PENDAHULUAN
- Sejarah dan Perkembangan Peradilan Agama
Perjalanan kehidupan sejarah
peradilan agama mengalami pasang surut. Adakalanya wewenang dan kekuasaan
yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam
masyarakat. Pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan
berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan, bahkan seringkali
mengalami berbagai rekayasa dari penguasa (kolonial Belanda) dan golongan
masyarakat tertentu agar posisi peradilan agama melemah.[1]
Sebelum Belanda melancarkan politik
hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah
mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan
perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di
Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing.
Kerajaan Islam Pasal yang berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke 13 M,
merupakan kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti dengan berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam lainnya, misalnya: Demak, Jepara, Tuban, Gresik,
Ngampel dan Banten. Di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam,
seperti: Tidore dan Makasar. Pada pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru,
yaitu kerajaan Mataram memerintah Jawa Tengah, dan akhirnya berhasil
menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara, sangat besar perannya
dalam penyebaran Islam di Nusantara[2] Dengan
masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam, maka pada permulaan
abad ke 17 M penyebaran agama Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah
Indonesia (Muchtar Zarkasyi : 21).
Agama Islam masuk Indonesia melalui
jaIan perdagangan di kota – kota pesisir secara damai tanpa melaIui gejolak,
sehingga norma-norma sosial Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat
Indonesia bersamaan dengan penyebaran dan penganutan agama Islam oleh sebagian
besar penduduk Indonesia. Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat
Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan
hukum Islam makin diperlukan. Hal ini nampak jelas dari proses pembentukan
lembaga peradilan yang berdasarkan hukum Islam tersebut yakni:
DaIam keadaan tertentu, terutama
bila tidak ada hakim di suatu wilayah tertentu, maka dua orang yang bersengketa
itu dapat bertahkim kepada seseorang yang dianggap memenuhi syarat. Tahkim
(menundukkan diri kepada seseorang yang mempunyai otoritas menyelesaikan masaIah
hukum) hanya dapat berlaku apabila kedua belah pihak terlebih dahulu sepakat
untuk menerima dan mentaati putusannya nanti, juga tidak boleh menyangkut
pelaksanaan pidana, seperti had (ketentuan hukum yang sudah positif bentuk
hukumnya) dan ta ‘zir (kententuan hukum yang bentuk hukumnya melihat
kemaslahatan masyarakat).Bila tidak ada Imam, maka penyerahan wewenang untuk
pelaksanaan peradilan dapat dilakukan oleh ahlu al-hally wa al-aqdi (lembaga
yang mempunyai otoritas menentukan hukuman), yakni para sesepuh dan ninik mamak
dengan kesepakatan.
Tauliyah dari Imamah pada dasarnya
peradilan yang didasarkan atas pelimpahan wewenang atau delegation of authority
dari kepala negara atau orang-orang yang ditugaskan olehnya kepada seseorang
yang memenuhi persyaratan tertentu. Dengan mengikuti ketiga proses pembentukan
peradilan tersebut di atas, dapatlah diduga bahwa perkembangan qadla al- syar’i
(peradilan agama) di Indonesia dimulai dari periode TAHKlM,- yakni pada
permulaan Islam menginjakkan kakinya di bumi Indonesia dan dalam suasana
masyarakat sekeliling belum mengenal ajaran Islam, tentulah orang-orang Islam
yang bersengketa akan bertahkim kepada ulama yang ada. Kemudian setelah
terbentuk kelompok masyarakat Islam yang mampu mengatur tata kehidupannya
sendiri menurut ajaran baru tersebut atau di suatu wilayah yang pemah
diperintah raja-raja Islam, tetapi kerajaan itu punah karena penjajahan, maka
peradilan Islam masuk ke dalam periode tauliyah (otoritas hukum) oleh ahlu
al-hally wa al- aqdi. Keadaan demikian ini jelas terlihat di daerah-daerah yang
dahulu disebut daerah peradilan adat, yakni het inheemscherechtdpraak in
rechtsstreeks bestuurd gebied atau disebut pula adatrechtspraak.
Tingkat terakhir dari perkembangan peradilan agama adalah periode tauliyah dari
imamah (otoritas hukum yang diberikan oleh penguasa), yakni setelah terbentuk
kerajaan Islam,maka otomatis para hakim diangkat oleh para raja sebagai wali
al-amri (Daniel S. Lev: 1-2).
Pengadilan Agama di masa raja-raja
Islam diselenggarakan oleh para penghulu, yaitu pejabat administrasi kemasjidan
setempat. Sidang – sidang pengadilan agama pada masa itu biasanya berlangsung
di serambi masjid, sehingga pengadilan agama sering pula disebut “Pengadilan
Serambi”. Keadaan ini dapat dijumpai di semua wilayah swapraja Islam di seluruh
Nusantara, yang kebanyakan menempatkan jabatan keagamaan, penghulu dan atau
hakim, sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum.Kelembagaan
Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai muatan atau isi pokok pegangan
dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak dapat dipisahkan.
Dalam sejarah perkembangannya,[3] kelembagaan peradilan agama mengalami pasang surut. Pada masa
kekuasaan kerajaan Islam lembaga peradilan agama termasuk bagian yang tak
terpisahkan dengan pemerintahan umum, sebagai penghulu kraton yang mengurus
keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan. Pada masa pemerintahan VOC,
kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan dengan membentuk peradilan
tersendiri dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda, namun kelembagaan ini
tidak dapat betjalan karena tidak menerapkan hukum Islam. Usaha-usaha untuk
menghapuskan peradilan agama yang identik dengan hukum Islam, sudah dimulai
sejak VOC mulai menginjakkan kaki di bumi Nusantara ini. Usaha tersebut dengan
cara mengurangi kewenangan peradilan agama sedikit demi sedikit. Pada tahun
1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan
“landraad” (pengadilan negeri). Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk
memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk “excecutoire
verklaring” (pelaksanaan putusan). Pengadilan Agama tidak berwenang untuk
menyita barang dan uang (Daud Ali : 223). Dan tidak adanya kewenangan yang
seperti ini terns berlangsung sampai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 ten tang Perkawinan.
Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk
Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24, Staatsblad 1882 – 152 telah mengubah
susunan dan status peradilan agama. Wewenang pengadilan agam.a yang disebut
dengan “preisterraacf’ tetap daIam bidang perkawinan dan kewarisan, serta
pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan pengadilan agama yang telah ada
sebelumnya (Achmad Rustandi: 2), dan hukum Islam sebagai pegangannya.
Berlakunya Staatsblad 1937 Nomor 116
telah mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan Madura daIam bidang
perselisihan harta benda, yang berarti masaIah wakaf dan waris harus diserahkan
kepada pengadilan negeri. Mereka (Pemerintah Kolonial Belanda) berdalih, bahwa
dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya
pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura serta di
tempat-tempat lain di seluruh Indonesia (Daniel S Lev: 35-36). Pada tanggal 3
Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah Nomor lJSD dibentuk Kementrian Agama,
kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal 25 Maret 1946 Nomor 5/SD semua
urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari Kementrian Kehakiman ke
dalam Kementrian Agama. Langkah ini memungkinkan konsolidasi bagi seluruh
administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah wadahlbadan yang bersifat
nasional.
Berlakunya Undang-undang Nomor 22
Tahun 1946 menunjukkan dengan jelas maksud- maksud untuk mempersatukan
administrasi Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh wilayah Indonesia di bawah
pengawasan Kementrian Agama (Achmad Rustandi: 3). Usaha untukmenghapuskan pengadilan
agama masih terus berlangsung sampai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 19
Tahun 1948 dan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan
Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara
Pengadilan-pengadilan Sipil, antara lain mengandung ketentuan pokok bahwa
peradilan agama merupakan bagian tersendiri dati peradilan swapraja dan
peradilan adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan
pemerintah. Proses keluarnya peraturan pemerintah inilah yang mengalami banyak
hambatan, sehingga dapat keluar setelah berjalan tujuh tahun dengan keluarnya
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 (Muchtar Zarkasyi : 33 – 37).
Dengan keluarnya Undang -undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka
kedudukan Peradilan Agama mulai nampakjelas dalam sistem peradilan di
Indonesia. Undang-undang ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut :
Pertama, Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha
Esa”; Kedua, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Us aha
Negara; Ketiga, Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi. Keempat,
Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif,
dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan. Kelima,
susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur
dalam undang-undang tersendiri. Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan
yang kokoh bagi kemandirian peradilan agama, dan memberikan status yang sarna
dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia.
Lahirnya Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di
dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran
Islam. Pasa1 2 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan
ajaran Islam (Hukum Islam). Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan
peradilan agama di Indonesia dengan keluarnya Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan
peradilan agama yang mandiri, sederajat dan memantapkan serta mensejajarkan
kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya.
Dalam sejarah perkembangannya,
personil peradilan agama sejak dulu selalu dipegang oleh para
ulama yang disegani yang menjadi panutan masyarakat sekelilingnya. Hal itu
sudah dapat dilihat sejak dari proses pertumbuhan peradilan agama sebagai-mana
disebut di atas. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam, penghulu keraton sebagai
pemimpin keagamaan Islam di lingkungan keraton yang membantu tugas raja di
bidang keagamaan yang bersumber dari ajaran Islam, berasal dari ulama seperti
KaBjeng Penghulu Tafsir Anom IV pada Kesunanan Surakarta. Ia pemah mendapat
tugas untuk membuka Madrasah Mambaul Ulum pada tahun 1905. Demikian pula para
personil yang telah banyak berkecimpung dalam penyelenggaraan peradilan agama
adalah ulama-ulama yang disegani, seperti: KH. Abdullah Sirad Penghulu
Pakualaman, KH. Abu Amar Penghulu Purbalingga, K.H. Moh. Saubari Penghulu
Tegal, K.H. Mahfudl Penghulu Kutoarjo, KH. Ichsan Penghulu Temanggung, KH. Moh.
Isa Penghulu Serang, KH.Musta’in Penghulu Tuban, dan KH. Moh. Adnan Ketua
Mahkamah Islam Tinggi tiga zaman (Belanda, Jepang dan RI) (Daniel S. Lev: 5-7).
Namun sejak tahun 1970-an, perekrutan tenaga personil di lingkungan peradilan
agama khususnya untuk tenaga hakim dan kepaniteraan mulai diambil dati alumni
lAIN dan perguruan tinggi agama. Dari uraian singkat tentang sejarah
perkembangan peradilan agama tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa peradilan
agama bercita-cita untuk dapat memberikan pengayoman dan pelayanan hukum kepada
masyarakat.
Pada masa penjajahan Belanda hingga
menjelang akhir tahun 1989, Pengadilan Agama di Indonesia eksis tanpa
Undang-Undang tersendiri dan terkesan hanya sebagai lembaga hukum pelengkap
yang bertugas menceraikan dan merujukkan saja. Setiap kasus waris yang timbul
di masyarakat, hanya diberikan “fatwa waris” bukan penetapan apalagi putusan
dari Pengadilan Agama berwenang.
Pada tanggal 29 Desember 1989,
disahkan dan diundangkan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-undang tersebut merupakan rangkaian dari undang-undang yang mengatur
kedudukan dan kekuasaan Peradilan di negara RI. Selain itu, UU tersebut
melengkapi UU Mahkamag Agung No. 14 Tahun 1985, UU Peradilan Umum No. 2
Tahun 1986 dan UU Peradilan Tata Usaha Negara No. 5 Tahun 1986. Memang
agak terlambat lahirnya UU No. 7 tersebut dibandingkan dengan landasan lain
bagi Peradilan Umum, PTUN dan lainnya. Namun demikian, dengan lahirnya UU
No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kedudukan dan kekuasaan Pengadilan
Agama setara dengan Lembaga Pengadilan lainnya.
Yang patut disayangkan, UU No. 7
tersebut mengandung beberapa kelemahan. Diantaranya, terdapat hak opsi dalam
penyelesaian perkara waris bagi orang-orang yang beragama Islam di Pengadilan
Agama atau di Pengadilan Negeri; Pengadilan Agama tidak berwenang menangani
sengketa hak milik dsb. Dengan adanya desakan dari praktisi hukum maupun
masyarakat yang beragama Islam, maka lahirlah UU No. 3 Tahun 2006 yang
merevisi dan melengkapi UU No. 7 tentang Peradilan Agama di Indonesia.
- Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Agama
Dalam era reformasi hingga saat ini,
telah terjadi tiga kali perubahan terhadap Pasal-pasal dalam UUD 45. Salah satu
perubahannya terdapat pada Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang
berada di bawahnya, dalam lingkungan Peradilan Umum, Agama, Militer, Tata Usaha
Negara dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal ini sangat jelas mengamanatkan
untuk menyatukan semua lembaga peradilan di bawah satu atap di Mahkamah Agung.
Perubahan UUD 45 mengharuskan adanya perombakan dan perubahan terhadap
Kekuasaan Kehakiman untuk disesuaikan dengan UUD 45. Perubahan tersebut dimulai
dengan diubahnya UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman 3 dengan UU No. 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun
1970 yang kemudian diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Pasal 13 ayat (1) UU No. 4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa organisasi, administrasi
dan finansial badan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan
kekhususan peradilan di lingkungan masing-masing. Pasal 14 ayat (1) UU No. 4
tersebut dikatakan, susunan, kekuasaan dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur
dengan UU tersendiri. Sesuai dengan amanat Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 tersebut,
dibentuklah UU No. 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum dan UU No. 9 Tahun 2004
Tentang Peradilan TUN dan UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU
No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama serta UU Peradilan Militer yang
masih dalam pembahasan di DPR.
- Perluasan Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama
Pengadilan Agama merupakan salah
satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam
sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang PA
“Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang
diatur dalam undang-4undang ini ”. Dengan demikian keberadaan Pengadilan Agama
dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam.[4]
Setelah UU No. 7 tahun 1989
diperbaharui dengan UU No.3 tahun 2006, maka rumusan tersebut juga ikut
berubah, hal ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan
wewenang pengadilan agama bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka
rumusan yang terdapat dalam pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 adalah “ Pengadilan
Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini ”.
Dalam definisi pengadilan agama
tersebut kata “Perdata” dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk:
- Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya.
- Untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan Qonun
Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989
disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara – perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dalam bidang :
- Perkawinan
- Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan
- Wakaf dan shadaqoh [5]
Masyarakat Indonesia yang mayoritas
beragama Islam menjadi salah satu faktor pendorong berkembangnya hukum
Islam di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan muamalah. Lembaga-lembaga
ekonomi syari’ah tumbuh berkembang mulai dari lembaga perbankan syari’ah,
asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah, dan pegadaian syari’ah. Perkembanagan
ini tentunya juga berdampak pada perkembangan sengketa atau konflik dalam
pelaksanaannya. Selama ini apabila terjadi konflik dalam bidang ekonomi
syari’ah harus melalui peradilan umum. Menyadari hal ini, maka dalam
Undang-Undang No. 3 tahun 2006 atas perubahan UU No. 7 tahun 1989 maka ruang
lingkup Peradilan Agama diperluas ruang lingkup tugas dan wewenang
Pengadilan Agama yaitu :
(1)
Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang :
- Perkawinan
- Kewarisan
- Wasiat
- Hibah
- Wakaf
- Zakat
- Shadaqah
- Infaq, dan
- Ekonomi syari’ah
(2)
Diberikan tugas dan wewenag penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan
lainnya. Dalam pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa dalam hal terjadi
sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain daalam perkara-perkara
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49, maka khusus mengenai objek yang
menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum. Demi terbentuknya pengadilan yang cepat dan efesien
maka pasal 50 UU No.7 tahun 1989 diubah menjadi dua ayat yaitu : Ayat (1) Dalam
hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lainnya dalam perkara sebagaimana
dimaksud dalam pasal 49, khususnya mengenai obyek sengketa tersebut harus
diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, ayat (2)
Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa
tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana
dimaksud dalam pasal 49.
Tujuan diberinya wewenang tersebut
kepada Pengadilan Agama adalah untuk menghindari upaya memperlambat atau
mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa hak milik
atau keperdataan lainnya tersebut yang sering dibuat oleh pihak yang merasa
dirugikan dengan adanya gugatan di Peradilan Agama.
(3) Diberi
tugas dan wewenang memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan
awal bulan pada tahun hijriyah. Selama ini Pengadilan Agama diminta oleh
Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap orang yang telah
melihat atau menyaksikan awal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadlan, awal
bulan Syawal dan tahun baru Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan
penetapan secara nasional untuk rukyat Hilal.
- Hukum Acara Peradilan Agama bersifat “Lex Specialis”
Dalam Pasal 54 UU No. 7 Tahun
1989 dinyatakan,”Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
Undang-undang ini”.
Berdasarkan bunyi pasal 54 tersebut
di atas, berlaku asas “Lex Specialis derogat Lex Generalis” yang berarti
disamping acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan Pengadilan
Agama berlaku Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, namun secara khusus berlaku Hukum Acara yang hanya dimiliki
oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
- Tahap-tahap pemeriksaan dalam persidangan
Tahap pemeriksaan dalam persidangan
pada tingkat pertama:
- Gugatan/Permohonan
- Jawaban/Rekonpensi
- Replik/jawaban Rekonpensi
- Duplik/Replik Rekonpensi
- Duplik Rekonpensi
- Pembuktian
- Kesimpulan
- Putusan
- Eksekusi (jika tidak ada upaya hukum banding dari yang dikalahkan).
Tahap pemeriksaan dalam persidangan
pada tingkat kedua (banding) adalah sebagai berikut:
- Memori Banding yang dibuat Pembanding/kuasanya
- Kontra Memori Banding yang dibuat Terbanding/kuasanya
- Eksekusi (jika tidak ada upaya hukum Kasasi dari yang dikalahkan)
Sedangkan tahap pemeriksaan dalam
persidangan pada tingkat kasasi adalah sebagai berikut:
- Memori Kasasi yang dibuat Pemohon Kasasi/kuasanya
- Kontra Memori Kasasi yang dibuat Termohon Kasasi/kuasanya.
- Eksekusi dan PK tidak menunda pelaksanaan eksekusi.
- Kekuasaan Peradilan Agama
Kekuasaan Peradilan menyangkut dua
hal, yaitu ”kekuasaan relatif” dan ”kekuasaan absolut. [6]
- Kekuasaan Relatif
Kekuasaan relatif diartikan sebagai
kekuasaan Pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan lainnya, misalnya
antara Pengadilan Agama Purworejo dengan Pengadilan Agama Kebumen. Sebagaimana
pasal 4 ayat (1) UU No. 7 Th. 1989 berbunyi : Pengadilan Agama berkedudukan di
Kotamadya atau ibukota kabupaten , dan daerah hukumnya meliputi wilayah
kotamadya atau kabupaten. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 4 ayat (1)
menyatakan pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di Kotamadya
atau ibu kota kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau
kabupaten, tapi tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian
- Kekuasaan Absolut.
Kekuasaan absolut artinya kekuasaan
Pengadilan berhubungan dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau
tingkatan Pengadilan.
Kekuasaan Absolut Peradilan Agama UU No. 3 Th. 2006 adalah sebagai berikut:
Kekuasaan Absolut Peradilan Agama UU No. 3 Th. 2006 adalah sebagai berikut:
- Perkawinan, jenis perkara di bidang ini meliputi
Izin beristri lebih dari satu orang, Izin perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat , Dispensasi kawin, Pencegahan perkawinan, dan lain-lain. - Waris
Yang dimaksud dengan”waris”adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuian siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris. - Wasiat
Yang dimaksud dengan ”wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada oranglainatau lembaga/ badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggl dunia. - Hibah
Yang dimaksud dengan ”hibah ” adalah pemberian suatu benda secara suka rela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki. - Wakaf
Yang dimaksud dengan ”wakaf” adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagian harta tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum menurut syari’ah - Zakat
Yang dimaksud dengan ”zakat” adalah harta yang wajib disisihkan oleh seseorang muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. - Infaq
Yang dimaksud dengan ”infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah SWT. - Shadaqah
Yang dimaksud dengan ”shadaqah” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/ badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridhoAllah SWT. dan pahala semata. - Ekonomi Syari’ah
Yang dimaksud dengan ”ekonomi
syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut
prinsip syari’ah antara lain meliputi:
a) Bank syari’ah:
b) Lembaga keuangan
mikro syari’ah;
c) Asuransi syari’ah;
d) Reansyuransi
syari’ah;
e) Reksa dana syari’ah;
f) Obligasi
syari’ah dansuratberharga berjangka menengah syari’ah;
g) Sekuritas syari’ah;
h) Pembiayaan syari’ah;
i) Penggadaian syari’ah;
j) Dana pensiun lembaga keuangan
syari’ah;
k) Bisnis syari’ah.
Tugas-tugas lain Peradilan Agama.
- Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat tentang hukum Islam kepada Instansi Pemerintah di daerah hukumnya apabila diminta , ”Memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan tahun hijriah” atas permintaan Dep. Agama;
- Memberikan keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat;
- Kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang;
- Asas dan sifat Hukum Acara Peradilan Agama.
- Asas dan Sifat Hukum Acara Peradilan Agama[7]
Hukum Acara Peradilan Agama pada
asasnya dilakukan dengan:
- Asas Personalitas Keislaman
Asas personalitas keislaman
merupakan kekuasaan mutlak pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara
tertentu dan khusus, yang melalui kekuasaan memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara tertentu, yaitu golongan orang yang beragama islam.
ketentuan tentang asas personalitas keislaman yaitu kewenangan mutlak
Pengadilan Agama dalam menangani, memutuskan perkara orang-orang islam, telah
tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 49 ayat (1) undang-undan No 7 th 1989 :
Pasal
(2)
Peradilan Agama merupakan salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal (49)
Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. Perkawinan;
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah,
yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c. Wakaf dan shadaqah.
Dengan demikian asas personalitas
keislaman merupakan kesatuan hubungan yang tidak terpisah dengan dasar hubungan
hukum, meskipun demikian untuk menentukan asas ini yang berakit menjadi
kewenangan mutlak dari pengadilan di lingkungan badan Peradilan Agama adalah
: agama yang dianut oleh kedua belah pihak saat terjadinya hubungan hukum
adalah agama islam hubungan ikatan hukum yang mereka lakukan berdasarkan hukum
islam.
- Asas kebebasan
Asas kebebasan adalah asas yang
dimiliki oleh setiap badan peradilan. Kebebasan yang dimaksud disini adalah
tidak boleh ada pihak lain yang ikut campur tangan dalam penangan suatu perkara
oleh pengadilan atau majelis hukum. Ikut campur tangn ini contohnya berupa
pemaksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yidisial,
ancaman, dan lain sebagainya. Asas ini dapat ditemui dalam pasal 4 ayat 3
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.
- Beracara dengan hadir sendiri
- Beracara dengan memajukan permohonan ;
- Pemeriksaan dalam sidang terbuka
- Beracara tidak dengan cuma-Cuma
Asas ini tertuang dalam keteua Pasal
4 Ayat(2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman.
Beracara cepat, sederhana, dan biaya ringan merupakan dambaan dari setiap orang
pencari keadilan, sehingga apabila peradilan agama kurang optimal dalam
mewujudkan asas ini maka orang akan enggan beracara di pengadilan agama.
- Hakim mendengar kedua belah pihak ;
- Pemeriksaan perkara secara lisan ;
- Terikatnya Hakim kepada alat pembuktian ;
- Keputusan Hakim memuat alasan-alasan.
Sifat Hukum Acara:
- Sederhana
- Murah (biaya ringan); dan
- Cepat
Peradilan cepat merupakan bagian
dari hak asasi manusia agar putusan segera dapat diaksanakan.
PEMBAHASAN LAPORAN SIDANG
- Identitas Perkara
Perkara :
Sidang permohonan penetapan ahli waris dari Alm. Heru Yuda Heryana, S.E.
Pemohon : Rini Anggraini binti Ahmad
Suganda
Status
: Istri
Umur
: 40 tahun
Domisili : Gede
Bage
Keterangan
lain :
- Ibu dari Geri Garnida, Geby Febrian, Gral Oktavian, Geisha Anwar.
- Keperluannya surat penetapan ahli waris: untuk mengambil akta tanah di BTN, pelunasan tagihan.
- Heru Yuda Heryana meninggal tanggal 23 Juli 2010
- Orang tua almarhum juga telah meninggal tahun 2007
- Berkas yang harus dilengkapi
- Buku Nikah (harus lengkap, difotokopi lalu dilegalisir, kemudian ditunjukkan yg asli)
- Fotokopi Akta kelahiran anak – anak pemohon yang telah dilegalisir (yang asli juga ditunjukkan)
- Surat Kematian Pak Heru
- Surat Nikah
- KTP Pemohon
- Masalah Dalam Persidangan
Masalah yang timbul dalam
persidangan adalah sebagai berikut:
- KTP Pemohon menunjukkan bahwa ia telah berstatus janda, padahal KTP tersebut dibuat tanggal 27 Mei 2010, dua bulan sebelum Heru Yuda Heryana meninggal (27 Juli 2010)
Pertanyaan hakim :
”Apakah pemohon dan Heru Yuda
Heryana telah bercerai sebelum tanggal 27 Juli 2010?”
- Pemohon menjawab tidak, saksi – saksi juga menjawab tidak dan mengatakan bahwa kemungkinan telah terjadi salah cetak di dalam KTP pemohon.
- Hakim lalu menerima keterangan saksi dan karena telah ada surat – surat sebagai alat bukti yang sah dan kuat menetapkan:
- mengabulkan permohonan;
- menetapkan Rini Anggraini, Geri Garnida, Gebi Febrian, Gral Oktavian, dan Geisha Anwar sebagai ahli waris dari Heru Yuda Heryana;
- membebankan biaya perkara kepada pemohon.
- Surat jadi dua minggu setelah sidang.
- Hal – hal yang Patut Dicatat selama Persidangan
Selama persidangan perkara perdata
permohonan ini dilaksanakan, ada beberapa hal yang patut dicatat, yakni sebagai
berikut:
- sidang dinyatakan terbuka untuk umum, tapi kenyataannya pintu ruangan sidang ditutup dan tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang kecuali yang telah memiliki izin;
- pemohon diharuskan membawa saksi dua orang ketika mendaftarkan perkara;
- saksi ditanyai tanpa disumpah terlebih dahulu;
- surat yang disertakan oleh pemohon tidak ditunjukkan yang asli, hanya fotokopian yang telah dilegalisir (kecuali KTP).
- Analisis Fakta Persidangan
- Analisis menurut perspektif hukum
Sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman sebagaimana disebut dalam pasal 10 Undang-Undang nomor 14 tahun 1970
tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengadilan Agama memikul tanggung jawab besar
menyelesaikan berbagai macam permasalahan rakyat yang beragama
Islam atau peristiwa hukum yang terjadi berdasarkan hukum Islam.
Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 yang diubah dengan Undang-Undang nomor 3
tahun 2006 tentang Peradilan Agama, menyebutkan
beberapa bidang perdata yang menjadi wewenang Pengadilan Agama.
Beberapa bidang wewenang itu selanjutnya disebut sebagai kompetensi
absolut Pengadilan Agama. Berdasarkan Undang-Undang Peradilan
Agama tersebut, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang: (a) perkawinan; (b) waris; (c) wasiat; (d)
hibah; (e) wakaf; (f) zakat; (g) infaq; (h) shadaqah; dan (i) ekonomi syariah.
Dalam praktiknya, berbagai bidang
wewenang itu akan dilaksanakan dalam dua bentuk/jenis
perkara, yaitu gugatan (kontentius) dan permohonan (voluntair). Perkara di
bidang-bidang itu, jika terjadi sengketa di dalamnya, atau ada dua pihak atau
lebih yang berselisih, maka diselesaikan dalam bentuk gugatan, yang
produk dari perkara ini adalah putusan. Adapun yang tergolong dalam kotergori
ini misalnya ;
- Gugat Cerai,
- Cerai Talak,
- Gugat Waris
- Gugat Harta Bersama (Gono-Gini)
- Izin Poligami
- Itsbat Nikah Mati
- Sengketa Perbankan Syariah dll.
Sementara jika permasalahan yang
diajukan ke Pengadilan Agama tidak terdapat sengketa di dalamnya, maka
permasalahan itu akan menjadi perkara permohonan, yang selanjutnya
menghasilkan produk berupa penetapan. Adapun yang tergolong dalam
kategori ini, misalnya ;
- Permohonan Penetapan Ahli Waris,
- Permohonan Itsbat Nikah,
- Permohonan Dispensasi Nikah,
- Permohonan Wali Adhal,
- Permohonan Pengangkatan Wali, dll.
Secara materiil, dalam menyelesaikan
berbagai-macam perkara tersebut, Pengadilan Agama dibekali beberapa landasan
Peraturan Perundangan. Adapun ketentuan perundangan tersebut seperti,
Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang nomor 41
tahun 2004 tentang Wakaf atau Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik, Undang-Undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, dll. Selain beberapa peraturan perundangan tersebut, Pengadilan Agama
secara khusus juga dibekali pedoman berupa Kompilasi Hukum Islam, yang
diberlakukan berdasarkan Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991.
Dalam praktiknya, hakim-hakim
Pengadilan Agama juga akan merujuk putusan dan penetapan mereka langsung
kepada landasan normatif al Quran dan al Sunnah, dan beberapa pendapat
fuqaha` dari berbagai mazhab. Dalam kalimat lain, dapat pula dikatakan
bahwa Pengadilan Agama dalam praktiknya, menerapkan perpaduan dua
sistem hukum, Civil Law dan Common Law.
Secara khusus, tentang Kompilasi
Hukum Islam sebagai pedoman penyelesaian perkara di Pengadilan Agama, dianggap
penting untuk ditegakkan sebagai landasan materiil yang berlaku bagi masyarakat
Islam di Indonesia. Hal ini selain Kompilasi Hukum Islam merupakan satu-satunya
pedoman penyelesaian permasalahan keluarga/perdata berdasarkan hukum Islam yang
komprehensif, juga karena rumusan yang ada di dalamnya dibangun dengan
mengakomodir pandangan para pakar hukum Islam nusantara, serta pendapat –
pendapat fuqaha yang tersebar dalam banyak kitab-kitab fikih berbagai mazhab.
Selain aturan-aturan materiil,
pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Pengadilan Agama juga diawasi oleh
rambu-rambu formil, bagaimana seharusnya beracara di Pengadilan Agama. Sejauh
ini, berdasarkan pasal 54 Undang-Undang nomor 7 tahun 1989, hukum acara yang
berlaku pada Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara
Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali
yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 1989.
Kendati demikian, sebagai lembaga yang mengusung asas personalitas keislaman,
Pengadilan Agama secara implisit, jelas harus pula membangun dasar-dasar
beracara yang disarikan dari konsep-konsep peradilan yang pernah dipraktikkan
baik oleh Muhammad saw sendiri sebagai Rasul, juga para Sahabat,
yang dapat diperoleh dari berbagai kajian dalam banyak sumber ilmiah tentang
peradilan Islam.
Menurut ketentuan pasal 17 UU no. 14
tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa sidang pemeriksaan perkara
perdata harus dilaksanakan dalam sidang terbuka untuk umum. Hal ini berarti
bahwa setiap orang boleh mendengarkan dan mengikuti jalannya persidangan,
dengan demikian persidangan terbuka untuk umum itu diharapkan:
- dapat menjamin adanya social control atas tugas – tugas yang dilaksanakan oleh hakim, sehingga dengan demikian hakim dapat mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair serta tidak memihak salah satu pihak.
- untuk memberikan edukasi dan prepensi kepada masyarakat tentang suatu peristiwa. Agar masyarakat bertingkah laku sebaik – baiknya.
- masyarakat dapat menilai mana yang baik dan mana yang buruk dan membentuk pikiran mereka untuk melakukan yang baik.
Untuk memenuhi prinsip tersebut,
sebelum hakim memulai memeriksa perkara yang diajukan kepadanya, terlebih
dahulu ia membuka sidang dan menyatakan persidangan itu terbuka untuk umum.
Dalam teorinya mengenai persidangan
permohonan ahli waris adalah sidang terbuka untuk umum tetapi pada kenyataannya
ruangan sidang permohonan ahli waris ini tertutup (pintu tertutup),
padahal hakim telah menyatakan bahwa sidang tersebut adalah sidang tertutup.
Apabila prinsip ini dilanggar maka
persidangan tersebut dianggap melanggar tata tertib pemeriksaan. Bila pintu
tertutup tapi sidang dinyatakan terbuka, itu merupakan kelalaian yang akan
mengurangi nila tata tertib yang melekat pada persidangan yang diberikan oleh
peraturan perundang – undangan yang berlaku, tetapi tidak akan menyebabkan
batalnya pemeriksaan.[8]
- Analisa menurut perspektif hukum Islam
Lembaga peradilan yang diperkenalkan
dalam Islam pada prinsipnya berperan dan berwenang hanya dalam kaitan menerima,
memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang terdapat sengketa di dalamnya,
atau permasalahan yang akan mempertemukan dua pihak yang saling berlawanan,
atau dikenal sebagai perkara yang tergolong klasifikasi kontentius saja.
Kesimpulan tersebut, tentu tidak bermaksud membatasi praktik Peradilan Agama
saat ini yang memang selain berwenang menyelesaikan perkara kontentius, juga
akan menangani perkara voluntair di bidang-bidang tertentu seputar hukum
keluarga (ahwal syahshiyah) sebagai kompetensi absolutnya, sebagaimana di atur
dalam Undang-Undang Peradilan Agama. Hanya saja, Peradilan Agama dituntut
mampu memberikan klarifikasi legitimatif tentang jatidirinya, atau jika perlu
merumuskan konsep baru yang memiliki relevansi utuh tentang maksud peradilan
yang sesungguhnya. Kenisbian status perkara permohonan sebagai wewenang badan
peradilan sesungguhnya telah pula mendapat respon dari beberapa kalangan. Salah
satunya, apa yang disinggung Mukti Arto dalam bukunya. Ia
mengatakan bahwa pada prinsipnya perkara permohonan tidak dapat diterima,
kecuali kepentingan Undang-Undang menghendaki demikian. Selain itu, Ia
juga menyebut bahwa keberadaan badan peradilan yang juga menyelesaikan
perkara permohonan, dapat dianggap sebagai proses peradilan yang bukan
sebenarnya.
Amanat kepada badan peradilan untuk
ikut pula menyelesaikan perkara voluntair memang diberikan Undang-Undang nomor
14 tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman sebagaimana tersebut dalam penjelasan
pasal 2 Undang-Undang tersebut. Namun sejauh ini, selain karena kepentingan Undang-Undang
yang menghendaki demikian, Penulis belum mendapati alasan-alasan lain
yang relevan mengapa dalam kenyataannya Pengadilan Agama juga menangani perkara
permohonan, dan yang juga perlu diperjelas, adalah bagaimana sikap Peradilan
Agama terhadap hal ini.
Banyak sesungguhnya dalil
syara’ yang digunakan Pengadilan Agama dalam memberikan penetapan atas
perkara-perkara permohonan. Dalil-dalil itu jika dicermati, hanya mengarah
kepada materiil perkara. Sementara tidak didapati adanya informasi tentang kompetensi
peradilan dalam kapasitasnya sebagai lembaga qadha`, terkait penyelesaian
perkara-perkara tersebut. Benar bahwa sebuah akad nikah akan ditetapkan
(dinyatakan) sah jika ternyata pelaksanaannya memenuhi rukun dan syarat. Dan
benar pula bahwa seorang ibu adalah ahli waris anak kandungnya yang telah
meninggal, ketika tidak ada halangan secara syara’. Tetapi benarkah wewenang
untuk penetapan itu dilakukan pula dalam acara sidang atas nama peradilan dan
lembaga qadha’?
Demikianlah, bahwa bentuk-bentuk permohonan
yang menghasilkan penetapan itu sejatinya bukan sesuatu yang asing dalam
tradisi hukum Islam. Hanya saja hal-hal demikian itu, tidak diatur dalam fikih
seraya melibatkannya dalam pembahasan qadha`. Hal ini dengan demikian merupakan
penegasan secara empirik, bahwa perkara permohonan tidaklah perlu diadili untuk
sekadar sampai pada sebuah kesimpulan hukum. Karenanya, segala masalah seputar
permohonan ini, tidak akan ditemukan dalam pembahasan qadha` yang berarti
lembaga untuk kegiatan “adil-mengadili. Akan tetapi, kesemuanya akan sangat
gamblang tergambarkan dalam pembahasan seputar fatwa atau ifta`, dan
bahasan-bahasan tentang ijtihad. Atau dalam kata lain, Nabi menyampaikan
informasi hukum dalam sebuah permohonan, tidak dalam kapasitasnya sebagai
qadhi/hakim, namun dalam kapasitasnya sebagai Rasul yang berkewajiban
menyampaikan risalah syariat semua aspek kehidupan umat manusia. Sepeninggal
Nabi, maka tidak dikenal lagi adanya sumber utama syariat yang dapat
memproduksi hukum sebagai landasan (ashl). Yang ada adalah
rangkaian-rangkaian ijtihad para sahabat dan para mujtahid setelahnya. Saat
mana mereka diminta menentukan status hukum sebuah permohonan, maka di saat itu
mereka sedang berperan sebagai mujtahid yang naungan lembaganya adalah lembaga
ifta` bukan qadha`.
Maka Pengadilan Agama yang
diamanatkan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan bidang-bidang
keperdataan umat Islam yang terangkum dalam kompetensi absolutnya, tentu tidak
boleh menolak jika ada pihak yang mengajukan perkara-perkara yang terkait
dengan bidang-bidang itu. Sementara perkara-perkara yang diajukan itu tidak
selamanya berupa kontentius, melainkan ada pula yang berupa voluntair.
Kenyataan yang sedemikian ini menjadikan Pengadilan Agama berfungsi dan
memiliki peran ganda, yaitu selain sebagai lembaga Qadha` (peradilan) perdata,
juga merupakan lembaga Ifta` (fatwa/Ijtihad di luar sengketa) perdata.
Terhadap dua fungsi yang berbeda secara substansi itu, tentu perlu pula
membedakan teknis pelaksanaannya. Khusus terhadap perkara permohonan, maka
proses sidang sebagai simbol kegiatan mengadili, agaknya tidaklah relevan jika
harus pula diikutkan di dalamnya. Ada baiknya, jika proses penetapan
permohonan itu, dilakukan di luar sidang atau tidak dalam kalimat atau kegiatan
mengadili.
Badan Peradilan Agama dapat membuat
divisi atau satuan kerja tersendiri yang khusus menangani perkara
permohonan, atau dalam kaitan menjalankan fungsi sekunder (taba’an) Pengadilan
Agama sebagai lembaga Ifta`. Keberadaan lembaga Ifta` sebagai fungsi
ekstra Pengadilan Agama dengan kekhususan proses dan mekanismenya,
sejatinya dapat dicarikan perlindungan secara yuridis formal. Jika dilihat
dalam Undang-Undang Peradilan Agama, penguasaan wewenang absolut di
bidang-bidang tertentu itu, tidak merinci keharusan mengadili semua perkaranya
dalam bentuk kontentius atau voluntair. Maka redaksi pasal 49 Undang-Undang
nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan Agama yaitu “Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam …” masih membuka ruang untuk
adanya perincian sebagai interpretasi yang sesuai dengan fungsi peradilan dalam
Islam. Dalam kaitan itu, maka tugas Pengadilan Agama jika perkara di
bidang-bidang tertentu itu bentuknya kontentius adalah memeriksa, memutus, dan
menyelesaikannya dalam sebuah acara sidang sebagai implementasi kegiatan
mengadili. Sementara jika perkara-perkara itu bentuknya permohonan, maka tugas
Pengadilan Agama adalah hanya memeriksa dan menyelesaikannya, dalam
hal ini memberikan penetapan, tanpa melalui proses persidangan, atau tidak
dalam tindakannya mengadili perkara sehingga menghasilkan putusan.
Perkara permohonan sebagaimana yang
dikemukakan di atas, dapat diperiksa dan diselesaikan dalam naungan satuan
kerja khusus di internal Pengadilan Agama dengan teknis yang komprehensif, dan
tetap menjunjung tinggi pelayanan prima yang akurat dan cermat. Selain atas
landasan itu, bahwa kewajiban Pengadilan Agama sejatinya adalah pemberian
layanan hukum dalam perkara-perkara di bidang-bidang kompetensinya. Pelayanan
hukum dimaksud tentu tidak menjadikan persidangan sebagai satu-satunya
cara untuk mencapainya. Sehingga pemeriksaan perkara permohonan tidak perlu
dipaksakan dilakukan pula dalam bentuk persidangan, karena konteksnya memang
tidak demikian. Kecuali jika dari penetapan itu ada pihak yang keberatan, maka
pihak yang keberatan itu dapat mengajukan gugatan untuk
membatalkan/mempermasalahkan penetapan yang telah dicapai tadi, melalui agenda
persidangan perkara kontentius.
KESIMPULAN
Mengenai penelitian permohonan
penetapan ahli waris di persidangan agama yang kami teliti, ada perbedaan
antara apa yang diuraikan dalam teori mengenai permohonan penetapan ahli waris
ini dengan apa yang terjadi dalam praktik acara persidangan permohonan ahli
waris.
Dalam teorinya mengenai persidangan
permohonan ahli waris adalah sidang terbuka untuk umum tetapi pada kenyataannya
ruangan sidang permohonan ahli waris ini tertutup (pintu tertutup),
padahal hakim telah menyatakan bahwa sidang tersebut adalah sidang tertutup.
Ini tidak menyebabkan batalnya pemeriksaan, tapi hanya melanggar tata tertib.
[1] Drs.
Taufiq Hamami, S.H., Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata
Hukum di Indonesia, Bandung, Alumni, 2003. hlm. 13
[2] Ibid,
hlm. 15
[3] Mr. R.
Tresna, Peradilan di Indonesia dari abad ke Abad, Jakarta, Versluys N.
V., 1957, hlm 92
[4] M. Yahya
Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta, Sinar
Grafika, 2003. Hlm. 147 – 149
[5] Ibid, hlm.
154 – 156
[6] Mohammad
Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2002, hlm. 331 – 350
[7] Abdul
Manan, Penerapan Hukum Acara di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta,
Kencana Prenada Media Group, 2006. hlm 195 – 208
[8] Ibid, hlm.
197 – 198
Tidak ada komentar:
Posting Komentar