BAB I
PENDAHULUAN
Hadits ialah semua perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad
saw yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya.[1]
Adapun unsur-unsur pokok hadits ialah sanad, matan dan rawi. Sanad artinya
sandaran atau sesuatu yang di jadikan sandaran. Matan ialah materi hadits atau
lafal hadits itu sendiri. Sedangkan rawi
adalah orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits.[2]
Adapun unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadits ialah kegiatan
menerima hadits dari periwayat hadits, kegiatan menyampaikan hadits itu kepada
orang lain, dan ketika hadits itu
disampaikan harus menyebutkan rangkaian periwayatnya.[3]
Dan para ulama juga telah memberikan gelar-gelar kepada para Imam
ahli hadits, karena keahliannya tentang hadits dan ilmu hadits, serta
kemampuannya dalam menghafal dan menguasai hadits-hadits Nabi. Adapun
gelar-gelar tersebut ialah Amir al-Mu’minin, Al-Hakim, Al-Hujjah, Al-Hafiz,
Al-Muhaddis, dan Al-Musnid. Ke enam gelar tersebut memiliki kriteria
masing-masing, sehingga untuk lebih jelasnya tentang gelar-gelar ulama hadits
tersebut, baik itu mengenai pengertiannya, orang yang berhak mendapatkan
gelar-gelar itu maupun nama-nama orang yang telah mendapatkan gelar-gelar
tersebut akan penulis bahas dalam bab selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Amir al-Mu’minin
Gelar ini merupakan gelar tertinggi untuk ahli hadits. Pengertian
ini semula digunakan untuk para khalifah setelah Abu Bakar as-Siddiq ra.[4]
Para khalifah digelari Amir al-Mu’minin ialah mengingat jawaban Nabi
atas pertanyaan seorang sahabat tentang: “Siapakah yang dikatakan Khalifah?
Nabi menjawab, bahwa khalifah adalah orang-orang sepeninggal Nabi yang sama
meriwayatkan hadits-hadits beliau.[5]
Kemudian istilah ini diterapkan untuk para ulama hadis yang memenuhi syarat,
seolah-olah mereka berfungsi sebagai khalifah, karena sepeninggal Nabi saw.
mereka sama meriwayatkan hadits-hadits beliau atau menyampaikan hadits/sunnah
beliau.[6]
Ulama hadits yang berhak menerima gelar Amir al-Mu’minin ini
jumlahnya tidak banyak, yaitu:[7]
1.
Abdur
Rahman bin Abdullah bin Dzakwan Al-Madany (Abuz Zanad)
2.
Syu’bah
Ibn Al-Hajjaj.
3.
Sufyan
Atsauri.
4.
Ishaq
Ibn Rahawaih.
5.
Ahmad
Ibn Hambal.
6.
Al-Bukhari.
7.
Ad-Daruquthny.
8.
Imam
Muslim.
Dari kalangan ulama hadits mutaakhkhirin yang memperoleh
gelar ini adalah:[8]
- An-Nawawiy.
- Al-Mizziy.
- Az-Zahaby.
- Ibnu Hajar al-Asqallaniy.
B.
Al-Hakim
Al-Hakim adalah orang
yang telah menguasai segala hadits sehingga tidak ada yang ketinggalan kecuali
sedikit menurut pendapat bagian ahli ilmu.[9] Al-Hakim
yaitu gelar yang dipakai untuk ulama hadits yang menguasai hadits-hadits yang
diriwayatkannya, baik dari segi matannya, sifat-sifat periwayatnya (terpuji
atau tercela), bahkan untuk setiap periwayat diketahui biografinya,
guru-gurunya, sifat-sifatnya, yang dapat diterima atau ditolaknya dan
sebagainya. Disamping itu, ia harus menghafal dengan baik lebih dari 300.000
hadits nabi lengkap dengan urutan-urutan sanadnya, seluk beluk periwayatannya
dan sebagainya.
Asy-Syahawiy mengemukakan tiga definisi istilah Al-Hakim
yang berbeda, yaitu:
1.
Seorang
yang menguasai semua hadits yang diriwayatkan, matan, sanad, jarh wa at-ta’dil,
biografi periwayat dan lainnya.
2.
Seorang
yang menguasai sebagian besar apa yang terdapat pada point satu.
3.
Seorang
yang menguasai 700.000 hadits atau lebih serta mengenali sanad-sanadnya.
Di antara ahli hadits yang mendapat gelar ini ialah sebagai berikut:
- Ibnu Dinar (w. 162 H.).
- Al-Lays bin Sa’d (w. 175 H.).
- Imam Malik bi Anas (w. 179 H.).
- Imam asy-Syafi’iy.
C.
Al-Hujjah
Gelar ini diberikan kepada ahli hadits yang sanggup menghafal
300.000 hadits, baik sanad, matan, maupun perihal periwayatanya mengenai
keadilan dan cacatnya.[10]
Asy-Syahwawiy juga mengemukakan definisi yang lebih umum, yaitu bahwa al-Hujjah
itu adalah orang yang hafalan haditsnya mumpuni dan mantap serta dapat
mengemukakan hadits sebagai argumen kepada orang-orang tertentu dan orang umum.[11]
Ulama hadits yang mendapat gelar ini antara lain yaitu:[12]
1.
Hisyam
bin ‘Urwah (w. 146 H.).
2.
Abu
al-Huzayl Muhammad bin al-Wahid (w. 149 H.).
3.
Muhammad
Abdullah bin ‘Amr (w. 242 H.).
D.
Al-Hafiz
Gelar ini diberikan kepada ahli hadits yang sanggup menghafal
100.000 buah hadits, baik matan, sanad, maupun seluk beluk rawinya serta mampu
mengadakan ta’dil dan tajrih terhadap para rawi tersebut.[13]
Asy-Syahawiy juga mengemukakan definisi yang lain bahwa al-Hafiz itu
adalah orang yang sibuk dengan hadits riwayah dan dirayah serta
memahami secara komprehensif para periwayat dan periwayatan hadits pada
masanya, mengenali guru-guru para periwayat dan guru-guru dari guru-gurunya itu
pengenerasi periwayat. Yang mana pengetahuannya tentang generasi periwayat itu
lebih besar dari yang tidak diketahuinya.[14]
Di antara ulama yang memperoleh gelar ini ialah:[15]
1.
Al-Iraqiy.
2.
Syaraf
ad-Din ad-Dimyatiy.
3.
Ibnu
Hajar al-Asqallaniy.
4.
Ibnu
Daqiq al-Id.
E.
Al-Muhaddis
Al-Muhaddis diberikan
kepada ahli hadits yang sanggup menghafal 1.000 hadits, baik sanad, matan
maupun seluk beluk periwayatnya, jarh dan ta’dil-nya, tingkatan
haditsnya, serta memahami hadits-hadits yang termaktub dalam al-Kutub
as-Sittah, Musnad Ahmad, Sunan al-Bayhaqiy, Mu’jam at-Tabraniy.
Di antara ulama yang berhak menerima gelar ini ialah:[16]
- Ata bin Abi Rabah.
- Az-Zabidiy.
F.
Al-Musnid
Gelar ini diberikan kepada ulama ahli hadits yang meriwayatkan
hadits beserta sanadnya, baik menguasai ilmunya maupun tidak. Gelar al-Musnid
ini biasa juga disebut at-Talib, al-Mubtadi, dan ar-Rawiy. Dengan
demikian, maka ukuran pemberian gelar tersebut bukan sekedar didasarkan kepada
jumlah hadits yang dihafalkannya sja, tetapi juga diukur dari segi penguasaan
dan kemahiran di bidang ‘Ulum al-Hadits.[17]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Para ulama telah memberikan gelar-gelar kepada para Imam Ahli
Hadits, karena kemampuan mereka dalam menguasai hadits dan ilmu hadits serta
sebagai penghormatan kepada mereka. Adapun gelar para ahli hadits ada enam
yaitu:
1.
Amir
al-Mu’minin, yaitu gelar
tertinggi untuk ahli hadits dan mereka yang memenuhi syarat seolah-olah
berfungsi sebagai khalifah yang akan meriwayatkan atau menyampaikan
hadits-hadits Nabi.
2.
Al-Hakim,
yaitu orang ini harus menghafal dengan baik lebih dari 300.00
hadits Nabi lengkap dengan urutan-urutan sanadnya, seluk beluk periwayatannya
dan sebagainya.
3.
Al-Hujjah,
yaitu orang ini sanggup menghafal 300.000 hadits, baik sanad, matan
maupun perihal periwayatnnya mengenai keadilan dan cacatnya.
4.
Al-Hafiz,
yaitu orang ini sanggup menghafal 100.000 hadits, baik sanad,
matan, maupun seluk beluk periwayatnya, serta mampu mengadakan ta’dil dan
tajrih terhadap para periwayatnya.
5.
Al-Muhaddis,
yaitu orang ini sanggup menghafal 1.000 hadits, baik sanad, matan,
maupun seluk beluk periwayatnya, jarh dan ta’dil-nya, tingkatan
haditsnya serta memahami hadits-hadits yang termaktub.
6.
Al-Musnid,
yaitu orang yang menerima gelar ini ulama hadits yang meriwayatkan
hadits beserta sanadnya, baik menguasai ilmunya maupun tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Asrori, M. Mizan dan Iltizam Syamsuddin, Mustholah Hadits, Surabaya:
Al-Ihsan, tt.
Fabbad,
Mahmud Ali, Metodologi Penetapan Kesahehan Hadis, Bandung: Pustka Setia,
1998.
Ismail, M. Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa,
1991.
Karim,
Abdullah, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,Banjarmasin: Comdes Kalimantan, 2005.
Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung: Pustka Setia, 1999.
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushthalahu’l Hadits,Cet. 7, Bandung: Al-Ma’arif, 1991.
[1]Mudasir, Ilmu
Hadis, (Bandung: Pustka Setia, 1999), h. 15
[3]Abdullah Karim,
Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Banjarmasin: Comdes Kalimantan, 2005), h. 37
[5]M. Syuhudi
Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung: Angkasa, 1991), h. 37
[6]Abdullah Karim,
Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, op.cit.
[7]M. Mizan Asrori
dan Iltizam Syamsuddin, Mustholah Hadits, (Surabaya: Al-Ihsan, tt), h.
[8]Abdullah Karim,
Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,op.cit., h. 70
[9]Fatchur Rahman,
Ikhtisar Mushthalahu’l Hadits,Cet. 7, (Bandung: Al-Ma’arif, 1991), h.
[10]M. Syuhudi
Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, op. cit., h. 38
[11]Abdullah Karim,
Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, op. cit., h. 71
[13]Mahmud Ali
Fabbad, Metodologi Penetapan Kesahehan Hadis, (Bandung: Pustka Setia,
1998), h. 97
[14] Abdullah
Karim, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,loc. cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar