Minggu, 23 November 2014

SEJARAH HUKUM PIDANA



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Membicarakan sejarah hukum pidana tidak akan lepas dari sejarah bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia mengalami perjalanan sejarah yang sangat panjang hingga sampai dengan saat ini. Beberapa kali periode mengalami masa penjajahan dari bangsa asing. Hal ini secara langsung mempengaruhi hukum yang diberlakukan di negara ini, khususnya hukum pidana. Hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik mempunyai peranan penting dalam tata hukum dan bernegara. Aturan-aturan dalam hukum pidana mengatur agar munculnya sebuah keadaan kosmis yang dinamis. Menciptakan sebuah tata sosial yang damai dan sesuai dengan keinginan masyarakat.[1]
Hukum pidana menurut Van Hammel adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelanggarakan ketertiban hukum yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar peraturan tersebut. Mempelajari sejarah hukum akan mengetahui bagaimana suatu hukum hidup dalam masyarakat pada masa periode tertentu dan pada wilayah tertentu. Sejarah hukum punya pegangan penting bagi yuris pemula untuk mengenal budaya dan pranata hukum.[2]
            Hukum Eropa Continental merupakan suatu tatanan hukum yang merupakan perpaduan antara hukum Germania dan hukum yang berasala dari hukum Romawi “Romana Germana”. Hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan letak, melainkan juga dalam lintasan kala dan waktu.[3] Secara umum sejarah hukum pidana di Indonesia dibagi menjadi beberapa periode yaitu pada masa kerajaan Nusantara, masa Penjajahan dan masa KUHP 1915 sampai sekarang. Sehingga untuk lebih jelasnya tentang sejarah hukum pidana di Indonesia akan dibahas dalam bab selanjutnya.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah hukum pidana di Indonesia pada masa Kerajaan Nusantara?
2.      Bagaimana sejarah hukum pidana di Indonesia pada masa Penjajahan?
3.      Bagaimana sejarah hukum pidana di Indonesia pada masa KUHP 1915 sampai sekarang?




















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Masa Kerajaan Nusantara
Pada masa kerajaan Nusantara banyak kerajaan yang sudah mempunyai perangkat aturan hukum. Aturan tersebut tertuang dalam keputusan para raja ataupun dengan kitab hukum yang dibuat oleh para ahli hukum. Tidak dipungkiri lagi bahwa adagium ubi societas ibi ius sangatlah tepat. Karena di manapun manusia hidup, selama terdapat komunitas dan kelompok maka akan ada hukum. Hukum pidana yang berlaku dahulu kala berbeda dengan hukum pidana modern. Hukum pada zaman dahulu kala belum memegang teguh prinsip kodifikasi. Aturan hukum lahir melalui proses interaksi dalam masyarakat tanpa ada campur tangan kerajaan. Hukum pidana adat berkembang sangat pesat dalam masyarakat.[4]
Hukum pidana yang berlaku saat itu belum mengenal unifikasi. Di setiap daerah berlaku aturan hukum pidana yang berbeda-beda. Kerajaan besar macam Sriwijaya sampai dengan kerajaan Demak pun menerapkan aturan hukum pidana. Kitab peraturan seperti Undang-undang raja niscaya, undang-undang mataram, jaya lengkara, kutara Manawa, dan kitab Adilullah berlaku dalam masyarakat pada masa itu. Hukum pidana adat juga menjadi perangkat aturan pidana yang dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat nusantara.[5]
Hukum pidana pada periode ini banyak dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan masyarakat. Agama mempunyai peranan dalam pembentukan hukum pidana di masa itu. Pidana potong tangan yang merupakan penyerapan dari konsep pidana Islam serta konsep pembuktian yang harus lebih dari tiga orang menjadi bukti bahwa ajaran agam Islam mempengaruhi praktik hukum pidana tradisional pada masa itu.[6]

B.  Masa Penjajahan
Pada masa periodisasi ini sangatlah panjang, mencapai lebih dari empat abad. Indonesia mengalami penjajahan sejak pertama kali kedatangan bangsa Portugis, Spanyol, kemudian selama tiga setengah abad dibawah kendali Belanda. Indonesia juga pernah mengalami pemerintahan dibawah kerajaan Inggris dan kekaisaran Jepang. Selama beberapa kali pergantian pemegang kekuasaan atas nusantara juga membuat perubahan besar dan signifikan.[7]
            Pola pikir hukum barat yang sekuler dan realis menciptakan konsep peraturan hukum baku yang tertulis. Pada masa ini perkembangan pemikiran rasional sedang berkembang dengan sangat pesat. Segala peraturan adat yang tidak tertulis dianggap tidak ada dan digantikan dengan peraturan-peraturan tertulis. Tercatat beberapa peraturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda seperti statuta Batavia (statute van batavia). Berlaku dua peraturan hukum pidana yakni KUHP bagi orang eropa (weetboek voor de europeanen) yang berlaku sejak tahun 1867. Diberlakukan pula KUHP bagi orang non eropa yang berlaku sejak tahun 1873.[8]

C.  Masa KUHP 1915 - Sekarang
Selama lebih dari seratus tahun sejak KUHP Belanda diberlakukan, KUHP terhadap dua golongan warganegara yang berbeda tetap diberlakukan di Hindia Belanda. Hingga pada akhirnya dibentuklah KUHP yang berlaku bagi semua golongan sejak 1915. KUHP tersebut menjadi sumber hukum pidana sampai dengan saat ini. Pembentukan KUHP nasional ini sebenarnya bukan merupakan aturan hukum yang menjadi karya agung bangsa. Sebab KUHP yang berlaku saat ini merupakan sebuah turunan dari Nederland Strafwetboek (KUHP Belanda). Sudah menjadi konskwensi ketika berlaku asas konkordansi terhadap peraturan perundang-undangan.[9]
KUHP yang berlaku di negeri Belanda sendiri merupakan turunan dari code penal perancis. Code penal menjadi inspirasi pembentukan peraturan pidana di Belanda. Hal ini dikarenakan Belanda berdasarkan perjalanan sejarah merupakan wilayah yang berada dalam kekuasaan kekaisaran perancis. Desakan pembentukan segera KUHP nasional sebagai sebuah negara yang pernah dijajah oleh bangsa asing, hukum yang berlaku di Indonesia secara langsung dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang berlaku di negara penjajah tersebut. Negeri Belanda yang merupakan negeri dengan sistem hukum continental menurunkan betuknya melalui asas konkordansi. Peraturan yang berlaku di Negara jajahan harus sama dengan aturan hukum negeri Belanda. Hukum pidana (straffrecht) merupakan salah satu produk hukum yang diwariskan oleh penjajah.[10]
Pada tahun 1965 LPHN (Lembaga Pembinaan Hukum Nasional) memulai suatu usaha pembentukan KUHP baru. Pembaharuan hukum pidana Indonesia harus segera dilakukan. Sifat undang-undang yang selalu tertinggal dari realitas sosial menjadi landasan dasar ide pembaharuan KUHP. KUHP yang masih berlaku hingga saat ini merupakan produk kolonial yang diterapkan di negara jajahan untuk menciptakan ketaatan. Indonesia yang kini menjadi Negara yang bebas dan merdeka hendaknya menyusun sebuah peraturan pidana baru yang sesuai dengan jiwa bangsa.[11]




D.  Usaha Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia
Pembaharuan hukum khususnya hukum pidana di Indonesia dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu:
1.      Pembuatan undang-undang yang maksudnya untuk mengubah, menambah dan melengkapi KUHP yang sekarang berlaku.
2.      Menyusun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) yang tujuannya untuk menggantikan KUHP yang sekarang berlaku yang merupakan warisan kolonial.

Usaha pembaharuan hukum pidana (KUHP) didasarkan pada alasan-alasan baik politik, sosiologis maupun praktis, serta alasan adaptif bahwa KUHP Nasional nanti dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungan-kecenderungan Internasional yang diakui oleh masyarakat beradab. Usaha pembaharuan hukum pidana melalui penyusunan R-KUHP sudah dimulai sejak tahun 1958 dengan terbentuknya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) yang kemudian diubah menjadi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Saat ini telah berhasil disusun RUU-KUHP tahun 1999-2000, di mana di samping tetap memandang asas Legalitas sebagai asas yang fundamental bagi negara Republik Indonesia yang berdasarkan hukum, juga mengakui adanya hukum adat yang memang untuk daerah-daerah tertentu masih hidup dalam masyarakat. Hal ini terlihat dalam Pasal 1 ayat (3) RUU-KUHP tahun 1999/2000, serta Pasal 62 ayat (1) berupa sanksi pemenuhan kewajiban adat.[12]
Di Pulau Bali sampai saat ini masih terdapat tindak pidana adat yang sebagian besar diselesaikan di luar pengadilan, yaitu melalui Prajuru Desa Adat. Penyelesaian melalui Pengadilan Negeri kepada pelaku hanya dijatuhi pidana seperti dalam Pasal 1O KUHP. Hal ini membuat masyarakat adat merasa tidak puas, sehingga kepada pelaku oleh masyarakat adat juga dijatuhi sanksi adat. Oengan demikian ada penjatuhan pidana ganda dalam penyelesaian tindak pidana adat.[13]
Untuk menghindari penjatuhan pidana ganda (pidana menurut KUHP dan sanksi adat), maka terhadap tindak pidana adat yang telah dijatuhi sanksi adat oleh Pimpinan Adat dan yang bersalah telah melaksanakannya, apabila tindak pidana adat tersebut diajukan ke muka pengadilan oleh Jaksa Penuntut Umum, maka tuntutan Jaksa Penuntut Umum tersebut harus dinyatakan tidak diterima. Dengan masih ditaati dan dihormatinya hukum adat untuk daerah-daerah tertentu di Indonesia maka sangat relevan untuk mengangkat ke permukaan hukum pidana adat berserta sanksi adatnya sebagai bahan penyusunan KUHP Nasional.[14]
Pembaharuan KUHP secara parsial/tambal sulam yang pernah dilakukan Indonesia adalah dengan mencabut, menambahkan, atau menyempurnakan pasal-pasal dalam KUHP maupun aturan-aturan hukum pidana di luar KUHP dengan beberapa peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan kondisi bangsa dan perkembangan jaman. Pembaharuan hukum pidana materiel dengan model parsial ini telah dilakukan sejak awal Indonesia merdeka dengan disahkannya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana sebagai akta kelahiran KUHP.[15]
Beberapa peraturan perundang-undangan yang mencabut, menambahkan, atau menyempurnakan pasal-pasal dalam KUHP antara lain sebagai berikut:
1.      UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
Dalam undang-undang ini diatur beberapa hal terkait dengan usaha pembaharuan hukum pidana, antara lain:
a.       Mengubah kata-kata “Nederlandsch-Indie” dalam peraturan hukum pidana menjadi “Indonesia”.
b.      Mengubah nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie menjadi Wetboek van Strafrecht sebagai hukum pidana Indonesia dan bisa disebut KUHP.
c.       Perubahan beberapa pasal dalam KUHP agar sesuai dengan kondisi bangsa yang merdeka dan tata pemerintahan yang berdaulat.
d.      Kriminalisasi tindak pidana pemalisuan uang dan kabar bohong.
2.      UU Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan
            Dalam undang-undang ini ditambahkan jenis pidana pokok baru berupa pidana tutupan ke dalam Pasal 10 huruf a KUHP dan Pasal 6 huruf a KUHP Tentara.
3.      UU Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin kepada Dokter dan Dokter Gigi
            Dengan undang-undang ini KUHP ditambahkan satu pasal, yaitu Pasal 512a tentang kejahatan praktek dokter tanpa izin.
4.      UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI dan Mengubah KUH Pidana
            Dalam undang-undang ini diatur antara lain sebagai berikut:
a.       Pemberlakuan UU Nomor 1 Tahun 1946 untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.
b.      Penambahan beberapa pasal dalam KUHP, yaitu;
(1)   Pasal 52 a tentang pemberatan pidana (ditambah 1/3) jika pada saat melakukan kejahatan menggunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia.
(2)   Pasal 142 a tentang kejahatan menodai bendera kebangsaan negara sahabat.
(3)   154 a tentang kejahatan menodai bendera kebangsaan dan lambang negara Republik Indonesia.
5.      UU Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP.
Dengan undang-undang ini ancaman pidana pada Pasal 359, 360, dan 188 diubah, yaitu:
-          Pasal 359 tentang tindak pidana penghilangan nyawa karena kealpaan dipidana lebih berat dari pidana penjara maksimal 1 tahun atau pidana kurungan maksimal 9 bulan menjadi pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana kurungan maksimal 1 tahun.
-          Pasal 360 tentang tindak pidana karena kesalahan menyebabkan luka berat, sehingga menyebabkan orang sakit sementara atau tidak dapat menjalankan profesinya semula dipidana maksimal 9 bulan penjara atau kurungan maksimal 6 bulan atau denda maksimal Rp 300,-, dipisah menjadi dua ayat yaitu:
a.       Pasal 360 ayat (1) tentang tindak pidana perlukaan berat
karena kealpaan dipidana lebih berat menjadi pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana kurungan maksimal 1 tahun.
b.      Pasal 360 ayat (2) tentang tindak pidana perlukaan karena kealpaan sehingga menyebabkan seseorang menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan pekerjaan dipidana lebih berat menjadi pidana penjara maksimal 9 bulan atau pidana kurungan maksimal 6 bulan atau pidana denda maksimal Rp. 300,-.
c.       Pasal 188 tentang tindak pidana kebakaran, peletusan, atau banjir yang membahayakan umum atau menyebabkan matinya orang lain karena kealpaan dipidana lebih ringan yaitu pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana kurungan maksimal 1tahun atau pidana denda maksimal Rp. 300,-.
6.      UU Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP.
Dengan undang-undang ini, kata “vijf en twintig gulden” dalam Pasal 364, 373, 379, 384, dan 407 ayat (1) diubah menjadi Rp. 250,- (1).
7.      UU Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam KUHP dan dalam Ketentuan-ketentuan Pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan undang-undang ini maka hukuman denda yang ada dalam KUHP maupun dalam ketentuan pidana yang dikeluarkan sebelum 17 Agustus 1945 harus dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatkan lima belas kali.
8.      UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
Dengan undang-undang ini, Kitab Undang-undang Hukum Pidana ditambahkan pasal baru, yaitu Pasal 156a yang berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a.       Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
b.      engan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
9.      UU Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian.
Dengan undang-undang ini diatur beberapa perubahan beberapa pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan tindak pidana perjudian, yaitu:
a.       Semua tindak pidana perjudian dianggap sebagai kejahatan.
Dengan ketentuan ini, maka Pasal 542 tentang tindak pidana pelanggaran perjudian yang diatur dalam Buku III tentang Pelanggaran dimasukkan dalam Buku II tentang Kejahatan dan ditempatkan dalam Buku II setelah Pasal 303 dengan sebutan Pasal 303 bis.
b.      Memperberat ancaman pidana bagi pelaku bandar perjudian dalam Pasal 303 ayat (1) KUHP dari pidana penjara maksimal 2 tahun 8 bulan atau denda maksimal Rp. 90.000,- menjadi pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp. 25.000.000,-. Di samping pidana dipertinggi jumlahnya (2 tahun 8 bulan menjadi 10 tahun dan Rp. 90.000,- menjadi Rp. 25.000.000,-) sanksi pidana juga diubah dari bersifat alternatif penjara atau denda) menjadi bersifat kumulatif (penjara dan denda).
c.       Memperberat ancaman pidana dalam Pasal 542 ayat (1) tentang perjudian dalam KUHP dari pidana kurungan maksimal 1 bulan atau denda maksimal Rp. 4.500,- penjara maksimal 4 tahun atau denda maksimal Rp. 10.000.000,-. Pasal ini kemudian menjadi Pasal 303 bis ayat (1).
d.      Memperberat ancaman pidana dalam Pasal 542 ayat (2) tentang residive perjudian dalam KUHP dari pidana kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp. 7.500,- menjadi pidana penjara maksimal 6 tahun atau denda maksimal Rp. 15.000.000,-. Pasal ini kemudian menjadi Pasal 303 bis ayat (2).
10.  UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan.
a.       Memperluas ketentuan berlakunya hukum pidana menurut tempat yang diatur dalam Pasal 3 dan 4 KUHP menjadi berbunyi:
·         Pasal 3
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau
pesawat udara Indonesia.
·         Pasal 4
Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal 438, 444 sampai dengan Pasal 446 tentang pembajakan laut dan Pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan Pasal 479 hutrf j tentang penguasaan pesawat
udara secara melawan hukum, Pasal 479 huruf l, m, n, o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.
b.      Menambah Pasal 95a tentang arti pesawat udara Indonesia, 95b tentang arti penerbangan, dan 95c tentang arti dalam dinas.
c.       Setelah Bab XXIX KUHP tentang Kejahatan Pelayaran ditambahkan bab baru yaitu Bab XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan. Dalam bab baru ini terdapat 28 pasal baru yaitu Pasal 479a-479r.
11.  UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara.
Dalam undang-undang ini ditambahkan 6 pasal baru tentang kejahatan terhadap keamanan negara yaitu Pasal 107 a-f. Pelaksanaan pidana mati yang menurut Pasal 11 dilaksanakan di tiap gantungan telah diubah dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Pelaksanaan Pidana Mati di Pengadilan Militer dan Pengadilan Umum. Eksekusi pidana mati berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang kemudian dijadikan UU Nomor 2/PnPs/1964 dilaksanakan dengan cara ditembak.
Di samping adanya beberapa perundang-undangan yang merubah KUHP di atas, terdapat juga beberapa perundang-undangan di luar KUHP yang mengatur tentang pidana. Di antaranya adalah tindak pidana ekonomi (diatur dalam UU Nomor 7 Drt Tahun 1951 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi), tindak pidana korupsi (diatur dalam UU Nomor 3 tahun 1971 kemudian diperbaharui dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 dan diperbaharui lagi dengan UU Nomor 20 Tahun 2001), tindak pidana narkotika (diatur dengan UU Nomor 22 Tahun 1997), tindak pidana psikotropika (diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1997), tindak pidana lingkungan hidup (diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1997), tindak pidana pencucian uang (diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2003), tindak pidana terorisme (diatur dengan UU Nomor 15 Tahun 2003), dan lain sebagainya.[16]



BAB III
PENUTUP

Simpulan:
Secara umum sejarah hukum pidana di Indonesia dibagi menjadi beberapa periode yaitu pada masa kerajaan Nusantara, masa Penjajahan dan masa KUHP 1915 sampai sekarang. Yang pertama, pada masa kerajaan Nusantara banyak kerajaan yang sudah mempunyai perangkat aturan hukum. Hukum pidana yang berlaku saat itu belum mengenal unifikasi. Di setiap daerah berlaku aturan hukum pidana yang berbeda-beda. Hukum pidana pada periode ini banyak dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan masyarakat. Agama mempunyai peranan dalam pembentukan hukum pidana di masa itu.
Yang kedua, pada masa penjajahan perkembangan pemikiran rasional sedang berkembang dengan sangat pesat. Segala peraturan adat yang tidak tertulis dianggap tidak ada dan digantikan dengan peraturan-peraturan tertulis. Dan yang ketiga yaitu pada masa KUHP 1915 sampai sekarang, pada masa ini dibentuklah KUHP yang berlaku bagi semua golongan. KUHP tersebut menjadi sumber hukum pidana sampai dengan saat ini.




DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Aruan Sakijo & Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori dan Azas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1988.

Artikel:
Koleksi Sejarah, http://www.kumpulansejarah.com/2013/03/sejarah-hukum-pidana-di-indonesia.html
Chandra Yudiana, http://chandrayudiana.blogspot.com/2010/04/sejarah-hukum-pidana.html
Anne Ahira, http://www.anneahira.com/hukum-pidana-di-indonesia.htm



[1]Aruan Sakijo & Bambang Poernomo, Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), h. 7
[2] Ibid
[4] ibid 
[5]  Aruan Sakijo & Bambang Poernomo, Hukum Pidana,op.cit., h. 8
[6] ibid
[7] Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori dan Azas Umum Hukum Acara Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1988), h. 24
[8] ibid
[9] Koleksi Sejarah, http://www.kumpulansejarah.com/2013/03/sejarah-hukum-pidana-di-indonesia.html diakses Sabtu, tanggal 28/09/2013.
[10] ibid
[11] ibid
[12] Chandra Yudiana, http://chandrayudiana.blogspot.com/2010/04/sejarah-hukum-pidana.html diakses Sabtu, tanggal 28/09/2013.
[13] ibid
[14] Anne Ahira, http://www.anneahira.com/hukum-pidana-di-indonesia.htm diakses Sabtu, tanggal 29/09/2013.
[16]  Aruan Sakijo & Bambang Poernomo, Hukum Pidana,op.cit., h. 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar