BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Isu pembaharuan hukum keluarga telah muncul
sejak lama, karena banyaknya kasus yang menimpa kaum perempuan selama dalam
kehidupan perkawinan. Seperti, terjadinya perkawinan di bawah umur, kawin
paksa, poligami, talak yang sewenang-wenang dan mengabaikan hak-hak perempuan,
dan sebagainya. Upaya pembaharuan hukum keluarga itu terus bergulir hingga
tahun 1974. Upaya reformasi hukum keluarga ini selalu jadi isu kontroversi di
negara-negara muslim modern. Sebagai konskuensinya, upaya pembaharuan
hukum keluarga selalu menghadapi perlawanan kuat, khususnya dari kelompok
pemilik otoritas agama. Sebab mengubah hukum keluarga dianggap mengubah esensi
agama. Upaya pembaharuan hukum keluarga bisa-bisa dimaknai sebagai
pembangkangan terhadap syariat Islam. Akibatnya, belum semua negara berpenduduk
muslim melakukan pembaharuan terhadap hukum keluarganya. Untuk lebih jelasnya
tentang pembaharuan hukum keluarga di Negara muslim akan penulis bahas dalam
bab selanjutnya.
B.
Rumusan Masalah
- Bagaimana sejarah pembaharuan hukum keluarga di Negara Muslim?
- Apa tujuan dari pembaharuan hukum keluarga di Negara Muslim?
- Bagaimana perkembangan pembaharuan hukum keluarga di Negara-negara Muslim tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hukum Keluarga
Hukum keluarga secara umum adalah keseluruhan
ketentuan yang menyangkut hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan
sedarah dan kekeluargaan karena perkara perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang
tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir).[1]
Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa
orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Kekeluargaan karena perkawinan adalah
pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan
keluarga sedarah dari isteri (suaminya). Hubungan keluarga ini sangat penting
karena ada sangkut pautnya dengan hubungan anak dan orang tua, hukum waris,
perwalian dan pengampuan.[2]
B. Sejarah
Pembaharuan Hukum Keluarga di Negara Muslim
Bagi negara-negara muslim, pembaharuan hukum
keluarga dimotori oleh Turki, pada 1917, dengan hadirnya Ottoman Law of
Family Rights atau Qanun Qarar al-Huquq al-‘A’ilah al-Uthmaniyah.
Selanjutnya, pembaharuan Turki terhadap hukum keluarganya diikuti oleh sejumlah
negara lain seperti, Libanon (1919), Yordania (1951), dan Syiria (1953). Turki
sebetulnya masuk kategori negara Islam yang melakukan pembaharuan hukum
keluarga secara radikal dan menggantikannya dengan hukum sipil Eropa. Sementara
negara-negara muslim lain, hanya berusaha mengkodifikasi hukum keluarganya
tanpa menghilangkan landasan pijak yang asasi, yaitu Alquran dan Hadis. Seperti
yang dipraktikkan Mesir pada 1920 dan 1929, Tunisia, Pakistan, Yordania,
Syiria, dan Irak.[3]
Dalam konteks Indonesia, meski tidak tergolong
negara Islam, melainkan mayoritas berpenduduk muslim, upaya pembaharuan hukum
keluarga ini tidak terlepas dari munculnya pemikir-pemikir reformis muslim,
baik dari tokoh luar negeri maupun dalam negeri. Dari luar negeri bisa
disebutkan antara lain Rifa’ah al-Tahtawi (1801-1874), Muhammad ‘Abduh
(1849-1905), Qasim Amin (1863-1908), juga Fazlur Rahman (1919-1988). Sedang
tokoh dari reformis muslim nasional antara lain Mukti Ali, Harun Nasution,
Nurcholis Madjid, dan Munawir Syadzali. Sosok Munawir Syadzali ini dikenal
sangat kuat mendorong komunitas Islam untuk melakukan ijtihad secara
jujur dan berani, terutama soal hukum waris. Gagasannya yang terkenal adalah
tentang perlunya mengubah hukum waris, terutama mengenai pembagian yang lebih
adil dan proporsional bagi (anak-anak) perempuan.[4]
C.
Tujuan
Pembaharuan Hukum Keluarga
Adapun tujuan pembaharuan hukum keluarga secara
umum dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1.
Unifikasi hukum perkawinan.
2.
Peningkatan status wanita.
3.
Respon terhadap perkembangan dan tuntutan
zaman.[5]
Tujuan unifikasi hukum dapat dikelompokkan
menjadi lima, yaitu:[6]
Pertama, unifikasi hukum
yang berlaku untuk seluruh warga Negara tanpa memandang agama, misalnya kasus
yang berlaku di Tunisia. Kedua, unifikasi yang bertujuan untuk
menyatukan dua aliran pokok dalam sejarah muslim, yakni antara paham sunni dan
shi’i, di mana Iran dan Irak termasuk di dalamnya, karena di Negara
bersangkutan ada penduduk yang mengikuti kedua aliran besar tersebut. Ketiga,
kelompok yang berusaha memadukan antar mazhab dalam sunni, karena di
dalamnya ada pengikut mazhab-mazhab yang bersangkutan.
Keempat, unifikasi dalam
satu mazhab tertentu, misalnya di kalangan pengikut Syafi’i atau Hanafi atau
Maliki. Dengan menyebut unifikasi dari antar mazhab bukan berarti format
pembaharuan yang ditemukan dengan sendirinya beranjak dari dan berdasarkan
mazhab yang ada di Negara yang bersangkutan. Boleh jadi formatnya diambil dari
pandangan mazhab yang tidak ditemukan sama sekali di Negara yang bersangkutan.
Contoh, di Indonesia yang penduduknya Muslimnya mayoritas bermazhab Syafi’I
bukan berarti format hukum keluarganya sepenuhnya sesuai dengan
pandangan-pandangan Imam Syafi’I dan ulama Syafi’I, tetapi boleh jadi pada
bagian-bagian tertentu mengambil dari pandangan mazhab Zahiri atau mazhab
Hanafi atau mazhab Maliki dan seterusnya. Kelima, unifikasi dengan
berpegang pada pendapat imam di luar imam mazhab terkenal, seperti pendapat Ibn
Syubrumah, Ibn Qayyim al-Jauziyah dan lain-lain.
Beberapa negara melakukan pembaharuan hukum
keluarga dengan tujuan untuk mengangkat status wanita muslimah. Tujuan
pengangkatan status wanita ini sering pula dengan merespon tuntutan dan
perkembangan zaman dan tujuan unifikasi hukum. sehingga tujuan pengangkatan
status wanita seiring pula dengan tujuan unifikasi hukum dan merespon tuntutan
dan perkembangan zaman. Berdasarkan latar belakang lahirnya tuntutan
pembaharuan hukum keluarga dapat disimpulkan bahwa ketiga tujuan pembaharuan
tersebut di atas sejalan dan seiring di mayoritas Negara Muslim.
Dari sekian cakupan perundang-undangan
perkawinan, ada minimal 13 hal yang mengalami perubahan atau terjadi
pembaharuan, yaitu:[7]
1.
Masalah pembatasn umur minimal kawin.
2.
Masalah peranan wali dalam nikah.
3.
Masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan.
4.
Masalah keuangan perkawinan: maskawin dan biaya
perkawinan.
5.
Masalah poligami dan hak-hak istri dalam poligami.
6.
Masalah nafkah istri dan keluarga serta rumah
tinggal.
7.
Masalah talak dan cerai di muka pengadilan.
8.
Masalah hak-hak wanita yang dicerai suaminya.
9.
Masalah masa hamil dan akibat hukumnya.
10. Masalah hak dan
tanggung jawab pemeliharaan anak-anak setelah terjadi perceraian.
D.
Negara-Negara
Muslim Yang Melakukan Pembaharuan Hukum Keluarga
Perkembangan pembaharuan hukum keluarga
dilakukan Negara-negara muslim, secara global dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu:[8]
- Fase tahun 1915-1950.
- Fase tahun 1950-1971.
- Fase tahun 1971 sampai sekarang.
Artinya ada sejumlah negara yang melakukan
pembaharuan hukum keluarga dalam rentang waktu 1915 s/d 1950. Demikian juga ada
sejumlah negara yang melakukan pembaharuan hukum keluarga dalam rentang waktu
tahun 1950 s/d 1971. Dan ada pula sejumlah negara yang melakukan pembaharuan
hukum keluarga Islam dalam rentang waktu tahun 1971 s/d sekarang.
Pengelompokkan fase (periode) ini tidak mesti benar, ada juga kemungkinan
pengelompokkan lain. Pencantuman ini diharapkan sekedar untuk mempermudah
pembahasan dengan catatan tidak menutupi kemungkinan dilakukan penetapan
priodesisasi lain.[9]
Adapun negara-negara yang melakukan pembaharuan
hukum keluarga pada masa rentang waktu 1915 s/d 1971 yaitu Turki, Libanon,
Mesir, Sudan, Iran, dan Yaman Selatan. Dan negara yang melakukan pembaharuan
hukum keluarga rentang waktu tahun 1950 s/d tahun 1971 yaitu Yordania, Syria,
Tunisia, Maroko, Irak, Algeria dan Pakistan. Sedangkan Negara-negara yang
memperbaharui hukum keluarga pada rentang tahun 1971 s/d sekarang dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1) Negara yang baru pertama kali melakukan
pembaharuan (kodifikasi), 2) Melakukan pembaharuan terhadap Undang-Undang yang
telah dikodifikasi sebelumnya. Adapun Negara-negara tersebut adalah Afganistan,
Banglades (merdeka tahun 1971), Libya, Indonesia, Yaman Selatan, Somalia, Yaman
Utara, Malaysia, Brunei dan Republik Yaman.[10]
E.
Sekilas
Komparasi Hukum Keluarga di Beberapa Negara
Terkait isu-isu dalam pembaharuan hukum
keluarga, kita bisa melihat dan memetakan apa yang terjadi di beberapa negara
muslim maupun di Indonesia. Pertama, pembaharuan hukum keluarga di
Tunisia. Ada dua hal yang menonjol dalam pembaharuan hukum keluarga di Tunisia,
yaitu keharusan perceraian di pengadilan dan larangan poligami secara mutlak.
Meski memunculkan perdebatan di kalangan ulama, Tunisia tetap berpegang teguh
pada prinsip pembelaan dan pemberdayaan kaum perempuan. Khususnya dalam kasus
poligami, Tunisia juga berpendapat bahwa institusi perbudakan dan poligami
dalam masyarakat Islam hanya berlaku pada awal Islam. Dan juga, keadilan
sebagai prasyarat poligami hanya dapat dipenuhi oleh Nabi Muhammad saw. [11]
Di Indonesia, alih-alih mengkodifikasi larangan
poligami secara mutlak; ide pelarangan itu sendiri masih jadi perdebatan serius
bagi banyak pihak. Tidak hanya didebat, bahkan ide tersebut mendapat perlawanan
dari kaum konservatif agama dengan memunculkan berbagai gerakan semisal poligami
club yang jadi fenomena nyata di masyarakat saat ini. Selain itu, telah
jadi hal lumrah, poligami yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak
memenuhi persyaratan undang-undang pun tetap dibiarkan.[12]
Kedua, pembaharuan
hukum keluarga di Turki. Tidak berbeda dari Tunisia, salah satu hal progres
yang ada dalam UU sipil Turki/1926 adalah tentang pelarangan poligami secara
mutlak. Bahkan sebelum Tunisia, Turki telah lebih dulu menggulirkan hal
tersebut. Selain tentang poligami, Turki juga memiliki UU Perwalian dan Adopsi
tahun 1958 yang di dalamnya terdapat pembaharuan hukum menyangkut hak dan status
anak angkat atau adopsi anak. Di dalam keluarga angkatnya, UU tersebut
menjelaskan, bahwa anak angkat mendapatkan hak dan kewajiban yang sama
sebagaimana anak kandung. Pihak keluarga yang mengadopsi juga harus mampu
mencukupi kebutuhan finansial anak.[13]
Ketiga, adalah
pembaharuan hukum di Syria. Pembaharuan hukum keluarga Syria (Qanun
al-akhwal al-syakhsiyah) dilakukan pada tahun 1953 dan diamandemen pada
1975 dengan maksud untuk menjamin hak-hak perempuan dalam pandangan hukum. Ini
terkait dengan syarat usia menikah, pertunangan, poligami, perceraian, wasiat
dan warisan. Tentang syarat usia perkawinan, Syria tidak hanya mengatur usia
minimal pernikahan, tetapi juga mengatur selisih umur antara kedua calon
mempelai yang akan menikah. Jika perbedaan usia di antara keduanya terlalu
jauh, maka pengadilan dapat melarang terjadinya pernikahan. Ini adalah salah
satu aturan yang dinilai sangat maju dalam hukum keluarga Syria. Situasi ini
sangat berbeda dengan di negeri kita, manakala terjadi perkawinan anak di bawah
umur negara tak mampu berbuat apa-apa karena ketiadaan aturan yang dapat
melarang atau mencegahnya.
Selanjutnya, hal lain dari undang-undang Syria
yang juga dinilai maju adalah, memberikan hak kepada istri untuk mengajukan
gugatan cerai kepada suaminya karena beberapa alasan berikut:[14]
1.
Suami menderita penyakit yang dapat menghalangi
untuk hidup bersama.
2.
Penyakit gila dari suami.
3.
Suami meninggalkan istri atau dipenjara lebih
dari tiga tahun.
4.
Suami dianggap gagal memberikan nafkah.
5.
Penganiayaan suami terhadap istri.
Pembaharuan hukum keluarga di Syria dengan
memberi hak-hak tersebut kepada istri, maka hal ini telah membuka akses bagi
perempuan (istri) untuk memilih solusi yang terbaik bagi dirinya sendiri.
Keempat, pembaharuan
hukum keluarga di Mesir. Pembaharuan hukum keluarga di Mesir pada dasarnya
telah mengalami beberapa kali amandemen sejak 1920-1985. Dalam hukum keluarga
Mesir isu yang muncul antara lain poligami, wasiat wajibah, warisan, dan
pengasuhan anak. Terkait poligami, hanya dibolehkan jika mendapatkan izin
istri, sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Di samping itu, hukum keluarga
Mesir juga memberikan ancaman sanksi kepada orang yang memberi pengakuan palsu
tentang status perkawinan atau alamat istri atau para istri yang dicerai.
Sementara seorang pegawai pencatat perkawinan yang lalai atau gagal melakukan
tugasnya dapat dihukum dengan hukuman penjara maksimal satu bulan dan hukuman
denda maksimal 50 pound Mesir; serta pegawai yang bersangkutan dinon-aktifkan
selama maksimal satu tahun.[15]
Kebijakan ini tampaknya bisa menghambat
terjadinya pernikahan liar atau pernikahan yang tidak dicatatkan, baik yang
dilakukan dalam rangka nikah sirri, kawin kontrak, ataupun perkawinan poligami
yang dilakukan tanpa seizin istri. Sementara mengenai status pengasuhan anak di
negara Mesir, dalam amandemen No. 100/1985 dinyatakan bahwa perempuan (istri)
memiliki hak mengasuh anak laki-laki hingga usia 10 tahun dan 12 tahun bagi
anak perempuan.
Kelima, pembaharuan
hukum keluarga di Irak, yang menyangkut antara lain terkait masalah status wali
bagi perempuan, pemberian mahar, wasiat wajibah, dan pengasuhan anak (hadhanah).
Tentang hadhanah menariknya, perempuan di Irak memiliki hak istimewa
untuk mengasuh dan mendidik anak selama perkawinan berlangsung dan begitu juga
setelah perceraian. Namun, hal itu dengan catatan perempuan atau ibu itu tidak
berbuat aniaya terhadap anak, sehat, dapat dipercaya, dan mampu bertanggung
jawab dan melindungi anaknya, (namun) juga tidak kawin lagi dengan laki-laki
lain.
Keenam, pembaharuan
hukum keluarga di Maroko. Di antara pencapaian hukum keluarga Maroko yang
tergolong progres adalah ketetapan bahwa, keluarga merupakan tanggungjawab
bersama antara laki-laki dan perempuan. Sebelumnya, laki-laki adalah penanggung
jawab tunggal keluarga. Kemudian terkait wali, perempuan tidak membutuhkan ijin
wali untuk menikah. Hak otonom perempuan untuk memilih calon pasangan hidupnya
dilindungi oleh hukum yang berlaku, sehingga kasus kawin paksa bisa dihindari.
Maroko juga menetapkan batas usia minimum pernikahan bagi laki-laki dan
perempuan adalah sama, 18 tahun (sebelumnya perempuan 15 tahun, laki-laki
17 tahun). Itu berarti pernikahan dini juga dapat ditekan. Sedangkan terkait
poligami, Maroko menetapkan syarat yang sangat ketat, sebagaimana yang ada
dalam ketentuan hukum keluarga di Indonesia.[16]
BAB III
PENUTUP
Simpulan:
Pembaharuan hukum keluarga di Negara Muslim
dimotori oleh Turki, pada tahun 1917, dengan hadirnya Ottoman Law of Family
Rights atau Qanun Qarar al-Huquq al-‘A’ilah al-Uthmaniyah.
Selanjutnya, pembaharuan Turki terhadap hukum keluarganya diikuti oleh sejumlah
negara lain seperti, Libanon (1919), Yordania (1951), dan Syiria (1953). Adapun
tujuan pembaharuan hukum keluarga secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu unifikasi hukum perkawinan, peningkatan status wanita, dan respon
terhadap perkembangan dan tuntutan zaman.
Perkembangan pembaharuan hukum keluarga
dilakukan negara-negara muslim, secara global dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu:
1.
Fase tahun 1915-1950 : Turki, Libanon, Mesir,
Sudan, Iran, dan Yaman Selatan.
2.
Fase tahun 1950-1971 : Yordania, Syria,
Tunisia, Maroko, Irak, Algeria dan Pakistan.
3.
Fase tahun 1971 sampai sekarang : Afganistan,
Banglades, Libya, Indonesia, Yaman Selatan, Somalia, Yaman Utara, Malaysia,
Brunei dan Republik Yaman.
DAFTAR
PUSTAKA
Afandi, Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian,
Cet. VI, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997.
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, Edisi
I, Cet. I, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011.
Rahima,
Kilas Balik pembaharuan Hukum Keluarga, http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=582:fokus-edisi-32--kilas-balik-pembaruan-hukum-keluarga&catid=32:fokus-suara-rahima&Itemid=47 diakses Kamis, 24 April 2014.
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, Cet. I, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1991.
[1]Sudarsono, Hukum
Kekeluargaan Nasional, Cet. I, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), h. 5
[2]Ali Afandi, Hukum
Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian, Cet. VI, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1997), h. 93
[3]Rahima,
Kilas Balik pembaharuan Hukum Keluarga, http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=582:fokus-edisi-32--kilas-balik-pembaruan-hukum-keluarga&catid=32:fokus-suara-rahima&Itemid=47 diakses Kamis, 24 April 2014, jam 17:00 Wita.
[5]Mardani, Hukum
Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, Edisi I, Cet. I, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2011), h. 93
BalasHapusterus menulis jangan pernah berhenti sebagai amal soleh
Minta pembagian negara mana yang baru pertama kali melakukan pembaharuan dan negara yang melakukan pembaharuan pada undang undang yang telah dikodifikasi (fase 1971 - sekarang). Terima kasih.
BalasHapusingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat ayo segera bergabung dengan kami di f4n5p0k3r
BalasHapusPromo Fans**poker saat ini :
- Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
- Bonus Cashback 0.5% dibagikan Setiap Senin
- Bonus Referal 20% Seumur Hidup dibagikan Setiap Kamis
Ayo di tunggu apa lagi Segera bergabung ya, di tunggu lo ^.^