BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pada masa Rasulullah Saw masih hidup, segala sesuatu beliau pimpin
sendiri. Peristiwa-peristiwa yang terjadi langsung mendapat keputusan dari
beliau. Sahabat-sahabat senantiasa diberi petunjuk dengan ayat-ayat Al-Qur’an
yang diturunkan Allah kepada beliau. Setelah beliau wafat, para sahabat menghadapi persoalan yang sulit tentang
status hukum suatu perbuatan.
Terkadang masalah yang mereka hadapi itu tidak ditemukan nas-nya
dalam Al-Qur’an atau hadis, sehingga mereka menggunakan metode ijtihad untuk
mencari hukum dengan memperbandingkan dan meneliti ayat-ayat dan hadis yang
umum, serta mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan peristiwa yang telah
terjadi, diqiaskan dengan hukum yang sudah ada, yang berdekatan dengan
peristiwa yang baru terjadi itu.
Dari pemaparan di atas dalam makalah ini penulis akan memaparkan
beberapa hadis yang perlu di analisis secara fiqih berdasarkan Al-Qur’an dan
hadis, sehingga akan ada beberapa pendapat yang bertentangan dan yang
mendukung. Maka dari itu, untuk lebih jelasnya tentang pemaparan hadis-hadis
ini akan dibahas dalam bab selanjutnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
analisa fiqih hadis tersebut?
2.
Bagaimana
analisa hadis tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadis Tentang Talaq
1.
Hadis Fathimah yang ditalak Tiga Suaminya
وَعَنْ
فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ : (يَارَسُولَاللهِ! إنَّ زَوْجِي طَلَّقَنِي
ثَلَا ثً, وَأَخَافُ أَنْ يُقْتَحَمَ عَلَيَّ, قَالَ: فَأَمَرَهَا , فَتَحَوَّلَتْ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya: “Fathimah Binti Qais berkata : Aku berkata : Wahai
Rasulullah, suamiku telah mentalakku dengan tiga talak, aku takut ada orang
mendatangiku. Maka beliau menyuruhnya pindah dan ia kemudian pindah. (HR.
Muslim).
- Analisa Fiqih:
Dalam fiqih Islam karangan Sulaiman Rasjid, talak artinya
melepaskan ikatan pernikahan.[1]
Jika suami menjatuhkan talak tiga kepada isterinya, maka wanita itu menjadi ba’in[2]
darinya, dan ia diharamkan atas suaminya. Ia tidak halal untuk merujuknya
hingga ia telah menikah dengan laki-laki lain dengan pernikahan yang benar.[3]
Sesuai dengan firman Allah yang berbunyi:[4]
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ xsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuöxî 3
Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang
kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan
suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230)
Dalam buku Shahih Fiqih Sunnah, apabila suami mengatakan
kepada isteriya: Engkau ditalak tiga, atau ditalak, ditalak. Ini masalah yang
cukup masyhur. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini dalam tiga
pendapat.[5] Pendapat
pertama, talak ini mubah dan menjadi talak tiga. Ini pendapat asy-Syafi’I,
riwayat lama dari Ahmad dan Ibnu Hazm. Pendapat kedua, talak ini
diharamkan, tapi jatuh talak tiga. Ini pendapat Abu Hanifah, Malik, riwayat
terakhir dari Ahmad dan pendapat yang dinukil dari banyak salaf dari kalangan
sahabat dan tabi’in. Pendapat ketiga, talak ini diharamkan, dan jatuh talak
satu raj’i[6].
pendapat ini dinukilkan dari segolongan sahabat, di antaranya Az-Zubair bin
al-Awwam, Abdurrahman bin Auf, Ali, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas.
Pendapat ini juga banyak dikalangan tabi’in dan generasi setelah
mereka, seperti Thawus dan Muhammad bin Ishaq. Ini juga pendapat Dawud
azh-Zhahiri dan mayoritas sahabatnya, sebagian sahabat Abu Hanifah, Malik dan
Ahmad. Pendapat ini juga didukung oleh Syaikhul Islam dan Ibnu al-Qayyim.
Mereka berhujjah dalam surah Al-Baqarah ayat 229. Dan dalam surah itu Allah SWT
menjelaskan bahwa talak yang talak yang telah disebutkan-Nya dan talak raj’i
yang mempunyai hak untuk dirujuk adalah dua kali, yaitu satu demi satu.
Sebagaimana bila dikatakan kepada seseorang: Bertasbihlah dua kali, atau
bertasbihlah tiga kali atau seratus kali, maka ia harus mengucapkan Subhanallah,
subhanallah, hingga mencapai jumlah yang disebutkan. Bila hanya mengucapkan
Subhanallah sekian kali berarti ia hanya bertasbih satu kali.[7]
Demikian pula orang yang mengatakan kepada isterinya: Engkau ditalak dua, tiga,
sepuluh atau seribu, maka sebenarnya ia hanya mentalak satu kali. Maka
pengertiannya bahwa Allah SWT berhak disucikan (dengan tasbih) sebanyak
bilangan itu. Bukan berarti bahwa beliau bertasbih dengan tasbih sebanyak itu.
Jika orang yang mentalak hendak merubah sifat talak yang disyariatkan, dengan
menjadikannya sebagai sebab perpisahan yang tidak ada rujuknya dengan
menggabungkan tiga talak, maka ia tidak berhak melakukannya, karena itu
termasuk merubah syariat Allah SWT dan menghapusnya setelah wafatnya Nabi Saw,
dan ini tidak diperbolehkan. Berdasarkan hal itu, talak tersebut menjadi talak
satu raj’i dan talak tiganya diabaikan.[8]
Adapun Hadis Ibnu Abbas yang berhubungan dengan hadis Fathimah binti Qais, dimaknai sebagai kasus
berubahnya kebiasaan manusia. Mereka berkata, “talak yang dijatuhkan
orang-orang pada zaman Umar ra dengan lafal talak tiga, padahal sebelumnya
mereka menjatuhkannya sebagai talak satu dengan mengucapkan, “Engkau ditalak”.
Karena mereka pada dasarnya tidak pernah menggunakan kata talak tiga atau
jarang menggunakannya. Sehingga keterangan tersebut sudah dimaklumi oleh
mereka, yaitu perkataan tsalasan (tiga) hanyalah satu demi satu. Atas
dasar itulah hadis Ibnu Abbas disinyalir untuk menjelaskan perbedaan kebiasaan
orang-orang tentang tata cara atau redaksi talak, dan hukam menjelaskan tetang
terjadinya talak itu menurut cara tersebut.[9]
Adapun orang-orang masih tetap melontarkan talak satu atau talak
tiga banyak sekali, sehingga orang yang mentalak isteri mereka dengan talak
tiga pada zaman Nabi Saw. Di antara mereka ada yang dikembalikan oleh Nabi
kepada satu talak.
فَإِ نَّمَا
تِلْكَ وَاحِدَةٌ, فَأَرْ جِعْهَا إِنْ شِئْتَ
Artinya: “Sesungguhnya itu hanya satu. Rujuklah pasanganmu bila
engkau mau.”[10]
- Analisa Hadis:
Dari hadis di atas dijelaskan, talak tiga yang disebutkan dalam
hadis Fathimah binti Qais bukanlah talak yang dijatuhkan sekaligus, karena
sebelumnya suaminya pernah mentalaknya sebanyak dua kali, lalu mentalaknya lagi
untuk ketiga kalinya, Setelah Fathimah binti Qais ditalak tiga kali oleh
suaminya, sekarang ia menjalani masa iddahnya. Mula-mula ia ber-iddah di satu
rumah, tetapi lantaran takut akan didatangi oleh beberapa peminang, maka ia
minta izin untuk berpindah dari situ agar terhindar dari fitnah, dan
Rasulullah-pun mengizinkannya.
2.
Hadis Mentalak Isteri dan Masa Iddahnya
وَعَنِ
اِبْنِ عُمَرَرَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : (طَلَاقُ الْأَمَةِ تَطْلِيْقَتَانِ,
وَعِدَّتُهَاحَيْضَتَانِ) رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَأَخْرَجَهُ مَرْفُوعًا
وَضَعَّفَهُ
Artinya:“Ibnu Umar Radliyallahu’anhu berkata : Talak budak
perempuan ialah dua kali dan masa iddahnya dua kali haid. (HR. Daruquthni
dengan marfu’ dan iapun menilainya dhaif).
- Analisa Fiqih:
Dalam buku Shahih Fiqih Sunnah, suami memegang tiga talak
atas isterinya. Ketiga talak ini berkurang dengan setiap talak yang dijatuhkan,
baik itu talak raj’I maupun talak bai’in.[11]
Rujuknya suami kepada isterinya dalam masalah ini tidak menghapuskan jumlah
talak yang telah dijatuhkannya. Para ulama mazhab sepakat bahwa wanita yang
dirujuk itu hendaknya berada dalam masa iddah.[12]
Jika ia telah menjatuhkan talak pertama pada isterinya lalu merujuknya, maka
tersisa dua talak baginya. Jika ia menjatuhkan talak kedua lalu merujuknya,
maka tersisa satu talak baginya. Talak yang ketiga itu merupakan talak yang
terakhir, maka apabila suami menjatuhkan talak yang ketiga, maka isteri
tersebut bukan mahramnya lagi.[13]
Para ulama berbeda pendapat mengenai penantian masa suci kedua.[14]
Malik berpendapat dan ini juga merupakan pendapat paling shahih dari dua
pendapat di kalangan Syafi’iyah dan pendapat yang paling kuat di kalangan
Hanafiyah dan Hanabilah dan zhahir mazhabnya tentang wajibnya hal itu (menanti
masa suci kedua) dan diharamkan mentalaknya setelah haid di mana dijatuhkan
talak padanya. Sementara Ahmad dalam riwayat yang lain dan ash-Shan’ani
menisbatkan pendapat ini kepada Abu Hanifah berpendapat, bahwa menanti masa
suci yang kedua adalah dianjurkan, bukan wajib.[15]
Riwayat pertama riwayatkan oleh orang yang paling terpecaya
berkenaan hadis di atas, semetara riwayat kedua diriwayatkan oleh orang banyak,
maka sulit untuk mentarjih salah satunya.[16]
Cara yang paling tepat adalah mengkompromikan keduanya sebagaimana dikemukan
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, ia berkata, “Jika suami merujuknya, ia
wajib menahan isterinya hingga suci, dan dianjurkan untuk tetap menahannya
hingga haid lagi kemudian suci lagi.”[17]
- Analisa Hadis:
Dalam hadis ini suami yang mentalak isterinya dua kali disuruh
menunggu masa iddah isterinya selama dua kali masa suci, di mana suami boleh
menjatuhkan talak berikutnya kepadanya, atau sebaliknya (merujuknya kembali).
B.
Hadis Tentang Wanita Yang Ditinggal Mati Suaminya
وَعَنْ
عَمَرِوَبْنِ الْعَاصِ قَالَ : (لَاتُلْبِسُوا عَلَيْنَا سُنَّةَ نَبِيِّنَا,
عِدَّةُ أُمِّ الْوَلَدِإِذَا تُوُفِّيَ عَنْهَا سَيِّدُهَا أَرْبَعَةَ
أَشْهُرٍوَعَشْرًا) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَابْنُ مَاجَهْ,
وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ, وَأَعَلَّهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ بِالْاِ نْقِطَاعِ.
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: (إِنَّمَا اَلْأَقْرَاءُ,
الْأَقْراءُ, اَلْأَطْهَارُ) أَخْرَجَهُ مَالِكٌ فِيْ قِصَّةٍ بِسَنَدٍ صَحِيْحٍ.
Artinya: “Amar Ibnul al-Ash ra. Berkata: “Janganlah engkau
campur baurkan sunnah Nabi pada kita. Masa iddah Ummul Walad (budak perempuan
yang memperoleh anak dari majikannya) jika ia ditinggal mati suaminya ialah
empat bulan sepuluh hari”. (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah).
- Analisa Fiqih:
Dalam buku Shahih Fiqih Sunnah karangan Abu Malik Kamal bin
As-Sayyid Salim mendefinisikan Iddah adalah masa yang ditetapkan Pembuat
Syariat setelah perceraian, dan diwajibkan atas wanita untuk menunggu dalam
masanya tanpa menikah hingga selesai.[18]
Sedangkan pengertian iddah dalam buku Fiqh Islam karangan Sulaiman
Rasjid adalah masa menanti yang diwajibkan atas perempuan yang diceraikan oleh
suaminya (baik itu cerai hidup atau cerai mati), gunanya supaya diketahui rahim
(kandungan)-nya berisi atau tidak.[19]
Dalam buku Shahih Fiqih Sunnah karangan Abu Malik Kamal bin
as-Sayyid Salim, Jika seorang wanita ditinggal mati oleh suaminya setelah
pernikahan yang sah, baik kematian itu terjadi sebelum isteri digauli maupun
setelah digauli, baik wanita itu termasuk wanita yang mengalami haid maupun
tidak dengan syarat ia tidak hamil maka ia wajib beriddah selama empat bulan
Qamariyah tambah sepuluh hari beserta malamnya sejak tanggal kematian. Hal ini
berdasarkan keumuman firman-Nya:[20]
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFã öNä3ZÏB tbrâxtur %[`ºurør& z`óÁutIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î spyètör& 9åkôr& #Zô³tãur (
#sÎ*sù z`øón=t £`ßgn=y_r& xsù yy$oYã_ öä3øn=tæ $yJÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î 3 ª!$#ur $yJÎ tbqè=yJ÷ès? ×Î6yz ÇËÌÍÈ
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya,
Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS.
Al-Baqarah: 234)
Dan berdasarkan hadis Hafsah ra, Nabi bersabda:[21]
لَايَحِلٌّ
لِامْرَأَةٍ تُؤْ مِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ
ثَلَاثَةِ أَيَّا مٍ إِلَّا عَلَى زَوْجِهَا, فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ
أَرْبَعَةَ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍوَشْرًا
Artinya: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada
Allah dan Hari Akhir untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari,
kecuali atas kematian suaminya, maka ia berkabung atas kematiannya selama empat
bulan sepuluh hari.”
Sedangkan menurut Ibnu Taimiyyah berkata dalam al-Ikhtiyarat-nya
bahwa perempuan yang masih dalam masa iddah dengan istibra[22],
seperti Ummul Walad (hamba perempuan yang telah melahirkan anak dari hasil
hubungannya dengan tuannya), atau tuannya meninggal dunia atau ia
dimerdekakannya, maka statusnya sama dengan perempuan yang ditinggal mati
suaminya dan yang ditalak tiga atau yang difasid pernikahannya sebab ada
pertalian radha’ah (sesusuan) atau karena li’an[23].[24]
- Analisa Hadis:
Dari paparan Analisa Fiqih diatas sudah jelas bahwa wanita yang
ditinggal mati oleh suaminya dengan meninggalkan anak, maka masa iddah adalah
empat bulan sepuluh hari baik itu wanita merdeka maupun wanita hamba sahaya,
kecuali wanita yang ditinggal mati suaminya itu dalam keadaaan hamil, maka masa
iddahnya adalah sesudah melahirkan anaknya.
C.
Hadis Tentang Wanita Yang Kehilangan Suaminya
عَنْ
عُمَرَفِىأمْرَأَةِالْمَفْقُوْدِ تَرَبَّصُ اَرْبَعَ سِنِيْنَ ثُمَّ
تَعْتَدُّارْبَعَةَ اَشْهُرٍوَعَشْرًا. اَخْرَجَهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ.
Artinya:“Dan dari Umar, tentang perempuan yang kehilangan suami,
tunggu empat tahun kemudian ber’iddah empat bulan sepuluh hari.” (HR. Malik
dan Syafi’i)
- Analisa Fiqih:
Dalam buku Shahih Fiqih Sunnah karangan Abu Malik Kamal bin
as-Sayyid Salim menjelaskan, bahwa para ulama berpendapat bolehnya menuntut
cerai karena ditinggal pergi oleh suami dan telah disepakati perceraian ini
harus dengan keputusan hakim. Karena ini adalah perkara yang diijtihadkan, maka
tidak bisa dilaksanakan tanpa keputusan hakim. Menurut ulama Hanbaliyah,
perceraian ini adalah fasakh[25].
Sedangkan menurut ulama Malikiyah, perceraian ini adalah talak, tapi mereka
tidak menjelaskan apakah ini talak ba’in ataukah talak raj’i[26].
Apabila suami pergi meninggalkan isterinya dengan kepergian yang
terputus yang tidak diketahui berita-beritanya, dan isteri tidak mengetahui
apakah suaminya masih hidup atau tidak, maka ini disebut mafqud (suami
yang hilang). Madzhab ulama tentang bolehnya isteri yang kehilangan suami
mengajukan tuntutan cerai adalah Madzhab
Hanbaliyah karena secara umum orang yang hilang (mafqud) itu
menurut mereka adalah gha’ib (orang yang pergi).[27]
Para ulama mempunyai beberapa pendapat tentang nasib isteri yang
kehilangan suaminya yaitu:[28]
1.
Ia
tidak boleh menikah (dengan laki-laki lain) dan tidak berhak menuntut cerai,
walaupun waktunya lama, sampai jelas kematiannya (suami) atau talaknya.
Pendapat ini pun didukung oleh ulama Madzhab Hanafiyah dan
asy-Syafi’I dalam pendapat barunya, yang dinyatakan juga oleh Ibnu Hazm. Hujjah
mereka adalah:
·
Dari
al-Mughirah bin Syu’bah ra, ia berkata, Nabi Saw bersabda:
اِمْرَأَةُ الْمَفْقُوْدِ اِمْرَأَتُهُ حَتَّى يَأْ تِيَهَا
الْبَيَانُ
Artinya: “Isteri dari suami yang hilang adalah tetap sebagai
isterinya hingga datang kejelasan (bukti) kepadanya.”
· Riwayat dari Ali ra, ia mengatakan, “Bila isteri kehilangan
suaminya, maka janganlah ia menikah (dengan laki-laki lain) sampai perkaranya
menjadi jelas”. Diriwayatkan juga darinya bahwa ia mengatakan tentang
isteri dari laki-laki yang hilang, “Ia adalah isteri yang tengah mendapat
ujian, maka hendaknya ia bersabar sampai jelas kematiannya atau talaknya.”[29]
2.
Isteri
menunggu empat tahun dari sejak kepergiannya, lalu divonis sudah meninggal,
lalu ia menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari. Setelah itu,
halal baginya untuk menikah lagi. Ini zhahir pendapat Ahmad mengenai orang yang
ketidakhadirannya mengindikasikan dengan kuat bahwa ia telah meninggal.
Pendapat ini juga pendapat lama asy-Syafi’I, Malikiyah, Utsman, Ali, Ibnu Abbas
dan para sahabat lainnya.[30]
· Dari Ibnu al-Musayyab, Umar bin Khaththab ra berkata, “Siapa pun
wanita yang kehilangan suaminya, sementara ia tidak mengetahui keberadaannya,
maka ia menunggu selama empat tahun, lalu ia beriddah selama empat bulan
sepuluh hari, kemudian (setelah itu) ia halal (untuk menikah lagi).”[31]
· Diriwayatkan darinya, Umar dan Utsman memutuskan tentang orang yang
hilang bahwa isterinya menunggu selama empat tahun, dan empat bulan sepuluh
hari setelahnya, kemudian ia boleh menikah. Bila suami pertamanya datang, maka
ia diberi pilihan antara mengambil maharnya kembali atau isterinya.[32]
· Diriwayatkan dari Jabir bin Zaid, dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar,
keduanya berkata, “Seorang isteri yang kehilangan suaminya menunggu selama
empat tahun. “Ibnu Umar mengatakan, “Selama empat tahun itu, ia diberi nafkah
dari harta suaminya, karena ia menahan dirinya untuk (menunggu) suaminya.”[33]
Adapun hadis tentang masa iddah seorang isteri yang ditinggal mati
suaminya dalam buku Umdatul Ahkam karangan Syaikh Abdul Ghani Al-Maqdisi
yang berbunyi:[34]
وَعَنْ أُمِّ
سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ غَنهَاقَالَتْ : جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُوْلِ للهِ صلى
الله عليه وسلم فَقَالَتْ: يَارَسُوْلَ اللهِ, إِنَّ بِنْتِيْ تُوُفِّيَ
عَنْهَازَوْجُهَا, وَقَدِاشْتَكِتْ عَيْنَهَاأَفَنَكْحُلُهَا؟ فَقَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم: لَا- مَرَّتَيْنِ أَوْثَلَأثًا- كُلُّ ذَلِكَ يَقُوْلُ:
لَا, ثُمَّ قَالَ: إِنَّمَا هِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍوَعَشْرٌ, وَقَدْكَانَتْ
إِحْدَاكُنَّ فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ تَرْمِي بِالْبَعْرَةِعَلَى رَأْسِ الْحَوْلِ, فَقَالَتْ زَيْنَبُ : كَانَتِ الْمَرْأَةُ إِذَا تُوُفِّى عَنْهَأ
زَوْجُهَادَخَلَتْ حِفْشًا, وَلَبِسَتْ شَرَّثِيَا بِهَا وَلَمْ تَمَسَّ طِيْبًا
وَلَا شَيْئًا حَتَّى تَمُرَّعَلَيْهَا سَنَةٌ ثُمَّ تُؤْتَي بَدَابَّةٍ- حِمَارٍ,
أَوْطَيْرٍأَوْشَاةٍ- فَتَفْتَضُّ بِهِ فَقَلَّمَا تَفْتَضُّ بِشَيْءٍ إِلَّامَاتَ
ثُمَّ تَخْرُجُ, فَتُعْطَى بَعْرَةً فَتَرْمِي بَهَا, ثُمَّ تُرَاجِعُ بَعْدَ
مَاشَاءِتْ مَنْ طِيْبٍ أَوْغَيْرِهِ.
Artinya:
“Ummu Salamah ra menuturkan bahwa ada seorang wanita yang mendatangi Nabi
Saw dan mengatakan, “Ya Rasulullah, putriku telah ditinggal mati oleh suaminya.
Matanya sakit, apakah aku diperbolehkan untuk memakaikan celak pada matanya?”
“Tidak boleh, “Nabi menjawab dua kali atau tiga kali. Setiap kali ditanya, dia
menjawab, “Tidak boleh.” Nabi Saw lantas bersabda, “Puterimu harus beriddah
selama empat bulan sepuluh hari. Dulu pada masa jahiliyyah, salah seorang di
antara kalian ada yang dilempari dengan kotoran binatang selama satu tahun.:”
Zainab berkata, “Dahulu, jika seorang wanita ditinggal mati suaminya, maka
dia akan masuk ke dalam gubuk kecil, mengenakan pakaian yang terjelek, tidak
memakai minyak wangi maupun parfum yang lainnya hingga berlalu masa satu tahun.
Setelah itu, didatangkanlah hewan (keledai, burung atau kambing) untuk wanita
tersebut. Wanita itu lalu menggosok-gosokkan hewan tersebut pada tubuhnya.
Jarang sekali hewan yang digosok-gosokkan melainkan akan mati. Wanita tersebut
kemudian keluar dari gubuk kecil tersebut dan diberi kotoran hewan. Akhirnya
wanita tersebut bisa kembali menggunakan minyak wangi dan yang lainnya sesuka
hatinya.”[35]
- Analisa Hadis:
Perempuan (isteri) yang kehilangan suami, menurut ulama Hanbaliyah
boleh menuntut cerai. Tetapi perempuan ini harus menunggu selama empat tahun,
apabila selama empat tahun suaminya tidak ada berita, maka suaminya divonis
telah meninggal, kemudian ia menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh
hari. Setelah itu, halal baginya untuk menikah lagi. Dan diriwayatkan dari Umar
dan Utsman, Apabila suami yang divonis tadi meninggal datang, maka ia diberi
pilihan antara mengambil maharnya kembali atau isterinya.
D.
Hadis Tentang Larangan Berbuat Zina
وَعَنْرُوَيْفِعِ
بْنِ ثَابِتٍ رَضِي الله عنه عَنْ النَّبِيِّ صَلى الله عليه وسلم قَالَ:
(لَايَحِلُّ لِا مْرِئٍ يُوْ مِنُ بِاَ للهِ وَالْيَوْمِ الْاخِرِأَنْ يَسْقِيَ
مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ) أَخْرَجَهُ أَبُودَاوُدَ, وَاَتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ
اِبْنُ حِبَّانَ, وَحَسَّنَهُ اَلْبَزَّارَ. وَعَنْ عُمَرَرَضِي الله عنه - (فِي
اِمْرَأَةِ اَلْمَفْقُودِ – تَرَبَّصُ أَرْبَعَ سَنِيْنَ, ثُمَّ
تَعْتَدُّأَرْبَعَةَ أَشْهُرٍوَعَشْرًا) أَخْرَجَهُ مَالِكٌ, مَالشَّافِعِيُّ
Artinya: “Dari Ruwaifi Ibnu Tsabit Radiiyallahu’anhu bahwa Nabi
SAW bersabda: “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari
akhir menyiramkan airnya pada tanaman orang lain.” (HR. Abu Daud dan
Tarmidzi)
- Analisa Fiqih:
Dalam buku Fiqih Islam Wa Adillatuhu karangan Prof. Dr.
Wahbah Az-Zuhaili, zina adalah persetubuhan yang dilakukan seorang laki-laki
dan perempuan pada kemaluan depannya tanpa didasari dengan tali kepemilikan dan
syubhat kepemilikan.[36]
Zina dinyatakan oleh agama sebagai perbuatan melanggar hukum yang tentu saja
dan sudah seharusnya diberi hukuman maksimal, mengingat akibat yang
ditimbulkannya sangatlah buruk, dan juga mengandung kejahatan serta dosa.
Hubungan bebas (free sex) dan segala bentuk hubungan kelamin lainnya
diluar ketentuan agama adalah perbuatan yang membahayakan dan mengancam
keutuhan masyarakat, disamping sebagai perbuatan yang sangat nista.[37]
Allah SWT berfirman:
wur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# (
¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ
“Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati
zina, karena sesungguhnya zina itu adalah faahisah (perbuatan yang keji) dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh oleh seseorang)”. (Al-Israa’ : 32)
Para ulama menjelaskan bahwa firman Allah SWT: “Janganlah kamu
mendekati zina”, maknanya lebih dalam dari perkataan: “Janganlah kamu
berzina” yang artinya dan janganlah kamu mendekati sedikit pun juga dari
pada zina. Yakni: Janganlah kamu mendekati yang berhubungan dengan zina dan
membawa kepada zina apalagi sampai berzina.
Adapun firman Allah SWT tentang hukuman bagi orang yang berzina
dalam buku Fiqih Islam Wa Adillatuhu karangan Prof. Dr. Wahbah
Az-Zuhaili dan buku Fikih Sunnah karangan Sayyid Sabiq,ialah:[38]
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ (
wur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# (
ôpkô¶uø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS.
AN-Nuur: 2)[39]
Tafsir ayat tersebut menurut buku Tafsir Jalalain jilid 2
karangan Al-Imam Jalaluddin Muhammad yang diterjemahkan oleh Najib Junaidi
yaitu ( وَالزَانِيالزَّانِيَةُ ) “Wanita yang berzina dan laki-laki yang berzina”, maksudnya
yang tidak muhshan (belum pernah berhubungan badan dalam ikatan yang
sah), karena pezina yang muhshan dihukum rajam berdasarkan As-Sunnah dan
(مِئَةَ جَلْدَةِ فَا جْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا) “Maka cambuklah masing-masing dari
keduanya seratus kali cambuk”, maksudnya adalah pukulan. Dan berdasarkan
As-Sunnah hukuman itu ditambah dengan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan
hukuman bagi hamba sahaya adalah setengah dari hukuman tersebut.[40]
Adapun ulama Syafi’iyah dan ulama Hanabilah mengatakan, pelaku zina
dihukum dengan diasingkan selama satu tahun ke suatu kawasan dengan jarak yang
sudah memperbolehkan untuk mengqashar shalat.[41]
Sedangkan menurut Abu Hanifah, hukuman dera itu tak perlu ditambah dengan
pengasingan, kecuali bila dipandang baik menurut pemerintah. Barulah boleh
ditambahkan sejauh yang mana pula menurut pendapatnya.[42]
- Analisa Hadis:
Dari hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tarmidzi, bahwa “Tidak
halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir yang kemudian
menyiramkan airnya pada tanaman orang lain.” Makna dari hadis ini adalah
diharamkan atas laki-laki menggauli perempuan yang bukan mahramnya Demikian
juga apabila dilakukan oleh orang yang telah nikah atau pernah merasakan nikah
yang shahih baik sekarang ini sebagai suami atau istri atau duda atau janda,
sama saja, dosanya sangat besar dan hukumannya sangat berat yang setimpal
dengan perbuatan mereka, yaitu didera sebanyak seratus kali kemudian di rajam
sampai mati atau cukup di rajam saja, sesuai dengan firman Allah dan hadis Nabi
di analisa Fiqih di atas. Adapun bagi laki-laki atau perempuan yang masih
lajang hukumnya didera seratus kali kemudian diasingkan (dibuang) selama satu
tahun.
Dari hadis itu dapat diambil makna bahwa perbuatan zina itu telah
dilaknat oleh Allah, baik itu pelakunya laki-laki atau perempuan yang masih
lajang, duda atau janda atau suami yang
punya isteri yang menggauli isteri orang lain atau tetangga. Semua itu masuk ke
dalam dosa yang sangat besar dan tentu mendapatkan siksa yang sangat pedih
sesuai dengan hadis Nabi di atas.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam makalah ini, saya mengutamakan beberapa hal yang merupakan
kesimpualan dalam isi pembahasan makalah ini, yaitu:
·
Hadis
diriwayatkan oleh Muslim mengenai masalah Fathimah Binti Qais yang ditalak tiga
oleh suaminya, bukanlah talak tiga yang dijatuhkan sekaligus. Sehingga suaminya
masih memiliki sisa kesempatan untuk metalaknya lagi. Sebelum masa iddahnya
selesai, maka isteri tidak boleh
menerima pinangan dari laki-laki lain.
·
Hadis
yang diriwayatkan Daruquthni, hadis ini menunjukkan bahwa suami menunggu suci
isterinya dalam dua kali masa suci setelah haid di mana ia menjatuhkan talak
padanya hingga dihalalkan baginya untuk mentalaknya.
·
Hadis
yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah, bahwa wanita yang
ditinggal mati oleh suaminya dengan meninggalkan anak, maka masa iddah adalah
empat bulan sepuluh hari dan masa iddah bagi wanita yang ditinggal mati oleh
suaminya itu diwajibkan sesuai dengan Firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 234 dan
juga berdasarkan hadis Hafsah.
·
Hadis
yang diriwayatkan Malik dan Syafi’I mengenai perempuan (isteri) yang kehilangan
suami, menurut ulama Hanbaliyah boleh menuntut cerai. Tetapi perempuan ini
harus menunggu selama empat tahun, apabila selama empat tahun suaminya tidak
ada berita, maka suaminya divonis telah meninggal, kemudian ia menjalani masa
iddah selama empat bulan sepuluh hari. Setelah itu, halal untuk menikah.
·
Hadis
riwayat Abu Daud dan Tarmidzi tentang diharamkan atas laki-laki menggauli
perempuan yang bukan mahramnya, baik itu laki-laki atau perempuan lajang, duda
atau janda, maupun isteri orang lain.
B.
Saran
·
Hadis
merupakan sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an sehingga apabila sumber
hukum itu tidak ditemukan dalam dua sumber tersebut, maka para ulama menempuh
jalan ijtihad untuk menemukan hukum suatu perbuatan. Jadi, dari sumber hukum
yang telah berlaku, kita sebagai umat Islam harus mematuhi dan menaati
sumber-sumber hukum tersebut agar mendapat manfaatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Imam
Jalaluddin Muhammad , Tafsir Jalalain, Cet. I, Juz 18, Surabaya: Pustaka
eLBA, 2010.
Al-Maqdisi,
Syaikh Abdul Ghani, Umdatul Ahkam, Yogyakarta: Media Hidayah, 2005.
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 7, Jakarta:
Gema Insani, 2001.
Hamidy,
Mu’ammal, dkk, Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadis-Hadis Hukum, Surabaya:
PT. Bina Ilmu, 2001.
Malik Kamal,
Abu bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, Jakarta: Pustaka
At-Tazkia, 2006.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta:
Lentera, 2007.
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 1994.
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Bandung: PT. Alma’arif, 1997.
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum
Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992.
Umar, Anshori, Fiqih Wanita, Semarang: CV. Asy-Syifa, 1981.
[1]
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h.
401
[2]
Talak Ba’in adalah talak yang menyebabkan suami tidak berhak untuk
merujuk isteri yang ditalaknya. Talak ini ada dua macam yaitu talak ba’in
shughra dan talak ba’in kubra. Talak ba’in shughra ialah talak yang
mana suami tidak berhak untuk merujuk wanita yang ditalaknya kecuali dengan
akad dan mahar yang baru. sedangkan talak ba’in kubra ialah talak di
mana suami tidak berhak untuk rujuk kepada isteri yang ditalaknya, baik dalam
masa iddahnya maupun setelah habis masa iddahnya, kecuali dengan akad dan mahar
baru, serta setelah wanita itu menikah lagi dengan suami lain dan telah digauli
oleh suami keduanya, lalu telah bercerai dengannya karena kematian atau
ditalak, kemudian telah habis masa iddah darinya. (lihat Shahih Fiqih Sunnah,
hal. 372 & 377)
[3]
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta:
Pustaka At-Tazkia, 2006),Jilid 4, h. 358
[4]
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992),
Cet. I, h. 266
[5]
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, op.cit., h.
380
[6]
Talak Raj’I adalah talak yang mana suami boleh kembali kepada isterinya
dalam masa iddahnya tanpa mengadakan akad baru, walaupun tanpa kerelaan sang
isteri. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, h. 356).
[7] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih
Fiqih Sunnah, op.cit., h. 380
[8]
Ibid, h. 386
[9]
Ibid, h. 381
[10]
Ibid
[11]
Ibid, h. 372
[12]
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2007),
h. 481
[13]
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, op.cit., h.
372
[14] Ibid, h. 396
[15]
ibid
[16]
ibid
[17]
Ibid, h. 397
[18]
Ibid, h. 430
[19]
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, op.cit., h. 414
[20] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih
Fiqih Sunnah, op.cit., h. 445
[21] ibid.,
h. 445
[22]
Istibra adalah untuk mengetahui kebersihan rahim (lihat Terjemah Nailul Authar,
hal. 2142)
[23]
Li’an adalah kesaksian yang diperkuat dengan sumpah antara suami isteri
dibarengi dengan menyebutkan laknat dan kemurkaan Allah. (Tafsir Alam Syarah
Umdatul Ahkam : 259).
[24]
Mu’ammal Hamidy, dkk, Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadis-Hadis Hukum, (Surabaya:
PT. Bina Ilmu, 2001), Cet. 3, h. 2142
[25]
Fasakh adalah batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan seseorang.
(lihat https://www.facebook.com/UstDedenZainalAbidin/posts/310185752445992)
[26]
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, op.cit., h.
557
[27]
Ibid, h. 558
[28] Ibid
[29]
Ibid, h. 559
[30]
ibid
[31]
ibid
[32]
Ibid, h. 560
[33]
Ibid, h. 561
[34]
Syaikh Abdul Ghani Al-Maqdisi, Umdatul Ahkam, (Yogyakarta: Media Hidayah,
2005), h. 257
[35]
Ibid, h. 258
[36]
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 7, (Jakarta: Gema
Insani, 2001), h. 303
[37]
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT. Alma’arif, 1997), Cet. 9, h.
86
[38]
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 7, op.cit, h. 315
[39]
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, op.cit., h.95
[40]
Al-Imam Jalaluddin Muhammad , Tafsir Jalalain, (Surabaya: Pustaka eLBA,
2010), Cet. I, Jilid 2, Surah An-Nur, Juz 18, h. 594
[41]
ibid
[42]
Anshori Umar, Fiqih Wanita, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1981), h. 474
Tidak ada komentar:
Posting Komentar