BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Paradigma susunan kelembagaan negara mengalami perubahan drastis
sejak reformasi konstitusi mulai 1999 sampai dengan 2002. Karena berbagai
alasan dan kebutuhan, lembaga-lembaga negara baru dibentuk, meskipun ada juga lembaga
yang dihapuskan. Salah satu lembaga yang dibentuk adalah Mahkamah Konstitusi
(MK). MK didesain menjadi pengawal dan sekaligus penafsir terhadap
Undang-Undang Dasar melalui putusan-putusannya. Dalam menjalankan tugas
konstitusionalnya, MK berupaya mewujudkan visi kelembagaannya, yaitu tegaknya
konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi
kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. Visi tersebut menjadi
pedoman bagi MK dalam menjalankan kekuasaan kehakiman secara merdeka dan
bertanggung jawab sesuai amanat konstitusi.[1]
Kiprah MK sejak kehadirannya enam tahun silam banyak dinilai cukup
signifikan terutama dalam kontribusi menjaga hukum dan mengembangkan demokrasi.
Namun usianya yang masih belia, membuat MK belum begitu dikenal oleh khalayak
luas. Berbagai hal, istilah dan konsep yang terkait dengan MK dan segenap
kewenangannya belum begitu dipahami oleh masyarakat. Sejalan dengan misi MK
untuk membangun konstitusionalitas Indonesia serta budaya sadar berkonstitusi maka
upaya memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai kedudukan, fungsi dan
peran MK terus menerus dilakukan.
Dari paparan latar belakang di atas, penulis tertarik untk menggali
lebih dalam mengenai Mahkamah Konstitusi ini, baik itu mengenai sejarah terbentuknya,
wewenangnya, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi. Untuk
lebih detail lagi mengenai Mahkamah Konstitusi ini akan dipaparkan dalam bab
selanjutnya.
B.
Rumusan Masalah
- Bagaimana sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi tersebut?
- Apa saja wewenang Mahkamah Konstitusi ?
C.
Tujuan Penulisan Makalah
- Untuk mengetahui bagaimana sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi tersebut.
- Untuk mengetahui apa saja wewenang Mahkamah Konstitusi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Terbentuk Mahkamah Konstitusi (MK)
Sejarah
berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional
Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan
Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil
Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK
merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang
muncul di abad ke-20. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam
rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan
fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan
UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.
DPR dan
Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah
Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui
secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13
Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98
dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).Dua hari kemudian, pada tanggal 15
Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim
konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah
jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus
2003.Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke
MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK
sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.[2]
B.
Wewenangan Mahkamah Konstitusi
Ada empat kewenangan dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi yang
telah ditentukan dalam UUD 1945 perubahan ketiga Pasal 24C ayat (1) yaitu:[3]
- Menguji (judicial review) undang-undang terhadap UUD.
Kewenangan terakhir dan yang justru yang paling penting dari
keempat kewenangan ditambah satu kewajiban (atau dapat pula disebut kelima
kewenangan) yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi menurut UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 adalah kewenangan menguji konstitusionalitas
undang-undang. Tanpa harus mengecilkan arti pentingnya kewenangan lain dan
apalagi tidak cukup ruang untuk membahasnya dalam makalah singkat ini, maka
dari kelima kewenangan tersebut, yang dapat dikatakan paling banyak mendapat
sorotan di dunia ilmu pengetahuan adalah pengujian atas konstitusionalitas UU.
Pengujian atas Undang-Undang dilakukan dengan tolok ukur
Undang-Undang Dasar. Pengujian dapat dilakukan secara materiel atau formil.
Pengujian materiel menyangkut pengujian atas materi UU, sehingga yang
dipersoalkan harus jelas bagian mana dari UU yang bersangkutan bertentangan
dengan ketentuan mana dari UUD. Yang diuji dapat terdiri hanya 1 bab, 1 pasal,
1 kaimat ataupun 1 kata dalam UU yang bersangkutan. Sedangkan pengujian formil
adalah pengujian mengenai proses pembentukan UU tersebut menjadi UU apakah
telah mengikuti prosedur yang berlaku atau tidak.
Sejarah pengujian (judicial
review) dapat dikatakan dimulai sejak kasus Marbury versus Madison ketika
Mahkamah Agung Amerika Serikat dipimpin oleh John Marshall pada tahun 1803.
Sejak itu, ide pengujian UU menjadi populer dan secara luas didiskusikan
dimana-mana. Ide ini juga mempengaruhi sehingga ‘the fouding fathers’ Indonesia dalam Sidang BPUPKI tanggal 15 Juli
1945 mendikusikannya secara mendalam. Adalah Muhammad Yamin yang pertama sekali
mengusulkan agar MA diberi kewenangan untuk membanding undang-undang. Akan
tetapi, ide ini ditolak oleh Soepomo karena dinilai tidak sesuai dengan
paradigma yang telah disepekati dalam rangka penyusunan UUD 1945, yaitu bahwa
UUD Indonesia itu menganut sistem supremasi MPR dan tidak menganut ajaran ‘trias politica’ Montesquieu, sehingga
tidak memungkinkan ide pengujian UU dapat diadopsikan ke dalam UUD 1945.
Namun, sekarang, setelah UUD 1945 mengalami perubahan 4 kali,
paradigma pemikiran yang terkandung di dalamnya jelas sudah berubah secara
mendasar. Sekarang, UUD 1945 tidak lagi mengenal prinsip supremasi parlemen
seperti sebelumnya. Jika sebelumnya MPR dianggap sebagai pelaku kedaulatan
rakyat sepenuhnya dan sebagai penjelmaan seluruh rakyat yang mempunyai
kedudukan tertinggi dan dengan kekuasaan yang tidak terbatas, maka sekarang
setelah Perubahan Keempat UUD 1945 MPR itu bukan lagi lembaga satu-satunya
sebagai pelaku kedaulatan rakyat.
Karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh
rakyat, maka di samping MPR, DPR dan DPD sebagai pelaku kedaulatan rakyat di
bidang legislatif, kita harus pula memahami kedudukan Presiden dan Wakil
Presiden juga sebagai pelaku kedaulatan rakyat di bidang eksekutif dengan
mendapatkan mandat langsung dari rakyat melalui pemilihan umum. Di samping itu,
karena sejak Perubahan Pertama sampai Keempat, telah terjadi proses pergeseran
kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke tangan DPR, maka mau tidak mau
kita harus memahami bahwa UUD 1945 sekarang menganut prinsip pemisahan
kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
judiktif dengan mengandaikan adanya hubungan ‘checks and balances’ antara satu sama lain. Oleh karena itu, semua
argumen yang dipakai oleh Soepomo untuk menolak ide pengujian undang-undang
seperti tergambar di atas, dewasa ini, telah mengalami perubahan, sehingga
fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari dari penerapannya
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945.
- Memutuskan pembubaran partai politik.
Kebebeasan Partai politik dan berpartai adalah cermin kebebasan
berserikat yang dijamin dalam Pasal 28 jo Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Oleh
karena itu, setiap orang, sesuai ketentuan Undang-Undang bebas mendirikan dan
ikut serta dalam kegiatan partai politik. Karena itu, pembubaran partai politik
bukan oleh anggota partai politik yang bersangkutan merupakan tindakan yang
bertentangan dengan konstitusi atau inkonstitusional. Untuk menjamin
perlindungan terhadap prinsip kebebasan berserikat itulah maka disediakan
mekanisme bahwa pembubaran suatu partai politik haruslah ditempuh melalui prosedur
peradilan konstitusi. Yang diberi hak “standing” untuk menjadi pemohon dalam
perkara pembubaran partai politik adalah Pemerintah, bukan orang per orang atau
kelompok orang. Yang berwenang memutuskan benar tidaknya dalil-dalil yang
dijadikan alasan tuntutan pembubaran partai politik itu adalah Mahkamah
Konstitusi.
Dengan demikian, prinsip kemerdekaan berserikat yang dijamin dalam
UUD tidak dilanggar oleh para penguasa politik yang pada pokoknya juga adalah
orang-orang partai politik lain yang kebetulan memenangkan pemilihan umum.
Dengan mekanisme ini, dapat pula dihindarkan timbulnya gejala dimana penguasa
politik yang memenangkan pemilihan umum memberangus partai politik yang kalah
pemilihan umum dalam rangka persaingan yang tidak sehat menjelang pemilihan
umum tahap berikutnya.
- Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Berdasarkan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, pemilihan umum bertujuan
untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Preisden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Peserta Pemilihan Umum itu ada tiga, yaitu pertama, pasangan
calon presiden/wakil presiden, kedua, partai politik peserta pemilihan
umum anggota DPR dan DPRD, dan ketiga, (perorangan calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan penyelenggara pemilihan umum adalah Komisi
Pemilihan Umum yang diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (PANWASLU).
Apabila timbul perselisihan pendapat antara peserta pemilihan umum dengan
penyelenggara pemilihan umum, dan perselisihan itu tidak dapat diselesaikan
sendiri oleh para pihak, maka hal itu dapat diselesaikan melalui proses
peradilan di Mahkamah Konstitusi.
Yang menjadi
persoalan yang diselesaikan di Mahkamah Konstitusi adalah soal perselisihan
perhitungan perolehan suara pemilihan umum yang telah dtetapkan dan diumumkan
secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, dan selisih perolehan suara
dimaksud berpengaruh terhadap kursi yang diperebutkan. Jika terbukti bahwa
selisih peroleh suara tersebut tidak berpengaruh terhadap peroleh kursi yang
diperebutkan, maka perkara yang dimohonkan akan dinyatakan tidak dapat diterima
(niet ontvankelijk verklaard). Jika
selisih yang dimaksud memang berpengaruh, dan bukti-bukti yang diajukan kuat
dan beralasan, maka permohonan dikabulkan dan perolehan suara yang benar
ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga perolehan kursi yang diperebutkan
akan jatuh ke tangan pemohon yang permohonannya dikabulkan. Sebaliknya, jika
permohonan tidak beralasan atau dalil-dalil yang diajukan tidak terbukti, maka
permohonan pemohon akan ditolak. Ketentuan-ketentuan ini berlaku baik untuk
pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, maupun untuk pasangan capres/cawapres.[4]
- Pemberhentian presiden dan wakil presiden
Perkara penuntutan pertanggungjawaban presiden atau wakil presiden
dalam istilah resmi UUD 1945 dinyatakan sebagai kewajiban Mahkamah Konstitusi
untuk memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya.
Atau perbuatan tercela atau pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Pesiden.
Dalam hal ini, harus diingat bahwa Mahkamah Konstitusi bukanlah
lembaga yang memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden. Yang memberhentikan
dan kemudian memilih penggantinya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Mahkamah Konstitusi hanya memutuskan apakah pendapat DPR yang berisi tuduhan
(a) bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar hukum, (b) bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden, terbukti benar secara konstitusional atau
tidak. Jika terbukti, Mahkamah Konstitusi akan menyatakan bahwa pendapat DPR
tersebut adalah benar dan terbukti, sehingga atas dasar itu, DPR dapat
melanjutkan langkahnya untuk mengajukan usul pemberhentian atas Presiden
dan/atau Wakil Presiden tersebut kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sejauh menyangkut
pembuktian hukum atas unsur kesalahan karena melakukan pelanggaran hukum atau
kenyataan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, maka putusan Mahkamah Konstitusi
itu bersifat final dan mengikat. DPR dan MPR tidak berwenang mengubah putusan
final MK dan terikat pula untuk menghormati dan mengakui keabsahan putusan MK
tersebut. Namun, kewenangan untuk meneruskan tuntutan pemberhentian ke MPR
tetap ada di tangan DPR, dan kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden yang bersangkutan tetap berada di tangan MPR.
Inilah yang banyak dipersoalkan orang karena ada saja kemungkinan
bahwa MPR ataupun MPR tidak meneruskan proses pemberhentian itu sebagaimana
mestinya, mengingat baik DPR maupun MPR merupakan forum politik yang dapat
bersifat dinamis. Akan tetapi, sejauh menyangkut putusan MK, kedudukannya
sangat jelas bahwa putusan MK itu secara hukum bersifat final dan mengikat
dalam konteks kewenangan MK itu sendiri, yaitu memutus pendapat DPR sebagai
pendapat yang mempunyai dasar konstitusional atau tidak, dan berkenaan dengan
pembuktian kesalahan Presiden/Wakil Presiden sebagai pihak termohon, yaitu
benar-tidaknya yang bersangkutan terbukti bersalah dan bertanggungjawab.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Latar belakang terbentuknya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali
dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen
konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun
2001. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai
Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah
menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara
Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).
Adapun wewenangan Mahkamah Konstitusi yang telah ditentukan dalam
UUD 1945 perubahan ketiga Pasal 24C ayat yaitu menguji (judicial review)
undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD, memutuskan pembubaran partai politik, memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan memberhentikan presiden dan
wakil presiden apabila melanggar hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie,
Jimly, Kedudukan Mahkamah Konstitusi, http://www.jimly.com/makalah/namafile/23/KEDUDUKAN_MK.doc diakses 03 Januari 2014.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1 diakses 03 Januari 2014.
Singarek,
http://birokrasikomplek.blogspot.com/2011/06/tugas-dan-fungsi-mahkamah-konstitusi.html
diakses 03 Januari 2014.
Syahuri,
Taufiqurrohman, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Cetakan I,
Jakarta: Kencana, 2011.
[1]
Singarek,
http://birokrasikomplek.blogspot.com/2011/06/tugas-dan-fungsi-mahkamah-konstitusi.html
diakses 03 Januari 2014.
[3] Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi
Berbagai Aspek Hukum, Cetakan I, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 111
[4]
Jimly Asshiddiqie , Kedudukan Mahkamah Konstitusi, http://www.jimly.com/makalah/namafile/23/KEDUDUKAN_MK.doc diakses 03 Januari 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar