adalah sebagai berikut :
كَلَا مُ اللهِ تَعَا لَى الْمُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ باِ للَّفْظِ الْعَرَ بِيْ اَلْمَنْقُوْ لُ اِلَيْنَا بِا لتَّوَا تُرِاَلمَكْتُوْبُ بِا لْمَصَا حِفِ الْمُتَعَبَّدُ بِتِلَا وَتِهِ اَلْمَبْدُوْءُ بِالْفَا تِحَةِ وَالْمَخْتُوْمُ بِسُوْرَةٍ النَّا سِ
Artinya :
“Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf, dimulai dari surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas.”
Dari definisi diatas, para ulama ushul fiqih menyimpulkan beberapa ciri khas Al-Qur’an, antara lain sebagai berikut: (Asu-Syaukani :26-27)
1.      Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW. Dengan demikian, apabila bukan kalam Allah dan tidak diturunkan kepada Muhammad SAW., tidak dinamakan Al-Qur’an, seperti Zabur, Taurat, dan Injil. Ketiga kitab tersebut memang termasuk di antara kalam Allah, tetapi bukan diturunkan kepada Muhammad SAW., sehingga tidak dapat disebut Al-Qur’an.
2.      Bahasa Al-Qur’an adalah bahasa Arab Quraisy. Seperti ditunjukkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain: Asy-Syu’ara [26]: 192-195; Yusuf [12]: 2; Az-Zumar [39]: 28; An-Nahl[16]: 103; dan Ibrahim [14] : 4. Maka para ulama sepakat bahwa penafsiran dan terjemahan Al-Qur’an tidak dinamakan Al-Qur’an serta tidak bernilai ibadah membacanya. Dan tidak sah sholat dengan hanya membaca tafsir atau terjemahan Al-Qur’an, sekalipun ulama Hanafiyyah membolehkan shalat dengan bahasa Parsi, tetapi kebolehan ini hanya bersifat rukhshah (keringanan hukum).
3.      Al-Qur’an itu dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawatir (dituturkan oleh orang banyak kepada orang banyak sampai sekarang. Mereka itu tidak mungkin sepakat untuk berdusta), tanpa perubahan dan penggantian satu kata pun. (Al-Bukhari : 24).
4.      Membaca setiap kata dalam Al-Qur’an itu mendapatrkan pahala dai Allah, baik bacaan itu berasal dari hapalan sendiri maupun dibaca langsung dari mushhaf  Al-Qur’an.
5.      Al-Qur’an dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. Tata urutan surat yang terdapat dalam Al-Qur’an, disusun sesuai dengan petunjuk Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW., tidak boleh diubah dan diganti letaknya. Dengan demikian, doa-doa yang biasanya ditambahkan di akhir Al-Qur’an, tidak termasuk Al-Qur’an.
2.      Kehujjahan Al-Qur’an Menurut Pandangan Ulama Imam Mazhab
a.       Pandangan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hokum Islam. Namun, menurut sebagian besar ulama, Imam Abu Hanifah berbeda pendapat dengan jumhur ulama, mengenai Al-Qur’an itu mencakup lafazh dan maknanya atau maknanya saja.
Diantara dalil yang menunjukkan pendapat Imam Abu Hanifah bahwa Al-Qur’an hanya maknanya saja adalah ia membolehkan shalat dengan menggunakan bahasa selain Arab, misalnya dengan bahasa Parsi walaupun tidak dalam keadaan madarat. Padahal menurut Imam Syafi’i sekalipun seseorang itu bodoh tidak dibolehkan membaca Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa selain Arab.
b.      Pandangan Imam Malik
Menurut Imam Malik, hakikat Al-Qur’an adalah kalam Allah yang lafazh dan maknanya dari Allah SWT. Ia bukan makhluk karena kalam Allah termasuk sifat Allah. Sesuatu yang termasuk sifat Allah tidak dikatakan makhluk, bahkan dia memberikan predikat kafir zindiq terhadap orang yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Imam Malik juga sangat keberatan untuk menafsirkan Al-Qur’an secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau berkata, “Seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang menafsirkan Al-Qur’an (dengan daya nalar murni), maka akan kupenggal leher orang itu.”
Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti ulama salaf (sahabat dan tabi’in) yang membatasi pembahsan Al-Qur’an sesempit mungkin karena mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah SWT. maka tidak heran kalau kitabnya, Al-Muwaththa  dan Al-Mudawwanah sarat dengan pendapat sahabat dan tabi’in. dan Malik pun mengikuti jejak mereka dalam cara menggunakan ra’yu.
Berdasarkan ayat 7 surat Ali-Imran, petunjuk lafazh yang terdapat dalam Al-Qur’an terbagi dalam dua macam, yaitu muhkamat dan mutasyabihat, ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang terang dan tegas maksudnya serta dapat dipahami dengan mudah, sedangkan ayat-ayat mustasyabihat ialah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak dapat ditentukan artinya, kecuali setelah diselidiki secara mendalam.
Muhkamat terbagi dalam dua bagian, yaitu lafazh dan nash. Imam Malik menyepakati pendapat ulama-ulama lain bahwa lafazh nash itu adalah lafazh yang menunjukkan makna yang jelas, namun masih mempunyai kemungkinan makna lain. Menurut Imam Malik, keduanya dapat dijadikan hujjah, hanya saja lafazh nash didahulukan daripada lafazh zhahir. Menurut Imam Malik, dilalah nash termasuk qath’i, sedangkan dilalah zhahir termasuk zhanni, sehingga bila terjadi pertentangan antara keduanya, maka yang didahulukan adalah dilalah nash. Yang perlu diingat adalah makna zhahir disini adalah makna zhahir menurut pengertian Imam Malik.
c.       Pandangan Imam Asy-Syafi’i
Imam As-Syafi’I, sebagaimana para ulama lainnya, menetapkan bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hokum Islam yang paling pokok bahkan beliau berpendapat, “Tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali petunjuknya terdapat dalam Al-Qur’an.” (Asy-Syafi’i, 1309:20). Oleh karena itu, Imam Asy-Syafi’i senantiasa mencatumkan nash-nash Al-Qur’an setiap kali mengeluarkan pendapatnya, sesuai metode yang digunakannya, yakni deduktif.
Namun, Asy-Syafi’i menganggap bahwa Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari As-Sunah, karena kaitan antara keduanya sangat erat sekali. Kalau para ulama lain menganggap bahwa sumber hukum Islam yang pertama itu Al-Qur’an kemudian As-Sunnah, maka Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa sumber hokum Islam pertama itu Al-Qur’an dan As-Sunah, sehingga seakan-akan beliau menganggap keduanya berada pada satu martabat.
Sebenarnya Imam Asy-Syafi’i pada beberapa tulisannya yang lain tidak menganggap bahwa Al-Qur’an dan Sunah berada dalam satu martabat, namun kedudukan As-Sunnah itu adalah setelah Al-Qur’an. Tapi Asy-Syafi’i menganggap bahwa keduanya berasal dari Allah SWT. meskipun mengakui bahwa diantara keduanya terdapat perbedaan cara memperolehnya. Dan menurutnya As-Sunah merupakan penjelas berbagai keterangan yang bersifat umum yang ada dalam Al-Qur’an.
Kemudian Asy-Syafi’i menganggap Al-Qur’an itu seluruhnya berbahasa Arab, dan ia menentang mereka yang beranggapan bahwa dalam Al-Qur’an terdapat bahasa ‘Ajam (luar Arab), diantara pendapatnya adalah firman Allah SWT.:
وَكَذَ لِكَ أَنْزَ لْنَا قُرْ اَنَاعَرَ بِيًّا
Artinya:
“Dan begitulah Kami turunkan Al-Qur’an berbahasa arab.”
Dengan demikian, tak heran bila Imam Asy-Syafi’I dalam berbagai pendapatnya sangat mementingkan penggunaan bahasa Arab, misalkan dalam shalat, nikah, dan ibadah-ibadah lainnya. Dan beliau pun mengharuskan penguasaan bahasa Arab bagi mereka yang ingin memahami dan meng-istinbath  hokum dari Al-Qur’an. (Abu Zahrah :191-197).
d.      Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal
Al-Qur’an merupakan sumber dan tiangnya syari’at Islam, yang didalamnya terdapat berbagai kaidah yang tidak akan berubah dengan perubahan zaman dan tempat. Al-Qur’an juga mengandung hokum-hukum global dan penjelasan mengenai akidah yang benar, disamping sebagai hujjah untuk tetap berdirinya agama Islam.
Ahmad Ibnu Hambal, sebagaimana para ulama lainnya berpendapat bahwa Al-Qur’an itu sebagai sumber pokok Islam, kemudian disusul oleh As-Sunah. Namun, seperti halnya Asy-Syafi’i, Imam Ahmad memandang bahwa As-Sunah mempunyai kedudukan yang kuat disamping Al-Qur’an, sehingga tidak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hokum itu adalah nash, tanpa menyebutkan Al-Qur’an dahulu atau As-Sunah dahulu, tetapi yang dimaksud nash tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunah.
Dalam penafsiran terhadap Al-Qur’an, Imam Ahmad betul-betul mementingkan penafsiran yang datangnya dari As-Sunah (Nabi Muhammad SAW.) dan sikapnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga:
a.       Sesungguhnya zhahir Al-Qur’an tidak mendahulukan As-Sunah.
b.      Rasulullah SAW. saja yang berhak menafsirkan Al-Qur’an, maka tidak ada seorang pun yang berhak menafsirkan atau menakwilkan Al-Qur’an, karena As-Sunah telah cukup menafsirkan dan menjelaskannya.
c.       Jika tidak ditemukan penafsiran yang berasal dari Nabi, penafsiran para sahabatlah yang dipakai, karena merekalah yang menyaksikan turunnya Al-Qur’an dan mendengarkan takwil. Dan mereka pula yang lebih mengetahui As-Sunah yang mereka gunakan sebagai penafsir Al-Qur’an.
Menurut Ibnu Taimiyah, Al-Qur’an itu tidak ditafsirkan, kecuali dengan atsar, namun dalam beberapa pendapatnya, ia menjelaskan kembali bahwa jika tidak ditemukan dalam hadis Nabi dan qaul sahabat, diambil dari penafsiran para tabi’in. (Abu Zahrah : 224-247).



3.      Petunjuk (Dilalah) Al-Qur’an
Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hokum syara’. Mereka pun sepakat bahwa semua ayat Al-Qur’an dari segi wurud (kedatangan) dan tsubut (penetapannya) adalah qath’i. hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawatir. Kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushaf-Nya, yang tidak ada pada qira’ah mujtawatir, hal ini hanya merupakan penjelasan dan penafsiran terhadap Al-Qur’an yang didengar dari Nabi SAW. atau hasil ijtihad mereka dengan jalan membawa nash mutlaq pada muqayyad dan hanya untuk dirinya sendiri. Hanya saja para pembahas berikutnya menduga bahwa hal tersebut termasuk qira’at gair mutawatir  yang periwayatannya tersendiri. Di antara para sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushaf-Nya itu adalah Abdullah Ibnu Mas’ud, ia mencantumkan kata mutatabi’atin pada ayat 89 surat Al-Ma’idah sehingga ayat tersebut pada mushaf-NYa tertulis:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَا مُ ثَلَا ثَةِ اَيَّا مٍ مُتَتَابِعَاتٍ
Dan kata dzi ar-rahmi Al-nuharrami pada ayat 233, surat  Al-Baqarah sehingga ayat itu tertulis:
وَعَلَ الْوَارِثِ ذِ ى الرَّحْمِ الْمُحَرَّمِ
Ubay Ibnu Ka’ab mencantumkan kata min Al-ummi pada ayat 12 surat An-Nisa, sehingga ayat tersebut tertulis pada mushaf-Nya:
وَاِنْ كَانَ رَجُلٌ يُوْرِثُ كَلَالَةًاَوِامْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْأُخْتٌ مِنَ اْلأُمِّ.
(Muhammad Al-Makdur, 1976 : 104).
Namun, perlu ditegaskan bahwa hal tersebut tidak didapati dalam mushaf Utsmani yang kita pakai sekarang ini.
Dengan demikian, penambahan kata pada sebagian ayat Al-Quran seperti di atas tidak dapat dikatakan sebagai Al-Quran; dan orang yang mengingkarinya pun tidak dihukumi sebagai orang kufur. Demikian pula, kata-kata yang merupakan penambah itu tidak dapat dijadikan hujjah untuk istinbath hukum, kecuali menurut golongan Hanafiyah. Hal ini berakibat pada perbedaan pendapat antara Jumhur ulama dengan ulama Hanafiyah dalam beberapa masalah, yang antara lain sebagai berikut :
a.       Hanafiyah mensyaratkan puasa kifarat sumpah dilakukan terus-menerus, karena mereka berpegang kepada qira’ah Ibnu Mas’ud, sedangkan selain ulama Hanafiyah tidak mensyaratkannya, (Al-Ghazali, 1968 : 229)
b.      Hanafiyah melarang memotong tangan kiri pencuri yang mencuri untuk ketiga kalinya, karena yang dimaksudkan dengan pemotongan tangan pada ayat 38 surat Al-Maidah adalah tangan kanan pencuri. Pendapat mereka bersumber pada qira’ah Ibnu Mas’ud, sedangkan menurut para ulama selain Hanafiyah, pencuri yang mencuri ketiga kalinya itu harus dipotong tangan kirinya.
c.       Hanafiyah berpendapat bahwa kewajiban member nafkah kepada kerabat zawil Arham itu hanyalah kepada zawil arham yang muhrim, sedangkan menurut jumhur ulama, zawil arham yang wajib diberi nafkah tidak terikat dengan muhrim-nya saja, baik muhrim ataupun bukan, mereka tetap diberi nafkah. (Ali Hasaballah, 1968 :259).
Adapun ditinjau dari segi dilalah-nya, ayat-ayat Al-Qur’an itu dapat dibagi dalam dua bagian:
a.       Nash yang qati’i dilalah-nya
Yaitu nash yang tegas dan jelas maknanya, tidak bisa di-takwil, tidak mempunyai makna yang lain, dan tidak tergantung pada hal-hal lain di luar nash itu sendiri. Contoh yang dapat dikemukankan disini adalah ayat yang menetapkan kadar pembagian waris, pengharaman riba, pengharaman daging babi, hukuman had zina sebanyak seratus kali dera, dan sebagainya. Ayat-ayat yang menyangkut hal-hal tersebut, maknanya jelas dan tegas dan menunjukkan arti dan maksud tertentu, dan dalam memahaminya tidak memerlukan ijtihad. (Abdul Wahab Khalaf, 1972 :35).
b.      Nash yang zhanni dilalah-nya
Yaitu nash yang menunjukkan suatu makna yang dapat di-takwil atau nash yang mempunyai makna lebih dari satu, baik karena lafazhnya musytarak (homonym) ataupun karena susunan kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai cara, seperti dilalah isyarat-nya, iqtidha-nya, dan sebagainya.
Para ulama, selain berbeda pendapat tentang nash Al-Qur’an mengenai penetapan yang qath’i dan zhanni dilalah, juga berbeda mengenai penetapan yang qath’i atau zhanni dilalah.
Imam Asy-Syatibi menegaskan bahwa wujud dalil syara’ yang dengan sendirinya dapat menunjukkan dilalah yang qath’i itu tidak ada atau sangat jarang. Dalil syara’ yang qath’i tsubut pun untuk menghasilkan dilalah yang qathi’i masih bergantung pada premis-premis yang seluruh atau sebagainya zhannni pula. (Asy-Syatibi, 1975,1:35).
Premis-premis yang dimaksud Asy-Syatibi adalah:
a.       Proses penggunaan bahasa dan berbagai persoalan Ilmu Nahwu.
b.      Keterbatasan dari Isytirak.
c.       Keterbatasan dari majas.
d.      Proses penggunaan secara syara’ atau tradisi.
e.       Persoalan penggunaan dhamir.
f.       Adanya takhshish terhadap lafazh ’amm.
g.      Adanya taqyid  terhadap lafazh muthlaq.
h.      Keterbebasan dari nasikh.
i.        Kejelasan taqdim dan ta’khir.
j.        Ketiadaan pertentangan dengan pemikiran yang logis.
Meningat dalil syara’ yang dapat menunjukkan dilalah yang qath’i hanya terwujud dengan sepuluh premis diatas, maka menemukan dalil yang seperti itu hamper tidak mungkin. Andai kata ada, jumlahnya pun sangat sedikit. (Asy-Syatibi, 1975, 1:36). Pandangan seperti ini juga dikemukakan oleh Al-Asnawi dalam kitabnya Nihayah As-Sul. Ia menyatakan bahwa redaksi As-Sunnah Al-Mutawatirah, seperti halnya Al-Qur’an adalah qath’i, sedangkan dilalah-nya zhanni karena berkaitan dengan: Al-Ihtimalatu Al-Asyrah (Al-Asnawi, t.t : 125). Agaknya, yang dimaksud dengan Al-Ihtimatu Al-Asyrah (Al-Asnawi, t.t : 125). Agaknya, yang dimaksud dengan : Al-Ihtimatu Al-Asyrah sama dengan sepuluh premis yang  dikemukakan Asy-Syatibi.
Selanjutnya, Asy-Syatibi mengajukan suatu pandangan tentang upaya mencari qath’I dilalah, yaitu istiqra’. Menurutnya, dalil-dalil syar’I yang dapat diandalkan qath’I dilalah-nya adalah yang dihasilkan melalui proses ini disebut syabihu bi Al-mutawatiri Al-ma’nawy, karena ditunjang oleh makna berbagai nash yang menunjuk pada satu pengertian atau keputusan. (Asy-Syatibi, 1975 : 1: 36).
Konsep Asy-Syatibi tentang maqashid As-Syari’ah dirumuskannya berdasarkan metode istiqra ini, sehingga mempunyai landasan yang qath’i. oleh sebab itu, ditempat lain ia menjelaskan bahwa dalil zhanni dilalah bisa menjadi qath’i dilalah apabila maknanya sesuai dengan makna yang terkandung pada dalil yang qath’I dilalah-nya





4.      Sikap Para Ulama Ketika Zahir Al-Qur’an Berhadapan dengan Sunah
Menurut Imam Abu Zahrah, perbedaan pendapat para ulama juga terjadi karena adanya dilalah yang penjelasannya berkaitan erat dengan nash sunah, seperti sunah yang men-takhshish keumuman dilalah  Al-Qur’an. Dalam hal ini, para ulama berbeda pandangan. Imam Asy-Syafi’I, Ahmad Ibnu Hambal, dan ulama lainnya berpendapat bahwa pemahaman Al-Qur’an itu mesti disesuaikan dengan keterangan yang ada dalam Sunah, karena sunah berfungsi sebagai penjelas dan penafsir Al-Qur’an, dan juga sebagai takhsis terhadap ayat-ayat yang mujmal (umum), sehingga artinya menjadi jelas. Contohnya sangat banyak, dan para ualam pun bila tidak menemukan penafsirannya dari Sunah.
Dengan demikian, semua lafazh ‘amm yang ada dalam Al-Qur’an jika sudah ada keterangan dalam hadis, meskipun menyalahi zahir ayat tersebut, harus di-takhsish dengan sunah
Adapun Abu Hanifah dan beberapa ualama lain berpendapat bahwa lafazh umum yang ada dalam Al-Qur’an itu dijalankan sesuai dengan kebutuhan terhadap keumumannya. Jika ada sunah yang mutawatir atau yang masyhur, sunah tersebut yang bisa men-takhshish-nya. Namun jika sunahnya tidak mutawatir, Al-Qur’an dipahami berdasarkan keumumannya karena Al-Qur’an itu qath’I ke mutawatir-annya. Menurutnya, hadis ahad  tidak bisa dipakai men-takhsis Al-Qur’an karena tidak sahih untuk dinisbatkan kepada Nabi.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendapat para ulama mengenai takhshish sunah terhadap Al-Qur’an terbagi dua:
a.       As-Sunah sebagai hakim terhadap Al-Qur’an, yakni As-Sunah sebagai tafsir dan penjelas maksud-maksud ayat yang ada dalam Al-Qur’an. As-Sunah dianggap sebagai kunci untuk memahami Al-Qur’an yang tidak mungkin dilepaskan dalam memahami Al-Qur’an.
b.      Al-Qur’an sebagai hakim bagi sunah, yakni sunah tidak dianggap sahih jika bertetangan dengan Al-Qur’an, termasuk didalamnya khabar Ahad.
Perbedaan pendapat mengenai pemahaman terhadap dilalah Al-Qur’an, juga terjadi golongan Sunni dan Syi’i. kaum Sunni memahami dilalah Al-Qur’an melalui sunah. Jika tidak ditemukan dalam sunah, mereka memahaminya melalui ilmu bahasa Arab dan ilmu syari’at dengan mengambil muqashid dan tujuan disyariatkannya ayat tersebut.
Sedangkan golongan Syi’i (Imamiyah) berpendapat bahwa tidak seorang pun yang mampu memahami Al-Qur’an selain Imam mereka yang dua belas. Mereka beranggapan bahwa Imam yang dua belas tersebut sebagai kunci dalam memahami Al-Qur’an, sedangkan selain mereka tidak ada yang mampu mencapainya. Selain itu, mereka juga dianggap ma’shum, terhindar dari kesalahan. (Abu Zahrah, II : 59-60).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar