BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perpisahan yang
terjadi antara sepasang suami isteri ada dua macam. Yang pertama, berpisah
ketika masih hidup, ini biasanya dengan bercerai. Dan yang kedua, berpisah
karena ditinggal mati. Pada kedua jenis perpisahan itu wanita harus menjalani
masa iddah; yaitu masa tertentu dimana wanita harus menunggu secara syar`i.
Masa iddah ini disyariatkan oleh Allah
karena terdapat banyak hikmah padanya, diantaranya ; Pertama, Iddah
merupakan masa haram dimana wanita dilarang digauli setelah putusnya tali
pernikahan, kedua, masa iddah ini untuk meyakinkan bahwa seorang wanita
tidak mengalami kehamilan dalam rahimnya sehingga ia tidak disetubuhi lelaki
lain yang bukan mantan suaminya, karena hal itu menyebabkan adanya keraguan
terhadap janin yang dikandung dan hilangnya nasab keturunan, dan ketiga, masa
iddah ini disyariatkan demi menghormati akad nikah yang terjalin dengan lelaki
terdahulu, demi menghormati hak suami yang mencerai, dan menampakkan pengaruh
akibat bercerai dengan suami. Untuk lebih jelasnya di makalah ini saya
menyebutkan beberapa hadis yang berkaitan dengan percerain dan masa iddahnya
dalam bab selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Sebutkan hadis tentang iddah dan talak, lengkap dengan
terjemahnya!
2. Berikan analisa dari fiqihnya!
3. Berikana analisa dari penulis!.
C.
Tujuan Penulis
1. Untuk menyebutkan hadis tentang iddah dan talak lengkap dan
terjemahannya
2. Memberikan analisa dari fiqih.
3. Menberikan analisa dari penulis
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadis dan Terjemahnya
Hadis Pertama:
وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( جَعَلْتُ عَلَى عَيْنِي صَبْرًا, بَعْدَ أَنْ
تُوُفِّيَ أَبُو سَلَمَةَ, فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّهُ
يَشِبُ اَلْوَجْهَ, فَلَا تَجْعَلِيهِ إِلَّا بِاللَّيْلِ, وَانْزِعِيهِ بِالنَّهَارِ,
وَلَا تَمْتَشِطِي بِالطِّيبِ, وَلَا بِالْحِنَّاءِ, فَإِنَّهُ خِضَابٌ قُلْتُ:
بِأَيِّ شَيْءٍ أَمْتَشِطُ? قَالَ: بِالسِّدْرِ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ,
وَالنَّسَائِيُّ, وَإِسْنَادُهُ حَسَنٌ
Artinya:
“Ummu Salamah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku menggunakan jadam
di mataku setelah kematian Abu Salamah. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "(Jadam) itu mempercantik wajah, maka janganlah
memakainya kecuali pada malam hari dan hapuslah pada siang hari, jangan
menyisir dengan minyak atau dengan pacar rambut, karena yang demikian itu
termasuk celupan (semiran). Aku bertanya: Dengan apa aku menyisir?. Beliau
bersabda: "Dengan bidara." (HR. Abu Dawud dan Nasa'i).
Hadis Kedua:
وَعَنْهَا; ( أَنَّ اِمْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ
اِبْنَتِي مَاتَ عَنْهَا زَوْجُهَا, وَقَدْ اِشْتَكَتْ عَيْنَهَا,
أَفَنَكْحُلُهَا? قَالَ: لَا ) مُتَّفَقٌ عَلَيْ
Artinya:
“Dari Ummu Salamah Radliyallaahu 'anhu bahwa seorang perempuan
bertanya: Wahai Rasulullah, anak perempuanku telah ditinggal mati suaminya, dan
matanya telah benat-benar sakit. Bolehkah kami memberinya celak?. Beliau
bersabda: "Tidak." Muttafaq Alaihi.”
Hadis Ketiga:
وَعَنْ فُرَيْعَةَ بِنْتِ مَالِكٍ; ( أَنَّ زَوْجَهَا خَرَجَ فِي
طَلَبِ أَعْبُدٍ لَهُ فَقَتَلُوهُ. قَالَتْ: فَسَأَلْتُ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه
وسلم أَنْ أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِي; فَإِنَّ زَوْجِي لَمْ يَتْرُكْ لِي مَسْكَنًا
يَمْلِكُهُ وَلَا نَفَقَةً, فَقَالَ: نَعَمْ فَلَمَّا كُنْتُ فِي اَلْحُجْرَةِ
نَادَانِي, فَقَالَ: اُمْكُثِي فِي بَيْتِكَ حَتَّى يَبْلُغَ اَلْكِتَابُ
أَجَلَهُ قَالَتْ: فَاعْتَدَدْتُ فِيهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا, قَالَتْ:
فَقَضَى بِهِ بَعْدَ ذَلِكَ عُثْمَانُ ) أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَالْأَرْبَعَةُ,
وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, والذُّهْلِيُّ, وَابْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ
وَغَيْرُهُمْ
Artinya:
“Dari Furai'ah Binti Malik bahwa suaminya keluar untuk mencari
budak-budak miliknya, lalu mereka membunuhnya. Kemudian aku meminta kepada
Rasululah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam agar aku boleh pulang ke keluargaku,
sebab suamiku tidak meninggalkan rumah miliknya dan nafkah untukku. Beliau
bersabda: "Ya." Ketika aku sedang berada di dalam kamar, beliau
memanggilku dan bersabda: "Tinggallah di rumahku hingga masa iddah."
Ia berkata: Aku beriddah di dalam rumah selama empat bulan sepuluh hari. Ia
berkata: Setelah itu Utsman juga menetapkan seperti itu. (HR. Ahmad dan Imam Empat)
B.
Analisa Fiqih
Dalam buku Fatwa-Fatwa Kontemporer karangan DR. Yusuf Qardhawi
menjelaskan bahwa Islam tidak mewajibkan sesuatu kepada wanita setelah suaminya
meninggal dunia melainkan tiga perkara yaitu beriddah, berkabung, dan berdiam
di rumah.
- Yang dimaksud dengan I’tidad (beriddah), yaitu menunggu untuk tidak melakukan perkawinan lagi selama empat bulan sepuluh hari jika ia tidak hamil, tetapi jika ia hamil maka masa tunggunya ialah hingga ia melahirkan anaknya.[1] Adapun firman Allah dalam Surah Al-Baqarah yang berbunyi:
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFã öNä3ZÏB tbrâxtur %[`ºurør& z`óÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkôr& #Zô³tãur (
#sÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& xsù yy$oYã_ ö/ä3øn=tæ $yJÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3
ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î6yz ÇËÌÍÈ
Artinya:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada
dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut
yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah : 234).
Menurut Imam Syafi’i ayat di atas menjelaskan tentang hukum Allah
Yang Maha Tinggi sebutan-Nya bahwa iddah itu adalah sejak hari jatuh talak dan
sejak terjadinya kematian. Bila wanita mengetahui yakin kematian suaminya
dengan bukti yang kuat bagi wanita atas kematian suaminya atau sembarangan
pengetahuan yang benar di sisi wanita maka wanita itu beriddah sejak hari
terjadinya wafat. Dan jika wanita tidak beriddah hingga berlalu wafat niscaya
tidak ada iddah atas wanita itu karena iddah itu hanyalah waktu yang berlalu
atas wanita. Bila waktu itu berlalu maka tidak ada atas wanita tempat mengenai
waktu tersebut.[2]
Dalam buku Fiqih Lima Mazhab karangan Muhammad Jawad Mughniyah menjelaskan
para ulama mazhab sepakat bahwa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya,
sedangkan ia tidak hamil adalah empat bulan sepuluh hari, baik itu wanita
tersebut sudah dewasa maupun masih anak-anak, dalam usia menopause atau tidak,
sudah dicampuri atau belum. Mazhab empat mengatakan bahwa iddah bagi wanita
hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan bayinya,
sekalipun hanya beberapa saat sesudah dia ditinggalkan mati oleh suaminya itu,
yaitu dia sudah boleh kawin lagi sesudah lepas kehamilannya. Dalam buku Umdatul
Ahkam juga dijelaskan bahwa isteri yang ditinggal mati oleh suami dalam
keadaan hamil diperbolehkan untuk menikah setelah anaknya dilahirkan. [3]Bahkan
andai kata jasad suaminya belum dikuburkan sekalipun. Ini berdasarkan firman
Allah yang berbunyi:[4]
àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq 4
Artinya:
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. (QS.
At-Thalaq: 4)
Imamiyah mengatakan iddah wanita hamil yang ditinggal mati suaminya
adalah iddah paling panjang di antara waktu melahirkan dan empat bulan sepuluh
hari. Kalau dia telah melewati waktu empat bulan sepuluh hari, tapi belum
melahirkan, maka iddahnya adalah hingga dia melahirkan.[5]
Akan tetapi bila dia melahirkan sebelum empat bulan sepuluh hari, maka iddahnya
adalah empat bulan sepuluh hari. Dalil yang digunakan oleh Imamiyah adalah
menggabungkan antara ayat yang berbunyi, “(hendaklah paara isteri itu) menangguhkan
diri (beriddah) empat bulan sepuluh hari” (QS. Al-Baqarah: 234) dan…waktu
iddah mereka itu ialah sampai merek melahirkan kandungannya” (QS.
At-Thalaq: 4).[6]
Ayat pertama menentukan iddah empat bulan sepuluh hari bagi wanita
yang ditinggal mati oleh suaminya, yang mencakup wanita hamil maupun tidak
hamil. Sedangkan ayat kedua menentukkan iddah bagi wanita hamil hingga ia
melahirkan bayinya, yang mencakup wanita yang ditalak (biasa) dan yang
ditinggal mati suaminya. Dengan demikian, seakan terdapat kontradiksi antara
makna lahiriah kedua ayat di atas dalam kaitannya dengan wanita hamil yang
melahirkan bayi sebelum empat bulan sepuluh hari (bila dia ditinggal mati
suaminya) dan dengan memberlakukan ayat yang kedua maka berakhirlah masa
iddahnya. Sebab, dia telah melahirkan anaknya.[7]
Dan bila ayat pertama diberlakukan, iddahnya belum dipandang
selesai, sebab dia belum melalui masa empat bulan sepuluh hari. Juga terjadi
kontradiksi, manakal wanita tersebut telah melalui masa empat bulan sepuluh
hari tanpa belum melahirkan. Dengan memberlakukan ayat pertama berarti masa
iddahnya berakhir, sebab masa empat bulan sepuluh hari telah dilalui. Tetapi
dengan memberlakukan ayat kedua, iddahnya jelas belum berakhir, sebab dia belum
melahirkan bayinya. Pada hal ayat-ayat dalam Al-Qur’an itu merupakan satu
kesatuan, yang satu sama lain harus saling melengkapi.[8]
Maka, kalau kita gabungkan kedua ayat tersebut dalam bentuk: “Dan
orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari, dan
perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya.” Akan kita peroleh pengertian iddah wanita yang
ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari, bagi wanita yang tidak
hamil dan wanita yang melahirkan anaknya sebelum empat bulan sepuluh hari.[9]
Sedangkan bagi wanita hamil yang melahirkan anaknya sesudah lewat empat bulan
sepuluh hari adalah hingga dia melahirkan kandungannya itu.[10]
- Hidad (berkabung) ialah keadaan si isteri yang dalam masa iddah menjauhkan diri dari lambang-lambang perhiasaan dan keindahan, seperti bercelak, memakai inai, lipstik, dan berbedak yang biasanya dipakai wanita untuk berdandan buat suaminya. Juga tidak memakai parfum (wangi-wangian), perhiasan dan pakaian-pakaian yang mencolok dan memikat. Sesuai dengan hadis Nabi yang diriwayatkan dalam shahihain dari Ummu Habibah dan Zainab binti Jahsy yang keduanya Ummul Mukminin ra yaitu:[11]
لَايَحِلُّ لِامْرَأًةٍ تُؤْمِنُ بِا اللهِ وَلْيَوْمِ الْاخِرِانْ
تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ (اَيْ ثَلَاثِ لَيَالٍ) اِلَّاعَلَى زَوْجٍ
ارْبَعَةَ اَشْهُرٍوَعَشْرًا
Artinya:
“Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir
untuk berkabung atas mayit lebih dari tiga hari tiga malam kecuali suaminya,
yaitu selama empat bulan sepuluh hari.”
Para ulama mazhab sepakat atas wajibnya wanita yang ditinggal mati
suaminya untuk melakukan hidad (berkabung), baik wanita itu sudah lanjut usia
maupun masih kecil, muslimah maupun non Muslimah, kecuali Hanafi. Mazhab ini
mengatakan bahwa, wanita dzimmi dan yang masih kecil tidak harus
menjalani hidad. Sebab mereka berdua adalah orang-orang yang tidak dikenai
kewajiban (ghair mukallaf).[12]
Dalam buku Tadzhib karangan H.M. Fadli Sa’id An-Nadwi juga menjelaskan bahwa
perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya (dalam iddahnya) wajib menjalankan hidad,
yaitu meninggalkan perhiasan dan parfum.[13]
Adapun berhias dan menampakkannya bagi wanita yang belum menikah itu dikatakan
haram oleh sebagian ulama, dan mereka beralasan dengan sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh An-Nasai dan Abu Dawud dari Rib’I bin Hirasy, dari isterinya
dari saudara perempuan Hudzaifah bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda yang
artinya :”Wahai kaum wanita, bukanlah kalian diperbolehkan memakai perhiasan
perak?, Ketahuilah, sesungguhnya salah seorang di antara kalian yang memakai
perhiasan emas lalu menapakkannya akan
diazab karena perbuatannya itu.[14]
Dari hadis ini dapat disimpulkan bahwa wanita yang belum menikah saja
dilarang berhias dan menampakkannya apalagi wanita yang sudah menikah yang
diwajibkan untuk berhias dan bersolek hanya untuk suaminya saja.
- Masalah yang ketiga yang harus dipenuhi oleh wanita yang ditinggal mati oleh suaminya ialah berdiam di rumah tempat suaminya meninggal dunia itu yang didiaminya bersama-sama dan tidak boleh meninggalkannya selama bulan-bulan iddahnya.
Dalam buku Fiqih Shahih Sunnah menjelaskan bahwa jumhur
ulama berpendapat, wanita yang beriddah karena ditinggal mati oleh suaminya
wajib, menjalani masa iddahnya di rumah tempat tinggal pasangan suami isteri
itu. bahkan seandainya ketika suaminya meninggal ia sedang berada di rumah
keluarganya atau sejenisnya, maka ia wajib kembali untuk beriddah di rumah
suaminya yang dahulu ditempatinya sebelum wafat. Sementara ada kalangan ulama
yang lainnya berpendapat, wanita yang menjalani masa iddah wafat boleh tinggal
di mana saja yang disukainya. Ini pendapat segolongan sahabat. Pendapat ini
berargumen dengan dalil yang diriwayat dari Ali ra, Nabi Saw memerintahkan
wanita yang ditinggal mati suaminya agar beriddah di mana saja yang
disukainya.”[15]
Dalam buku Shahih Fiqih Sunnah karangan Abu Malik Kamal bin
as-Sayyid Salim menjelaskan bahwa Ulama
Hanafiyah dan Hanbaliyah berpendapat dan ini juga satu pendapat di kalangan
Syafi’iyah bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya tidak berhak
mendapatkan nafkah dan tempat tinggal dari harta suaminya dalam masa iddah.
Tidak ada bagian untuknya selain warisan yang menjadi bagiannya, bila ia
termasuk yang berhak mewarisi. Karena dengan kematiannya itu, hartanya menjadi
hak orang-orang yang mempunyai piutang terhadapnya, para ahli warisnya atau
wasiat.[16]
Hal ini ditegaskan oleh pernyataan Ibnu Abbas bahwa ayat tentang pembagian
warisan telah menghapuskan firman-Nya:
tûïÏ%©!$#ur cöq©ùuqtGã öNà6YÏB tbrâxtur %[`ºurør& Zp§Ï¹ur OÎgÅ_ºurøX{ $·è»tG¨B n<Î) ÉAöqyÛø9$# uöxî 8l#t÷zÎ) 4
÷bÎ*sù z`ô_tyz xsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ Îû $tB Æù=yèsù þÎû ÆÎgÅ¡àÿRr& `ÏB 7$rã÷è¨B 3
ª!$#ur îÍtã ×LìÅ6ym ÇËÍÉÈ
Artinya:
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi
nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan
tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau
waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri
mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS. Al-Baqarah: 240).
Sementara ulama mazhab Syafi’iyah dalam pendapatnya yang paling jelas
dan ulama mazhab Malikiyah berpendapat, wanita yang tengah menjalani masa iddah
karena ditinggal mati oleh suaminya berhak mendapatkan tempat tinggal dengan
dua syarat yaitu suaminya telah menggaulinya dan tempat tinggal yang
ditinggalinya adalah miliknya (yakni milik sang suami). Alasan mereka adalah
hadis Furai’ah yang telah lalu, tapi hadisnya dhaif.[17]
C.
Analisa Penulis
Dari hadis pertama dan kedua di atas sama-sama membahas tentang larangan isteri
yang dalam masa iddah untuk berhiasaan dan mempercantik diri ketika ditinggal
mati oleh suaminya, seperti bercelak, memakai inai, lipstik, dan berbedak yang
biasanya dipakai wanita untuk berdandan buat suaminya dan juga tidak memakai
parfum (wangi-wangian), perhiasan dan pakain-pakaian yang mencolok dan memikat.
Sedangkan hadis yang ketiga ialah menjelasknan bahwa bila wanita yang ditinggal
mati suaminya, maka mayoritas ulama mengatakan diatas tidak ada hak nafkah baginya dari harta
peninggalan suaminya. Karena kewajiban memberi nafkah kepada isteri dan
anak-anak yang masih hidup telah gugur dengan kematian suaminya. Begitu juga
isterinya yang sedang hamil. Jadi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya
tidak mempunyai hak dalam hal nafkah atau tempat tinggal, kecuali sekedar
warisannya baik ia sedang hamil maupun tidak.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Hadis dan Terjemahnya
وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: ( طُلِّقَتْ خَالَتِي,
فَأَرَادَتْ أَنْ تَجُدَّ نَخْلَهَا فَزَجَرَهَا رَجُلٌ أَنْ تَخْرُجَ, فَأَتَتْ
اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: بَلْ جُدِّي نَخْلَكِ, فَإِنَّكَ عَسَى
أَنْ تَصَدَّقِي, أَوْ تَفْعَلِي مَعْرُوفًا ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya:
“Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Saudara perempuan ibuku telah
cerai dan ia ingin memotong pohon kurmanya, namun ada seseorang melarangnya
keluar rumah. Lalu ia menemui Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan beliau
bersabda: "Boleh, potonglah kurmamu, sebab engkau mungkin bisa bersedekah
atau berbuat kebaikan (dengan kurma itu). (HR. Muslim)
B.
Analisa Fiqih
Berkenaan dengan wanita yang ditalak raj’i, menurt ulama
Hanafiyah dan Syafi’iyah, tidak boleh keluar dari tempat menjalani masa
iddahnya, baik malam maupun siang hari. Dan karena wanita yang dilaka raj’I masih
berstatus sebagai isteri dari laki-laki yang mentalaknya sehingga ia tetap
berkewajiban mencukupi kebutuhannya. Karenanya, wanita yang ditalak raji’I tidak
boleh keluar kecuali dengan seizinnya.[18]
Sebagian
ulama berpendapat tentang permasalahan tersebut bahwa wanita Iddah itu diharamkan untuk keluar
rumah, begitu juga MUI berpendapat
bahwa wanita Iddah diwajibkan melaksanakan Iddahnya sampai waktu yang telah ditentukan, akan tetapi
menjadi suatu permasalahan apabila si
wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dengan meninggalkan anak, dan tidak memiliki harta peninggalan atau untuk
kebutuhan istri dan anak sehari-harinya, lalu
siapa yang mencari atau istilahnya mencari nafkah bagi anak-anak dan si wanita yang ditinggal mati oleh
suaminya. Dalam hal ini menurut kenyataan
penggantinya tidak lain adalah orang tua yang masih hidup atau si wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, dan
bagi si wanita tersebut hal itu merupakan
sebuah tanggung jawab cukup besar sebagai pengganti suaminya yang meninggal yaitu mencarikan nafkah (makan)
untuk anak-anaknya dan tentunya
ini memaksa si wanita keluar rumah. Permasalahan ini satu sisi dia punya kewajiban yang harus dilaksanakan, dan
sisi lain juga merupakan kewajiban
yang tidak bisa ditinggal. Menengok
salah satu hadits Rasulullah Saw tentang kewajiban orang tua terhadap anaknya, diantaranya pemenuhan
akan kebutuhan makan terhadap
anak. Hal ini merupakan suatu kebutuhan pokok yang mana tidak bisa ditinggal dan merupakan kewajiban yang
harus terpenuhi oleh orang tua terhadap
para anak-anaknya. Sebagaimana
hadis Nabi yang berbunyi: “Artinya : "Kewajiban orang
tua terhadap anak itu ada empat : Pertama Memberi nama yang baik kepada anak,
kedua mengajarkan tentang
adab yang baik atau memberi pendidikan yang baik kepada anak, ketiga memberi makan
yang baik kepada anak, keempat
menikahkan anak ketika sudah ada jodoh". [19]
Dari
hadits tersebut bahwa memberi makan atau mencari nafkah untuk anak-anaknya dan
dirinya adalah kewajiban atau fardlu a’in bagi orang tua terhadap
anak-anaknya yang tidak boleh ditinggal demi berlangsungnya kehidupan keluarga.
Dalam hal ini bagi wanita yang ditinggal suaminya yang masih dalam Iddah yaitu
masa tenggang waktu untuk tidak melaksanakan pernikahan bagi wanita yang di
talak atau yang ditinggal mati suaminya sampai dengan waktu yang telah
ditentukan syara’. Maka disinilah muncul persoalan yang berkaitan dengan
mencari nafkah bagi wanita Iddah. Apakah ia harus tetap mencari nafkah
bagi anak dan dirinya untuk menyambung kehidupan mereka ataukah tidak
diperbolehkannya keluar rumah dalam mencari nafkah sampai bagi wanita tersebut
untuk melaksanakan Iddah.[20]
C.
Analisa Penulis
Dari hadis Jabir ra, bahwa ada seorang yang bertanya kepada Nabi,
bahwa saudara perempuan ibunya telah di cerai oleh suaminya, dan ia ingin
memotong pohon kurmanya, tetapi ada yang melarangnya. Sehingga untuk memastikan
boleh tidaknya keluar rumah ia langsung bertanya kepada Nabi. Dan Nabi pun
membolehkannya, asalkan dia bersedekah atau berbuat kebaikan. Dari hadis ini
dapat disimpulkan bahwa wanita yang dicerai suami menurut sebagian para ulama
tidak boleh keluar rumah karena dia sedang menjalani masa iddah setelah
diceraikan oleh suami. Tetapi apabila dalam masa iddah itu ada hal-hal yang
sangat mendesak atau tertentu yang menyebabkan dia harus keluar rumah, maka
menurut sebagian para ulama itu dibolehkan dan ini berpatokan dengan
hadis-hadis Nabi, misalnya keluar rumah untuk mencari nafkah bagi anak-anaknya.
Sehingga kewajibannya sebagai orang tua tidak terlalaikan karena adanya iddah,
sebab apabila dia tidak keluar rumah maka akan berdampak buruk terhadap anak-anaknya.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Hadis dan Terjemahnya
وَعَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ: ( يَا رَسُولَ اَللَّهِ!
إِنَّ زَوْجِي طَلَّقَنِي ثَلَاثًا, وَأَخَافُ أَنْ يُقْتَحَمَ عَلَيَّ, قَالَ:
فَأَمَرَهَا, فَتَحَوَّلَتْ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya:
“Fathimah Binti Qais berkata: Aku berkata: Wahai Rasulullah,
suamiku telah mentalakku dengan tiga talak, aku takut ada orang mendatangiku.
Maka beliau menyuruhnya pindah dan ia kemudian pindah. (HR. Muslim)
B.
Analisa Fiqih
Talak ialah menurut bahasa Arab adalah melepaskan ikatan”. Yang
dimaksud di sini ialah melepaskan ikatan pernikahan.[21]
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm
menyebutkan: “Allah Swt telah berfirman ‘Talak itu dua kali, maka boleh kamu
rujuk lagi secara patut atau melepaskannya dengan cara yang baik”. Allah
Swt juga berfirman “Lalu jika suami mentalaknya (sesudah cerai yang kedua),
maka tidaklah si wanita itu halal baginya, sehingga dia kawin lagi dengan suami
yang lain”. Dengan demikian Al-Qur’an tersebut menunjukkan bahwa orang yang
mentalak istrinya dengan talak tiga sekaligus, baik sesudah digauli atau belum,
maka tidaklah mantan istrinya itu halal baginya sehingga ia kawin lagi dengan
suami yang lain. Maka apabila seorang lelaki berkata kepada istrinya dengan
ucapan ‘Engkau tertalak tiga’ menjadi haramlah ia baginya kecuali kalau sudah
kawin lagi dengan suami yang lain”. Fatwa imam Syafi’i ini telah ditetapkan
bahwa talak tiga sekaligus adalah jatuh tiga, sehingga suami tidak boleh rujuk
lagi dan kalau itu dilakukan juga, maka rujuknya batal dan dia teranggap telah
melakukan perkawinan yang tidak sah.[22]
Menurut Imam Nawawi dalam kitabnya Minhajut Thalibin berkata
“Kalau seorang suami berkata: ‘Saya menceraikan engkau atau engkau tercerai”
dan ia meniatkan bilangan (dua atau tiga), maka jatuhlah dua atau tiga itu.
Seperti ini pula pada lafadz kinayah”. Fatwa imam ini jelas sekali bahwa talak ,baik yang
sharih atau kinayah, kalau diniatkan berapa bilangannya, maka jatuhlah talak
sesuai dengan bilangan yang diniatkannya. Contoh talak kinayah adalah
‘pulanglah engkau kerumah ibumu’, ia meniatkan perkataan itu untu menceraikan
istrinya dan iapun meniatkan talak tiga, maka jatuhlah talak tiga.
Sedangkan dalam
madzhab Hambali bahwa talak tiga sekaligus juga terhitung talak tiga. Misalnya,
“Jika seseorang berkata kepada istrinya: ‘Engkau tertalak tiga’, maka jatuhlah
talak tiga walaupun dia meniatkan talaq satu, karena lafadznya itu adalah nash
kepada talaq tiga, tidak ada kemungkinan terhadap yang lain”. Dan jika
seseorang berkata kepada istrinya: ‘Engkau tertalak dengan sebenar-benar talak
atau dengan seluruh talak atau dengan talak yang terbanyak atau dengan talak
yang terakhir’, maka tertalaklah istrinya itu dengan talak tiga. Dan jika sang
suami berkata: ‘Engkau tertalak sebanyak bilangan air atau sebanyak atau
sebanyak bilangan angin atau sebanyak bilangan tanah atau seperti bilangan
seribu’, maka tertalak pula istrinya itu dengan talak tiga”.
C.
Analisa Penulis
Dalam hadis yang diriwayatkan Muslim dari fathimah Binti Qais
menjelaskan suaminya mentalaknya tiga dirinya, sehingga dia menjalani masa
iddah dari talak tiga tersebut. Masa iddah talak tiga bagi wanita yang tidak
hamil adalah 3 kali quru, dari hadis di atas fathimah takut didatangi oleh
beberapa peminang setelah dia ditalak oleh suaminya, sehingga dia bertanya
kepada Nabi tentang masalah ini, sedangkan masa iddahnya belum selesai. Dan
Nabi pun menyuruhnya untuk beriddah ditempat lain, agar terhidar dari para
peminang tadi sampai masa iddahnya selesai, maka dia dihalalkan untuk menikah
dengan laki-laki yang dipilihnya.
BAB V
PENUTUP
Simpulan:
- Dari hadis pertama dan kedua dari Ummu Salamah ra di atas sama-sama membahas tentang larangan isteri yang dalam masa iddah untuk berhiasaan dan mempercantik diri ketika ditinggal mati oleh suaminya, seperti bercelak, memakai inai, lipstik, dan berbedak yang biasanya dipakai wanita untuk berdandan buat suaminya dan juga tidak memakai parfum (wangi-wangian), perhiasan dan pakain-pakaian yang mencolok dan memikat. Sedangkan hadis yang ketiga dari Furai’ah Binti Malik ialah menjelasknan bahwa bila wanita yang ditinggal mati suaminya, maka mayoritas ulama mengatakan diatas tidak ada hak nafkah baginya dari harta peninggalan suaminya. Karena kewajiban memberi nafkah kepada isteri dan anak-anak yang masih hidup telah gugur dengan kematian suaminya. Begitu juga isterinya yang sedang hamil. Jadi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya tidak mempunyai hak dalam hal nafkah atau tempat tinggal, kecuali sekedar warisannya baik ia sedang hamil maupun tidak.
- Dari hadis Jabir ra, bahwa ada seorang yang bertanya kepada Nabi, bahwa saudara perempuan ibunya telah di cerai oleh suaminya, dan ia ingin memotong pohon kurmanya, tetapi ada yang melarangnya. Sehingga untuk memastikan boleh tidaknya keluar rumah ia langsung bertanya kepada Nabi. Dan Nabi pun membolehkannya, asalkan dia bersedekah atau berbuat kebaikan. Dari hadis ini dapat disimpulkan bahwa wanita yang dicerai suami menurut sebagian para ulama tidak boleh keluar rumah karena dia sedang menjalani masa iddah setelah diceraikan oleh suami. Tetapi apabila dalam masa iddah itu ada hal-hal yang sangat mendesak atau tertentu yang menyebabkan dia harus keluar rumah, maka menurut sebagian para ulama itu dibolehkan dan ini berpatokan dengan hadis-hadis Nabi, misalnya keluar rumah untuk mencari nafkah bagi anak-anaknya. Sehingga kewajibannya sebagai orang tua tidak terlalaikan karena adanya iddah, sebab apabila dia tidak keluar rumah maka akan berdampak buruk terhadap anak-anaknya.
- Dalam hadis yang diriwayatkan Muslim dari fathimah Binti Qais menjelaskan suaminya mentalaknya tiga dirinya, sehingga dia menjalani masa iddah dari talak tiga tersebut. Masa iddah talak tiga bagi wanita yang tidak hamil adalah 3 kali quru, dari hadis di atas fathimah takut didatangi oleh beberapa peminang setelah dia ditalak oleh suaminya, sehingga dia bertanya kepada Nabi tentang masalah ini, sedangkan masa iddahnya belum selesai. Dan Nabi pun menyuruhnya untuk beriddah ditempat lain, agar terhidar dari para peminang tadi sampai masa iddahnya selesai, maka dia dihalalkan untuk menikah dengan laki-laki yang dipilihnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Albani,
Muhammad Nashiruddin, Adab Az-Zifaf
(Panduan Pernikahan Cara Nabi), Cet. 1, Yogyakarta: Media Hidayah, 2004.
As-Sayyid
Salim, Abu Malik Kamal, Shahih Fiqih Sunnah,Jilid 4, Jakarta: At-Tazkia,
2006.
Asy-Syafi’I, Al-Imam, Al-Umm, Jilid 5, Kuala
Lumpur: Victory Agencie, tt.
Asy-Syafi’I,
Al-Imam, Al-Umm (Kitab Induk), Jilid 8, Malaysia: Victory Agencie, 1982.
Ghani Maqdisi, Syaikh Abdul, Umdatul Ahkam, Yogyakarta:
Media Hidayah, 2005.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Cet. 20,
Jakarta: Lentera, 2007.
Qardhawi,
Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 1, Jakarta: Gema Insani,Press,
1995.
Rasjid,
Sulaiman, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Cet. 27, Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 1994.
Sa’id
An-Nadwi, M. Fadli, Tadzhib (Kompilasi Hukum Islam Ala Mazhab Syafi’i), Surabaya:
Al-Hidayah, 2008.
Sabiq,
Sayyid, Fiqh Sunah, Bandung : PT.
Al-Ma’arif, 1990.
[1]
Dr. Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 1, (Jakarta: Gema
Insani,Press, 1995) h. 623
[2]
Al-Imam Asy-Syafi’I ra, Al-Umm (Kitab Induk), Jilid 8, (Malaysia:
Victory Agencie, 1982), h. 344
[3]
Syaikh Abdul Ghani Maqdisi, Umdatul Ahkam, (Yogyakarta: Media Hidayah,
2005), h. 254
[4]
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Cet. 20, (Jakarta: Lentera,
2007), h. 469
[5]
ibid
[6]
Ibid, h. 470
[7]
ibid
[8]
ibid
[9]
ibid
[10]
Ibd, h. 471
[11]
Dr. Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer,op.cit., h.634
[12]
Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah,Jilid 4, ( Jakarta:
At-Tazkia, 2006), h. 451
[13]
H.M. Fadli Sa’id An-Nadwi, Tadzhib (Kompilasi Hukum Islam Ala Mazhab
Syafi’i), (Surabaya: Al-Hidayah, 2008), h. 462
[14]
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Adab Az-Zifaf (Panduan Pernikahan Cara Nabi), Cet.
1, (Yogyakarta: Media Hidayah, 2004
[15]
Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah,op.cit., h. 451
[16]
Ibid, h. 461
[17]
Ibid, h. 452
[19]
ibid
[20]
ibid
[21]
H. sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Cet. 27, (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 1994), h., h.401
[22]
Al-Imam Asy-Syafi’I, Al-Umm, Jilid 5, (Kuala Lumpur: Victory Agencie,
tt), h. 138
Tidak ada komentar:
Posting Komentar