BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam setiap
masyarakat sepanjang sejarah umat Islam, anak-anak yatim, orang-orang yang
kurang akal juga anak-anak yang terbelakang diperlakukan secara tidak wajar,
bahkan dianiaya. Orang yang memperturutkan hawa nafsunya, termasuk kaum kerabat
telah meyalahgunakan harta orang-orang yang malang ini. Dalam masyarakat
Jahiliyah sebelum Islam, kasus penyelewengan dan penggelapan itu cukup
merajalela. Itulah masyarakat di mana kekuatan adalah kebenaran dan hukum yang
lazim didapat hanyalah hukum rimba. Akibatnya, para wali yang ditunjuk dari
antara anggota keluarga anak-anak yatim, orang-orang yang lemah pikiran serta
terbelakang, justru merekalah yang selalu melahap hak milik orang-orang nestapa
ini.
Dengan diperkenalkannya
Islam yang memberikan perhatian khusus guna melindungi kepentingan mereka yang
melarang ini maka ditetapkanlah ketentuan untuk mengurangi rongrongan yang pada
umumnya mengeksploatasi pribadi dan harta mereka. Dalam syariat, tidak
diperlukan adanya penunjukkan seseorang yang mampu untuk bertindak sebagai
seorang wali secara formal.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
saja yang memenuhi persyaratan dalam nikah?
2.
Bagaimana
kedudukan dan jenis mahar dalam pernikahan serta hukumnya?
3.
Bagaimana
kedudukan perwalian dalam nikah itu?
4.
Bagaimana
perbedaan izin dan persetujuan dalam nikah antara gadis dengan janda?
C.
Tujuan Penulis
1.
Untuk
mengetahui apa saja yang memenuhi persyaratan dalam nikah.
2.
Untuk
mengetahui kedudukan dan jenis mahar serta hukumnya dalam nikah.
3.
Untuk
mengetahui bagaimana perwalian dalam nikah itu?
4.
Untuk
mengetahui perbedaan meminta izin dan persetujuannya gadis dengan janda?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Memenuhi Persyaratan Dalam
Nikah
حَدِ
يْثُ عُقْبَةَ بْنِ عَا مِرٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ, قَالَ: قَالَرَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. اَحَقُّ السُّرُوْطِ انْ تُوْفُوْا بِهِ
مَااسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ.
Artinya:
“Hadis ‘Uqbah bin Amir ra. di mana ia berkata: “Rasulullah Saw
bersabda: “Syarat yang paling berhak untuk dipenuhi adalah apa yang menyebabkan
kemaluan itu menjadi halal (yakni maskawin).[1]
Menurut bahasa
nikah yaitu mengumpulkan, menggabungkan, menjodohkan atau bersenggama.
Sedangkan menurut istilah kawin ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ijab adalah suatu
pernyataan berupa penyerahan dari seseorang wali perempuan atau wakilnya kepada
seorang laki-laki dengan kata-kata tertentu maupun syarat dan rukun yang telah
ditentukan oleh syara’. Qabul adalah suatu pernyataan penerimaan oleh pihak
laki-laki terhadap pernyataan wali perempuan atau wakilnya sebagaimana maksud
di atas.[2]
Mahar adalah
pemberian calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk
barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. hukumnya
wajib bagi laki-laki memberi mahar (maskawin) kepada wanita calon isterinya,
baik berupa uang, barang maupun jasa.[3]
Sebagaimana difirman
Allah SWT:
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4
Artinya:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (QS. An-Nisa’: 4).[4]
Adapun rukun perkawinan
menurut Islam adalah :[5]
a. Calon pengantin pria
b. Calon pengantin perempuan
c. Wali nikah
d. Dua orang saksi
e. Sighat (akad)
f. Ijab dan kabul.
Sedangkan
syarat-syarat perkawinan adalah:[6]
Untuk calon pengantin pria syaratnya:
a.
Beragama Islam
b.
Laki-laki (bukan
banci)
c.
Tertentu/ jelas
orangnya.
d.
Tidak terkena
halangan perkawinan.
e.
Cakap bertindak
hukum untuk hidup berumah tangga.
f. Tidak sedang mengerjakan haji atau umrah.
g.
Belum mempunyai
empat orang isteri.
Untuk calon
pengantin perempuan, syaratnya:
a. Beragama Islam (dulu termasuk wanita ahli kitab).
b. Perempuan (bukan banci).
c. Tertentu/ jelas orangnya.
d. Dapat diminta persetujuan.
e. Tidak terkena halangan perkawinan
f. Di luar iddah (bagi janda).
g. Tidak sedang mengerjakan haji atau umrah
Untuk wali, syaratnya:
a.
Beragama Islam
b.
Laki-laki
c.
Adil (tidak
fasiq)
d.
Mempunyai hak
atas perwaliannya
e.
Tidak terkena
halangan menjadi wali
f.
Tidak sedang
mengerjakan haji atau umrah
Untuk saksi, syaratnya:[7]
a. Dua orang laki-laki
b. Beragama Islam
c. Mengerti maksud akad
perkawinan
d. Hadir pada saat ijab Kabul
berlangsung.
B.
Analisa Fiqih
Akad nikah adalah
wujud nyata perikatan antara seorang pria yang menjadi suami dengan seorang
wanita yang menjadi isteri dilakukan didepan dua orang saksi paling sedikit
dengan menggunakan sigat, ijab dan qabul. Ijab diucapkan pihak wanita yang
dalam pelaksanaannya oleh wali dan qabul diucapkan pihak pria. Menurut mazhab
Syafi’I seperti telah disebutkan unsur nikah ada lima yaitu calon mempelai
lelaki, calon mempelai perempuan, wali, dua orang saksi dan ijab qabul. Calon
mempelai lelaki dan perempuan yaitu telah dewasa, berakal sehat, dan tidak overmacht
(Makruhan). Demikian juga dalam akad nikah pihak yang melakukan
akadnya sebagai unsur pertama dan kedua, mempelai lelaki dan mempelai
perempuan, keduanya harus mempunyai ahliyyatul ada’ yang sempurna. Jadi
anak yang belum tamyiz atau orang yang menderita sakit ingatan, tidak
sah melakukan akad nikah sendiri. Menurut mazhab Hanafi, ada kemungkinan bagi
mempelai perempuan melakukan akad nikah sendiri yaitu kalau ia adalah janda dan
sudah dewasa.[8]
Para ulama mazhab
sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang
mencakup ijab dan qabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang
melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali dan
dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya
akad.[9]
Para ulama mazhab
juga sepakat bahwa nikah itu sah bila dilakukan dengan menggunakan redaksi “aku
mengawinkan” atau “aku menikahkan” dari pihak yang dilamar atau orang yang
mewakilinya dari redaksi “aku terima’ atau “aku setuju” dari pihak yang melamar
atau orang yang mewakilinya. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa akad boleh
dilakukan dengan segala redaksi yang menunjukkan maksud menikah, bahkan
sekalipun lafal al-tamlik (pemilikan), al-hibah (penyerahan), al-bay
(penjualan), al-‘atha’ (pemberian), al-ibahah (pembolehan)
dan al-ihlal (penghalalan), sepanjang akad tersebut disertai dengan qarinah
(kaitan) yang menunjukkan arti nikah dan akad tidak sah jika dilakukan
dengan lafal al-ijarah (upah) atau al-‘ariyah (pinjam-meminjam),
sebab kedua kata tersebut tidak member arti kelestarian atau kontinuitas.[10]
Maliki dan Hambali
berpendapat bahwa akad nikah dianggap sah jika menggunakan lafal al-nikah dan
al-zawaj serta lafal-lafal bentukannya. Mazhab Syafi’I berpendapat bahwa
redaksi akad harus merupakan kata bentukan dari lafal al-tazwij dan al-nikah
selain itu tidak sah. Mazhab Imamiyah mengatakan bahwa ijab harus
menggunakan lafal zawwajtu atau ankahtu dalam bentuk madhi (yang
berarti telah).[11]
Akad tidak boleh
dilakukan dengan lafal yang bukan bentuk madhi, dan tidak pula boleh
menggunakan lafal selain al-zawaj dan al-nikah. Sebab kedua lafal
inilah yang menunjukkan maksud pernikahan pada mulanya, sedangkan bentuk madhi
member arti kepastian.[12]
Imamiyah, Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa disyaratkan kesegeraan dalam
akad. Artinya, qabul harus dilakukan segera setelah ijab secara langsung dan
tidak pernah terpisah (oleh perkataan lain). Maliki berpendapat bahwa pemisahan
yang sekadarnya misalnya oleh khutbah nikah yang pendek dan sejenisnya tidak
apa-apa. Mazhab Hanafi tidak mensyaratkan kesegeraan, kalau ada seorang laki-laki
mengirim surat lamaran kepada seorang wanita lalu si wanita tersebut
menghadirkan para saksi dan membacakan surat itu kepada mereka, kemudian
mengatakan “Saya nikahkan dari saya kepadanya”, padahal lelaki yang melamarnya
itu tidak ada di tempat, maka akad tersebut sah.[13]
Berdasar hukum
asalnya, ijab itu datangnya dari pengantin wanita sedangkan qabul dari
pengantin laki-laki. Mazhab Imamiyah mengatakan dalam kitabnya At-Tadzkiah bahwa
akad nikah tidak boleh digantungkan melainkan diisyaratkan kepastian, bila akad
digantungkan dengan waktu atau sifat seperti “Kalau tiba awal bulan nanti,
berarti aku telah menikahimu” yang dijawab oleh pengantin laki-laki dengan
“Saya terima nikah denganmu”, maka akad tersebut belum terjadi (tidak sah).
pendapat ini dipegangi oleh Imam Syafi’i.[14]
Wali sebagai unsur
akad nikah tidak selalu hanya pada mempelai perempuan, walau hampir semua akad
nikah yang dipraktekkan dalam masyarakat penentuan wali sebagai unsur akadnya
selalu untuk mempelai perempuan saja.[15]
Menurut mazhab Syafi’I wali nikah untuk mempelai perempuan menurut beliau
adalah ayah kandung dengan hak-haknya yang sempurna dan yang pertama kali
tampil. Kemudian kalau ayah itu tidak mungkin melaksanakan hak walinya itu,
baru beralih kepada yang lain.[16]
Dalam nikah maskawin
merupakan hal yang wajid dibayarkan pada waktu nikah. Menurut mazhab Syafi’I
dan hambali, tak ada jumlah minimal yang ditetapkan dalam maskawin (mahar).
Sedangkan mazhab Hanafi mengatakan bahwa mahar itu paling tidak sama dengan
tiga dirham. Para ulama Maliki berkata bahwa mahar itu boleh suatu benda
tertentu seperti seekor hewan yang jinak, dengan melihat dahulu atau dengan
menjelaskannya, umpama kuda ini atau seekor kuda tertentu seperti kuda Arab
atau boleh pula berupa sejumlah uang tertentu seperti yang telah disebutkan
terdahulu.[17]
Para fuqaha membagi maskawin itu dalam dua macam yaitu mahar mitsil dan mahar
musamma. Mahar mitsil ialah mahar yang diukur menurut kebiasaan jumlah mahar
pada pihak keluarga wanita seperti ukuran mahar untuk kerabat-kerabat wanita
misalnya sebesar mahar saudara-saudaranya, bibinya dan lain-lain. Sedangkan
mahar musamma adalah jumhar mahar yang disebutkan di waktu aqad menurut
persetujuan calon suami isteri dan keluarga. Mahar musamma itu boleh kontan dan
boleh ditangguhkan, tetapi kalau terjadi dhukul hakiki (persetubuhan) mahar
musamma itu harus dibayar seluruhya.[18]
Syafi’I, Hanafi dan
Hambali sepakat bahwa perkawinan itu tidak sah tanpa adanya saksi, Hanafi
memandang cukup dengan hadirnya dua orang laki-laki atau seorang laki-laki
dengan dua orang perempuan, tanpa diisyaratkan harus adil. Namun mereka
berpendapat bahwa kesaksian kaum wanita saja tanpa laki-laki dinyatakan tidak
sah. syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa perkawinan harus dengan dua saksi laki-laki,
muslim dan adil. Sedangkan Maliki mengatakan saksi hukumnya tidak wajib dalam
akad, tetapi wajib untuk percampuran suami terhadap isterinya. Kalau akad
dilakukan tanpa seorang saksi pun akad dipandang sah, tetapi bila suami
bermaksud mencampuri isteri, dia harus mendatangkan dua orang saksi. Apabila
dia mencampuri isterinya tanpa ada saksi, akadnya harus dibatalkan secara
paksa, dan pembatalan akad ini sama kedudukannya dengan talak bai’in. sedangkan
Imamiyah berpendapat bahwa kesaksian dalam perkawinan hukumnya adalah istihbab,
dianjurkan dan bukan merupakan kewajiban.[19]
C. Analisa Hadis
Seluruh mazhab
sependapat bahwa akad dengan menggunakan bahasa non-arab adalah sah bila yang
bersangkutan tidak bisa melakukannya dalam bahasa arab. Akan tetapi terdapat
perbedaan pendapat apabila dia bisa melakukannya. Hanafi, Maliki, dan hambali
menyatakan sah, sedangkan Syafi’I memandangnya tidak sah, demikian pula mazhab
Imamiyah. Imamiyah, Hambali dan Syafi’I berpendapat akad dengan tulisan tidak
sah. Hanafi menyatakannya sah manakala orang yang dilamar dan melamar tidak
berada di satu tempat (yang sama). Semua mazhab sependapat bahwa orang bisu
cukup dengan memberikan isyarat secara jelas yang menunjukkan maksud nikah,
manakala dia tidak pandai menulis. Sedangkan mahar merupakan suatu pemberian
dalam perkawinan dari mempelai lelaki kepada mempelai perempuan dan khusus
menjadi harta miliknya sendiri. Pembayaran mahar oleh pihak suami sebaiknya
sesuai dengan permintaan si isteri, karena dilah yang menjadi pemilik harta
tersebut dalam perkawinannya, meskipun sebelum ia tak memiliki hak apapun.
Tujuan mahar diberikan adalah sebagai tanda penghormatan kepadanya. Mahar harus
dibayarkan baik pada waktu perlaksanaan pernikahan itu ataupun sesudahnya.
Dalam hal ini jumlah mahar itu tergantung pada keadaan pihak suami serta
kedudukan si isteri. Jelaslah bahwa mahar itu dapat ditentukan (bentuk atau
jumlahnya) atau juga bisa ditetapkan. Mahar yang ditentukan merupakan jumlah
yang disepakati kedua belah pihak pada saat perkawinan atau sesudahnya, itulah
yang sebaiknya. Dan jelaslah bahwa maskawin itu merupakan suatu unsure penting
dalam pernikahan yang Islami yang tanpanya maka ikatan perkawinan itu tidak
sempurna.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Janda Harus Berbicara, Sedangkan Gadis Cukup Dengan Diam Dalam
Masalah Nikah
Hadis Pertama:
حَدِيْثُ
اَبِى هُرَيْرَةَ, اَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمِ قَالَ:
لَاتُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ, وَلَاتُنْكَحُ الْبِكْرُحَتَّى
تُسْتَأْ ذَنَ. قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللهِ! وَكَيْفَ اِذْنُهَا؟ قَالَ: اَنْ
تَسْكُتَ.
Artinya:
“Hadis Abu Hurairah, bahwasanya Nabi Saw bersabda: “Janda tidak
bisa dinikahkan sehingga ia diminta persetujuannya, dan gadis tidak bisa
dinikahkan sehingga ia diminta izinnya”. Para sahabat bertanya: “Wahai
Rasulullah, bagaimana (tanda) izin itu?”. Beliau bersabda: “Bila gadis itu
diam.”[20]
Hadis Kedua:
حَديْثُ
عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا, قُلْتُ: قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ!
يُسْتَأْمَرُالنِّسَاءُ فَى اَبْضَاعِهِنَّ؟ قَالَ: نَعَمْ, قُلْتُ: فَإِنَّ الْبِكْرَتُسْتَأْمَرُ
فَتَسْتَحِى فَتَسْكُتُ, قَالَ: سُكَاتُهَا اذْنُهَا.
Artinya:
“Hadis Aisyah ra. di mana ia berkata:”Saya bertanya: “Wahai
Rasulullah, apakah para wanita itu dimintai persetujuan dalam perkawinan
mereka?”. Beliau menjawab: “Ya”. Saya berkata: “Sesungguhnya gadis itu bila
dimintai persetujuan, ia akan malu lalu diam”. Beliau bersabda: “Diamnya itu
menunjukkan izin (persetujuan)nya”.[21]
Suatu ketentuan
hukum bahwa wali dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang
hukumnya. Ada wali yang umum dan ada yang khusus. Wali yang khusus adalah yang
berkenaan dengan manusia dan harta benda.[22]
Wali nikah ada empat macam yaitu:
a.
Wali
Nasab
Wali nasab adalah
wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan
pernikahan. Wali nasab dibagi dua yaitu wali aqrab (dekat) dan wali
ab’ad (jauh). Dalam urutan diatas yang termasuk wali aqrab adalah
wali nomor urut 1, sedangkan nomor 2 menjadi wali ab’ad. Jika nomor 1
tidak ada, maka nomor 2 menjadi wali aqrab, dan nomor 3 menjadi wali
ab’ad dan seterusnya.[23]
Adapun perpindahan wali
aqrab kepada wali ab’ad adalah apabila wali aqrabnya non muslim,
fasik, belum dewasa, gila, dan bisu/ tuli.
b.
Wali
Hakim
Wali hakim adalah
wali nikah dari hakim atau qadli. Adanya wali hakim apabila terjadi
hal-hal sebagai berikut:
1. Tidak ada wali nasab.
2. Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab atau wali ab’ad
3. Wali aqrab gaib atau pergi dalam dua hari perjalanan.
4. Wali aqrab dipenjara dan tidak bisa ditemui.
5. Wali aqrab adol
6. Wali aqrabnya berbelit-belit (mempersulit)
7. Wali aqrabnya sedang ihram.
8. Wali aqrabnya sendiri yang akan menikah
9. Wanita yang akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa dan wali
mujbir tidak ada.
- Wali Tahkim
Wali Tahkim yaitu wali yang diangkat oleh calon suami dan atau
calon isteri. Wali tahkim terjadi apabila wali nasab tidak ada, gaib
(berpergian jauh), dan tidak ada Qadi atau pegawai pencatat nikah, talak, dan
rujuk (NTR).
- Wali Maula
Wali maula yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya
sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya,
bilamana perempuan itu rela menerimanya. Malik berkata, “Andaikata seorang
janda berkata kepada walinya, nikahkanlah aku dengan lelaki yang engkau sukai
oleh perempuan yang bersangkutan, maka sahlah nikahnya walaupun calon suaminya
itu tidak dikenal sebelumnya. Pendapat senada juga disebutkan oleh Hanafi, Lais
Sauri, dan Auza’i.
Sedang Syafi’I berkata, “Yang menikahkannya haruslah hakim atau
walinya yang lain, baik setingkat dengan dia atau lebih jauh. Sebab wali termasuk
syarat pernikahan. Jadi, pengantin tidak boleh menikahkan dirinya sendiri
sebagaimana penjual yang tidak boleh membeli barangnya sendiri.
Ibnu Hazm tidak sependapat dengan Imam Syafi’I dan Abu Dawud, ia
mengatakan bahwa kalau masalah ini diqiyaskan dengan seorang penjual tidak
boleh membeli barangnya sendiri adalah suatu pendapat yang tidak benar. Sebab
jika seorang dikuasakan untuk menjual suatu barang kali membelinya sendiri,
asal ia tidak melalaikan maka hukumnya diperbolehkan.
B.
Analisa Fiqih
Syafi’I, Maliki dan Hambali berpendapat jika wanita yang baligh dan
berakal sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali.
Hanafi mengatakan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh
memilij sendiri suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik dia
perawan maupun janda. Mayoritas ulama Imamiyah berpendapat bahwa seorang wanita
baligh dan berakal sehat, disebabkan oleh kebalighan dan kematangannya itu,
berhak bertindak melakukan segala bentuk transaksi dan sebagainya, termasuk
juga dalam persoalan perkawinan, baik dia masih perawan maupun janda. Seluruh
mazhab sepakat bahwa wali berhak mengawinkan anak laki-laki dan perempuan
kecil, serta laki-laki dan wanita gila (yang dibawah perwaliannya).[24]
Syafi’I dan Hambali mengkususkan perwalian ini hanya terhadap anak
perempuan kecil yang masih perawan, tidak terhadap anak perempuan kecil yang
masih perawan, tidak terhadap perempuan kecil yang sudah janda. Imamiyah dan
syafi’I mengatakan bahwa perkawinan anak laki-laki dan perempuan kecil,
diwakilkan kepada ayah dan kakeknya dari pihak ayah saja, tidak yang lainnya.
Sedangkan maliki dan hambali mengatakan bahwa hal itu hanya boleh diwakilkan
kepada ayahnya saja. Hanafi justru mengatakan bahwa semua anggota keluarga
boleh mengawinkannya, termasuk paman dan saudara laki-laki. Hanafi, imamiyah,
syafi’I mengatakan bahwa akad orang yang safih (idiot) tidak dipandang
sah kecuali atas izin walinya. Maliki dan hambali mengatakan bahwa akad nikah
orang idiot adalah sah dan tidak disyaratkan harus seizing walinya.[25]
Hanafi mengatakan bahwa urutan pertama perwalian itu ditangan anak
laki-laki wanita yang akan menikah itu, jika dia memang punya anak, sekalipun
hasil zina. Cucu laki-laki (dari pihak anak laki-laki), ayah, kakek dari pihak
ayah, saudara kandung, saudara laik-laki seayah, paman (saudara ayah), anak
paman dan seterusnya. Maliki mengatakan bahwa wali itu adalah ayah, penerima
wasiat dari ayah, anak laki-laki (sekalipun hasil zina) manakala wanita
tersebut punya anak, lalu berturut-turut saudara laki-laki, anak laki-laki dari
saudara laki-laki seayah, paman (saudara ayah), anak paman, dan seterusnya, dan
sesudah semuanya itu tidak ada, perwalian beralih ke tangan hakim.[26]
C.
Analisa Penulis
Dari beberapa pendapat para Imam sepakat bahwa wali itu harus ada
dalam pernikahan, walaupun ada ketentuannya seperti anak perempuan yang masih
kecil yang masih perawan atau perempuan kecil yang sudah janda (di bawah umur)
itu walinya berhak perwaliannya, akan tetapi persetujuannya berbeda. Dalam masalah
nikah janda dengan gadis sangat berbeda meminta persetujuannya atau mengetahui
ciri-cirinya. Di sini saya menjelaskan janda dalam masalah nikah harus diminta
izin dengan persetujuannya. Kenapa tidak secara langsung saja tanpa seizing si
janda untuk menikahkannya, karena wali tidak ada hak bagi seorangpun diantara
mereka seperti wali ‘ashib (ahli waris) atau bukan wali ‘ushib untuk
menghalang-halangi akad nikahnya, baik ia kawin dengan pria sederajat atau
tidak dengan mahar mitsi atau kurang. Sebab dalam keadaan demikian seluruh
urusan dirinya menjadi tanggungjawabnya sendiri sepenuhnya, serta dia sudah
terlepas dari wewenang wali-walinya. Dia sudah memiliki pengalaman bagaimana
berkeluarga tersebut dan mengetahui rasanya percintaan yang pernah ia jalani. Sedangkan
gadis mengetahui izin atau persetujuannya untuk bisa dinikahkan karena gadis
ini belum pernah atau mengalami dan mengetahui bagaimana dalam berumah tangga
dan dia juga dimiliki terkaitan dengan walinya.
Akan tetapi dari keduanya ini gadis maupun janda walinya berhak
menikahkan asalkan mereka menyetujui atau menyepakatinya.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nikah ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Ijab adalah suatu pernyataan berupa penyerahan dari seseorang
wali perempuan atau wakilnya kepada seorang laki-laki dengan kata-kata tertentu
maupun syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh syara’. Qabul adalah suatu
pernyataan penerimaan oleh pihak laki-laki terhadap pernyataan wali perempuan
atau wakilnya sebagaimana maksud di atas. Mahar adalah pemberian calon mempelai
pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang
tidak bertentangan dengan hukum Islam. hukumnya wajib bagi laki-laki memberi
mahar (maskawin) kepada wanita calon isterinya, baik berupa uang, barang maupun
jasa.
Gadis dengan janda
adalah wanita yang baligh dan berakal sehat. Masih gadis ataupun sudah janda,
mereka sebenarnya ada hak mengawinkan dirinya, wali mereka. Karena wali itu
termasuk dalam rukun nikah. Akan tetapi ada perbedaannya dari kedua tersebut,
wanita yang masih gadis mengetahui persetujuannya dengan mengetahui wanita
tersebut hanya diam saja berdasarkan hadis Nabi, sedangkan janda itu mengetahui
persetujuannya dengan izinnya sendiri. Karena derajatnya yang janda ini sudah
terlepas dengan walinya.
B.
Saran
Perkawinan merupakan
sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw, karena dengan adanya perkawinan akan
mengikat kedua insan dalam hubungan yang sah. Bagi orang tua/wali, adakala
sebelum menikahkan anak, sebaiknya kita terlebih dahulu meminta
persetujuannya tentang pasangan yang
akan kita nikahkan dengan dirinya, bukan malah langsung menikahkannya karena
gila akan jabatan, status maupun materi.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin, Fiqh Munakahat, TT: Pustaka Setia, 1999.
Idhamy,
Dahlan, Azas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam, Surabaya: Al-Ikhlas,
1984.
Kuzari,
Ahmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1995.
Mahoor,
Zuhdi, Memahami Hukum Perkawinan (NIkah, Talak, Cerai dan Rujuk), TT:
Al-Bayaat, 1994.
Mughniyah, M. Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera,
2010.
Rahman, Abdur, Perkawinan dalam Syariat Islam, Jakarta:
Rineka Cipta, 1992.
[1]
Fuad, M. Baqi Abdul, Al-Lu’lu wal Marjan, (TT: al-Ridha: Semarang, 1993), h.
224
[2]
Zuhdi Mahoor, Memahami Hukum Perkawinan (NIkah, Talak, Cerai dan Rujuk), (TT:
Al-Bayaat, 1994), h. 40
[3]
Zuhdi Mahoor, Memahami Hukum Perkawinan (NIkah, Talak, Cerai dan Rujuk), (TT:
Al-Bayaat, 1994), h. 44
[4] Zuhdi Mahoor, Memahami Hukum Perkawinan
(NIkah, Talak, Cerai dan Rujuk), (TT: Al-Bayaat, 1994), h. 44
[5]
Zuhdi Mahoor, Memahami Hukum Perkawinan (NIkah, Talak, Cerai dan Rujuk), (TT:
Al-Bayaat, 1994), h. 52
[6]
Zuhdi Mahoor, Memahami Hukum Perkawinan (NIkah, Talak, Cerai dan Rujuk), (TT:
Al-Bayaat, 1994), h. 52
[7]
Zuhdi Mahoor, Memahami Hukum Perkawinan (NIkah, Talak, Cerai dan Rujuk), (TT:
Al-Bayaat, 1994), h. 53
[8]
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1995), h. 34
[9]
M. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 309
[10]
M. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 309
[11]
M. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 311
[12]
M. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 311
[13]
M. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 312
[14]
M. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 313
[15]
Ahmad Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1995), h. 41
[16]
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1995), h. 42
[17]Abdur
Rahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992),
h. 72
[18]Dahlan
Idhamy, Azas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas,
1984), h. 51
[19]
M. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 314
[20]
Fuad, M. Baqi Abdul, Al-Lu’lu wal Marjan, (TT: al-Ridha: Semarang, 1993), h.
225
[21]
Fuad, M. Baqi Abdul, Al-Lu’lu wal Marjan, (TT: al-Ridha: Semarang, 1993), h.
226
[22]
Aminuddin, Fiqh Munakahat, (TT: Pustaka Setia, 1999), h. 83
[23]
Aminuddin, Fiqh Munakahat, (TT: Pustaka Setia, 1999), h. 91
[24]
. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 345
[26]
. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 347
Tidak ada komentar:
Posting Komentar