BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Tiap negara mempunyai sistem hukumnya sendiri, karena hukum itu
adalah gejala masyarakat, bagian daripada kebudayaan bangsa dan dipengaruhi
oleh iklim, lingkungan dan cara kehidupan dalam masyarakat hukum yang bersangkutan.
Dengan beragamnya sistem hukum tersebut maka sangat beratlah untuk mengetahui
semua sistem-sistem hukum itu. Oleh karena itu comparatist harus mencari
kemudahan dalam memproses perbandingan hukum yakni dengan mencari lebih dulu
titik persamaan dan titik perbedaan. Untuk itu penulis dalam makalah ini akan
membahas tentang perbandingan sejarah/perkembangan sistem hukum Inggris dengan
sistem hukum Romawi Jerman dalam bab selanjutnya.
- Rumusan Masalah
- Bagaimana sejarah dan perkembangan hukum Inggris?
- Bagaimana sejarah dan perkembangan hukum Romawi Jerman?
- Kegunaan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui bagaimana sejarah dan perkembangan hukum Inggris.
2.
Untuk
mengetahui bagaimana sejarah dan perkembnagan hukum Romawi Jerman.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Hukum Inggris dan Perkembangannya
- Sejarah hukum Inggris
Bangsa Inggris mempunyai kepribadian yang khas yang berbeda dengan
kepribadian bangsa-bangsa di Eropa Daratan, meskipun letaknya sangat
berdekatan. Hal itu disebabkan karena perjalanan sejarahnya yang khusus. Kebudayaan
dan sistem pemerintahannya yang feudal tidak mengalami banyak perubahan antara
zaman abad pertengahan dan abad modern artinya tidak ada perubahan yang
mencolok seperti yang terjadi di negara-negara Eropa Kontinental.
Perubahan-perubahan di Inggris dapat dikatakan evolusioner, sedangkan di Eropa
Kontinental perubahannya berjalan secara revolusioner.
Pada waktu sekarang keadaan tersebut masih tampak pada parlemen
Inggris yang terdiri dari House of Lord dan House of Common sesuai dengan
susunan masyarakatnya yang didasarkan pada golongan aristocrat dan rakyat
jelata dalam abad pertengahan. Sebaliknya di Eropa daratan susunan masyarakat
dan negara yang feodalistik mencapai puncaknya menjadi absolutisme pada abad
pertengahan yang secara drastis berubah menjadi negara konstitusional seperti
yang terjadi pada revolusi Perancis. Ini berarti adanya perombakan secara
revolusioner dari negara monarki absolute menjadi negara konstitusional.
Dengan kepribadiannya yang khusus terbentuklah hukum yang
karakteristik. Inggris dengan corak yang khas yang berbeda dengan hukum di
negara-negara yang termasuk negara-negara Eropa Kontinental atau keluarga hukum
Romawi Germania, meskipun hukum Inggris itu sendiri dari masa ke masa mengalami
perubahan, sehubungan dengan adanya perkembangan pemikiran dari orang-orang
Inggris sendiri. Hukum Inggris itu selain di Inggris sendiri juga berlaku di
semua negara yang secara politis mempunyai ikatan dengan Inggris. Terhadap
negara-negara tersebut hukum Inggris mempunyai pengaruh yang besar.
Dalam arti sempit dan murni hukum Inggris hanya berlaku di daerah
yang dinamakan England dan Wales. Ia tidak berlaku di Irlandia Utara,
Skotlandia, Kepulauan Cina dan Kepulauan Man. Hukum Inggris tersebut menduduki
tempat yang penting dalam keluarga hukum Common law karena dianggap sebagai
pola bagi perkembangan hukum di daerah-daerah lain dalam lingkungan hukum
tersebut. Seperti halnya hukum Romawi-Jerman yang terbagi dalam dua kelompok
hukum publik dan privat, maka hukum Inggris juga terbagi dalam dua kelompok
hukum yakni hukum Common law dan hukum Equity di samping Statute law. Common
law adalah bagian dari hukum Inggris. Sedangkan hukum Equity adalah hukum yang
didasarkan pada natural justice, keadilan yang timbul dari hati nurani. Hukum
ini mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dengan Common law. Equity
menciptakan hukum baru yang disebut doctrine undue influences yang pada
hakikatnya merupakan suatu moral imperative dalam rangka melaksanakan hal-hal
yang tidak dapat dilaksanakan oleh Common law. Putusan-putusan hukum Equity
memperbaiki dan melengkapi Common law.
Adapun Statuta Law adalah hukum tertulis di Inggris yang dibuat
oleh parlemen karena Common law yang didasarkan pada Yurisprudensi tidak dapat
mengimbangi munculnya masalah-masalah yang baru (secara cepat) sesuai dengan
perkembangan masyarakat. Untuk mengimbangi kelambatan yurisprudensi yang
dibatasi oleh jumlah perkara yang diputus oleh hakim, maka dibuatlah peraturan-peraturan
tertulis yang dapat disamakan dengan Undang-undang. Jadi Statuta Law berfungsi
mengkoreksi dan melengkapi kekurangan-kekurangan daripada Common law. Adapun
bagi orang Inggris sendiri sedikit banyak Statuta law dianggap sebagai hukum
yang bercorak asing/tidak mempunyai corak Inggris dan pada asasnya hukum
Inggris itu adalah Common law.
- Keadaan sebelum abad 13
Mula-mula hukum yang berlaku di Inggris adalah hukum kebiasaan.
Pada waktu Inggris dijajah oleh bangsa Normandi dengan rajanya yang terkenal
yaitu William the Congcueror (tahun 1066) hukum kebiasaan masih berlaku.
Kira-kira dua abad kemudian (abad 12) diciptakan unifikasi hukum yakni dibidang
administrasi dan bidang hukum kekayaan. Dengan akibat adanya pemerintahan yang
bersifat memusat (sentral) dan tanah di seluruh Inggris menjadi milik raja.
Dengan cara pemerintahan yang bersifat memusat (sentral) dan tanah di seluruh
Inggris menjadi milik raja. Dengan cara pemerintahan yang feodalistis maka
sistem pemerintahan di Inggris adalah pembagian dalam wilayah-wilayah yang
dikuasakan kepada apa yang dinamakan Lord. Rakyat jelata yang ingin
mengerjakan tanah, harus menyewa kepada Lord dan yang terakhir ini member upeti
kepada raja. Lambat laun kekuasaan Lord sebagai tuan tanah menjadi sedemikian
besarnya sehingga ia dapat mendirikan pengadilannya sendiri. Pengadilan ini
namanya minorial court yang menjalankan tugasnya berdasarkan hukum
kebiasaan setempat dan hukum yang ditetapkannya sendiri.[1]
Kemudian terjadi penyalahgunaan kekuasaan serta penyelewengan-penyelewengan
yang merugikan rakyat. Keadaan tersebut yang semula tidak diketahui oleh raja,
akhirnya tercium juga. Untuk mengatasi keadaan tersebut raja Henry II
(1154-1189) mengambil beberapa kebijaksanaan yaitu:
a.
Disusunlah
suatu kitab yang memuat hukum Inggris pada waktu itu. agar mendapatkan
kepastian hukum kitab tersebut ditulis dalam bahasa latin oleh Glanvild chief
justitior dari Henry II dengan judul Legibus Angliae.
b.
Diberlakukannya
sistem writ yakni surat perintah dari raja kepada tergugat agar
membuktikan bahwa hak-hak dari penggugat itu tidak benar. Dengan demikian
tergugat mendapat kesempatan untuk membela diri.
c.
Diadakan
sentralisasi pengadilan (Royal Court) yang tidak mendasarkan pada hukum
kebiasaan setempat melainkan pada Common Law yang merupakan suatu
unifikasi hukum kebiasaan yang sudah diputus oleh Hakim (Yurisprudensi). Hal
ini merupakan suatu kemajuan yang semula hanya ada minorial court yang
didirikan oleh para Lord.[2]
- Timbulnya sistem Equity
Equity berasal dari bahasa Prancis equite, artinya justice
atau fairness yaitu keadilan.[3]
Sedangkan sistem hukum equity adalah sistem hukum yang didasarkan pada hukum
alam/keadilan yang timbulnya mempunyai sejarahnya sendiri.[4]
Pada waktu pemerintahan raja Henry II pengadilan yang ada ialah Royal Court dan
sistem writ yang memberlakukan Common Law yang bersumber pada
yurisprudensi. Dengan sistem writ, maka perkara yang dapat diadili
sangat terbatas dan banyak orang yang lari mencari keadilan pada pimpinan
gereja atau Lord Chancellor. Pengadilan
gereja tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku pada saat itu, hanya ada
perbedaan antara kedua pengadilan yang ada di Inggris tersebut yakni bahwa
pengadilan court of chancery didasarkan kepada hukum gereja/kanonik dan
hakimnya adalah seorang rohaniawan.[5]
Lama kelamaan semakin banyak orang yang mencari keadilan kepada
Lord of Chancellor dan akhirnya berkembang, sehingga terbentuklah pengadilan
tersendiri menjadi apa yang dinamakan Court of Chancery di samping Royal court
yang sudah ada. Court of Chancery tersebut merupakan suatu pengadilan yang
sangat penting dalam mengadili masalah trust. Trust adalah hak
waris yang diberikan kepada orang laki-laki oleh Common law. Orang
wanita tidak berhak sebagai ahli waris meskipun ia sudah dewasa dan demikian
pula anak-anak. Akibatnya ialah bahwa seorang suami yang ingin menjamin
kehidupan anak dan isterinya, apabila ia sudah meninggal dunia terpaksa
mewariskan/menitipkan harta kekayaannya kepada orang laki-laki lain untuk
dijadikan cagak hidup anak dan isterinya yang ditinggalkan.
Ternyata banyak orang laki-laki yang dititipi harta kekayaan untuk
cagak hidup anak-anak dan janda tersebut menyalahgunakan kepercayaan tersebut,
sehingga yang terakhir ini menjadi hidup terlantar. Untuk mengadu kepada Royal
court tentang hal ini tidak mungkin, karena Common law justru melindungi
hak kaum laki-laki tersebut (right in Common law). Sebaliknya para janda
beserta anak-anaknya meminta keadilan kepada court of chancery yang menciptakan
right in Equity bagi mereka berdasarkan natural justice (keadilan) dan hukum
kanonik. Kemudian dengan adanya reorganisasi pengadilan di Inggris (judicature
act pada tahun 1873-1875) pengadilan Royal Court dan Court of Chancery diletakkan
di bawah satu atap. Tugas dalam penyelesaian perkara sudah tidak berbeda lagi.
Artinya perkara-perkara Equity (cases at Equity) sama-sama dapat
diajukan ke salah satu pengadilan tersebut. Namun demikian di dalam praktik
orang-orang tidak mau mematuhinya. Mereka tetap mengajukan tuntutannya kepada
masing-masing pengadilan sesuai denga jenis perkaranya.[6]
- Faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum di Inggris
Seperti telah diketahui asas daripada hukum Common law adalah stare
decisis artinya bahwa hakim dalam memutuskan perkara harus mendasarkan pada
putusan hakim sebelumnya (yurisprudensi). Dengan demikian pertumbuhan hukum di
Inggris menjadi lambat karena disamping tergantung kepada jumlah serta macam
perkara yang diputus oleh pengadilan, hakim tidak dapat mengembangkan
pendapatnya. Di dalam kenyataannya pertumbuhan hukum Inggris tidak selambat
seperti yang diperkirakan orang, karena ada beberapa faktor yang
mempengaruhinya yaitu:[7]
- Faktor suasana
Kalau dilihat dari asas stare
decisis saja memang pertumbuhan hukum di Inggris akan terlambat. Hal ini
dapat terjadi apabila masalahnya sama dan segala-galanya sama pula
(yurisprudensi). Tetapi dalam kenyataannya tidak ada suatu perkara yang keadaan
seluruhnya sama. Jadi yang dapat diikuti oleh hakim berikutnya terbatas pada
pokok perkaranya saja, sedangkan yang berhubungan dengan suasananya hakim yang
belakangan mempunyai penilaian tersendiri. Dengan perkataan lain meskipun asas stare
decisis diikuti, tetapi hakim terdahulu. Namun demikian menurut Soenarjati,
putusan hakim tidak dapat dikatakan subjektif karena:
1)
Seorang
hakim telah mempelajari ilmu hukum yang mengandung nilai-nilai objektif.
2)
Seorang
hakim dalam memutuskan sesuatu juga memperhatikan pendapat-pendapat dari
sarjana lainnya.
3)
Jika
seorang hakim memutuskan perkara secara subjektif maka kemungkinan besar dalam
pengadilan banding putusannya akan ditolak.
- Faktor reasonableness
Yang dimaksud dengan faktor
reasonableness atau redelijlkheid adalah alasan yang pantas. Reasonable ini
dinilai dalam kerangka system hukum yang bersangkutan, dalam rangka kemungkinan
dan atau keadaan, sehingga putusan hakim lain putusan hakim berikutnya dapat
berbeda dengan yurisprudensi.
- Faktor statute low
Meskipun yurisprudensi juga
memberikan kemungkinan terbentuknya hukum yang baru, namun mengingat banyaknya
masalah yang dihadapi, pertumbuhan daripada hukum masih dianggap lambat. Maka
dibuatlah apa yang dinamakan statute law ialah hukum yang dibentuk oleh
parlemen (written law). Kewenangan parlemen dalam rangka pembentukan hukum
memberikan berbagai keuntungan ialah:[8]
1)
Parlemen
dapat membentuk hukum secara (lebih) cepat.
2)
Parlemen
dapat menyimpang dari hukum yang pernah diputus oleh hakim.
3)
Parlemen
dapat mengubah putusan pengadilan dengan suatu undnag-undang (undang-undang
dapat mengubah yurisprudensi).
B.
Sejarah dan Perkembangan Hukum Romawi Jerman
1.
Hukum Romawi Jerman
Hukum Romawi Jerman adalah hukum yang berlaku di Eropa Kontinental
yaitu di negara-negara yang mengikuti hukum Romawi (semula negara-negara Jerman
dan Perancis, kemudian negara Belanda karena dijajah Perancis). Ciri khusus
dari hukum Romawi Germania ialah dibagi menjadi dua kelompok hukum yaitu:[9]
a.
Hukum
yang mengatur kesejahteraan masyarakat dan kepentingan umum.
b.
Hukum
yang mengatur hubungan perdata artinya yang mengatur hubungan orang.
Pembagian dalam dua kelompok tersebut berasal dari hukum Romawi
hasil pemikiran ahli hukum Ulpanus. Ia menyatakan “Hukum publik adalah hukum
yang berhubungan dengan kesejahteraan Negara Romawi, hukum perdata adalah hukum
yang mengatur orang secara khusus, karena ada hal yang merupakan kepentingan
umum dan ada pula hal yang merupakan kepentingan perdata.”
Adapun terbentuknya hukum Romawi Jerman di Eropa daratan itu
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:[10]
a.
Terjadinya
penjajahan Negara-negara di Eropa Kontinental oleh bangsa Romawi.
b.
Karena
bangsa-bangsa/ Negara di Eropa Kontinental menganggap hukum Romawi lebih sempurna.
c.
Banyaknya
mahasiswa yang mempelajari hukum Romawi di Itali yang setelah kembali
menerapkan hukum tersebut di negaranya sendiri.
d.
Universitas
di Jerman mempunyai peran yang besar dalam mengembangkan serta menyebarluaskan
hukum Romawi di daratan Eropa.
Karena sebab-sebab tersebut negara-negara Eropa yang semula
mempergunakan hukum kebiasaannya sendiri meresepsi hukum Romawi sedemikian rupa
sehingga hukum sendiri lenyap. Namun demikian negara-negara yang pada waktu itu
sudah mempunyai kebudayaan yang tinggi (Asia) tidak dapat didominasinya,
sehingga hukum Romawi Germania hanya hidup secara berdampingan bersama hukum
asli Negara-negara tersebut.
2.
Pertumbuhan hukum Romawi Jerman
Seperti halnya di negara-negara lainnya, mula-mula hukum yang
dipergunakan adalah hukum kebiasaan yang di Perancis dinamakan Droit de
Costumes, di negara Belanda disebut Gewoonte recht dan di Indonesia
dinamakan Hukum Adat. Hukum kebiasaan tersebut adalah hukum asli mereka.
Dibandingkan dengan Indonesia ada perbedaan sedikit yakni bahwa hukum adat
sampai saat ini dapat dipertahankan, sedangkan hukum kebiasaan di Eropa
Kontinental tinggal sejarah saja. Hal-hal yang menyebabkan lenyapnya hukum
kebiasaan di Eropa Kontinental adalah adanya penjajahan oleh bangsa Romawi dan
adanya anggapan bahwa hukum Romawi lebih baik daripada hukum mereka sendiri,
sehingga diadakannya resepsi hukum. Anggapan atas hukum Romawi sebagai hukum
yang sempurna tersebut memang wajar, karena jauh sebelumnya tepatnya sejak abad
ke satu bangsa Yunani dengan ahli-ahli hukumnya seperti Gajus Ulpanus telah
menciptakan serta mempersembahkan suatu system hukum kepada bangsa dan
negaranya. Bahkan pada abad ke enam mereka dapat menyajikan kodifikasi hukum
Romawi dalam kitab yang diberi nama Corpus Lurus Civilis. Anggapan tersebut
timbul atas hasil penelitian para Glossatoren (pencatat/peneliti) dalam abad
pertengahan.[11]
Di samping penyebab tersebut di muka, masih ada faktor-faktor lain
yang mendorong diresepsinya hukum Romawi oleh negara-negara Eropa Daratan
antara lain:[12]
a.
Banyaknya
mahasiswa dari Eropa Barat dan Utara yang belajar khususnya hukum Romawi di
Perancis Selatan dan di Itali yang pada abad itu meruapakan pusat kebudayaan
Eropa, sehingga setelah mereka kembali ke negaranya masing-masing mereka tidak
hanya mempergunakan hukum Romawi dalam masalah-masalah yang tidak dapat mereka
atasi, melainkan mereka juga menerapkan hukum Romawi, meskipun sebenarnya hukum
mereka sendiri telah tersedia.
b.
Adanya
kepercayaan pada hukum alam yang asasi yang dianggap sebagai huku yang sempurna
dan selalu berlaku kapan saja dan di mana saja. Biasanya hukum alam ini
disamakan dengan hukum Romawi.
3.
Perkembangan hukum di Perancis
Perancis adalah salah satu negara di Eropa Kontinental yang
meresepsi hukum Romawi. Sebelum diadakannya unifikasi hukum oleh kaisar
Napoleon Bonaparte, hukum yang berlaku di Perancis bermacam-macam yaitu hukum
Germania di samping hukum Romawi. Di bagian utara dan tengah berlaku hukum
lokal (pays de droit coutumier) yakni hukum kebiasaan Perancis kuno yang
berasal dari hukum Romawi (pays de droit ecrit) yang telah mengalami
kodifikasi dalam Corpus Iuris adalah hukum yang tetapkan oleh gereja
Katolik ialah hukum Kanonik dalam Codex Iuris Canonical dan berlaku
diseluruh Perancis.
Dengan berlakunya berbagai macam hukum tersebut, maka di Perancis
dirasakan tidak adanya kepastian hukum dan kesatuan hukum. Timbullah kesadaran
perlu diadakannya kesatuan hukum. Sebenarnya gagasan untuk mengunifikasikan
hukum di Perancis ini telah timbul sejak abad XV (Raja Louis XI) yang kemudian dilanjutkan
secara berturut-turut oleh:[13]
a.
Berbagai
Parlemen Propinsi pada abad XVI.
b.
Para
ahli hukum seperti Charles Doumulin (1500-1566), Jean Domat (1625-1696), Robert
Joseph Pothier (1699-1771), dan Francois Bourjon.
Cita-cita untuk membukukan hukum perdata dalam Corpus de lois berlangsung
terus dan meskipun belum seluruh cita-cita tersebut terlaksana, namun pada
akhir abad XVII dan permulaan abad XVIII sewaktu pemerintahan raja Louis XV
dapat diterbitkan tiga buah ordonansi mengenai hal-hal yang khusus dan yang
diberi nama ordonansi Daguesseau. Ordonansi yang dimaksud adalah:
- L’ordonance sur les donations (1731).
- L’ordonance sur les testaments (1735).
- L’ordonance sur les substitutions fideicommisaires (1747).
Selanjutnya inifikasi hukum di Perancis baru dapat terwujud dengan
dibentuknya suatu panitia yang ditugaskan membuat kodifikasi oleh kaisar
Napoleon Bonaparte pada tanggal 12 Agustus 1800. Sebagai anggota panitia
ditunjuk Portalis, Trouchet Bigot de Preameneu dan Manneville, sebagai sumber
kodifikasi adalah sumber hukum yang terjadi dari campuran asas-asas hukum
Jerman dan hukum gereja (hukum Kanonik). Sumber-sumber tersebut terdiri dari:[14]
- Tulisan-tulisan Poithier, Domat dan Bourjon.
- Hukum kebiasaan (coutumes) terutama kebiasaan Paris (coutume de Paris)
- Ordonansi-ordonansi Daguesseau.
- Hukum yang dibentuk sejak revolusi Perancis sampai terbentuknya kodifikasi ialah hukum intermediaire (hukum sementara waktu).
Akhirnya pada tanggal 12 Maret 1804 terwujudlah kodifikasi Perancis
Maret 1804 dengan nama Code Civil des Francais yang diundangkan sebagai Code
Napoleon pada tahun 1807. Kodifikasi ini merupakan kodifikasi hukum
nasional yang pertama dan dianggap sebagai karya besar dari Portalis. Di
samping itu juga dianggap sebagai buku yang sedemikian lengkapnya yang dapat
dipergunakan untuk mengatasi seluruh persoalan yang ada. Oleh karenanya timbul
paham Legisme dengan mottonya “Di luar Undang-undnag tidak ada hukum”.
Dengan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa negara Perancis yang semula
memberlakukan bermacam-macam hukum dengan melalui berbagai tahap, akhirnya pada
tahun 1807 dapat memproklamirkan/mengundangkan buku Code Civil des Francais atau
Code Napoleon yang merupakan kodifikasi hukum yang bersifat nasional
yang pertama di dunia.
4.
Perkembangan hukum di Negeri Belanda
Seperti di Perancis hukum yang mula-mula dipergunakan oleh
masyarakat Belanda adalah hukum kebiasaan yaitu hukum Belanda kuno. Penjajahan
Perancis (1806-1813) mengakibatkan terdesaknya hukum Belanda kuno dan hukum Code
Civil Perancislah yang menggantinya. Setelah negeri Belanda merdeka, maka
setahun kemudian dibentuklah sebuah panitia yang bertugas menyusun rencana kode
hukum Belanda berdasarkan Undang-undang Dasar Belanda pasal 100 yang diketuai
oelh Mr. J.M. Kemper. Rencana kode hukum Belanda yang dimaksud didasarkan pada
hukum Belanda kino yang tidak dapat disepakati oleh para ahli hukum Belgia
(pada waktu itu negeri Belanda menjadi satu dengan Belgia). Mereka menghendaki
agar kode Napoleonlah yang dipergunakan sebagai dasar daripada rencana kode
Belanda.[15]
Kode hukum Belanda sebagian besar didasarkan pada kode civil
Perancis dan sedikit yang bersumber pada hukum Belanda kuno, yakni terdiri dari
empat buku seperti susunan Institusiones dalam Corpus Civil. Namun demikian
perbedaannya tidak banyak karena hukum Perancis juga berasal dari hukum Romawi.
Kalau hukum perdata Belanda dan Perancis banyak meresepsi hukum Romawi, tetapi
tidak demikianlah dengan hukum dagangnya. Yang terakhir ini mempunyai histori tersendiri
dalam pertumbuhannya yaitu:[16]
a. Perkembangan hukum dagang mempunyai hubungan erat dengan lahirnya
kota-kota di Eropa Barat terutama di Perancis Selatan dan Itali.
b. Kebutulan hukum Romawi tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah
yang timbul dari perdagangan, sehingga dibuatlah peraturan-peraturan hukum
dagang tersendiri yang lama kelamaan menjadi himpunan hukum yang berdiri
sendiri dan dijadikan hukum yang berlaku khusus bagi golongan-golongan
pedagang/pengusaha. Hukum ini dinamakan hukum dagang dan merupakan permulaan
daripada timbulnya kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional.
Pada waktu Belanda menyusun kode hukum Belanda, hukum dagangnya
dipisahkan dengan hukum perdata, meskipun sewaktu negeri Belanda belum dijajah
oleh Perancis dan masih diberlakukannya hukum Belanda kuno, tidak pernah ada
pemisahan penggunaan oleh penduduk antara kedua hukum tersebut, artinya hukum
dagang dan hukum perdata sama-sama berlaku bagi setiap penduduk. Hukum dagang
yang hanya berlaku bagi kaum pedagang saja berlaku sejak tahun 1838, namun
sejak pertengahan kedua abad XIX hukum dagang dianggap berlaku bagi golongan
bukan pedagang.
Di samping hal tersebut, paham liberal juga mempengaruhi
pertumbuhan hukum di Eropa Daratan termasuk di negeri Belanda. Aliran ini
berpokok pangkal pada paham, bahwa manusia itu dilahirkan secara bebas dan
masing-masing mempunyai hak yang sama. Aliran ini pulalah yang mengakibatkan
revolusi Perancis yang terkenal tumbangnya pemerintahan feudal dengan kekuasaan
raja-raja secara absolute dan tidak seimbang dengan hak-hak yang dipunyai
rakyat. Aliran liberalism sangat menonjolkan individu dan menginginkan
kebebasan individu dengan semboyan laissez faire, laissez passer. Alam
pikiran ini menjelma dalam pembentukan hukum yang terjadi setelah revolusi Perancis
seperti pembentukan kodifikasi hukum Perancis dan hukum Belanda yang meniru
Perancis.[17]
Sifat individualistis tersebut nampak pada hukum perdata Belanda
tentang hak milik yang menyatakan bahwa hak milik merupakan hak yang mutlak dan
bebas untuk memilikinya, sehingga pemerintah pun tidak dapat bertindak terhadap
milik seseorang, meskipun hak itu diperlukan untuk kepentingan umum. Dengan
adanya perubahan struktur melahirkan struktur masyarakat yang baru juga
kodifikasi yang telah ada dirasa perlu untuk diubah. Di Perancis dan negeri
Belanda perubahan itu terjadi dengan diberlakukannya yusrisprudensi yang
melengkapi kodifikasi seperti yang terjadi pada putusan Pengadilan Tinggi
Colmar (Perancis) tanggal 2 Mei 1855 yang menyatakan, bahwa hak seseorang tidak
boleh mengganggu hak orang lain tanpa adanya kepentingan yang layak. Di negeri
Belanda dikenal adanya arrest 31 Januari 1919. Arrest ini
menyatakan, bahwa perbuatan melawan hukum bukan hanya perbuatan yang melawan
undang-undang saja, melainkan juga perbuatan yang bertentangan dengan kaidah
sosial lainnya seperti kesusilaan dan asas pergaulan kemasyarakatan dengan
menghormati orang lain atau hak dari barang orang lain.[18]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yurisprudensi merupakan
pelengkap dari kodifikasi yang selalu ketinggalan dengan kemajuan zaman
sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan lagi. Maka setelah adanya persoalan
hukum, kodifikasi bukan satu-satunya pegangan lagi seperti dalam zaman legisme,
karena sejarah menunjukkan bahwa kodifikasi masih perlu dilengkapi baik oleh
yurisprudensi maupun oleh kaidah-kaidah hukum lainnya. Maka tidak
mengherankanlah apabila di negeri Belanda diadakan perubahan kodifikasi dari BW
1838 deng BW 1951, karena terjadinya perubahan masyrakat setelah perang dunia
kedua. Perubahan kodifikasi tersebut dikenal dengan istilah Konsepsi Meyers.
Dengan demikian bila dibandingkan dengan di Inggris, maka
pembentukan hukum di negeri Belanda adalah terbalik. Mula-mula kodifikasi yang
kemudia menjadi undang-undang tidak lagi menjadi satu-satunya sumber hukum
(legisme), karena tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah yang timbul
kemudian. Kodifikasi tidak lagi dianggap sebagai produk yang mengatur
masyarakat secara keseluruhan dan secara sempurna. Pengalaman menunjukkan bahwa
kodifikasi masih mempunyai leemten (kekosongan-kekosongan)
artinya masih banyak hal-hal yang belum diatur. Maka dalam penyelesaian masalah
dipergunakan yurisprudensi dan penafsiran teleologis di samping kodifikasi.
Meskipun di negeri Belanda tidak berlaku asas stare decises yurisprudensi
tetap (vaste jurisprudensi) dapat terjamin ,karena adanya kontrol di
pengadilan yang lebih tinggi terhadap pengadilan yang lebih rendah.[19]
Kemudian pembaharuan oleh yurisprudensi diakui dan disempurnakan
lagi dengan perubahan BW dalam tahun 1951. Dengan adanya gewoonte geeft geen
recht dan alleen wanneer de wer er naar verwijst dapat diketahui
bahwa di negeri Belanda ada kaidah hukum yang ditimbulkan oleh kebiasaan,
sehingga juga di negeri Belanda maupun Eropa continental pada umumnya sekalipun
bertitik tolak pada hukum itu terdapat juga dalam undang-undang, yurisprudensi
dan kebiasaan. Hal tersebut berarti, mengetahui hukum yang sebenarnya, maka
tidak hanya dilihat dari undang-undangnya saja, tetapi juga harus ditinjau dari
hubungannya dengan yurisprudensi yang terbaru. Pada waktu itu hukum yang
berlaku di negeri Belanda adalah Undang-Undang kebiasaan dan Yurisprudensi.[20]
BAB III
PENUTUP
Simpulan:
1.
Sistem
hukum di Inggris ada 3 yaitu hukum Common Law, hukum Equity dan Statuta Law.
a.
Hukum
Common Law adalah hukum yang terbentuk dan merupakan unifikasi hukum yang telah
diputus hakim (yurisprudensi).
b.
Equity
ialah hukum kanonik/gereja yang bersumber pada natural law dan timbul karena
Common Law tidak dapat menampung seluruh masalah-masalah tertentu seperti
trust.
c.
Statuta
Law adalah hukum tertulis yang dibuat oleh parlemen karena Common Law yang
didasarkan pada yurisprudensi kadang-kadang belum lengkap dan ketinggalan dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang baru dan juga untuk mengoreksi serta mengisi
kekurangan-kekurangan Common Law yang tidak dapat mengimbangi kebutuhan keadilan
dari masyarakat yang terus berkembang.
2.
Sistem
hukum Eropa Kontinental sering disebut dengan system hukum Romawi Jerman atau
Civil Law. Asal mulanya sistem ini adalah dari kodifikasi hukum yang berlaku di
Kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Justinianus. Kumpulan
peraturan-peraturan tersebut kemudian disebut Corpus Juris Civilis.
Dalam perkembangannya, prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada Corpus Juris
Civilis itu dijadikan dasar perumusan dan kodifikasi hukum di negara-negara
Eropa Kontinental seperti Jerman, Belanda, Perancis dan Italia, juga Amerika
Latin dan Asia termasuk Indonesia pada masa penjajahan pemerintahan Belanda.
DAFTAR PUSTAKA
Bogdan,
Michael, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Bandung: Nusa Media, 2010.
Soeroso, R., Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Sinar
Grafika, 2010.
Soeroso,
R., Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2001.
[1]R.
Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.
63
[2]Ibid,
h. 64
[3]Michael
Bogdan, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Bandung: Nusa Media,
2010), h. 133
[4]
R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata,op.cit., h. 64
[5]R.
Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), h.
64
[6]Ibid,
h. 65
[7]Ibid,
h. 66
[8]Ibid,
h. 67
[9]R.
Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, op. cit., h. 69
[10]Ibid,
h. 70
[11]Ibid,
h. 71
[12]Ibid
[13]Ibid,
h. 72
[14]Ibid,
h. 73
[15]Ibid,
h. 74
[16]Ibid,
h. 75
[17]Ibid,
h. 76
[18]Ibid,
h. 77
[19]Ibid,
h. 78
[20]Ibid,
h. 79
ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat ayo segera bergabung dengan kami di f4n5p0k3r
BalasHapusPromo Fans**poker saat ini :
- Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
- Bonus Cashback 0.5% dibagikan Setiap Senin
- Bonus Referal 20% Seumur Hidup dibagikan Setiap Kamis
Ayo di tunggu apa lagi Segera bergabung ya, di tunggu lo ^.^
Izin ambil point min
BalasHapus