BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Bagi warganegara Indonesia keturunan Eropa (Belanda) dan Timur
Asing Tionghoa, hukum Perdata BW masih merupakan sumber hukum utama dalam
menyelesaikan masalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang atau
lebih yang telah meninggal dunia. Kendati hukum itu sudah lama ada dan telah
lama pula digunakan dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, namun
penyelesaian terhadap harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang telah
meninggal dunia tersebut kerap menjadi masalah dan bahkan tidak jarang
penyelesaiannya harus dengan intervensi lembaga peradilan negara. Sumber-sumber
yang menimbulkan masalah dalam menyelesaikan harta kekayaan peninggalan
tersebut memang ada yang disebabkan oleh faktor kesengajaan, tapi ada pula yang
disebabkan oleh faktor kekurangan dalam menerapkan ketentuan-ketentuan dalam
pasal-pasal hukum perdata BW tersebut. Untuk lebih jelasnya tentang hukum waris
menurut BW ini akan dibahas dalam bab selanjutnya.
B.
Rumusan Masalah
- Apa pengertian hukum waris menurut BW?
- Apa saja unsur-unsur hukum waris BW?
- Bagaimana peran balai harta peninggalan dalam pembagian warisan?
- Siapa saja ahli waris yang tidak patut menerima harta warisan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Waris Menurut BW
Hukum waris menurut BW adalah aturan hukum yang mengatur tentang
perpindahan hak kepemilikan harta kekayaanya itu, merupakan keseluruhan hak-hak
dan kewajiban, dari orang yang mewariskan terhadap ahli warisnya dan menentukan
siapa-siapa saja yang berhak menerimanya. Hukum waris dapat pula di
definisikan, seperangkat norma atau aturan yang mengatur hukum mengenai
kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan ini bagi
orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka
maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga. Secara bahasa warisan
berasal dari bahasa arab al-Mirats yang artinya, berpindahnya sesuatu
dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Secara
istilah warisan segala sesuatu (harta) peninggalan yang di tinggalkan pewaris
kepada ahli waris. Adapun kekayaan yang dimaksud dalam rumusan diatas adalah
sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa
aktiva dan pasiva.
B.
Unsur-Unsur Hukum Waris BW
- Pewaris
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan
kekayaan. Orang yang menggantikan pewaris dalam kedudukan hukum mengenai
kekayaannya, baik untuk seluruhnya maupun untuk bagian yang sebanding,
dinamakan waris atau ahli waris. Penggantian hak oleh mereka atas kekayaan
untuk seluruhnya atau untuk bagian yang sebandingnya, membuat mereka menjadi
orang yang memperoleh hak dengan title umum.[1]
Maka unsur-unsur yang mutlak harus dipenuhi untuk layak disebut sebagai pewaris
adalah orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan.[2]
- Ahli Waris
a.
Ahli
waris menurut Undang-undang
Peraturan perundang-undangan di dalam BW telah menetapkan keluarga
yang berhak menjadi ahli waris, serta porsi pembagian harta warisannya. Bagian
harta warisan untuk anak yang lahir di luar perkawinan antara lain diatur
sebagai berikut:[3]
(1)
1/3
dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar pernikahan menjadi ahli
waris bersama-sama dengan anak yang sah serta janda atau duda yang hidup paling
lama.
(2)
½
dari bagian anak yang sah, apabila anak yang lahir di luar pernikahan menjadi
ahli waris bersama-sama dengan ahli waris golongan kedua dan golongan ketiga.
(3)
¾
dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan menjadi ahli
waris bersama-sama ahli waris golongan keempat, yaitu sanak keluarga pewaris
sampai derajat keenam.
(4)
½
dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan menjadi ahli
waris bersama-sama dengan kakek atau nenek pewaris, setelah terjadi kloving.
Jadi dalam hal demikian, bagian anak yang lahir di luar pernikahan bukan ¾,
sebab untuk ahli waris golongan keempat ini sebelum harta warisan dibagi,
terlebih dahulu dibagi dua/kloving sehingga anak yang lahir di luar nikah akan
memperoleh ¼ dari bagian anak sah dari separuh harta warisan dari garis ayah
dan ¼ dari bagian harta warisan anak sah dari garis ibu sehingga menjadi ½
bagian. Namun, bila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris sampai
derajat keenam, sedangkan yang ada hanya anak yang lahir di luar nikah maka
anak di luar nikah mendapat harta peninggalan seluruhnya atau harta itu jatuh
pada tangan anak yang lahir di luar pernikahan, sebagian ahli waris
satu-satunya. Lain halnya anak yang lahir dari perbuatan zina dan anak yang
lahir dari orang tua yang tidak boleh menikah karena keduanya sangat erat
hubungan kekerabatannya, menurut BW sama sekali tidak berhak atas harta warisan
dari orang tuanya, anak-anak tersebut hanya berhak memperoleh bagian sekadar
nafkah untuk hidup seperlunya.
Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi ahli
waris yaitu isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah
dari pewaris. Ahli waris menurut undang-undang atau ahli waris abintestato berdasarkan
hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:[4]
1)
Golongan
pertama
Golongan pertama adalah keluarga dalam garis lurus ke bawah,
meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang
ditinggalkan atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang
ditinggalkan/hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun
1935, sedangkan sebelumnya suami/isteri tidak saling mewarisi.[5]
Bagian golongan pertama yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke
bawah, yaitu anak-anak beserta keturunannya, janda atau duda yang ditinggalkan/
yang hidup paling lama, masing-masing memperoleh satu bagian yang sama. Oleh
karena itu, bila terdapat empat orang anak dan janda maka mereka masing-masing
mendapat hak 1/5 bagian dari harta warisan.[6]
Apabila salah satu seorang anak telah meninggal dunia lebih dahulu
dari pewaris tetapi mempunyai lima orang anak, yaitu cucu-cucu pewaris, maka
bagian anak yang seperlima dibagi di antara anak-anaknya yang menggantikan
kedudukan ayahnya yang telah meninggal (dalam sistem hukum waris BW disebut plaatsvervulling
dan dalam system hukum waris Islam disebut ahli waris pengganti dan dalam
hukum waris adat disebut ahli waris pasambei) sehingga masing-masing
cucu memperoleh 1/25 bagian. Lain halnya jika seorang ayah meninggal dan
meninggalkan ahli waris yang terdiri atas seorang anak dan tiga orang cucu,
maka hak cucu terhalang dari anak (anak menutup anaknya untuk menjadi ahli
waris).[7]
2)
Golongan
kedua
Golongan kedua adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi
orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan serta keturunan mereka.
Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak
akan kurang dari 1/4 bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris
bersama-sama saudara pewaris. Oleh karena itu, bila terdapat tiga orang saudara
yang menjadi ahli waris bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu
masing-masing akan memperoleh ¼ bagian dari seluruh harta warisan, sedangkan
separuh dari harta warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara yang
masing-masing memperoleh 1/6 bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang sudah
meninggal dunia maka yang hidup paling lama akan memperoleh sebagai berikut:[8]
a)
½
bagian dari seluruh harta warisan, jika ia menjadi ahli waris bersama dengan
seorang saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan sama saja.
b)
1/3
bagian dari seluruh harta warisan, bila ia menjadi ahli waris bersama-sama
dengan dua orang saudara pewaris.
c)
¼
bagian dari seluruh harta warisan, bila ia menjadi ahli waris bersama-sama
dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris.
Apabila ayah dan ibu semuanya sudah meninggal dunia, maka harta
peninggalan seluruhnya jatuh pada saudara pewaris, sebagai hali waris golongan
kedua yang masih ada. Namun, bila di antara saudara-saudara yang masih ada itu
ternyata hanya ada saudara seayah atau seibu saja dengan pewaris maka harta
warisan terlebih dahulu dibagi dua, bagian yang satu adalah diperuntukkan bagi
saudara seibu.[9]
3)
Golongan
ketiga
Golongan ketiga adalah ahli waris yang meliputi kakek, nenek dan
leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris. Ahli waris golongan ketiga terdiri
atas keluarga dari garis lurus ke atas setelah ayah dan ibu, yaitu kakek dan
nenek serta terus ke atas tanpa batas dari pewaris. Hal dimaksud, menjadi ahli
waris. Oleh karena itu, bila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris
golongan pertama dan kedua. Dalam kondisi seperti ini sebelum harta warisan
dibagi terlebih dahulu harus dibagi dua (kloving), selanjutnya separuh
yang satu merupakan bagian sanak keluarga dari garis ayah pewaris dan bagian
yang separuhnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari garis ibu pewaris.
Bagian yang masing-masing separuh hasil kloving itu harus diberikan pada
kakek pewaris untuk bagian dari garis ayah, sedangkan untuk bagian dari garis
ibu harus diberikan kepada nenek.[10]
Cara pembagiannya adalah harta warisan dibagi dua, satu bagian
untuk kakek dan nenek dari garis ayah dan satu bagian untuk kakek dan nenek
dari garis ibu. Pembagian itu berdasarkan Pasal 850 dan Pasal 853 (1):[11]
a)
½ untuk
pihak ayah.
b)
½
untuk pihak ibu.
4)
Golongan
keempat
Ahli waris golongan keempat meliputi anggota dalam garis ke samping
dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. Hal dimaksud, terdiri atas
keluarga garis samping, yaitu paman dna bibi serta keturunannya, baik dari
garis pihak ayah maupun garis dari pihak ibu. Keturunan paman dan bibi sampai
derajat keenam dihitung dari si mayit (yang meninggal). Apabila bagian dari
garis ibu sama sekali tidak ada ahli waris sampai derajat keenam maka bagian
dari garis ibu jatuh kepada para ahli waris dari garis ayah. Demikian pula
sebaliknya.[12]
Dalam Pasal 832 ayat (2) BW disebutkan: “Apabila ahli waris yang
berhak atas harta peninggalan sama sekali tidak ada, maka seluruh harta
peninggalan jatuh menjadi milik negara, selanjutnya Negara wajib melunasi
utang-utang si peninggal harta warisan sepanjang harta warisan itu mencukupi.
Cara pembagian harta warisan golongan keempat sama dengan ahli waris golongan
ketiga, yaitu harta warisan dibagi dua, satu bagian untuk paman dan bibi serta
keturunannya dari garis ayah dan satu bagian lagi untuk paman dan bibi serta
keturunannya dari garis ibu.[13]
b.
Ahli
waris menurut wasiat
Menurut Pasal 874 s.d. Pasal 894, Pasal 913 s.d. Pasal 929 dan
Pasal 930 s.d. Pasal 1022 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang
seseorang, dua orang atau beberapa orang untuk menjadi ahli waris berdasarkan
wasiat. Menurut Pasal 874 harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia
adalah kepunyaan ahli waris menurut undang-undang, tetapi pewaris dengan surat
wasiat dapat menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang termuat dalam
undang-undang. Oleh karena itu, surat wasiat yang dilakukan oleh pewaris dapat
menunjuk seseorang atau beberapa orang menjadi ahli waris yang disebut erfstelling.
Erfstelling adalah orang yang ditunjuk melalui surat wasiat untuk menerima
harta peninggalan pewaris. Orang yang menerima wasiat itu disebut testamentaire
erfgenaam. Testamentaire erfgenaam adalah ali waris menurut wasiat.
Ahli waris dimaksud menurut undang-undang adalah ahli waris yang
memperoleh segala hak dan kewajiban si meninggal onder algemene title. Oleh
karena itu, catatan para ahli waris dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke
bawah tidak dapat dikecualikan sama sekali. Menurut undang-undang, mereka
dijamin dengan adanya legitieme portie (bagian mutlak). Ahli waris yang
menerima legitieme portie disebut legitimaris. Poris bagian ahli
waris karena wasiat mengandung asas bahwa apabila pewaris mempunyai ahli waris
yang merupakan keluarga sedarah, maka bagiannya tidak boleh mengurangi bagian
mutlak dari para legitimaris.
Dari keempat golongan ahli waris yang telah diuraikan dan
dicontohkan di atas, berlaku ketentuan bahwa golongan yang terdahulu menutup
golongan yang kemudian. Karena itu, jika ada golongan kesatu, maka golongan
kedua, ketiga dan keempat tidak menjadi ahli waris. Jika golongan kesatu tidak
ada, maka golongan kedua yang menjadi ahli waris. Selanjutnya, jika golongan
kesatu dan kedua tidak ada, maka golongan ketiga atau keempat menjadi ahli
waris. Golongan kesatu adalah anak-anak sah dan anak luar kawin yang diakui sah
dengan tidak ada ahli waris yang berhak atas harta peninggalan pewaris, maka
seluruh harta peninggalan pewaris menjadi milik negara.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tidak
membedakan antara ahli waris laki-laki dan perempuan, tidak juga membedakan
urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika
masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus ke
atas dan ke samping sehingga tampak anggota keluarga yang lebih dekat menutup
haknya anggota keluarga yang lebih jauh. Lain halnya seseorang yang mendapat
harta warisan melalui surat wasit atau testamen, jumlahnya tidak tentu
karena orang yang memperoleh harta semacam ini tergantung dari kehendak pemberi
wasiat. Suatu surat wasiat biasanya berisi penunjukan seorang atau beberapa
orang ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian harta warisan. Akan
tetapi, juga seperti ahli waris menurut peraturan perundang-undangan, ahli
waris menurut surat wasiat atau ahli waris testamenter akan memperoleh
segala hak dan segala kewajiban dari si pewaris.
Ahli waris yang memperoleh bagian mutlak atau legitime portie
ini termasuk ahli waris menurut undang-undang, mereka adalah para ahli waris
dalam garis lurus ke atas dan garis lurus ke bawah yang memperoleh bagian
tertentu dari harta peninggalan dan bagian itu tidak dapat dihapuskan oleh si
pewaris. Adapun peraturan mengenai legitime portie oleh undang-undang
dipandang sebagai pembatasan kemerdekaan seseorang untuk membuat wasiat menurut
kehendak hatinya sendiri. Berdasarkan hal di atas, seseorang yang akan menerima
sejumlah harta warisan terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1.
Harus
ada orang yang meninggal dunia. Hal ini didasarkan oleh Pasal 830 BW (dalam
hukum kewarisan Islam disebut asas akibat kematian).
2.
Ahli
waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal dunia.
Ketentuan ini tidak berarti mengurangi makna ketentuan Pasal 2 BW, yaitu anak
yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan,
bilamana kepentingan si anak menghendakinya. Apabila ia meninggal pada saat
dilahirkan, ia dianggap tidak pernah ada. Dengan demikia, berarti bayi dalam
kandungan juga sudah diatur haknya oleh hukum sebagai ahli waris dan telah
dianggap cakap untuk menjadi ahli waris.
3.
Seseorang
ahli waris harus cakap serta berhak menjadi ahli waris, dalam pengertian ia
tidak dinyatakan oleh undang-undang sebagai seseorang yang tidak patut menjadi
ahli waris karena adanya kematian seseorang atau tidak dianggap sebagai
tidakcakap untuk menjadi ahli waris.
Sesudah terpenuhi persyaratan di atas, para ahli waris mempunyai
kelonggaran oleh undang-undang untuk selanjutnya menentukan sikap terhadap
suatu harta warisan, ahli waris diberi hak untuk memikir selama empat bulan
setelah itu ia harus menyatakan sikapnya apakah menerima atau menolak harta
warisan atau mungkin saja ia menerima warisan dengan syarat yang dinamakan
menerima warisan secara beneficiair yang merupakan suatu jalan tengah
antara menerima dan menolak harta warisan.
Selama ahli waris menggunakan haknya untuk berpikir dalam
menentukan sikapnya, ia tidak dapat dipaksa untuk memenuhi kewajiban sebagai
ahli waris sampai jangka waktu itu berakhir atau selama empat bulan. Sesudah
tenggang waktu menurut undang-undang berakhir maka seorang ahli waris dapat
memiliki antara tiga kemungkinan sebagai berikut:
1.
Menerima
harta warisan secara penuh
Ahli waris yang menerima harta warisan secara penuh, baik secara
diam-diam maupun secara tegas bertanggung jawab sepenuhnya atas segala
kewajiban yang melekat pada harta warisan. Artinya, ahli waris harta warisan
harus menanggung segala macam utang-utang pewaris. Penerimaan harta warisan
secara penuh yang dilakukan dengan tegas, yaitu melalui akad autentik atau akta
di bawah tangan, sedangkan penerimaan secara penuh dilakukan dengan diam-diam,
biasanya dengan cara melakukan tindakan tertentu yang menggambarkan adanya
penerimaan secara penuh.
2.
Menerima
warisan bersyarat
Menerima warisan bersyarat adalah menerima harta warisan dengan
ketentuan bahwa ia tidak akan diwajibkan membayar utang-utang pewaris yang
melebihi bagiannya dalam warisan itu atau disebut dengan sitilah menerima
warisan secara beneficiair. Akibat menerima warisan secara beneficiair
adalah sebagai berikut:
a). Seluruh harta warisan terpisah dari harta kekayaan pribadi ahli
waris.
b). Ahli waris
tidak perlu menanggung pembayaran utang-utang pewaris dengan kekayaannya
sendiri karena pelunasan utang-utang pewaris hanya dilakukan menurut kekuatan
harta warisan yang ada.
c). Tidak
terjadi percampuran harta kekayaan antara harta kekayaan ahli waris dengan
harta warisan yang diterimanya.
d). Apabila utang-utang
pewaris telah dilunasi semuanya dan masih ada sisa harta peninggalannya maka
sisa itulah yang merupakan bagian ahli waris.
3.
Menolak harta warisan
Ahli waris yang menolak harta warisan dianggap tidak pernah menjadi
ahli waris. Jika ia lebih dahulu meninggal dari pewaris ia tidak dapat
digantikan kedudukannya oleh anak-anaknya yang masih hidup. Menolak harta
warisan harus dilakukan dengan suatu pernyataan kepada panitera pengadilan
negeri wilayah hukum tempat harta warisan itu terbuka. Penolakan harta warisan
dihitung dan berlaku surut, yaitu sejak saat meninggalnya pewaris. Lain lagi
halnya seseorang ahli waris yang menyatakan menerima harta warisan secara beneficiair
atau menerima dengan mengadakan inventarisasi harta peninggalan, mempunyai
beberapa kewajiban sebagai berikut:
1)
Wajib
melakukan pencatat atas jumlah harta peninggalan dalam waktu empat bulan
setelah ia menyatakan kehendaknya kepada panitera pengadilan negeri.
2)
Wajib
mengurus harta peninggalan dengan sebaik-baiknya.
3)
Wajib
membereskan urusan harta warisan dengan segera.
4)
Wajib
memberikan jaminan kepada kreditor pewaris, maupun kepada orang yang menerima
pemberian secara legaat.
5)
Wajib
memanggil para kreditor pewaris yang tidak dikenal melalui surat kabar resmi.
C.
Peran Balai Harta Peninggalan dalam Pembagian Warisan
Apabila harta warisan telah terbuka namun tidak seorangpun ahli
waris yang tampil ke muka sebagai ahli waris, tak seorangpun yang menolak
warisan, maka warisan tersebut dianggap sebagai harta warisan yang tidak
terurus. Dalam keadaan seperti ini, tanpa menunggu perintah hakim, balai harta
peninggalan wajib mengurus harta peninggalan tersebut. Pekerjaan pengurusan itu
harus dilaporkan kepada kejaksaan negeri setempat. Jika terjadi perselisihan
tentang apakah suatu harta peninggalan tidak terurus atau tidak, penentuan ini
akan diputus oleh hakim.
Kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan balai harta peninggalan
dalam tugasnya mengurus harta warisan yang tak terurus meliputi:[14]
1.
Wajib
membuat perincian atau inventarisasi tentang keadaan harta peninggalan yang
didahului dengan penyegelan barang-barang.
2.
Wajib
membereskan warisan dalam arti menagih piutang-piutang pewaris dan membayar
semua hutang pewaris. Apabila diminta oleh pihak yang berwajib, balai harta
peninggalan juga wajib memberikan pertanggungjawaban.
3.
Wajib
memanggil para ahli waris yang mungkin masih ada melalui surat kabar atau
panggilan resmi lainnya.
Apabila dalam jangka waktu tiga tahun terhitung mulai saat
terbukanya warisan, belum juga ada ahli waris yang tampil ke muka, balai harta
peninggalan akan memberikan pertanggungjawaban atas pengurusan itu kepada
negara. Selanjutnya harta peninggalan itu akan diwarisi dan menjadi hak milik
negara.
D.
Ahli Waris Yang Tidak Patut Menerima Harta Warisan
Undang-undang menyebut empat hal yang menyebabkan seseorang ahli
waris menjadi tidak patut mewaris karena kematian yaitu sebagai berikut:
1.
Seorang
ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan
membunuh atau setidak-tidaknya mencoba membunuh pewaris.
2.
Seorang
ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan
memfitnah dan mengadukan pewaris bahwa pewaris difitnah melakukan kejahatan
yang diancam pidana penjara empat tahun atau lebih.
3.
Ahli
waris yang dengan kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau mencegah pewaris
untuk membuat atau menarik kembali surat wasiat.
4.
Seorang
ahli waris yang telah menggelapkan, memusnahkan dan memalsukan surat wasiat.
Apabila ternyata ahli waris yang tidak patut itu mengusai sebagian
atau seluruh harta peninggalan dan ia berpura-pura sebagai ahli waris, ia wajib
mengembalikan semua yang dikuasainya termasuk hasil-hasil yang telah
dinikmatinya.[15]
BAB III
PENUTUP
Simpulan:
Hukum waris menurut BW adalah aturan hukum yang mengatur tentang
perpindahan hak kepemilikan harta kekayaanya itu, merupakan keseluruhan hak-hak
dan kewajiban, dari orang yang mewariskan terhadap ahli warisnya dan menentukan
siapa-siapa saja yang berhak menerimanya. Adapun unsur-unsur hukum waris BW
ialah pewaris, ahli waris dan harta warisan.
Ahli waris menurut system BW terbagi dua yaitu ahli waris menurut
Undang-Undang dan ahli waris menurut
waisat. Ahli waris menurut Undang-Undang
terbagi 4 golongan yaitu:
- Golongan pertama, ialah keluarga dalam garis lurus ke bawah yang meliputi anak-anak beserta keturnan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan atau yang hidup paling lama.
- Golongan kedua, ialah keluarga dalam garis lurus ke atas yang meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan serta keturunan mereka.
- Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris.
- Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafika, 2008.
Amanat, Anisitus, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum
Perdata BW, Cet. 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
Pitlo, MR. A., Hukum Waris: Menurut Undang-Undang Hukum Perdata
Belanda, Jakarta: Intermasa, 1990.
Suparman, Eman, Hukum Waris di Indonesia Dalam Perspektif Islam
Adat BW, Bandung: PT. Refika Aditama, 2005.
[1]MR. A. Pitlo, Hukum
Waris: Menurut Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, (Jakarta: Intermasa,
1990), h. 1
[2]Anisitus
Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, Cet.
1, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), h. 6
[3]Zainuddin Ali, Pelaksanaan
Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 86
[4]Eman Suparman, Hukum
Waris di Indonesia Dalam Perspektif Islam Adat BW, (Bandung: PT. Refika
Aditama, 2005) , h. 30
[6]Zainuddin Ali, Pelaksanaan
Hukum Waris di Indonesia, op. cit., h. 87
[14]Eman Suparman, Hukum
Waris di Indonesia Dalam Perspektif Islam Adat BW,op. cit., h. 38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar