Jumat, 22 Agustus 2014

Peradilan Agama




PENDAHULUAN

  1.  Sejarah dan Perkembangan Peradilan Agama
Perjalanan kehidupan sejarah peradilan agama mengalami pasang surut. Adakalanya wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan, bahkan seringkali mengalami berbagai rekayasa dari penguasa (kolonial Belanda) dan golongan masyarakat tertentu agar posisi peradilan agama melemah.[1]
Sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing. Kerajaan Islam Pasal yang berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke 13 M, merupakan kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam lainnya, misalnya: Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan Banten. Di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam, seperti: Tidore dan Makasar. Pada pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru, yaitu kerajaan Mataram memerintah Jawa Tengah, dan akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara, sangat besar perannya dalam penyebaran Islam di Nusantara[2] Dengan masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam, maka pada permulaan abad ke 17 M penyebaran agama Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia (Muchtar Zarkasyi : 21).
Agama Islam masuk Indonesia melalui jaIan perdagangan di kota – kota pesisir secara damai tanpa melaIui gejolak, sehingga norma-norma sosial Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia bersamaan dengan penyebaran dan penganutan agama Islam oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin diperlukan. Hal ini nampak jelas dari proses pembentukan lembaga peradilan yang berdasarkan hukum Islam tersebut yakni:
DaIam keadaan tertentu, terutama bila tidak ada hakim di suatu wilayah tertentu, maka dua orang yang bersengketa itu dapat bertahkim kepada seseorang yang dianggap memenuhi syarat. Tahkim (menundukkan diri kepada seseorang yang mempunyai otoritas menyelesaikan masaIah hukum) hanya dapat berlaku apabila kedua belah pihak terlebih dahulu sepakat untuk menerima dan mentaati putusannya nanti, juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan pidana, seperti had (ketentuan hukum yang sudah positif bentuk hukumnya) dan ta ‘zir (kententuan hukum yang bentuk hukumnya melihat kemaslahatan masyarakat).Bila tidak ada Imam, maka penyerahan wewenang untuk pelaksanaan peradilan dapat dilakukan oleh ahlu al-hally wa al-aqdi (lembaga yang mempunyai otoritas menentukan hukuman), yakni para sesepuh dan ninik mamak dengan kesepakatan.
Tauliyah dari Imamah pada dasarnya peradilan yang didasarkan atas pelimpahan wewenang atau delegation of authority dari kepala negara atau orang-orang yang ditugaskan olehnya kepada seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu. Dengan mengikuti ketiga proses pembentukan peradilan tersebut di atas, dapatlah diduga bahwa perkembangan qadla al- syar’i (peradilan agama) di Indonesia dimulai dari periode TAHKlM,- yakni pada permulaan Islam menginjakkan kakinya di bumi Indonesia dan dalam suasana masyarakat sekeliling belum mengenal ajaran Islam, tentulah orang-orang Islam yang bersengketa akan bertahkim kepada ulama yang ada. Kemudian setelah terbentuk kelompok masyarakat Islam yang mampu mengatur tata kehidupannya sendiri menurut ajaran baru tersebut atau di suatu wilayah yang pemah diperintah raja-raja Islam, tetapi kerajaan itu punah karena penjajahan, maka peradilan Islam masuk ke dalam periode tauliyah (otoritas hukum) oleh ahlu al-hally wa al- aqdi. Keadaan demikian ini jelas terlihat di daerah-daerah yang dahulu disebut daerah peradilan adat, yakni het inheemscherechtdpraak in rechtsstreeks bestuurd gebied atau disebut pula adatrechtspraak. Tingkat terakhir dari perkembangan peradilan agama adalah periode tauliyah dari imamah (otoritas hukum yang diberikan oleh penguasa), yakni setelah terbentuk kerajaan Islam,maka otomatis para hakim diangkat oleh para raja sebagai wali al-amri (Daniel S. Lev: 1-2).
Pengadilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu, yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang – sidang pengadilan agama pada masa itu biasanya berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan agama sering pula disebut “Pengadilan Serambi”. Keadaan ini dapat dijumpai di semua wilayah swapraja Islam di seluruh Nusantara, yang kebanyakan menempatkan jabatan keagamaan, penghulu dan atau hakim, sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum.Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai muatan atau isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak dapat dipisahkan.
Dalam sejarah perkembangannya,[3] kelembagaan peradilan agama mengalami pasang surut. Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga peradilan agama termasuk bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum, sebagai penghulu kraton yang mengurus keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan. Pada masa pemerintahan VOC, kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan dengan membentuk peradilan tersendiri dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda, namun kelembagaan ini tidak dapat betjalan karena tidak menerapkan hukum Islam. Usaha-usaha untuk menghapuskan peradilan agama yang identik dengan hukum Islam, sudah dimulai sejak VOC mulai menginjakkan kaki di bumi Nusantara ini. Usaha tersebut dengan cara mengurangi kewenangan peradilan agama sedikit demi sedikit. Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan “landraad” (pengadilan negeri). Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk “excecutoire verklaring” (pelaksanaan putusan). Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang (Daud Ali : 223). Dan tidak adanya kewenangan yang seperti ini terns berlangsung sampai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ten tang Perkawinan.
Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24, Staatsblad 1882 – 152 telah mengubah susunan dan status peradilan agama. Wewenang pengadilan agam.a yang disebut dengan “preisterraacf’ tetap daIam bidang perkawinan dan kewarisan, serta pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan pengadilan agama yang telah ada sebelumnya (Achmad Rustandi: 2), dan hukum Islam sebagai pegangannya.
Berlakunya Staatsblad 1937 Nomor 116 telah mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan Madura daIam bidang perselisihan harta benda, yang berarti masaIah wakaf dan waris harus diserahkan kepada pengadilan negeri. Mereka (Pemerintah Kolonial Belanda) berdalih, bahwa dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura serta di tempat-tempat lain di seluruh Indonesia (Daniel S Lev: 35-36). Pada tanggal 3 Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah Nomor lJSD dibentuk Kementrian Agama, kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal 25 Maret 1946 Nomor 5/SD semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari Kementrian Kehakiman ke dalam Kementrian Agama. Langkah ini memungkinkan konsolidasi bagi seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah wadahlbadan yang bersifat nasional.
Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 menunjukkan dengan jelas maksud- maksud untuk mempersatukan administrasi Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh wilayah Indonesia di bawah pengawasan Kementrian Agama (Achmad Rustandi: 3). Usaha untukmenghapuskan pengadilan agama masih terus berlangsung sampai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 dan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, antara lain mengandung ketentuan pokok bahwa peradilan agama merupakan bagian tersendiri dati peradilan swapraja dan peradilan adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan pemerintah. Proses keluarnya peraturan pemerintah inilah yang mengalami banyak hambatan, sehingga dapat keluar setelah berjalan tujuh tahun dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 (Muchtar Zarkasyi : 33 – 37).
Dengan keluarnya Undang -undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan Agama mulai nampakjelas dalam sistem peradilan di Indonesia. Undang-undang ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut : Pertama, Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”; Kedua, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Us aha Negara; Ketiga, Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi. Keempat, Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan. Kelima, susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri. Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian peradilan agama, dan memberikan status yang sarna dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia.
Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa1 2 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam). Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan peradilan agama di Indonesia dengan keluarnya Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat dan memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya.
Dalam sejarah perkembangannya, personil peradilan agama sejak dulu selalu dipegang oleh para ulama yang disegani yang menjadi panutan masyarakat sekelilingnya. Hal itu sudah dapat dilihat sejak dari proses pertumbuhan peradilan agama sebagai-mana disebut di atas. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam, penghulu keraton sebagai pemimpin keagamaan Islam di lingkungan keraton yang membantu tugas raja di bidang keagamaan yang bersumber dari ajaran Islam, berasal dari ulama seperti KaBjeng Penghulu Tafsir Anom IV pada Kesunanan Surakarta. Ia pemah mendapat tugas untuk membuka Madrasah Mambaul Ulum pada tahun 1905. Demikian pula para personil yang telah banyak berkecimpung dalam penyelenggaraan peradilan agama adalah ulama-ulama yang disegani, seperti: KH. Abdullah Sirad Penghulu Pakualaman, KH. Abu Amar Penghulu Purbalingga, K.H. Moh. Saubari Penghulu Tegal, K.H. Mahfudl Penghulu Kutoarjo, KH. Ichsan Penghulu Temanggung, KH. Moh. Isa Penghulu Serang, KH.Musta’in Penghulu Tuban, dan KH. Moh. Adnan Ketua Mahkamah Islam Tinggi tiga zaman (Belanda, Jepang dan RI) (Daniel S. Lev: 5-7). Namun sejak tahun 1970-an, perekrutan tenaga personil di lingkungan peradilan agama khususnya untuk tenaga hakim dan kepaniteraan mulai diambil dati alumni lAIN dan perguruan tinggi agama. Dari uraian singkat tentang sejarah perkembangan peradilan agama tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa peradilan agama bercita-cita untuk dapat memberikan pengayoman dan pelayanan hukum kepada masyarakat.
Pada masa penjajahan Belanda hingga menjelang akhir tahun 1989, Pengadilan Agama di Indonesia eksis tanpa Undang-Undang tersendiri dan terkesan hanya sebagai lembaga hukum pelengkap yang bertugas menceraikan dan merujukkan saja. Setiap kasus waris yang timbul di masyarakat, hanya diberikan “fatwa waris” bukan penetapan apalagi putusan dari Pengadilan Agama  berwenang.
Pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut merupakan rangkaian dari undang-undang yang mengatur kedudukan dan kekuasaan Peradilan di negara RI. Selain itu, UU tersebut melengkapi UU Mahkamag Agung No. 14 Tahun  1985, UU Peradilan Umum No. 2 Tahun 1986 dan UU Peradilan Tata Usaha Negara No. 5 Tahun 1986.  Memang agak terlambat lahirnya UU No. 7 tersebut dibandingkan dengan landasan lain bagi Peradilan Umum, PTUN dan  lainnya. Namun demikian, dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kedudukan dan kekuasaan Pengadilan Agama setara dengan Lembaga Pengadilan lainnya.
Yang patut disayangkan, UU No. 7 tersebut mengandung beberapa kelemahan. Diantaranya, terdapat hak opsi dalam penyelesaian perkara waris bagi orang-orang yang beragama Islam di Pengadilan Agama atau di Pengadilan Negeri; Pengadilan Agama tidak berwenang menangani sengketa hak milik dsb. Dengan  adanya desakan dari praktisi hukum maupun masyarakat yang  beragama Islam, maka lahirlah UU No. 3 Tahun 2006 yang merevisi dan melengkapi UU No. 7 tentang Peradilan Agama di Indonesia.
  1. Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Agama
Dalam era reformasi hingga saat ini, telah terjadi tiga kali perubahan terhadap Pasal-pasal dalam UUD 45. Salah satu perubahannya terdapat pada Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan  Badan Peradilan yang berada di bawahnya, dalam lingkungan Peradilan Umum, Agama, Militer, Tata Usaha Negara dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal ini sangat jelas mengamanatkan untuk menyatukan semua lembaga peradilan di bawah satu atap di Mahkamah Agung. Perubahan UUD 45 mengharuskan adanya perombakan dan perubahan terhadap Kekuasaan Kehakiman untuk disesuaikan dengan UUD 45. Perubahan tersebut dimulai dengan diubahnya UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman 3 dengan UU No. 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 yang kemudian diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 13 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa organisasi, administrasi  dan finansial badan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan peradilan di lingkungan masing-masing. Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 tersebut dikatakan, susunan, kekuasaan dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dengan UU tersendiri. Sesuai dengan amanat Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 tersebut, dibentuklah UU No. 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum dan UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan TUN dan UU No. 3 Tahun 2006  Tentang Perubahan atas UU No. 7  Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama serta UU Peradilan Militer yang masih dalam pembahasan di DPR.
  1. Perluasan Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama
Pengadilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 UU No. 7  tahun 1989 tentang PA “Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-4undang ini ”. Dengan demikian keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam.[4]
Setelah UU No. 7 tahun 1989 diperbaharui dengan UU  No.3 tahun 2006, maka rumusan tersebut juga ikut berubah, hal  ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang pengadilan agama bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat dalam pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 adalah “ Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku  kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai  perkara tertentu   sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini ”.
Dalam definisi pengadilan agama tersebut kata “Perdata” dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk:
  1. Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya.
  2. Untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan Qonun
Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara – perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang :
  1. Perkawinan
  2. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan
  3. Wakaf dan shadaqoh [5]
Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam  menjadi salah satu faktor pendorong berkembangnya hukum Islam di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan muamalah. Lembaga-lembaga ekonomi syari’ah tumbuh berkembang mulai dari lembaga perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah, dan pegadaian syari’ah. Perkembanagan ini tentunya juga berdampak pada perkembangan sengketa  atau konflik dalam pelaksanaannya. Selama ini apabila terjadi konflik  dalam bidang ekonomi syari’ah harus melalui peradilan umum. Menyadari hal ini, maka dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006 atas perubahan UU No. 7 tahun 1989 maka ruang lingkup Peradilan Agama diperluas ruang  lingkup tugas dan wewenang Pengadilan Agama yaitu :
(1)     Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
  1. Perkawinan
  2. Kewarisan
  3. Wasiat
  4. Hibah
  5. Wakaf
  6. Zakat
  7. Shadaqah
  8. Infaq, dan
  9. Ekonomi syari’ah
(2)     Diberikan tugas dan wewenag penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya. Dalam pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain daalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Demi terbentuknya pengadilan yang cepat dan efesien maka pasal 50 UU No.7 tahun 1989 diubah menjadi dua ayat yaitu : Ayat (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lainnya dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khususnya mengenai obyek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, ayat (2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud dalam ayat  (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49.
Tujuan diberinya wewenang tersebut kepada Pengadilan Agama adalah untuk menghindari upaya memperlambat atau  mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa hak milik atau keperdataan lainnya tersebut yang sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan di Peradilan Agama.
(3)     Diberi tugas dan wewenang memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriyah. Selama ini Pengadilan Agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap orang yang telah melihat atau menyaksikan awal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadlan, awal bulan Syawal dan tahun baru Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk rukyat Hilal.
  1. Hukum Acara Peradilan Agama bersifat “Lex  Specialis”
Dalam Pasal 54  UU No. 7 Tahun 1989 dinyatakan,”Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”.
Berdasarkan bunyi pasal 54 tersebut di atas, berlaku asas “Lex Specialis derogat Lex Generalis” yang berarti disamping acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan  Pengadilan Agama berlaku  Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, namun secara khusus berlaku Hukum Acara yang hanya dimiliki oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
  1. Tahap-tahap pemeriksaan dalam persidangan
Tahap pemeriksaan dalam persidangan pada tingkat pertama:
  1. Gugatan/Permohonan
  2. Jawaban/Rekonpensi
  3. Replik/jawaban Rekonpensi
  4. Duplik/Replik Rekonpensi
  5. Duplik Rekonpensi
  6. Pembuktian
  7. Kesimpulan
  8. Putusan
  9. Eksekusi (jika tidak ada upaya hukum banding dari yang dikalahkan).
Tahap pemeriksaan dalam persidangan pada tingkat kedua (banding) adalah sebagai berikut:
  1. Memori Banding yang dibuat Pembanding/kuasanya
  2. Kontra Memori Banding yang dibuat Terbanding/kuasanya
  3. Eksekusi (jika tidak ada upaya hukum Kasasi dari yang dikalahkan)
Sedangkan tahap pemeriksaan dalam persidangan pada tingkat kasasi adalah sebagai berikut:
  1. Memori Kasasi yang dibuat Pemohon Kasasi/kuasanya
  2. Kontra Memori Kasasi yang dibuat Termohon Kasasi/kuasanya.
  3. Eksekusi dan PK tidak menunda pelaksanaan eksekusi.
  4. Kekuasaan Peradilan Agama
Kekuasaan Peradilan menyangkut dua hal, yaitu ”kekuasaan relatif” dan ”kekuasaan absolut. [6]
  1. Kekuasaan Relatif
Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan Pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan lainnya, misalnya antara Pengadilan Agama Purworejo dengan Pengadilan Agama Kebumen. Sebagaimana pasal 4 ayat (1) UU No. 7 Th. 1989 berbunyi : Pengadilan Agama berkedudukan di Kotamadya atau ibukota kabupaten , dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 4 ayat (1) menyatakan pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di Kotamadya atau ibu kota kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, tapi tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian
  1. Kekuasaan Absolut.
Kekuasaan absolut artinya kekuasaan Pengadilan berhubungan dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan Pengadilan.
Kekuasaan Absolut Peradilan Agama UU No. 3 Th. 2006 adalah sebagai berikut:
  1. Perkawinan, jenis perkara di bidang ini meliputi
    Izin beristri lebih dari satu orang, Izin perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat , Dispensasi kawin, Pencegahan perkawinan, dan lain-lain.
  2. Waris
    Yang dimaksud dengan”waris”adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuian siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
  3. Wasiat
    Yang dimaksud dengan ”wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada oranglainatau lembaga/ badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggl dunia.
  4. Hibah
    Yang dimaksud dengan ”hibah ” adalah pemberian suatu benda secara suka rela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
  5. Wakaf
    Yang dimaksud dengan ”wakaf” adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagian harta tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum menurut syari’ah
  6. Zakat
    Yang dimaksud dengan ”zakat” adalah harta yang wajib disisihkan oleh seseorang muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
  7. Infaq
    Yang dimaksud dengan ”infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah SWT.
  8. Shadaqah
    Yang dimaksud dengan ”shadaqah” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/ badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridhoAllah SWT. dan pahala semata.
  9. Ekonomi Syari’ah
Yang dimaksud dengan ”ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah antara lain meliputi:
a)   Bank syari’ah:
b)   Lembaga keuangan mikro syari’ah;
c)   Asuransi syari’ah;
d)   Reansyuransi syari’ah;
e)   Reksa dana syari’ah;
f)     Obligasi syari’ah dansuratberharga berjangka menengah syari’ah;
g)   Sekuritas syari’ah;
h)  Pembiayaan syari’ah;
i) Penggadaian syari’ah;
j) Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah;
k)   Bisnis syari’ah.
Tugas-tugas lain Peradilan Agama.
  1. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat tentang hukum Islam kepada Instansi Pemerintah di daerah hukumnya apabila diminta , ”Memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan tahun hijriah” atas permintaan Dep. Agama;
  2. Memberikan keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat;
  3. Kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang;
  4. Asas dan sifat Hukum Acara Peradilan Agama.
  5. Asas dan Sifat Hukum Acara Peradilan Agama[7]
Hukum Acara Peradilan Agama pada asasnya dilakukan dengan:
  1. Asas Personalitas Keislaman
Asas personalitas keislaman merupakan kekuasaan mutlak pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara tertentu dan khusus, yang melalui kekuasaan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tertentu, yaitu golongan orang yang beragama islam. ketentuan tentang asas personalitas keislaman yaitu kewenangan mutlak Pengadilan Agama dalam menangani, memutuskan perkara orang-orang islam, telah tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 49 ayat (1) undang-undan No 7 th 1989 :
Pasal (2)
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal (49)
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. Perkawinan;
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c. Wakaf dan shadaqah.
Dengan demikian asas personalitas keislaman merupakan kesatuan hubungan yang tidak terpisah dengan dasar hubungan hukum, meskipun demikian untuk menentukan asas ini yang berakit menjadi kewenangan mutlak dari pengadilan di lingkungan badan Peradilan Agama adalah : agama yang dianut oleh kedua belah pihak saat terjadinya hubungan hukum adalah agama islam hubungan ikatan hukum yang mereka lakukan berdasarkan hukum islam.
  1. Asas kebebasan
Asas kebebasan adalah asas yang dimiliki oleh setiap badan peradilan. Kebebasan yang dimaksud disini adalah tidak boleh ada pihak lain yang ikut campur tangan dalam penangan suatu perkara oleh pengadilan atau majelis hukum. Ikut campur tangn ini contohnya berupa pemaksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yidisial, ancaman, dan lain sebagainya. Asas ini dapat ditemui dalam pasal 4 ayat 3 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.
  1. Beracara dengan hadir sendiri
  2. Beracara dengan memajukan permohonan ;
  3. Pemeriksaan dalam sidang terbuka
  4. Beracara tidak dengan cuma-Cuma
Asas ini tertuang dalam keteua Pasal 4 Ayat(2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman. Beracara cepat, sederhana, dan biaya ringan merupakan dambaan dari setiap orang pencari keadilan, sehingga apabila peradilan agama kurang optimal dalam mewujudkan asas ini maka orang akan enggan beracara di pengadilan agama.
  1. Hakim mendengar kedua belah pihak ;
  2. Pemeriksaan perkara secara lisan ;
  3. Terikatnya Hakim kepada alat pembuktian ;
  4. Keputusan Hakim memuat alasan-alasan.
Sifat Hukum Acara:
  1. Sederhana
  2. Murah (biaya ringan); dan
    1. Cepat
Peradilan cepat merupakan bagian dari hak asasi manusia agar putusan segera dapat diaksanakan.

PEMBAHASAN LAPORAN SIDANG
  1. Identitas Perkara
Perkara     : Sidang permohonan penetapan ahli waris dari Alm. Heru Yuda Heryana, S.E.
Pemohon : Rini Anggraini binti Ahmad Suganda
Status        : Istri
Umur         : 40 tahun
Domisili    : Gede Bage
Keterangan lain       :
  1. Ibu dari Geri Garnida, Geby Febrian, Gral Oktavian, Geisha Anwar.
  2. Keperluannya surat penetapan ahli waris: untuk mengambil akta tanah di BTN, pelunasan tagihan.
  3. Heru Yuda Heryana meninggal tanggal 23 Juli 2010
  4. Orang tua almarhum juga telah meninggal tahun 2007
  5. Berkas yang harus dilengkapi
    1. Buku Nikah (harus lengkap, difotokopi lalu dilegalisir, kemudian ditunjukkan yg asli)
    2. Fotokopi Akta kelahiran anak – anak pemohon yang telah dilegalisir (yang asli juga ditunjukkan)
    3. Surat Kematian Pak Heru
    4. Surat Nikah
    5. KTP Pemohon
  6. Masalah Dalam Persidangan
Masalah yang timbul dalam persidangan adalah sebagai berikut:
  1. KTP Pemohon menunjukkan bahwa ia telah berstatus janda, padahal KTP tersebut dibuat tanggal 27 Mei 2010, dua bulan sebelum Heru Yuda Heryana meninggal (27 Juli 2010)
Pertanyaan hakim :
”Apakah pemohon dan Heru Yuda Heryana telah bercerai sebelum tanggal 27 Juli 2010?”
  1. Pemohon menjawab tidak, saksi – saksi juga menjawab tidak dan mengatakan bahwa kemungkinan telah terjadi salah cetak di dalam KTP pemohon.
  2. Hakim lalu menerima keterangan saksi dan karena telah ada surat – surat sebagai alat bukti yang sah dan kuat menetapkan:
  3. mengabulkan permohonan;
  4. menetapkan Rini Anggraini, Geri Garnida, Gebi Febrian, Gral Oktavian, dan Geisha Anwar sebagai ahli waris dari Heru Yuda Heryana;
    1. membebankan biaya perkara kepada pemohon.
  5. Surat jadi dua minggu setelah sidang.
  6. Hal – hal yang Patut Dicatat selama Persidangan
Selama persidangan perkara perdata permohonan ini dilaksanakan, ada beberapa hal yang patut dicatat, yakni sebagai berikut:
  1. sidang dinyatakan terbuka untuk umum, tapi kenyataannya pintu ruangan sidang ditutup dan tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang kecuali yang telah memiliki izin;
  2. pemohon diharuskan membawa saksi dua orang ketika mendaftarkan perkara;
  3. saksi ditanyai tanpa disumpah terlebih dahulu;
  4. surat yang disertakan oleh pemohon tidak ditunjukkan yang asli, hanya fotokopian yang telah dilegalisir (kecuali KTP).
  5. Analisis Fakta Persidangan
  6. Analisis menurut perspektif hukum
Sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana disebut dalam pasal 10 Undang-Undang nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengadilan Agama memikul tanggung jawab besar menyelesaikan berbagai macam permasalahan rakyat  yang beragama Islam  atau peristiwa hukum yang terjadi berdasarkan hukum Islam.  Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 yang diubah dengan  Undang-Undang nomor 3 tahun  2006 tentang  Peradilan Agama, menyebutkan  beberapa  bidang perdata  yang menjadi wewenang Pengadilan Agama. Beberapa bidang wewenang itu selanjutnya disebut sebagai kompetensi absolut  Pengadilan  Agama.  Berdasarkan Undang-Undang Peradilan Agama tersebut, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,  dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a) perkawinan; (b) waris; (c) wasiat; (d) hibah; (e) wakaf; (f) zakat; (g) infaq; (h) shadaqah; dan (i) ekonomi syariah.
Dalam praktiknya, berbagai bidang wewenang itu  akan  dilaksanakan dalam dua bentuk/jenis  perkara, yaitu gugatan (kontentius) dan permohonan (voluntair). Perkara di bidang-bidang itu, jika terjadi sengketa di dalamnya, atau ada dua pihak atau lebih yang berselisih, maka diselesaikan dalam bentuk gugatan, yang  produk dari perkara ini adalah putusan. Adapun yang tergolong dalam kotergori ini  misalnya  ;
  1. Gugat Cerai,
  2. Cerai Talak,
  3. Gugat Waris
  4. Gugat Harta Bersama (Gono-Gini)
  5. Izin Poligami
  6. Itsbat Nikah Mati
  7. Sengketa Perbankan Syariah dll.
Sementara jika permasalahan yang diajukan ke Pengadilan Agama tidak terdapat sengketa di dalamnya,  maka permasalahan itu akan menjadi perkara permohonan, yang selanjutnya menghasilkan  produk berupa  penetapan. Adapun yang tergolong dalam kategori ini, misalnya ;
  1. Permohonan Penetapan Ahli Waris,
  2. Permohonan Itsbat Nikah,
  3. Permohonan Dispensasi Nikah,
  4. Permohonan Wali Adhal,
  5. Permohonan Pengangkatan Wali, dll.
Secara materiil, dalam menyelesaikan berbagai-macam perkara tersebut, Pengadilan Agama dibekali beberapa landasan Peraturan Perundangan. Adapun ketentuan perundangan tersebut seperti, Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf atau Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Undang-Undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dll. Selain beberapa peraturan perundangan tersebut, Pengadilan Agama secara khusus juga dibekali pedoman berupa Kompilasi Hukum Islam, yang diberlakukan berdasarkan Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991.
Dalam praktiknya, hakim-hakim Pengadilan Agama juga akan merujuk putusan dan penetapan mereka  langsung kepada landasan normatif al Quran dan al Sunnah, dan beberapa pendapat  fuqaha`  dari berbagai mazhab. Dalam kalimat lain, dapat pula dikatakan bahwa Pengadilan Agama  dalam praktiknya,  menerapkan perpaduan dua sistem hukum, Civil Law dan Common Law.
Secara khusus, tentang Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman penyelesaian perkara di Pengadilan Agama, dianggap penting untuk ditegakkan sebagai landasan materiil yang berlaku bagi masyarakat Islam di Indonesia. Hal ini selain Kompilasi Hukum Islam merupakan satu-satunya pedoman penyelesaian permasalahan keluarga/perdata berdasarkan hukum Islam yang komprehensif, juga karena rumusan yang ada di dalamnya dibangun dengan mengakomodir pandangan para pakar hukum Islam nusantara, serta pendapat – pendapat fuqaha yang tersebar dalam banyak kitab-kitab fikih berbagai mazhab.
Selain aturan-aturan materiil, pelaksanaan kekuasaan kehakiman di  Pengadilan Agama juga diawasi oleh rambu-rambu formil, bagaimana seharusnya beracara di Pengadilan Agama. Sejauh ini, berdasarkan pasal 54 Undang-Undang nomor 7 tahun 1989, hukum acara yang berlaku pada Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 1989.  Kendati demikian, sebagai lembaga yang mengusung asas personalitas keislaman,  Pengadilan Agama secara implisit, jelas harus pula membangun dasar-dasar beracara yang disarikan dari konsep-konsep peradilan yang pernah dipraktikkan baik oleh Muhammad  saw sendiri  sebagai Rasul, juga para Sahabat, yang dapat diperoleh dari berbagai kajian dalam banyak sumber ilmiah tentang peradilan Islam.
Menurut ketentuan pasal 17 UU no. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa sidang pemeriksaan perkara perdata harus dilaksanakan dalam sidang terbuka untuk umum. Hal ini berarti bahwa setiap orang boleh mendengarkan dan mengikuti jalannya persidangan, dengan demikian persidangan terbuka untuk umum itu diharapkan:
  1. dapat menjamin adanya social control atas tugas – tugas yang dilaksanakan oleh hakim, sehingga dengan demikian hakim dapat mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair serta tidak memihak salah satu pihak.
  2. untuk memberikan edukasi dan prepensi kepada masyarakat tentang suatu peristiwa. Agar masyarakat bertingkah laku sebaik – baiknya.
  3. masyarakat dapat menilai mana yang baik dan mana yang buruk dan membentuk pikiran mereka untuk melakukan yang baik.
Untuk memenuhi prinsip tersebut, sebelum hakim memulai memeriksa perkara yang diajukan kepadanya, terlebih dahulu ia membuka sidang dan menyatakan persidangan itu terbuka untuk umum.
Dalam teorinya mengenai persidangan permohonan ahli waris adalah sidang terbuka untuk umum tetapi pada kenyataannya ruangan sidang permohonan ahli waris ini  tertutup (pintu tertutup), padahal hakim telah menyatakan bahwa sidang tersebut adalah sidang tertutup.
Apabila prinsip ini dilanggar maka persidangan tersebut dianggap melanggar tata tertib pemeriksaan. Bila pintu tertutup tapi sidang dinyatakan terbuka, itu merupakan kelalaian yang akan mengurangi nila tata tertib yang melekat pada persidangan yang diberikan oleh peraturan perundang – undangan yang berlaku, tetapi tidak akan menyebabkan batalnya pemeriksaan.[8]

  1. Analisa menurut perspektif hukum Islam
Lembaga peradilan yang diperkenalkan dalam Islam pada prinsipnya berperan dan berwenang hanya dalam kaitan menerima, memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang terdapat sengketa di dalamnya, atau permasalahan yang akan mempertemukan dua pihak yang saling berlawanan, atau dikenal sebagai perkara yang tergolong klasifikasi kontentius saja. Kesimpulan tersebut, tentu tidak bermaksud membatasi praktik Peradilan Agama saat ini yang memang selain berwenang menyelesaikan perkara kontentius, juga akan menangani perkara voluntair di bidang-bidang tertentu seputar hukum keluarga (ahwal syahshiyah) sebagai kompetensi absolutnya, sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Peradilan Agama.  Hanya saja, Peradilan Agama dituntut mampu memberikan klarifikasi legitimatif tentang jatidirinya, atau jika perlu merumuskan konsep baru yang memiliki relevansi utuh tentang maksud peradilan yang sesungguhnya. Kenisbian status perkara permohonan sebagai wewenang badan peradilan sesungguhnya telah pula mendapat respon dari beberapa kalangan. Salah satunya, apa yang disinggung  Mukti Arto  dalam bukunya. Ia mengatakan  bahwa pada prinsipnya perkara permohonan tidak dapat diterima, kecuali  kepentingan Undang-Undang menghendaki demikian. Selain itu, Ia juga menyebut bahwa keberadaan badan peradilan  yang juga menyelesaikan perkara permohonan, dapat dianggap sebagai proses peradilan yang bukan sebenarnya.
Amanat kepada badan peradilan untuk ikut pula menyelesaikan perkara voluntair memang diberikan Undang-Undang nomor 14 tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman sebagaimana tersebut dalam penjelasan pasal 2 Undang-Undang tersebut. Namun sejauh ini, selain karena kepentingan Undang-Undang yang menghendaki demikian, Penulis belum mendapati alasan-alasan  lain yang relevan mengapa dalam kenyataannya Pengadilan Agama juga menangani perkara permohonan, dan yang juga perlu diperjelas, adalah bagaimana sikap Peradilan Agama terhadap hal ini.
Banyak sesungguhnya dalil  syara’  yang digunakan Pengadilan Agama dalam memberikan penetapan atas perkara-perkara permohonan. Dalil-dalil itu jika dicermati, hanya mengarah kepada materiil perkara. Sementara tidak didapati adanya informasi tentang kompetensi peradilan dalam kapasitasnya sebagai lembaga  qadha`, terkait penyelesaian perkara-perkara tersebut. Benar bahwa sebuah akad nikah akan ditetapkan (dinyatakan) sah jika ternyata pelaksanaannya memenuhi rukun dan syarat. Dan benar pula bahwa seorang ibu adalah ahli waris anak kandungnya yang telah meninggal, ketika tidak ada halangan secara syara’. Tetapi benarkah wewenang untuk penetapan itu dilakukan pula dalam acara sidang atas nama peradilan dan lembaga qadha’?
Demikianlah, bahwa bentuk-bentuk permohonan yang menghasilkan  penetapan itu sejatinya bukan sesuatu yang asing dalam tradisi hukum Islam. Hanya saja hal-hal demikian itu, tidak diatur dalam fikih seraya melibatkannya dalam pembahasan qadha`. Hal ini dengan demikian merupakan penegasan secara empirik, bahwa perkara permohonan tidaklah perlu diadili untuk sekadar sampai pada sebuah kesimpulan hukum. Karenanya, segala masalah seputar permohonan ini, tidak akan ditemukan dalam pembahasan  qadha` yang berarti lembaga untuk kegiatan “adil-mengadili. Akan tetapi, kesemuanya akan sangat gamblang tergambarkan dalam pembahasan seputar fatwa atau  ifta`, dan bahasan-bahasan tentang ijtihad. Atau dalam kata lain, Nabi menyampaikan  informasi hukum dalam sebuah permohonan, tidak dalam kapasitasnya sebagai  qadhi/hakim, namun dalam kapasitasnya sebagai Rasul yang berkewajiban menyampaikan risalah syariat semua aspek kehidupan umat manusia. Sepeninggal Nabi, maka tidak dikenal lagi adanya sumber utama syariat yang dapat memproduksi hukum  sebagai landasan  (ashl). Yang ada adalah rangkaian-rangkaian ijtihad para sahabat dan para mujtahid setelahnya. Saat mana mereka diminta menentukan status hukum sebuah permohonan, maka di saat itu mereka sedang berperan sebagai mujtahid yang naungan lembaganya adalah lembaga ifta` bukan qadha`.
Maka Pengadilan Agama yang diamanatkan untuk  memeriksa, memutus, dan menyelesaikan bidang-bidang keperdataan umat Islam yang terangkum dalam kompetensi absolutnya, tentu tidak boleh menolak jika ada pihak yang mengajukan perkara-perkara yang terkait dengan bidang-bidang itu. Sementara perkara-perkara yang diajukan itu tidak selamanya berupa kontentius, melainkan ada pula yang berupa voluntair. Kenyataan yang sedemikian ini menjadikan Pengadilan Agama berfungsi dan memiliki peran ganda, yaitu selain sebagai lembaga Qadha` (peradilan) perdata, juga merupakan lembaga  Ifta` (fatwa/Ijtihad di luar sengketa) perdata. Terhadap dua fungsi yang berbeda secara substansi itu, tentu perlu pula membedakan teknis pelaksanaannya. Khusus terhadap perkara permohonan, maka proses sidang sebagai simbol kegiatan mengadili, agaknya tidaklah relevan jika harus pula diikutkan di dalamnya. Ada baiknya, jika  proses penetapan permohonan itu, dilakukan di luar sidang atau tidak dalam kalimat atau kegiatan mengadili.
Badan Peradilan Agama dapat membuat divisi atau satuan kerja  tersendiri yang khusus menangani perkara permohonan, atau dalam kaitan menjalankan fungsi sekunder (taba’an) Pengadilan Agama sebagai lembaga Ifta`. Keberadaan lembaga  Ifta`  sebagai fungsi ekstra Pengadilan Agama  dengan kekhususan proses dan mekanismenya, sejatinya dapat dicarikan perlindungan secara yuridis formal. Jika dilihat dalam Undang-Undang Peradilan Agama, penguasaan wewenang absolut di bidang-bidang tertentu itu, tidak merinci keharusan mengadili semua perkaranya dalam bentuk kontentius atau voluntair. Maka redaksi pasal 49 Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan Agama yaitu  “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam …” masih membuka ruang untuk adanya perincian sebagai interpretasi yang sesuai dengan fungsi peradilan dalam Islam. Dalam kaitan itu, maka tugas Pengadilan Agama jika perkara di bidang-bidang tertentu itu bentuknya kontentius adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikannya dalam sebuah acara sidang sebagai implementasi kegiatan mengadili. Sementara jika perkara-perkara itu bentuknya permohonan, maka tugas Pengadilan Agama adalah  hanya  memeriksa dan menyelesaikannya, dalam hal ini memberikan penetapan, tanpa melalui proses persidangan, atau tidak dalam tindakannya mengadili perkara sehingga menghasilkan putusan.
Perkara permohonan sebagaimana yang dikemukakan di atas, dapat diperiksa dan diselesaikan dalam naungan satuan kerja khusus di internal Pengadilan Agama dengan teknis yang komprehensif, dan tetap menjunjung tinggi pelayanan prima yang akurat dan cermat. Selain atas landasan itu, bahwa kewajiban Pengadilan Agama sejatinya adalah pemberian layanan hukum dalam perkara-perkara di bidang-bidang kompetensinya. Pelayanan hukum dimaksud tentu tidak menjadikan persidangan  sebagai satu-satunya cara untuk mencapainya. Sehingga pemeriksaan perkara permohonan tidak perlu dipaksakan dilakukan pula dalam bentuk persidangan, karena konteksnya memang tidak demikian. Kecuali jika dari penetapan itu ada pihak yang keberatan, maka pihak yang keberatan itu dapat mengajukan gugatan untuk membatalkan/mempermasalahkan penetapan yang telah dicapai tadi, melalui agenda persidangan perkara kontentius.

KESIMPULAN
Mengenai penelitian permohonan penetapan ahli waris di persidangan agama yang kami teliti, ada perbedaan antara apa yang diuraikan dalam teori mengenai permohonan penetapan ahli waris ini dengan apa yang terjadi dalam praktik acara persidangan permohonan ahli waris.
Dalam teorinya mengenai persidangan permohonan ahli waris adalah sidang terbuka untuk umum tetapi pada kenyataannya ruangan sidang permohonan ahli waris ini  tertutup (pintu tertutup), padahal hakim telah menyatakan bahwa sidang tersebut adalah sidang tertutup. Ini tidak menyebabkan batalnya pemeriksaan, tapi hanya melanggar tata tertib.


[1] Drs. Taufiq Hamami, S.H., Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia, Bandung, Alumni, 2003. hlm. 13
[2] Ibid, hlm. 15
[3] Mr. R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari abad ke Abad, Jakarta, Versluys N. V., 1957, hlm 92
[4] M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta, Sinar Grafika, 2003. Hlm. 147 – 149
[5] Ibid, hlm. 154 – 156
[6] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 331 – 350
[7] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2006. hlm 195 – 208
[8] Ibid, hlm. 197 – 198

Tidak ada komentar:

Posting Komentar