BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Secara umum ajaran Islam menawarkan
nilai-nilai dasar atau prinsip-prinsip umum yang penerapannya dalam bisnis
sesuai dengan perkembangan zaman dan pertimbangkan dimensi ruang dan waktu.
Dalam Islam terdapat nilai-nilai dasar etika bisnis, diantaranya adalah tauhid,
khilafah, ibadah, tazkiyah dan ihsan. Dari nilai dasar ini dapat diangkat ke
prinsip umum tentang keadilan, kejujuran, keterbukaan (transparansi),
kebersamaan, kebebasan, tanggungjawab dan akuntabilitas.
Keadilan merupakan perkataan yang
diagungkan dan di idamkan oleh setiap orang di manapun mereka berada.
Keadilan sering dikaitkan dengan salah satu bidang pranata kehidupan yaitu
hukum. Hukum dan keadilan adalah dua hal yang berjalan beriringan dan tidak dapat
dipisahkan. Hukum dibuat dan ditetapkan adalah agar orang yang berada dibawah
naungan hukum tersebut menikmati dan merasakan keadilan. Individu diperbolehkan
mengembangkan hak pribadinya dengan syarat tidak mengganggu kepentingan
masyarakat. Jadi, keadilan merupakan sesuatu yang wajib di tegakkan
karena dalam al-Qur’an tentang keadilan banyak sekali disebutkan. Agama Islam sangat menjunjung tinggi nilai
keadilan baik itu dalam dunia perekonomian. Sehingga untuk lebih jelasnya
tentang keadilan dalam dunia ekonomi Islam akan dibahas dalam bab selanjutnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari keadilan?
2.
Bagaimana keadilan dalam
Islam?
3.
Bagaimana prinsip-prinsip
keadilan dalan ekonomi Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Keadilan
Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan
yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan juga dapat berarti suatu
tindakan yang tidak berat sebelah atau tidak memihak ke salah satu pihak,
memberikan sesuatu kepada orang sesuai dengan hak yang harus diperolehnya.
Bertindak secara adil berarti mengetahui hak dan kewajiban, mengerti mana yang
benar dan yang salah, bertindak jujur dan tepat menurut peraturan dan hukum
yang telah ditetapkan serta tidak bertindak sewenang-wenang.
Keadilan pada dasarnya terletak pada
keseimbangan atau keharmonisan antara penuntutan hak dan menjalankan kewajiban.
Berdasarkan segi etis, manusia diharapkan untuk tidak hanya menuntut hak dan
melupakan atau tidak melaksanakan kewajibannya sama sekali. Sikap dan tindakan
manusia yang semata-mata hanya menuntut haknya tanpa melaksanakan kewajibannya
akan mengarah pada pemerasan atau perbudakan terhadap orang lain.
B. Keadilan Dalam Islam
Al-Qur’an sebagai manifestasi kalam Tuhan
merupakan kitab petunjuk Moral yang komprehensif dan sempurna, datang dari Alam
Ghaib untuk kebaikan manusia dan alam semesta (QS. al-Baqarah [2] : 2, 97 dan
185). Fitrah (suci) dan Hanif (lurus dan benar) merupakan dasar konstitusi
kepribadian manusia, yang karena itu, ia merindukan tatanan kehidupan yang
ramah dan damai, berdiri di atas prinsip-prinsip keadilan.
Puncak kasih sayang Tuhan atas manusia,
terbukti dengan diutusnya para Nabi, yang di satu sisi mempunyi misi menyeru
manusia kepada penyerahan diri, patuh-tunduk pada Tuhan Yang Maha Esa (Faham
Tauhid) (QS. al-Ahzab [33]: 45-46), juga di sisi lain, berkaitan dengan semua
Nabi, Tuhan menegaskan dalam Surah al-Hadid [57]: 25 yang berbunyi:
ôs)s9 $uZù=yör& $oYn=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ $uZø9tRr&ur ÞOßgyètB |=»tGÅ3ø9$# c#uÏJø9$#ur tPqà)uÏ9 â¨$¨Y9$# ÅÝó¡É)ø9$$Î/ (
Artinya: “Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami
dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah kami turunkan bersma mereka
Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia bisa melaksanakan keadilan”
(QS. al-Hadid [57] : 25).
Ayat tersebut menegaskan bahwa menegakan
keadilan adalah tujuan dan misi utama kenabian. Dengan demikian terdapat dua
tujuan utama misi kenabian, yaitu, mengajak manusia untuk menyembah Allah,
sekaligus memberantas kemusyrikan, dan menegakkan keadilan di tengah-tengah
masyarakat, sekaligus memberantas kedlaliman.
Merujuk pada ayat 25 surat al-Haadid
tersebut, Murtadha Mutahari menegaskan bahwa keadilan, dengan konsepsi
sosialnya, merupakan tujuan kenabian (nubuwwah). Nasehat Imam ‘Ali as. Kepada Gubernur
Mesir, Muhammad Ibnu Abi Bakar; Para duta Illahi adalah para penegak keadilan
yang sesungguhnya dalam masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang telah
merencanakan jalan kesempurnaan manusia bagi umat manusia.
Dengan kata lain, kesatuan umat,
persaudaraan dan prinsip keadilan sosial ekonomi adalah unsur-unsur keadilan
sebagian pengejawantahan dari sistem kepercayaan pada satu Tuhan (tauhidullah). Dalam al-Qur’an Allah dikatakan Maha Adil,
dan bahwa dia menegakan keadilan atas dasar bahwa keadilan adalah sifat positif
yang dimilikinya. Ditegaskan dalam al-Qur’an :
شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلئِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Artinya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat
dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan
(yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Ali Imran [3]: 14).
Ayat tersebut dengan jelas menegaskan bahwa
Allah menyuruh berbuat adil atau bahwa Dia adalah Pelaku keadilan. Pernyataan
ini merupakan persoalan asasi yang diatasnya agama-agama samawi membangun
hubungan manusia dengan Allah. Kemudian, perintah Tuhan untuk mendirikan
keadilan yang didasarkan atas kualitas monoteistik prinsip keesaan Tuhan yang
sesuai dengan ajaran Islam (tauhid).Penegakan keadilan adalah merupakan
manifestasi perbuatan yang paling mendekati taqwa atau keinsyafan ketuhanan
dalam diri manusia. Seperti ditegaskan dalam al-Qur’an :
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. úüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( wur öNà6¨ZtBÌôft ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã wr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 cÎ) ©!$# 7Î6yz $yJÎ/ cqè=yJ÷ès? ÇÑÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menjalankan (keadilan) karena
Allah menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian mu
terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilah
karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah,
sesungguhnay Allah Maha mengeahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. al-Maidah [5]
: 8).
Kesamaan derajat manusia yang dilandaskan
atas kualitas ketaqwaan, telah begitu kuatnya mengikat mereka dalam kesadaran
moralitas persaudaraan secara masif dan universal. Seperti ditegaskan oleh
Wahbah Zuhaily bahwa persaudaraan kemanusiaan, mewujudkan saling mengasihi
manusia, perasaan cinta kebaikan, yaitu taqwa kepada Allah, melaksanakan
hukum-hukumnya dan menjauhi larangannya, mendukung pertumbuhan secara
menyeluruh bagi kemanusiaan.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut,
dapat ditegaskan bahwa di satu sisi pengertian keadilan sosial erat sekali
hubungannya dengan ajaran persamaan, dan perbedaan di sisi lain. Hal yang
sedemikian itu karena dalam pandangan al-Qur’an perbedaan sesama manusia adalah
suatu hal yang alami, juga sekaligus mengandung banyak manfaat. Sekalipun demikian manusia tetap tergolong
ke dalam umat yang satu. Agama berfungsi untuk mengingatkan akan kesamaanya,
sebagai landasan persahabatan, persaudaraan, dan tolong menolong dalam
mewujudkan keadilan sosial.[1]
Begitulah, penekanan Islam pada penegakkan keadilan sosial
ekonomi. Maka, sangatlah
keliru klaim kapitalis
maupun sosialis yang menyatakan, “Hanya ideologi kami yang berbicara dan
bertindak tegas dalam masalah keadilan. “Setidaknya hanya kamilah yang
mempunyai komitmen kuat tentang nilai-nilai keadilan”. Itulah klaim yang
dilontarkan berbagai komponen masyarakat dunia dalam kerangka memperlihatkan
keunggulan ideologi atau kepercayaan yang mereka anut.
Harus kita bedakan bahwa konsep kapitalis tentang keadilan sosial
ekonomi dan pemerataan pendapatan, tidak didasarkan pada komitmen spiritual dan
persaudaraan (ukhuwah) sesama
manusia. Komitmen penegakkan keadilan sosial
ekonomi lebih merupakan akibat dari tekanan kelompok. Karenanya, sistem
kapitalisme terutama yang berkaitan dengan uang dan perbankan, tidak
dimaksudkan untuk mencapai tujuan – tujuan keadilan sosiol
ekonomi yang berdasarkan nilai transendental (spritual) dan persaudaraan
universal. Sehingga, tidak aneh, apabila uang masyarakat yang ditarik oleh bank
konvensional (kapitalis) dominan hanya digunakan oleh para pengusaha besar
(konglomerat). Lembaga perbankan tidak dinikmati oleh rakyat kecil yang menjadi
mayoritas penduduk sebuah negara. Fenomena ini semakin jelas terjadi di
Indonesia. Akibatnya yang kaya semakin kaya dan miskin makin miskin.
Ketidakadilan pun semakin lebar.
Sebagaimana disebut di atas, konversi ekonomi Barat (terutama
kapitalisme) kepada penegakan keadilan sosiol ekonomi, merupakan akibat
tekanan-tekanan kelompok masyarakat dan tekanan-tekanan politik. Untuk
mewujudkan keadilan sosiol ekonomi itu mereka mengambil beberapa langkah,
terutama melalui pajak dan transfer payment. Meskipun ada usaha melalui instrumen pajak, namun langkah-langkah
ini menurut Milton Friedman, terbukti tidak cukup efektif untuk mengatasi
ketidakadilan, karena nyatanya pajak selalu menguntungkan pengusaha, dan para
penjabat pajak bersama kelompok-kelompoknya.
Jadi, konsep keadilan sosial
ekonomi dalam Islam berbeda secara mendasar dengan konsep keadilan dalam
kapitalisme dan sosialisme. Keadilan sosial
ekonomi dalam Islam, selain didasarkan pada komitmen spritual, juga didasarkan
atas konsep persaudaraan universal sesama manusia. Al-Quran secara eksplisit menekankan pentingnya keadilan dan
persaudaraan tersebut. Menurut M. Umer Chapra, sebuah masyarakat Islam yang
ideal mesti mengaktualisasikan keduanya secara bersamaan, karena keduanya
merupakan dua sisi yang sama yang tak bisa dipisahkan. Dengan demikian, kedua
tujuan ini terintegrasi sangat kuat ke dalam ajaran Islam sehingga realisasinya
menjadi komitmen spritual (ibadah) bagi masyarakat Islam.
Komitmen Islam yang besar pada persaudaraan dan keadilan, menuntut
agar semua sumber daya yang menjadi amanat suci Tuhan, digunakan untuk
mewujudkan maqashid syari’ah,
yakni pemenuhan kebutuhan hidup manusia, terutama kebutuhan dasar (primer),
seperti sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Persaudaraan dan
keadilan juga menuntut agar sumberdaya didistribusikan secara adil kepada
seluruh rakyat melalui kebijakan yang adil dan instrumen zakat, infaq, sedekah,
pajak, kharaj, jizyah, cukai ekspor-impor dan sebagainya.[2]
C. Prinsip-prinsip Keadilan dalam Ekonomi Islam
1.
Berbasis Tauhid
Tauhid menjadi fondasi utama ekonomi Islam, mempunyai hubungan kuat
dengan konsep keadilan sosial ekonomi dan
persaudaraan. Ekonomi Tauhid yang mengajarkan bahwa Allah sebagai pemilik
mutlak dan manusia hanyalah sebagai pemegang amanah, mempunyai konsekuensi,
bahwa di dalam harta yang dimiliki setiap individu terdapat hak-hak orang lain
yang harus dikeluarkan sesuai dengan perintah Allah, berupa zakat, infaq dan
sedekah dan cara-cara lain guna melaksanakan pendistribusian pendapatan yang
sesuai dengan konsep persaudaraan umat manusia.
Sistem keuangan dan perbankan serta kebijakan moneter, misalnya,
dirancang semuanya secara organis dan terkait satu sama lain untuk memberikan
sumbangan yang positif bagi pengurangan ketidak-adilan dalam ekonomi dalam
bentuk pengucuran pembiayaan (kredit) bagi masyarakat dan memberikan pinjaman
lunak bagi masyarakat ekonomi lemah melalui produk qardhul hasan.[3]
2.
Distribusi kesejahteraan yang merata (Justified
Distribution of Welfare)
Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan sosial
ekonomi, Islam secara tegas mengecam konsentrasi asset kekayaan pada sekelompok
tertentu dan menawarkan konsep zakat, infaq, sedekah, waqaf dan institusi
lainnya, seperti pajak, jizyah, dharibah, dan sebagainya. Al-Quran dengan tegas
mengatakan, “Supaya harta itu tidak beredar di
kalangan orang kaya saja di antara kamu” (QS. 59:7), “Di antara harta mereka terdapat hak fakir miskin, baik
peminta-minta maupun yang orang miskin malu meminta-minta” (QS.
70:24).
Berdasarkan prinsip ini, maka konsep pertumbuhan ekonomi dalam
Islam berbeda dengan konsep pertumbuhan ekonomi kepitalisme yang selalu
menggunakan indikator PDB (Produk Dosmetik Bruto) dan perkapita. Dalam Islam,
pertumbuhan harus seiring dengan pemerataan. Tujuan kegiatan ekonomi, bukanlah
meningkatkan pertumbuhan sebagaimana dalam konsep ekonomi kapitalisme. Tujuan
ekonomi Islam lebih memprioritaskan pengentasan kemiskinan dan pengurangan
pengangguran. Karena itu,
Islam menekankan keseimbangan antara petumbuhan dan pemerataan. Pertumbuhan bukan
menjadi tujuan utama, kecuali dibarengi dengan pemerataan. Dalam konsep Islam,
pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua sisi dari sebuah entitas yang tak
terpisahkan, karena itu keduanya tak boleh dipisahkan.
Berdasarkan prinsip ini, maka paradigma tricle down effect, yang dikembangkan kapitalisme dan pernah diterapkan di Indonesia
selama rezim orde baru, bertentangan dengan konsep keadilan ekonomi menurut
Islam. Selanjutnya, sistem ekonomi kapitalis dicirikan oleh menonjolnya
peran perusahaan swasta (private ownership)
dengan motivasi mencari keuntungan maksimum, harga pasar akan mengatur alokasi
sumberdaya, dan efisiensi. Namun sistem ini selalu gagal dalam membuat
pertumbuhan dan pemerataan berjalan dengan seiring.[4]
Sistem ekonomi kapitalis telah menggoyahkan fondasi moral manusia,
karena sistem ini telah menghasilkan manusia yang tamak, boros dan angkuh. Sistem
kapitalis juga telah melahirkan sejumlah bankir hebat, beberapa industriawan
yang kaya raya, sejumlah pengusaha yang sukses. Namun di pihak lain, telah
muncul banyak konsumen yang tidak mampu memenuhi kebutuhan minimumnya.
Kesenjangan terjadi secara tajam. Perusahaan-perusahaan yang lemah akan
tersingkir dan tersungkur.
Perlu ditegaskan, bahwa melekatnya hak orang lain pada harta
seseorang bukanlah dimaksudkan untuk
mematahkan semangat karya pada setiap individu atau menimbulkan rasa malas bagi
sebagian orang. Juga tidak di maksudkan
untuk menciptakan kerataan pemilikan kekayaan secara kaku. Dalam perspektif
ekonomi Islam, proporsi pemerataan yang betul-betul sama rata, sebagaimana
dalam sosialisme, bukanlah keadilan, malah justru dipandang sebagai ketidakadilan.
Sebab Islam menghargai prestasi, etos kerja dan kemampuan seseorang dibanding
orang yang malas.
Dasar dari sikap yang koperatif ini tidak terlepas dari prinsip
Islam yang menilai perbedaan pendapatan sebagai sebuah sunnatullah. Landasannya, antara lain bahwa etos
kerja dan kemampuan seseorang harus dihargai dibanding seorang pemalas atau
yang tidak mampu berusaha. Bentuk penghargaannya adalah sikap Islam yang
memperkenankan pendapatan seseorang berbeda dengan orang lain, karena usaha dan
ikhtiarnya. Firman Allah dalam surah an-Nahl [16]:71 yang berbunyi:
ª!$#ur @Òsù ö/ä3Ò÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ Îû É-øÌh9$# 4
Artinya: “Dan Allah melebihkan rezeki sebagian
kamu atas sebagian lain”.
(QS. An-Nahl [16]:71).
Namun, orang yang diberi kelebihan rezeki, harus mengeluarkan
sebagian hartanya untuk kelompok masyarakat yang tidak mampu (dhu’afa). Sehingga seluruh masyarakat terlepas dari
kemisikinan absolut. Konsep keadilan
sosial ekonomi
yang diajarkan Islam menginginkan adanya pemerataan pendapatan secara
proporsional. Dalam tataran ini, dapat pula dikatakan bahwa ekonomi Islam
adalah ekonomi yang dilandaskan pada kebersamaan. Karena itu tidak aneh, bila
anggapan yang menyatakan bahwa prinsip keadilan social ekonomi
Islam mempunyai kemiripan dengan sistem sosialisme. Bahkan pernah ada pendapat
yang menyatakan bahwa sistem sosialisme itu jika ditambahkan dan dimasukkan
unsur-unsur Islam ke dalamnya, maka ia menjadi islami.
Dengan demikian, pendapat dan pandangan yang menyatakan kemiripan
sistem keadilan sosial Islam dengan
sosialisme tidak sepenuhnya benar, malah lebih banyak keliruannya. Prinsip
ekonomi sosialisme, yang menolak kepemilikan individu dan menginginkan
pemerataan pendapatan, jelas berbeda dengan prinsip ekonomi Islam. Sosialisme
sama sekali tidak mengakui hak milik individu. Reaksi masxisme dibungkus secara
politis revolusioner dalam paham komunis yang intinya mengajarkan bahwa seluruh
unit ekonomi dikuasakan kepada negara yang selanjutnya didistribusikan kepada
seluruh masyarakat secara merata. Hal ini didasarkan semangat pertentangan
terhadap pemilikan individu.
Sedangkan dalam ekonomi Islam, penegakkan keadilan sosial ekonomi
dilandasi oleh rasa persaudaraan (ukhuwah), saling
mencintai (mahabbah), bahu membahu (takaful)dan saling
tolong menolong (ta’awun), baik antara
si kaya dan si miskin maupun antara penguasa dan rakyat.[5]
3. Prinsip Jaminan sosial (Social Security)
Dalam sistem ekonomi Islam, keadilan sosial dipandang
tidak akan mungkin tercapai tanpa adanya prinsip ini. Prinsip Jaminan sosial
atau at Takaful ijtima’i yang dimaksud dalam hal ini adalah keadaan
dimana setiap orang dalam masyarakat saling menjamin dan menanggung beban
kemaslahatan sesama. Prinsip ini banyak disebutkan dalam al Qur’an maupun
Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, diantaranya, “Tidakkah Kamu
melihat orang yang mendustakan agama? Mereka adalah orang-orang yang membiarkan
anak yatim dan mereka juga tidak member makan orang-orang miskin” (QS.
Al-Ma’un [107]:1-3). Rasulullah juga bersabda, “perumpamaan orang-orang
beriman itu dalam kasih sayang, sebagaimana batang tubuh, jika salah satu
anggota tubuh itu sakit, maka anggota tubuh yang lain juga merasakan demam”
(HR. Bukhori dan Muslim).
Namun begitu, Menurut Chapra mengutip
pendapat Imam Ghazali, sekalipun ilmu ekonomi Islam tetap berkonsentrasi pada
aspek alokasi dan distribusi sumber-sumber daya, seperti halnya pada ilmu
ekonomi konvensional, namun tujuan utama ekonomi Islam adalah harus tetap
merealisasikan maqashid, sebab tujuan utama syari’ah adalah
mendorong kesejahteraan manusia, yang terletak dalam perlindungan terhadap
agama mereka (diin), diri (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl),
harta benda (maal). Apa saja yang menjamin terlindungnya lima perkara
tersebut berarti melindungi kepentingan dan kemaslahatan umum. Tentang kaitan
antara hukum-hukum syariah dengan kemaslahatan manusia banyak dibahas oleh para
ulama diantaranya Imam Al-Izz bin Abdul Salam, dalam kitab beliau Qawaid
al-Ahkam fi Masalih al-Anam. [6]
BAB III
PENUTUP
Simpulan:
Keadilan adalah pengakuan
dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Ada empat nilai utama yang bisa ditarik dari
sistem ekonomi Islam dalam membentuk keadilan sosial yaitu:
-
Tauhid dan Maslahah Syari’yyah sebagai
landasan pemikiran dan tujuan aplikasi dari ekonomi Islam untuk mewujudkan
keadilan sosial dari semua aspek kehidupan.
-
Moralitas menjadi pembatas atas kebebasan
yang dimiliki, sehingga setiap individu dalam melakukan aktivitasnya selalu
mempertimbangkan dampaknya bagi orang lain.
-
Kesetaraan (equality) kewajiban dan
hak, hal ini mampu menyeimbangkan antara hak yang diterima dan kewajiban yang
harus dilaksanakan.
-
Peranan positif dari negara, sebagai
regulator yang mampu memastikan kegiatan ekonomi berjalan dengan baik sehingga
tidak ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Berusaha untuk selalu bermusyawarah ,
bekerja sama, dan saling menyokong sebab hal ini menjadi salah satu fokus utama
dalam ekonomi Islam.
DAFTAR PUSTAKA
·
Sayyid Qutb, Keadilan Sosial dalam
Islam, alih bahasa Afif Muhamad, cet. II, Bandung: Pustaka, 1994.
·
http://ibnuanwarudin.blogspot.com/2010/11/konsep-keadilan-dalam islam.html.
·
Muhammad, Ekonomi Syari’ah, cet. I, Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2008.
[1] Sayyid Qutb, Keadilan Sosial dalam Islam, alih
bahasa Afif Muhamad, (Bandung: Pustaka, 1994), cet. II, h. 37.
[6] http://puzzleminds.com/ekonomi-islam-dan-keadilan-sosial/ (Selasa, tanggal 26 Maret 2013 pada jam 10.48 WIT).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar