Jumat, 04 April 2014

KENAKALAN REMAJA



BAB I
PENDAHULUAN

 “Remaja”, kata itu mengandung aneka kesan. Ada orang berkata bahwa remaja merupakan kelompok yang biasa saja, tiada beda dengan kelompok manusia yang lain. Sementara pihak lainnya lagi, menganggap bahwa remaja adalah kelompok orang-orang yang sering menyusahkan orang-orang tua. Pada pihak lainnya lagi, menganggap bahwa remaja sebagai potensi manusia yang perlu dimanfaatkan. Tetapi, manakala remaja sendiri yang dimintai kesannya, maka mereka akan menyatakan yang lain. Mungkin mereka berbicara tentang ketakacuhan atau ketidakperdulian orang-orang dewasa terhadap kelompok mereka, sehingga menyebabkan mereka berbuat semaunya untuk menarik perhatian orang-orang dewasa tersebut.








BAB II
PEMBAHASAN

A.      Penyebab Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja yang sering terjadi di masyarakat bukanlah suatu keadaan yang berdiri sendiri. Kenakalan remaja tersebut timbul karena adanya beberapa sebab dan tiap-tiap sebab dapat ditanggulangi dengan cara-cara tertentu. Adapun penyebab kenakalan remaja ialah:[1]
1.      Keluarga dan Peranan kontrol di dalamnya
Keluarga merupakan lingkungan yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan di dalamnya anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali. Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil, akan tetapi merupakan lingkungan paling kuat dalam membesarkan anak dan terutama bagi anak yang belum sekolah. Oleh karena itu keluarga memiliki peranan yang penting dalam perkembangan anak, keluarga yang baik akan berpengaruh positif bagi perkembangan anak, sedangkan keluarga yang jelek akan berpengaruh negatif Oleh karena sejak kecil anak dibesarkan oleh keluarga dan untuk seterusnya, sebagian besar waktunya adalah di dalam keluarga maka sepantasnya kalau kemungkinan timbulnya delinquency itu sebagian besar juga berasal dari keluarga.
Adapun keadaan keluarga yang dapat menjadi sebab timbulnya delinquency dapat berupa keluarga yang tidak normal (broken home), keadaan jumlah anggota keluarga yang kurang menguntungkan.

a.       Broken Home dan Quasi Broken Home
Menurut pendapat umum pada broken home ada kemungkinan besar bagi terjadinya kenakalan remaja, di mana terutama perceraian atau perpisahan orang tua mempengaruhi perkembagan si anak. Dalam broken home pada prinsipnya strukutur keluarga tersebut sudah tidak lengkap lagi yang disebabkan adanya hal-hal:[2]
1)      Salah satu kedua orang tua atau kedua-duanya meninggal dunia.
2)      Perceraian orang tua.
3)      Salah satu kedua orang tua atau keduanya “tidak hadir” secara kontinyu dalam tenggang waktu yang cukup lama.
4)      Ayah mempunyai simpanan istri yang lain.[3]
5)      Keluarga yang diliputi konflik kekerasan.
Sehingga dari adanya keadaan keluarga yang tidak normal di atas, ini mengakibatkan dampak negative terhadap keadaan anak yaitu:[4]
1)      Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang dan tuntunan pendidikan orang tua, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing sibuk mengurusi permasalahan serta konflik batin sendiri.
2)      Kebutuhan fisik maupun psikis anak-anak remaja menjadi tidak terpenuhi. Keinginan dan ahrapan anak-anak tidak bisa tersalur dengan memuaskan atau tidak mendapatkan kompensasinya.
3)      Anak-anak tidak pernah mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan untuk hidup susila. Mereka tidak dibiasakan dengan disiplin dan kontrol diri yang baik.
Sebagai akibat ketiga bentuk pengabaian di atas, anak menjadi bingung, risau, sedih, malu, sering diliputi perasaan dendam benci, sehingga anak menjadi kacau dan liar. Di kemudian hari mereka mencari kompensasi bagi kerisauan batin sendiri di luar lingkungan keluarga, yaitu menjadi anggota dari suatu gang kriminal, lalu melakukan banyak perbuatan brandalan dan kriminal. Anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua itu selalu merasa tidak aman, merasa kehilangan tempat berlindung dan tempat berpijak. Di kemudian hari mereka akan mengembangkan reaksi kompensatoris dalam bentuk dendem dan sikap bermusuh terhadap dunia luar. Anak-anak tadi mulai menghilang dari rumah, lebih suka bergelandangan dan mencari kesenangan hidup yang imaginer di tempat-tempat lain. Dia mulai berbohong dan mencuri untuk menarik perhatian dan mengganggu orang tuanya atau ia menjadi mulai mengembangkan reaksi kompensatoris negatif untuk mendapatkan keenakan dan kepuasan hidup dengan melakukan perbuatan kriminal.[5]
Adakalanya di secara terang-terangan menunjukkan ketidakpuasan terhadap orang tuanya dan mulai melawan atau memberontak sambil melakukan tindak destruktif merusak yang tidak terkendali, baik terhadap orang tua maupun terhadap dunia luar yang kelihatan tidak ramah baginya.[6] Tegasnya, anak-anak yang merasa tidak bahagia dipenuhi banyak konflik batin serta mengalami frustasi terus menerus akan menjadi sangat agresif. Kemudian dia mulai mengadakan serangan-serangan kemarahan ke dunia sekitar, menteror lingkungan, menggarong milik orang lain dan sebagainya. Semua itu dilakukan sebagai tindak penyalur atau pelepas bagi semua ketegangan, kerisauan dan dendam hatinya. Penolakan oleh orang tua atau ditinggalkan oleh salah seorang dari kedua orang tuanya, jelas menimbulkan emosi dendam, rasa tidak percaya karena merasa dikhianati, kemarahan dan kebencian. Sentiment hebat itu menghambat perkembangan relasi manusiawi anak. Muncullah kemudia disharmoni sosial dan lenyapnya kontrol diri, sehingga anak dengan mudah bisa dibawa oleh arus buruk, lalu menjadi kriminal. Anak-anak delinkuen ini memang sadar, akan tetapi yang dikembangkan justru kesadaran yang salah.[7]
b.      Keadaan jumlah anak yang kurang menguntungkan
Aspek lain di dalam keluarga yang dapat menimbulkan anak remaja menjadi delinkuen adalah jumlah anggota keluarga (anak) serta kedudukannya yang dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Keadaan tersebut berupa:[8]
1)      Keluarga Kecil. Titik beratnya adalah anak kedudukan anak dalam keluarga misalnya anak sulung, anak bungsu dan anak tunggal. Kebanyakan anak tunggal sangat dimanjakan oleh orang tuanya dengan pengawasan luar biasa, pemenuhan kebutuhan yang berlebih-lebihan dan segala permintaannya dikabulkan. Perlakuan orang tua terhadap anak akan menyulitkan anak itu sendiri di dalam bergaul dengan masyarakat dan sering timbul konflik di dalam jiwanya, apabila suatu ketika keinginannya tidak dikabulkan oleh anggota masyarakat yang lain, akhirnya mereka frustasi dan mudah berbuat jahat misalnya melakukan penganiayaan, berkelahi, dan melakukan pengrusakan.
2)      Keluarga Besar. Di dalam rumah tangga dengan jumlah anggota warga yang beitu besar karena jumlah anak banyak, biasanya mereka kurang pengawasan dari kedua orang tua. Sering terjadi di dalam masyarakat kehidupan keluarga besar kadang-kadang disertai dengan tekanan ekonomi yang agak berat, akibatnya banyak sekali keinginan anak-anak yang tidak terpenuhi. Akhirnya mereka mecari jalan pintas yakni mencuri, menipu, dan memeras. Ada kemungkinan lain, dalam keluarga besar dengan jumlah anak yang banyak biasanya pemberian kasih saying dan pemberian perhatian dari kedua orang tua sama sekali tidak sama. Akibatnya, di dalam interm keluarga timbul persaingan dan rasa hati satu sama lain yang pada dasarnya akan mempengaruhi perkembangan jiwa anak.
Pada prinsipnya sikap negatif dari kedua orang tua terhadap anak dalam kedua bentuk keluarga, baik keluarga kecil maupun keluarga besar ternyata menyesatkan anak-anak remaja dan sangat merugikan masyarakatnya. Sebenarnya keadaan tersebut dapat dicari cara mendidiknya. Misalnya dalam keluarga kecil (anak tunggal) orang tua tidak berlebih-lebihan di dalam memberikan kasih sayang kepada anaknya dan supaya ditanamkan rasa hormat menghormati sesama kawan. Sedangkan dalam keluarga besar yang mengalami tekanan ekonomi seharusnya anaknya di didik hidup sederhana, diberi pengertian tata cara mencari nafkah yang besar menurut norma sosial, norma agama, norma susila dan norma hukum.
Orang tua, wali atau pengasuhan harus memahami semua kebutuhan anak-anaknya, baik yang bersifat biologis maupun yang bersifat psikologis. Anak-anak di dalam hidupnya perlu makan, minum, pakaian. Di samping itu mereka membutuhkan cinta (kasih sayang) serta rasa aman dalam keluarga, juga perlakuan adil dari kedua orang tua sangat mereka harapkan. Keluarga memiliki peranan untuk menanamkan disiplin bagi anak-anak sejak masih kecil agar setelah dewasa hal tersebut dapat menjadi kebiasaan
Dalam kaitan ini secara nasional ada harapan yang menggembirkan dengan adanya program “Panca Warga” yaitu Ayah, ibu, dan tiga anak. Dalam periode pemula dapat dikatakan berjalan baik, kemudian dicanangkan program “Catur Warga”, yakni ayah, ibu, dan dua anak (laki-laki atau perempuan sama saja). Program Keluarga Berencana (KB) dengan target NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera) pantas mendapatkan tanggapan positif, sebab dengan target NKKBS tersebut akan terwujud:[9]
1)      Kesehatan ibu lebih terjamin.
2)      Pemenuhan kebutuhan anak baik rohani maupun jasmani mendekati keadaan normal.
3)      Kesempatan untuk mencari nafkah bagi kedua orang tua lebih menguntungkan.
4)      Terbuka kesempatan bagi anak-anak untuk menuntut ilmu yang lebih memadai.
2.      Eksistensi Pendidikan Formal dan Masalahnya.
Pendidikan formal dilaksanaka dalam semesta pendidikan nasional. Menurut TAP MPR No. II/MPR/1988. Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk menigkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerda dan terampil serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta pada tanah air, mempertebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial. Sejalan dengan itu dikembangkan iklim belajar dan mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri sendiri serta sikap dan perilaku yang inovatif dan kreatif.
Dengan demikian pendidikan nasioanal akan mampu mewujudkan manusia-manusia. Pembagunan yang dapat membangunan dirinya sendiri serta besama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Sedangkan menurut Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 4 menegaskan pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Dalam konteks ini sekolah merupakan ajang pendidikan yang kedua setelah lingkungan keluarga bagi anak remaja. Di kota-kota besar di Indonesia masa remaja masih merupakan masa di sekolah terutama pada masa-masa permulaan. Dalam masa tersebut pada umumnya remaja duduk di bangku sekolah menengah pertama atau yang lebih setingkat. Adapun di desa-desa terutama dipelosok-pelosok masih dijumpai banyak anak remaja yang sudah tidak sekoah lagi, meskipun mereka pada umumnya dapat menikmati pendidikan sekolah dasar. Selama mereka menempuh pendidikan formal di sekolah terjadi interaksi antara remaja dengan sesamanya, juga interaksi antara remaja dengan pendidik. Interaksi yang mereka lakukan di sekolah sering menimbulkan akibat sampingan yang negatif bagi perkembangan mental sehingga anak remaja menjadi delikuen.[10]
a.    Pengaruh Negatif yang Timbul di Sekolah
Anak-anak yang memasuki sekolah tidak semua berwatak baik, misalnya pengisap ganja, cross boys dan cross girls yang memberikan kesan kebebasan tanpa control dari semua pihak terutama dalam lingkungan sekolah. Dalam sisi lain, anak-anak yang masuk sekolah ada yang berasal dari keluarga yang kurang memperhatikan kepentingan anak dalam belajar yang kerap kali berpengaruh pada teman yang lain. Seuai dengan keadaan seperti ini sekolah-sekolah sebagai tempat pendidikan anak-anak dapat menjadi sumber terjadinya konflik-konflik psikologis yang pada prinsipnya memudahkan anak menjadi delinkuen. Pengaruh negatif yang menangani langsung proses pendidikan antara lain kesulitan ekonomi yang dialami pendidik antara lain kesulitan ekonomi yang dialami pendidik dapat mengurangi perhatiannya terhadap anak-anak didik terlantar, bahkan sering terjadi pendidik marah kepada muridnya. Biasanya guru marah apabila terjadi suatu yang menghalangi keinginannya tertentu. Dia akan marah, apabila kehormatannya direndahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung atau sumber rejekinya dan sebangsanya dalam keadaan bahaya, sebagian atau seluruhnya atau lain dari itu.
Dewasa ini sering terjadi perlakuan guru yang tidak adil, hukuman/sanksi-sanksi yang kurang menunjang tercapainya tujuan pendidikan, ancaman yang tiada putus-putusnya disertai disiplin yang terlalu ketat, disharmonis antara peserta didik dan pendidik, kurangnya kesibukan belajar dirumah. Proses pendidikan yang kurang menguntungkan bagi perkembangan jiwa anak kerap kali memberi pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap peserta didik di sekolah sehingga dapat menimbulkan kenakalan remaja (juvenile delinquency).[11]
b.    Upaya Global Dalam Prevensi
Mewujudkan lingkungan sekolah yang sehat dimulai dari menetapkan peraturan tentang pakaian seragam dengan maksud agar kehidupan peserta didik tampak serasi, tidak terjadi penonjolan kemewahan di antara mereka, dididik untuk hidup sederhana agar tidak suka berfoya-foya di lingkungan sekolah khusunya. Dalam waktu-waktu tertentu di adakan operasi tertib dilingkungan sekolah secara kontiyu. Diusahakan semaksimal mungkin untuk menghilangkan sumber-sumber kenakalan remaja. Jika perlu diadakan kontak ikut membengkitkan semangat mereka untuk menunaikan kewajiban-kewajiban di sekolah serta memeberi motivasi agar sanggup meningkatkan kualitas/prestasi belajar dalam segala bidang.
Sebagian besar prestasi belajar yang dicapai peserta didik di sekolah ditunjang oleh dukungan positif dari orang tua/wali. Bagi pendidik layak bersikap objek peserta didik di kelas, jika ada kebiasaan/sifat yang dapat mengganggu iteraksi pendidik dan peserta didik atau emosional di dalam kelas, selayaknya cepat diubah dan diperbaiki. Pendidik harus memiliki disiplin yang tinggi terutama kehadiran mereka yang lebih teratur di dalam mengajar. Perhatian pendidik terhadap peserta didik dalam banyak aspek terutama dalam proses belajar dan pergaulan yang sehat sehingga pendidik mendapat cara yang paling baik untuk menolong peserta didik serta mengatasi kesulitan lainnya.[12]

B.       Peranan Masyarakat Dalam Menanggulangi Kenakalan Remaja
1.         Masyarakat Pendukung Kenakalan Remaja
Anak remaja sebagai anggota masyarakat selalu mendapat pengaruh dari keadaan masyarakat dan lingkungannya baik langsung maupun tidak langsung. Pengaruh yang dominan adalah akselerasi perubahan sosial yang ditandai dengan peristiwa-peristiwa yang sering menimbulkan ketegangan seperti persaingan dalam perekonomian, pengangguran, mass media, dan fasilitas rekreasi.
Pada dasarnya kondisi ekonomi global memiliki hubungan yang erat dengan timbulnya kejahatan. Di dalam kehidupan sosial adanya kekayaan dan kemiskinan mengakibatkan bahaya besar bagi jiwa manusia sebab kedua hal tersebut akan mempengaruhi keadaan jiwa manusia di dalam hidupnya termasuk anak-anak remaja. Dalam hidupnya termasuk anak-anak remaja. Dalam kenyataan ada sebagian anak remaja miskin yang memiliki perasaan rendah diri dalam masyarakat sehingga anak-anak tersebut melakukan perbuatan melawan hukum terhadap hak milik orang lain, seperti  pencurian, penipuan dan penggelapan. Biasanya hasil dari perbuatan tersebut mereka gunakan untuk bersenang-senang, seperti membeli pakaian yang bagus-bagus, nonton film dan makan yang serba lezat.
Dalam hal ini ada kesan bahwa perbuatan delinkuen tersebut timbul sebagai konpensasi untuk menyamakan dirinya dengan kehidupan para keluarga kaya yang biasa hidup gemerlapan dan berfoya-foya. Kemiskinan keluarga ekonomi lemah bukanlah penyebab satu-satunya bagi timbulnya kenakalan remaja akan tetapi memiliki titik singgung di dalamnya.
Di negara-negara yang sedang berkembang atau dalam proses membangun pada umumnya masalah penyediaan lapangan kerja dalam proses upaya maksimal. Dalam satu sisi pemerintah berusaha terus menerus membangun sarana-sarana industry dan infrastrukturnya yang lebih memadai sedangkan di sisi lain pertambahan penduduk tetap melaju dengan cepat, akhirnya pengangguran makin meningkat. Adanya pengangguran di dalam masyarakat terutama anak-anak remaja akan menimbulkan peningkatan kejahatan bahkan timbulnya niat jahat dikalangan masyarakat maupun anak-anak remaja disebabkan karena menganggur.
Di kalangan masyarakat sudah sering terjadi kejahatan seperti pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, pemerasan, gelandangan, dan pencuri. Kejahatan-kejahatan tersebut dilakukan oleh penjahat dari tingkatan umur yang beranekaragam, terdiri dari orang lanjut usia, orang dewasa dan anak remaja. Bagi anak remaja keinginan/kehendak untuk berbuat jahat kadang-kadang timbul karena bacaan, gambar-gambar dan film. Bagi mereka yang mengisi waktu senggangnya dengan bacaan-bacaan yang buruk (misalnya novel seks), maka hal itu akan berbahaya dan dapat menghalang-halangi mereka untuk berbuat hal-hal yang baik.
Demikian pula tontonan yang berupa gambar-gambar porno akan memberi rangsangan seks terhadap remaja. Rangsangan seks tersebut akan berpengaruh negative terhadap perkembangan jiwa anak remaja. Mengenai hiburan film adakalanya memiliki dampak kejiwaan yang baik, akan tetapi hiburan tersebut member pengaruh yang tidak menguntungkan bagi perkembangan jiwa anak remaja. Misalnya film detektif yang memilki figure penjahat sebagai peran utama serta film-film action yang penuh kekerasan dengan latar belakang balas dendam. Adegan-adegan film tersebut akan mudah mempengaruhi perilaku anak remaja dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi yang serba distruktif ini dapat berpengaruh negative terhadap anak remaja.[13]
2.         Upaya-Upaya Untuk Menanggulangi
Memang sulit untuk menemukan cara yang terbaik di dalam menanggulangi kenakalan remaja, akan tetapi masyarakat, perseorangan bahkan pemerintah sekalipun dapat melakukan prevensi. Langkah-langkah tersebut terutama dapat dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kehidupan warga masyarakat, agar di bidang sosial ekonomi mengalami peningkatan, misalnya kenaikan gaji pegawai negeri, peningkatan subsidi tehadap pusat-pusat industry kecil agar mereka dapat mengembangkan usahanya dan penyuluhan yang lebih baik terhadap petani sehingga dapat meningkatkan produksi dan mampu mempertinggi mutu hasil pertanian. Jika tempat-tempat industri kecil mampu meluaskan usahanya dan pemerintah member dukungan seperti yang diharapkan, maka pengangguran akan dapat diatasi.
3.    Partisipasi Aktif Konstruktif Masyarakat
Ada sebagian masyarakat yang bersifat kekanak-kanakan terhadap kenakalan remaja, anak delinkuen biasanya menjadi sasaran utama untuk diberi predikat buruk dan menyesatkan, mereka dikucilkan di dalam masyarakat. Anak remaja yang menjadi delinkuen karena keadaan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat pada umumnya sering melakukan perbuatan yang meresahkan dan mengancam ketenteraman masyarakat, misalnya penganiayaan, penggelapan, penipuan, pencurian dan pembunuhan. Kejahatan yang mereka lakukan sudah pasti melanggar hak-hak orang laon baik berupa harta maupun jiwanya, perbuatan tersebut akan dapat menimbulkan ketegangan sosial di dalam masyarakat.
Keresahan yang ditimbulkan oleh anak-anak remaja sebenarnya menjadi tanggung jawab seluruh anggota masyarakat. Ditinjau dari segi penyebabnya, masyarakat terlibat di dalamnya dan jika dilihat dari sisi lain masyarakatlah yang memikul beban kerugian. Suatu hal yang layak jika di dalam menanggulangi kenakalan remaja masyarakat juga bertanggung jawab secara moral.  Keterlibatan masyarakat di dalam menanggulangi anak delinkuen dapat berupa:[14]
a.    Memberi nasihat secara langsung kepada anak yang bersangkutan agar mereka tersebut meninggalkan kegiatannya yang tidak sesuai dengan seperangkat norma yang berlaku, yakni norma hukum, sosial, susila dan agama.
b.    Membicarakan dengan orang tua/ wali anak yang bersangkutan dan dicarikan jalan keluarnya untuk menyadarkan anak tersebut.
c.    Langkah yang terakhir, masyarakat harus berani melaporkan kepada pejabat yang berwenang tentang adanya perbuatan delinkuen sehingga segera dilakukan langkah-langkah prevensi secara menyeluruh.








BAB III
PENUTUP

Simpulan
Kenakalan remaja ditimbulkan oleh beberapa sebab yaitu salah satu kedua orang tua atau kedua-duanya meninggal dunia, perceraian kedua orang tuanya, kurangnya kasih sayang dari kedua orang tuanya, ayahnya mempunyai simpanan istri yang lain, keluarga yang diliputi konflik kekerasan, kondisi ekonomi yang kurang memadai, salah dalam memilih pergaulan, dan lain sebagainya.
Adapun cara menanggulanginya ialah dengan cara:
1.    Memberi nasihat secara langsung kepada anak yang bersangkutan agar mereka tersebut meninggalkan kegiatannya yang tidak sesuai dengan seperangkat norma yang berlaku, yakni norma hukum, sosial, susila dan agama.
2.    Membicarakan dengan orang tua/ wali anak yang bersangkutan dan dicarikan jalan keluarnya untuk menyadarkan anak tersebut.
3.    Langkah yang terakhir, masyarakat harus berani melaporkan kepada pejabat yang berwenang tentang adanya perbuatan delinkuen sehingga segera dilakukan langkah-langkah prevensi secara menyeluruh.



DAFTAR PUSTAKA

Kartono, Kartini, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1986.
Mappiare, Andi, Psikologi Remaja, Surabaya: Usaha Nasional, 1982.
Soesilowindradini, Psikologi Perkembangan Masa Remaja, Surabaya: Usaha Nasional, tt.
Sudarsono, Kenakanalan Remaja(Prevensi, Rehabilitasi dan Resosialisasi), Cet. IV, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004.



[1] Sudarsono, Kenakanalan Remaja(Prevensi, Rehabilitasi dan Resosialisasi), Cet. IV, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), h. 124.
[2] Ibid, h. 125
[3]Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1986), h. 59
[4] Ibid, h. 60
[5] Soesilowindradini, Psikologi Perkembangan Masa Remaja, (Surabaya: Usaha Nasional, tt), h.  110
[6] Andi Mappiare, Psikologi Remaja, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), h. 190
[7]Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, op.cit., h. 61
[8] Sudarsono, Kenakanalan Remaja(Prevensi, Rehabilitasi dan Resosialisasi), op.cit. h. 127
[9] Ibid, h. 128
[10] Ibid, h. 129
[11] Ibid, h. 130
[12] Ibid, h, 131
[13] Ibid, h. 132
[14] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar