Jumat, 10 Januari 2014
USHUL FIQIHPENGERTIAN USHUL FIQH Ushul adalah jamak dari kata ashl yang berarti dasar, asal, atau pangkal, yaitu sesuatu yang di atasnya didirikan sesuatu yang lain. Kadang-kadang kata ashl diartikan dengan : pokok, peraturan, atau sumber. Para ahli ushul fiqh menggunakan kata ashl dalam arti : 1. Al-qa’idah al-kulliyah اَلَقاعِدَةَ اْلكُلِّيَة= kentuan yang umum ), seperti dalam ungkapan : اِبَاحَةُ الْمَيْتَةُ الْمَضَّطِرِخِلَافُ الْاصَل “Kebolehan memakan bangkai bagi orang yang terpaksa menyelisihi asal”. ( Al-Ashl di sini berarti ketentuan umum). Ketentuan umum mengatakan : كل المىة حرم “Setiap bangkai adalah haram" Ketentuan umum ini di ambil dari firman Allah SWT. Dalam surah al-Baqarah (2) ayat 173: انما حرعلىكم المىتة “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kamu bangkai” 2. اَلزَاجِىعْ (yang kuat), seperti qaidah ushul: a. الاصل فى الكلام الحقيفه ”Yang asal ( yang kuat) pada suatu perkataan itu adalah hakekatnya.” (maksudnya: pengertian yang kuat dalam menetapkan pengertian suatu perkataan adalah arti hakikinya, bukan arti majazinya) 3. اَلْمُتَصْحَبُ(yang terus berlaku), seperti dalam ungkapan qaidah berikut : اَلْاصْلُ بَقاءُ مَاكاَنَ عَلَى مَاكَانَ “Asal (yang terus berlaku) itu adalah tetapnya sesuatu yang telah ada atas sesuatu yang telah ada”. 4. اَلَّولِيْل(dalil/dasar hukum). Termasuk dalam istilah dalil ini adalah : Al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’, al-Qiyas, dan dalil-dalil lainnya yang digunakan oleh mazhab –mazhab tertentu. 5. اَلْمَقِيْسَ عَلَيْهِ(pembanding/alat ukur/standar) Kata al-ashl dimaksud sebagai alat pembanding antara sesuatu yang belum ada hukumnya dan yang telah jelas ada hukumnya. Misalnya : khamar ( HARAM ) FIQIH Kata ini merupakan bentuk mashdar (gerund) dari kata kerja (verb) فقىهَ يَقَىهُ faqiha yafqahu. Arti asalnya adalah al-‘ilm (pengetahuan) dan al-fahm (pemahaman). Pengertian fiqih menurut bahasa : • Al-jurjani mengatakan : kata fiqh menurut bahasa ; memahami maksud pembicara dari perkataannya. • Abu Zahrah mengatakan ; paham secara mendalam dan tuntas, berbeda dengan al-fahmu (paham) Kesimpulan ; fiqh menurut bahasa adalah pengetahuan, pemahaman, dan pengertian terhadap sesuatu secara mendalam. Pengertian fiqh menurut istilah : • Menurut Abu Zahrah اَلْعِلْمُ بِالْاَحكام الشَّرِيَعَةِ الْعَمَلِيْةِ مِنْ اَدِ لَّتِهَا التَّفْضِلَّيْىة ”Ilmu yang menerangkan segala hukum syara’ yang amali yang diambil dari dalil-dalilnya yang tafshili.” • Abdul Wahab Khallaf اَلْعِلْمُ بِالْاَ حْكَامُ الشَرِيْعَةُ الْعَمَلِيَةِ الْمُكْتَسَبِ مِنْ اَدْ لِتَهَا التَفْصِيِليَّةْ “Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang amali yang diusahakan dari dalil-dalilnya yang tafshili dalam Al-Qur’an.” PENGERTIAN USHUL FIQH SECARA IDHAFI Pengertian idhafi (bersandar) adalah pengertian yang di ambil dari kata-kata sebagai suatu rangkaian kata-kata yang membentuk istilah khusus. Secara idhafi, kata ushul fiqh berarti sesuatu yang di atasnya dibangun fiqh atau dengan kata lain dasar-dasar (sendi-sendi yang di atasnya di dirikan hukum-hukum syara’ yang amali. Atas dasar ini ilmu fiqh sering disebut ilmu furu’ (cabang) sebagai imbangan bagi ilmu ushul (ushul fiqh). PENGERTIAN USHUL FIQH SECARA ILMIAH Adalah pengertian yang di ambil dari rangkaian kata-kata yang digunakan sebagai nama bagi suatu ilmu tertentu. • Imam al-Ghazali : عِبَارَةُ عَنْ اِدِلَّتِةِ هَذِهِ الَّاحَكَامْ وَعَنْ مَعْرِفَهِ وُجُوهُ دَلَالْتِهَا عَلَى الْاَحْكَامُ مِنْ حَيْثُ الحُمْلَة لَا مِنْ حَيْثُ التَفْصِىِل “Pengetahuan tentang dalil-dalil hukum (hukum syara’ yang amali) serta pengetahuan tentang dalil-dalil dari segi dalalahnya (petunjuknya) kepada hukum secara global, tidak terperinci.” • Abu-Zahrah : اصُوْلُ الفِقْىة هُوَ العِلْمُ بِالقَوَاعِدِ اَلْتِى تَرْسُمُ الْمَنَاهِجْ لَاسْتَنَبَاطِ الاحَكَامُ العَمَلَىةِ مِنْ اِدِ لِتِها التفصىلىة “Ushul fiqh ialah ilmu tentang kaidah-kaidah yang memberikan gambaran tentang metode-metode untuk mengistimbatkan hukum-hukum yang amali dari dalil-dalilnya yang tafshili.” • Abdul Wahab khallaf الْعِلْمُ بِالِقَواعِدْوَالْبَحُوْثِ اَلَّتِى يَتُوصل بِهَا إِلَى اِسْتِفَادَةٌ اِلأَحكام اشَرِعَيْةُ العَمَلَىةِ مِنْ اَدِاتِهَا التَفْصِيْلِيْىة “Ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang digunakan sebagai alat untuk memperoleh hukum-hukum syara’ yang amali dari dalil-dalilnya yang tafshili.” OBJEK ILMU USHUL FIQH Objek ilmu ushul fiqh adalah dalil-dalil syara’dari segi penunjukkannya kepada hukum bagi perbuatan para mukallaf. Ilmu ushul fiqh membicarakan dan menyelidiki tentang keadaan-keadaan dalil-dalil syar’i serta menyelidiki pula bagaimana caranya dalil-dalil tersebut menunjukkan hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf. PERBEDAAN USHUL FIQH DENGAN FIQH Ushul fiqh merupakan timbangan atau ketentuan umum untuk istimbat hukum dan objeknya adalah dalil hukum. Sedangkan objek fiqh adalah perbuatan mukallaf yang diberikan status hukum. Prof. Dr. Mukhtar Yahya dan Prof. Drs. Fatchurrahman mendefinisikan • Ilmu fiqh adalah sekelompok hukum tentang amal perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. • Ilmu ushul fiqh adalah ilmu (pengetahuan) dari hal qaidah-qaidah dan pembahasan-pembahasan yang dapat membawa kepada pengambilan hukum-hukum tentang amal perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci. TUJUAN MEMPELAJARI ILMU USHUL FIQH Agar para mujtahid dapat mengistimbatkan hukum terhadap masalah-masalah yang muncul di tengah-tengah masyarakat yang tidak ada nashnya yang jelas didalam Al-Qur’an atau as-sunnah. KEGUNAAN ILMU USHUL FIQH • Untuk mengetahui hukum-hukum syara’, baik dengan jalan yakin (pasti) maupun dengan jalan dzan (dugaan kuat). • Untuk menghindari taqlid. RUANG LINGKUP PEMBAHASAN USHUL FIQH a. Hukum-hukum syara’ (mahkumbih) Seperti : wajib, haram, nadb, karahah, ibahah, hasan, qabih, qadha, ada’a, sah, fasad, azimah, rukhshah, dll. - Hakim, pembuat syari’at islam (Allah swt). - Al-mahkum ‘alaih, yaitu para mukallaf (subjek hukum) - Al-mahkum fih, perbuatan para mukallaf (objekk hukum) Dalil-dalil syara’ atau sumber-sumber hukum yang disepakati oleh ulama ushul fiqh - Al-Qur’an - As-sunnah - Ijma’ - Qiyas Sebagaimana halnya para ulama telah sepakat bahwa dalil-dalil tersebut adalah alat intidlal (menetapkan dalil suatu masalah) juga para ulama telah sepakat tentang tertib dalam jenjang istidlal dari dalil-dalil tersebut. Buktinya tercantum dalam surah an-Nisaa’ [4]: 59 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)”. Perintah untuk mengikuti Allah dan Rasul-Nya adalah perintah untuk mengikuti Al-Qur’an dan sunnah. Sedangkan perintah mentaati orang yang memegang kekuasaan ialah perintah-perintah untuk mengikuti hukum-hukum yang dibuat dan disetujui oleh badan-badan yang mempunyai kekuasaan membuat undang-undang dari golongan kaum muslim. Adapun perintah untuk memulangkan perkara yang diperselisihkan kepada Allah dan RasulNya adalah perintah untuk menggunakan analogi/qiyas. Selama tidak ada nash dan ijma’. Yang dimaksud dengan tertib jenjang istidlal, Al-Qur’an, Al-sunnah, Al-ijma, dan Al-qiyas ialah apabila terdapat suatu masalah di dalam Al-Qur’an kalau hukumnya sudah ada dalam Al-Qur’an maka ditetapkan ialah hukum itu sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an tersebut. Tetapi apabila ketetapan hukumnya tidak ditemukan dalam Al-Qur’an barulah beralih kepada As-sunnah. Bila diturunkan hukumnya didalam as-sunnah, maka ditetapkanlah hukum tersebut menurut as-sunnah tersebut. Jika tidak ada nash as-sunnah yang ditetapkan, maka dicari permasalahan tersebut kepada para mujtahid yang menjadi kesepakatan bersama (ijma). Kalau masalah tersebut didapatkan dalam ijma maka diputuskan menurut ketentuan ijma tersebut. Jika tidak ditemukan masalah hukum , masalah ijma, maka hendaknya gunakan Al-Qiyas. Adapun sebagai dasar hukum keharusan menertibkan jenjang beristidlal dengan 4 macam dalil hukum tersebut di atas adalah : - Wawancara Rasulullah saw dengan Muas bin Jabar, ketika ia dilantik menjadi Gebernur Yaman كَيْفَ تَقْضِ اِذَ اعَرَضَ لَكَ القَضَاءَ Bagaimana kamu merumuskan perkara dalam suatu permasalahan. قَالَ: اَقْضِ بِكِتَابِ الَّهِa قَالَ: فَإِانْ لَّمْ تَجِدُ كِتَابَ الَّهَ؟ قَالَ: فَسنة رسول الله قَالَ: فَاِنْ لَّمْ تَجِدُ فِى سَنَهَ رَسُوْلُ قَاَل: اجتهد راى وَلَااَلُو فَضَرَبَ رَسُوْلُ صَلَعَم صَدَرَهَ وَقَالَ اَلْحَمْدُ للَّهِ وَفَقَ رَسُوْلَ للهِ لِمَا يُرْضِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ - Berkata : Aku memutuskan perkara tersebut berdasarkan utusan Allah (Al-Qur’an) - Jika tidak ditepati dalam kitab Allah (Al-Qur’an) - Berkata : temukan dalam sunnah Rasulullah - Jika tidak kamu temukan dalam sunnah Rasul bagaimana caranya. - Muas berkata : Aku menggunakan pikiranku dan aku tidak akan meninggalkannya, lalu Rasulullah saw menepuk dadanya seraya menuju katanya : Alhamdulilah telah kami beri taufik kepada utusan rasulullah sesuai dengan apa yang diridhoi oleh Allah dan Rasulnya. SUMBER HUKUM Al-Qur’an Adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw dalam bahasa arab dengan perantara an malaikat jibrail sebagai hujjah/argumentasi dalam mendakwahkan kerasulannya dan sebagai pedoman hidup bagi manusia yang dapat digunakan untuk mencari kebahagian hidup didunia dan diakhirat serta sebagai media untuk bertakarruf (mendekatkan diri) kepada Allah dengan membacanya. Dia ditulis antara 2 pimpinan mushaf diawali dengan surah al-fatihah dan diakhiri dengan surah An-nas. Al-Qur’an terpelihara dari perubahan dan pergantian kata seperti yang difirmankan oleh Allah untuk menjaminnya dalam surah Al-Hijr : 9 • Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya. • Keistimewaan Al-Qur’an Ialah bahwa lafadz dan maknanya berasal dari Allah. Lafadznya yang berbahasa arab itu dimasukkan oleh Allah kedalam dada nabi Muhammad dan beliau membacanya dan terus menyampaikannya kepada umat. Berdasarkan ketentuan tersebut maka ada 3 hal yang bukan termasuk Al-Qur’an yaitu ; a. Pengertian yang di ilhamkan oleh Allah kepada Rasul, kemudian Rasul sendiri yang menyusun redaksinya untuk disampaikan kepada umat disebut dengan hadits qudsi. b. Tafsir ayat/surah Al-Qur’an yang menggunakan bahwa arab sebagai sinonim/mirodif dari lafadznya bukan juga disebut Al-Qur’an. c. Terjemahan ayat/surah Al-Qur’an yang menggunakan bahasa asing, yang tidak bias dipakai untuk sholat. • Keistimewaan Al-Qur’an yang lainnya Bahwa Al-Qur’an itu sampai kepada kita secara mutawatir, dengan cara penyampaian yang menimbulkan keyakinan karena disampaikan oleh sekian banyak orang yang mustahil mereka itu berbohong atas dasar inilah maka sebagian bacaan Al-Qur’an yang disampaikan oleh sebagian sahabat yang tidak dengan jalan mutawatir. Misalnya; ada seorang sahabat yang mengatakan bahwa lafadz (waarjulakum) mutawatir. Dalam surah al-maidah : 6 Dapat dibaca dengan (waarjulikum) tidak mutawatir Bukanlah dianggap bacaan Al-Qur’an yang mutawatir. - Q.S Al-Maidah : 6 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” Karena itu hukum-hukum yang di istimbatkan dari bacaan (waarjulikum) bukanlah hukum dari Al-Qur’an. Sebagaimana kita ketahui jika dibaca (waarjulikum) sebagai makhfuq (atap=penghubung dengan lafadz biurusikum yang mendahuluinya, maka hukum yang di istimbatkan dari bacaan tersebut adalah kewajiban menyapu kaki dengan air dalam berwudhu, bukan membasuhnya. Sedang kalau dibaca (waarjulakum) sebagai makhfuq (atap =penghubung) dengan lafadz واىدىكمyang mendahului (برؤسكم) maka kewajiban seorang berwudhu adalah membasuh kakinya dengan air sampai mata kaki. • Macam- macam hukum dalam Al-Qur’an 1. Hukum-hukum I’tiqadiah Yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk mempercayai Allah, malaikat-malikatnya, kitab-kitabnya, rasul-rasulnya dan hari pembalasan ( rukun iman) 2. Hukum-hukum akhlak Yakni tingkah laku yang berhubungan dengan para mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat keutamaan dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tercela. 3. Hukum-hukum amaliyah Yakni dengan bersangkutan dengan perkataan, perbuatan, perjanjian, dan muamalah (kerja sama) sesame manusia. Yang ketiga inilah yang disebut dengan pikhul Qur’an.Dan inilah hendak dicapai oleh ilmu ushul fiqih (ilmu fiqh). Hukum-hukum amaliyah dalam Al-Qur’an itu terdiri dari 2 macam : 1. Hukum ibadah Seperti : sholat, puasa, zakat, dan haji sebagainya. Hukum-hukum ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan Allah dengan hambanya. 2. Hukum-hukum muamalat seperti : segala macam perikatan transaksi-transaksi kebendaan,jinayah dan rukubat (hukum pidana dan sangsi-sangsinya). Hukum muamalah ini diciptakan dalam tujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia baik sebagai perorangan/pun sebagai anggota masyarakat. Amaliyah ↓ Allah → hubungan vertikal, Allah dengan hambanya (ibadat) ↓ Hamba→ Hubungan Horizontal, sesama hamba (muamalat) DALALAH (Petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an) Nash-nash Al-Qur’an itu ditinjau dari sisi petunjuk (dalalahnya) terhadap hukum-hukum terbagi kepada 2 macam : 1. Qathiyyud Dalalah Yang dimaksud dengan nash adalah nash yang menunjukkan arti yang jelas sekali untuk dipahami sehingga nash itu tidak dapat dita’wilkan (dirubah, dipindah, dinamai) dan dipahami dengan arti yang lain. Misalnya Firman Allah SWT, Dalam surah An-Nisa : 12 . Artinya: “Dan bagi kamu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.” Dalalah ayat tersebut adalah Qathi yakni jelas sekali hingga tidak boleh dita’wilkan dan dipahami menurut arti selain yang ditunjuk oleh ayat itu sendiri. Dengan demikian bagian suami dalam mewarisi harta istrinya yang meninggal dengan tidak mempunyai anak ialah separo harta peninggalan (1/2) tidak lebih dan tidak kurang. 2. Zhanniyyud Dalalah Nash yang menunjukkan kepada arti yang masih dapat dita’wilkan/dialihkan kepada arti yang lain. Contoh : Firman Allah QS. Al-Baqarah : 228 Artinya: “wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.” Quru' dapat diartikan suci atau haidh. Lafadz Quru’ dalam bahasa arab disebut lafadz musytarak (bersyarikat) yang mengandung beberapa pengertian yaitu lafadz yang mempunyai arti lebih dari satu, dalam ayat tersebut dapat berarti Suci/haid. Lafadz Quru’ ↗suci (imam safi’i) ↘ haid (imam hanafi) Atas dasar itulah para mujtahid berbeda pendapatnya dalam menetapkan lamanya iddah perempuan yang dithalaq oleh suaminya dalam keadaan tidak hamil/bukan karena ditinggal mati oleh suaminya, iddah sampai dia melahirkan. Ada sebagian mujtahid yang menetapkan iddah perempuan tersebut adalah 3 kali suci, perbedaan ketentuan masa iddah tersebut akan menimbulkan konsekwensi hukum perbedaan lamanya masa iddah. Haid→maka iddahnya akan pendek Suci →maka iddahnya akan lebih panjang As- Sunnah Menurut istilah syar’i ialah sabda, perbuatan, dan taqririyyah (persetujuan yang berasal dari Rasulullah SAW) Sesuai dengan 3 hal tersebut diatas yang disandarkan oleh Rasulullah SAW maka sunnah itu dapat dibedakan 3 macam : 1. Sunnah qauliyyah (perkataan) 2. Sunnah fi’liyyah (perbuatan) 3. Sunnah taqririyyah (persetujuan) Sunnah qauliyyah Adalah sabda yang disampaikan oleh nabi dalam berbagai macam tujuan dan kejadian. Misalnya: sabda beliau : لاَ ضَرَرَوَلَاضِرِارَ( رواة مالك) “Tidak ada kemudratan dan tidak pula memudaratkan” Sunnah qauliyyah yang bertujuan memberikan sugesti kepada umat islam agar tidak membuat kemudaratan kepada dirinya sendiri dan orang lain. Dengan demikian hadits nabi : هُوَ الَطَهُوْرُ مَاؤُهُ اَلْحِلُّ مَيْتَةُ ( رواه الخمسة) “ ia suci airnya lagi halal bangkainya “ Ini adalah sunnah qauliyyah yang menjelaskan kesucian air laut serta halalnya ikan-ikan yang mati didalamnya walaupun tanpa disembelih (boleh dimakan tanpa disembelih) Sunnah fi’liyyah Adalah segala tindakan Rasulullah SAW Sebagai Rasul. Misalnya: tindakan beliau mengerjakan sholat lima waktu dengan menyempurnakan cara-caranya, syarat-syaratnya, dan rukun-rukunnya, juga menjalankan ibadah haji dll. Sunnah taqririyyah Adalah perkataan/perbuatan sebagian sahabat yang telah disetujui Rasulullah SAW/tidak dibantahnya/disetujui oleh Rasul melalui ujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perbuatan yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perbuatan yang dilakukan oleh beliau sendiri. Contoh : misalnya periwayatan salah seorang sahabat yang menceritakan bahwa ada 2 orang sahabat yang bepergian. Setelah datang waktu shalat mereka bertayamum karena tidak mendapatkan air, setelah itu mereka melanjutkan perjalanan kembali ditengah jalan. Mereka mendapatkan air, sedang waktu shalat masih ada, lalu salah seorang dari mereka berwudhu dan mengulang shalatnya, sedang yang lain tidak. Ketika kedua orang tersebut melaporkan kepada Rasullulah SAW. Apa yang telah mereka lakukan, maka beliau membenarkan tindakan yang telah mereka lakukan masing-masing. Beliau berkata kepada orang yang mengulang shalatnya, kamu bakal memperoleh 2 pahala. Sedang kepada orang yang tidak mengulang shalatnya nabi berkata, perbuatanmu sudah sesuai dengan sunnah karena itu shalat yang sudah kamu kerjakan itu sudah cukup. NISBAH (Hubungan As-Sunnah Dengan Al-Qur’an) Adapun nisbah As-sunnah dari segi materi hukum yang terkandung didalamnya ada 3 macam : a. Muakkid (Menguatkan) Menguatkan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Dengan demikian hukum tersebut ditetapkan oleh 2 sumber hukum yaitu : Al-Qur’an sebagai sumber yang menetapkan hukumnya dan As-sunnah sebagai sumber yang menguatkannya. Misalnya: shalat dan zakat telah ditetapkan hukumnya dalam Al-Qur’an An-Nisa : 77 “Dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat.” - Berpuasa telah ditetapkan hukumnya oleh Allah dalam QS. Al-baqarah : 183 Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. - Dan menunaikan haji telah ditetapkan hukumnya dalam QS. Ali-Imran : 97 ••. . . . Artinya: . . . .mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah”. Dan kemudian perbuatan-perbuatan tersebut dikuatkan oleh Rasulullah dalam sabda beliau ketika berdialog dengan malaikat jibril. قال ىامحمد احبرى عن الاسلام, فققالل رسول الله صلعم الاسلام ان تشهد ان لااله الاالله وان محمدا رسولالله, وتقىم الصلاة, وتؤتى الزكاة, وتصوم رممضان, والتحبح البىت ان ستطعت الىه سبىلا. “ malaikat jibril bertanya: “wahai Muhammad, terangkan padaku tentang islam ! jawab Muhammad : ”Islam itu ialah persaksianmu bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad itu pesuruh Allah, tindakanmu mendirikan sembahyang, pembayaranmu atas zakat, berpuasamu di bulan ramadhan dan pergi hajimu ke Baitullah bila kamu mampu melaksanakan perjalanan ke tempat itu“( Rw. Muslim) - Keharaman menserikatkan Allah, menyakiti hati kedua orang tua, dan bersaksi palsu telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an : • QS. Luqman : 13 Artinya: “Ketika Luqman berkata kepada anaknya, di w aktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". • QS. Al-Isra' : 23 Artinya: …….. Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. Mengucapkan kata’Ah’ kepada orang tua tidak dibolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar dari pada itu. • Q.S Al-Hajj : 30 Artinya: ….. dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. Maksudnya antara lain Ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan ihram. Kemudian larangan-larangan tersebut dikuatkan oleh sabda Rasulullah saw : أَلَاأُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَاءِرِ- ثَلَاثًا- قُلْنَا بَلَى يَا رَسُوْللهِ. قَاَل: اَلْاِشِرَاكُ بِاللهِ, وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ, وَكَانَ مُتْكِىَا فَجَلَسَ فَقَالَ: اَلَاوَقَوْلُ الزُّوْرِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ, فَمَازَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْلتَهُ سَكَتَ. Artinya: “ perhatikanlah! Saya akan menerangkan kepadamu sekalian sebesar-besar dosa besar” (diucapkan 3 kali).“Baiklah hai Rasulullah!”sahut kita semua. “mempersekutukan Allah, mendurhakai kedua orang tua, “konon Rasulullah di saat itu sedang bersandar, lalu duduk dan seraya bersabda: “Ingat, perkataan dan persaksian palsu. ”Rasulullah mengulang-ulanginya sampai aku meminta semoga beliau diam.”( Rw. Bukhari-Muslim) a. Memberikan keterangan (bayan) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam hal ini ada 3 macam penjelasan. Yakni : 1. Memberikan perincian ayat-ayat yang masih mujmal (tafshilulmujmal). Misalnya : perintah sembahyang dalam QS. An-Nisa : 103 • • Artinya: “Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. Kemudian Rasulullah saw menerangkan waktu-waktu shalat, jumlah rakaatnya, syarat-syarat dan rukun-rukunnya dengan mempraktekkan sembahyang lalu setelah itu bersabda kepada para sahabat : صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِىْ أُصَلِّى (رواه البخارى) "Bersembahyanglah kamu seperti yang kamu lihat bagaimana aku mengerjakan sembahyang."(HR. Bukhari) 1. Membatasi kemutlakannya (taqyidul mutlak) Misalnya : Al-Qur’an membolehkan kepada orang yang akan meninggal wasiat atas harta peninggalannya berapa saja dengan tidak dibatasi maksimalnya, dalam firman-Nya, Q.S An-Nisa : 12 Artinya: …….sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya”. Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a. Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. Berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan. Kemudian Rasulullah memberikan batasan maksimal wasiat yang dibolehkan dalam suatu dialognya dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash yang meminta agar diperkenankan berwasiat 2/3 harta peninggalannya. Setelah permintaaan wasiat sebesar itu ditolak oleh beliau, saat minta diperkenankan minta berwasiat ½ dari permintaannya dan setelah permintaan ini sudah ditolak oleh Rasul.Lalu sa’ad minta diperkenankan memberikan 1/3 hartanya dan Rasulullah mengijinkan 1/3 ini. Katanya : اَلثُّلَثُ كَثِيْرٌ , أِنَّكَ أَنْ تَذَ رَوَرَثَنَكَ أَغْنِيَا ءَ خَيْرٌمِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَا لَةً يَتَكَفَّفُلوْنَ الَنَّاسَ (متض عليه) Artinya:…….. sepertiga itu adalah banyak dan besar, sebab jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kecukupan adalah lebih baik dari pada jika kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak. (Rw. Bukhari-Muslim). 2. Takhshishul ‘Am (mentakhshiskan keumumannya) Yaitu mentakhshiskan keumuman ayat-ayat Al-Qur’an. Misalnya: Allah berfirman secara umum tentang keharaman makan bangkai (binatang yang tiada disembelih dengan nama Allah) dan darah, dalam surah Al-Maidah : 3 . “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan” Kemudian Rasulullah mengkhususkannya dengan pengecualian kepada bangkai ikan laut, belalang, hati, dan limpa dalam sabdanya : احلت لنا مىتتان ودمان, فاما المىتتان الحوت والجراد, واما اللدمان فا لكبدوالطحال(رواه ابرهم والحاكم) “Dihalalkan bagi dua macam bangkai dan dua macam darah.Dua macam bangkai itu ialah bangkai ikan air dan belalang.Sedang dua macam darah itu ialah hati dan limpa.(HR. Ibnu Majah dan al-Hakim) - Masalah pusaka-mempusakai antara anak dengan kedua orang tuanya, dalam firman-Nya : يُوْصِيْكُمْ اللهُ فِى أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ, (النساء : 11) "Allah mensyari’atkan kepadamu dalam pusaka anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan." ( An-Nisa’ : 11) Dalam ayat tersebut dikatakan secara umum orang tua yang mewariskan harta peninggalannya kepada anak-ananya.kemudian keumuman itu ditakhshiskan oleh sabda Rasulullah saw : نَحْنُ- مَعَاشِرَالأَانْبِيَاءِ- لَانُوْرَثُ مَاتَرَكْنَاهُ صَدَقَةُ. (منفق علىه) "Kami, khususnya para nabi, tidak dapat diwarisi.Apa yang kami tinggalkan adalah sebagai sedekah." (Rw. Bukhari-Muslim) Perkataan anak dalam ayat tersebut juga dilukiskan secara umum dengan lafadz “auladakum” (anak-anakmu). Kemudian anak tersebut dikhususkan oleh Nabi Muhammad saw. kepada anak yang dapat mewarisi. Sedang anak yang tidak berhak mempusakai harta orang tuanya. Misalnya : karena ia membunuh orang tuanya, dikeluarkan dari pengertian umum itu, mengingat sabda Rasulullah saw : لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنَ الْمَقْتُوْلِ شَيْئٌ (رواه انسائ) "Tidak ada hak bagi si pembunuh mempusakai harta peninggalan orang yang dibunuh sedikitpun. (Rw. An-Nisa’i) 1. Menciptakan hukum-hukum baru yang tiada dalam Al-Qur’an Misalnya : beliau menetapkan hukum haramnya binatang buas yang bertaring kuat dan burung yang berkuku kuat seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas : نَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابً مِنَ الْسِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِيْ مِحْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ (رواه مسلم) “Rasulullah saw. melarang memakan setiap binatang yang bertaring dari golongan binatang buas dan setiap binatang yang berkuku kuat dari golongan burung. (Rw. Bukhari-Muslim). PEMBAGIAN SUNNAH Sunnah ada 3 macam : 1. Sunnah mutawatirah 2. Sunnah masyhurah 3. Sunnah ahad 1. Sunnah mutawatirah adalah segala sesuatu dari Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh sekian banyak sahabat yang menurut adat kebiasaan mustahillah mereka bersepakat untuk berdusta. Kemudian dari sahabat-sahabat itu diriwayatkan pula oleh para tabi’i dan orang berikutnya dalam jumlah yang seimbang dengan jumlah para sahabat yang meriwayatkan pada mula pertama. - Sunnah mutawatirah itu banyak kita dapatkan pada sunnah amaliah (yang langsung dikerjakan oleh Rasulullah). Misalnya :cara menjalankan shalat, melakukan puasa, menunaikan ibadah haji dll. Perbuatan-perbuatan Rasulullah tersebut disaksikan sendiri secara langsung oleh para sahabat dengan tidak ada perubahan sedikit pun pada waktu disampaikan kepada para tabi’I dan orang-orang pada generasi berikutnya. - Sunnah mutawatirah qauliyah (berupa sabda-sabda Rasulullah) sedikit sekali yang mencapai derajat mutawatirah. Para ulama membagi sunnah mutawatirah ini kepada : - Mutawatirah lafzhiyah - Mutawatirah ma’nawiyah Sunnah mutawatirah dikatakan lafzhiyah bila redaksi dan kandungan sunnah yang disampaikan oleh sekian banyak perawi tersebut adalah sama benar. Diriwayatkan oleh lebih kurang 200 orang sahabat dengan redaksi dan isi yang tidak berbeda. Misalnya sabda Rasulullah saw : فَمَنْ كَذَ بَ عَلَىَّ مُتَعِمْدًا فَلْيَتَبَوَّا مَقْعَدهُ مِنَ النَّارِ (متفق عليه) “Maka barang siapa membuat kebohongan terhadap saya dengan sengaja, hendaklah ia menempati tempat duduknya di api neraka.” (Rw. Bukhari-Muslim). Sunnah Mutawatirah ma’nawiyah ialah sunnah mutawatirah yang berbeda susunan yang berbeda susunan redaksinya satu sama lain, tetapi masing-masing susunan redaksi yang berbeda-beda itu mempunyai hal-hal yang sama (kadar musytarak). Misalnya : sabda Rasulullah saw tentang mengangkat tangan pada waktu mendo’a. hadits semacam itu diriwayatkan oleh kurang lebih 100 orang sahabat dengan ungkapan kalimat yang berbeda-beda dan dicantumkan dalam masalah yang berbeda-beda pula. Akan tetapi dalam riwayat yang berbeda-beda itu ada sesuatu yang sama (musytarak), yaitu sunnatnya mengangkat tangan pada waktu mendo’a. 2. Sunnah masyurah ialah segala sesuatu dari Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh sahabat atau dua orang atau lebih yang tidak sampai mencapai derajat mutawatirah, kemudian dari sahabat tersebut diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’i yang mencapai derajat mutawatirah dan dari sekian banyak tabi’i ini diriwayatkan oleh sekian banyak rawi yang mutawatir pula. Misalnya hadits : إِنَّمَا الأَعْمَالَ بِا لِنْيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئِ مَا نَوَى (متفق عليه) “Amal-amal itu sahnya hanyalah dengan niat dan setiap orang itu hanya akan memperoleh apa yang ia niatkan …………”.(Rw. Bukhari-Muslim) Pada generasi sahabat hadits itu hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas’ud ra dan Abu Bakar ra. Tetapi kemudian generasi tabi’I hadits itu diriwayatkan oleh sekian banyak orang yang mencapai derajat mutawatir dan pada generasi berikutnya pun demikian sampai kepada kita. Perbedaan antara sunnah mutawatirah dengan sunnah masyhurah : - Sunnah mutawatirah : para perawinya sejak dari generasi sahabat, tabi’i sampai kepada tabi’in-tabi’in dan seterusnya mencapai kriteria mutawatir. - Sunnah masyhurah : para perawinya pada generasi sahabat tidak mencapai kriteria mutawatir, tetapi baru pada generasi tabi’i dan seterusnya mencapai kriteria mutawatir. - Sunnah masyhurah itu juga wajib diamalkan sebagaimana sunnah mutawatirah. Hanya saja tingkatannya adalah lebih rendah dari pada sunnah mutawatirah dan lebih tinggi dari pada sunnah Ahad. 3. Sunnah Ahad ialah segala sesuatu dari Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh seorang sahabat, dua orang atau lebih yang tidak sampai derajat mutawatir, kemudian dari sahabat tersebut diriwayatkan oleh seorang tabi’i, dua orang atau lebih dan seterusnya diriwayatkan oleh perawi-perawi dalam keadaan yang sama (tidak mutawatir). Sunnah ahad ini adalah yang paling banyak kita dapati dalam kitab-kitab sunnah. Sunnah ahad dibagi menjadi 3 bagian yaitu : 1. Shahih 2. Hasan 3. Dhaif 1. Hadits (sunnah) shahih ialah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, dan sempurna ketelitiannya, sanadnya bersambung, sampai kepada Rasulullah, tidak mempunyai cacat (‘illat) dan itu berlawanan dengan periwayatan orang yang lebih terpercaya. 2. Hadits hasan, ialah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil tetapi kurang ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah, tidak mempunyai cacat dan tidak berlawanan dengan periwayatan orang yang lebih terpercaya. 3. Hadits dha’if, ialah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hadits hasan. Hadits dha’if ini banyak macamnya antara lain : Hadits Maudhu Hadits Mursal Hadits Mu’allaq Hadits Munqathi’ Hadits Mudallas Hadits Muththrib Hadits Mudraj Hadist Munkar Hadist Mubham (lihat lebih lanjut dalam ilmu Mushthalahul-Hadits) QATH’IYAH (Kepastian) dan ZHANNIYAH (Dugaan) Dilihat dari segi wurudnya (dari siapa datang hadits itu) maka : 1. Sunnah Mutawatirah adalah qath’iyatul-wurud (pasti datangnya) dari Rasulullah saw. Sebab cara-cara penerimaan dan pemberitaan yang disampaikan oleh perawi-perawinya memberikan keyakinan bahwa berita itu berasal dari Rasulullah saw. 2. Sunnah masyhurah adalah qath’iyatul-wurud (pasti datangnya) dari sahabat. Sebab jumlah sahabat yang menyampaikan berita itu tidak sampai mencapai ukuran mutawatir, hingga nilai pemberitahuannya pun tidak mutawatirah. Akan tetapi menurut para ulama-ulama Hanafiyah sunnah masyhurah itu dianggap sebagai sunnah mutawatirah. Dengan demikian menurut mereka sunnah masyhurah itu dapat digunakan untuk mentakhshiskan keumuman Al-Qur’an dan mentaqyidkan (membatasi) kemutlakannya. 3. Adapun Sunnah Ahad adalah Zhanniyatul wurud (diduga keras datangnya) dari Rasulullah saw. sebab cara-cara penerimaan dan pemberitaan yang disampaikan oleh perawi-perawinya tidak memberikan keyakinan secara qath’I (pasti) bahwa apa yang diberitakan itu berasal dari Rasulullah saw. Dilihat dari segi dalalahnya (petunjuk yang diperoleh dari hadits itu) Masing-masing dari tiga sunnah itu adakalanya : 1. Qathi’iyud-dalalah (petunjuk yang diperoleh dari padanya memastikan demikian), apabila pengertian yang ditunjuk oleh masing-masing sunnah itu tidak dapat ditafsirkan kepada arti yang diluar artinya yang semula. 2. Zhanniyatud-dalalah (petunjuk yang diperoleh darinya adalah berdasarkan dugaan keras), apabila pengertian yang ditunjuk oleh masing-masing sunnah itu dapat ditafsirkan kepada arti lain yang diluar artinya semula. IJMA’ Menurut bahasa ijma mempunyai dua arti, yaitu : 1. Kesepakatan, seperti : perkataan : Jamaal qaumu ‘alaa kadzaa idzaa itafaquu alaihi. Artinya : suatu kaum telah berijma begini, jika mereka sudah sepakat kepadanya. 2. Kebulatan tekad atau niat. Seperti firman Allah : . . . . "karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku)." Menurut istilah ahli ushul, ijma adalah : اِتِفَاقُ جَمِيْعِ اْلمُجْتَهِدِيْنَ مِنَ اْلمُسْلِمِيْنِ فِي عَصْرٍمِنَ الْعُصُوْرِبَعْدِ وَفَاةِ الْرَسُوْلِ عَلَى حُكْمِ مِنَ اْلاحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ اْلعَمَلِيَّةِ. “Kesepakatan seluruh mujtahid islam dalam suatu masa, sesudah wafat Rasulullah saw, akan suatu hukum syari’at yang amali. • Menurut riwayat al-Baqhawi Jika Abu Bakar hendak menyelesaikan suatu perkara yang diminta penyelesaian oleh orang yang berperkara, maka beliau mencari di dalam Al-Qur’an dan as-sunnah. pemecahan hukum tersebut dan mengundang tokoh-tokoh agama untuk memusyawarahkannya. Kalau mereka telah mengambil putusan secara bulat terhadap masalah tersebut lalu beliau menjalankan utusan itu. • Umar bin Khattab Menjalankan tindakan seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar. Tindakan ke dua khalifah besar ini diterima oleh sahabat-sahabat besar dan pemuka-pemuka kaum muslimin dengan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Sebagai kesimpulan dari nash-nash dan atsar (hadits) tersebut adalah bahwa sumber hukum yang prinsip dalam perundang-undangan islam yang telah disepakati oleh jumhur ulama pukaha. QIYAS Yaitu mempersamakan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya dengan hukum yang sudah ada nashnya, karena adanya persamaan ‘illat hukum dari kedua masalah tersebut. إِلْحَاقُ أَمْرِ مَعْلُوْمٍ عَلَى حُكْمِهِ بِاَمْرِ غَيْرُ مَعَلَوْمِ عَلَى حُكْمِهِ لِإثْتِراكه معه فِ عِلَيْهِ الْحُكْمِ Sesuai dengan ta’rif tersebut, apabila ada suatu masalah yang hukumnya telah ditetapkan oleh suatu nash dan ‘illat hukumnya pun telah diketahui menurut cara-cara untuk mengetahui ‘illat hukum, kemudian didapati lagi dari masalah lain yang hukumnya tidak ditetapkan oleh suatu nash, tetapi ‘illat hukumnya sama dengan masalah yang sudah mempunyai nash tersebut maka hukum masalah yang tidak ada nashnya tersebut disamakan dengan hukum masalah yang ada nashnya, karena adanya persamaan ‘illat hukum pada kedua masalah tersebut. Contoh : jual beli pada waktu adzan jum’at diserukan adalah suatu masalah yang telah ditetapkan hukumnya oleh nash yaitu makruh. Berdasarkan firman Allah SWT QS. Al-jum’ah : 9 Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum'at, Maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalakan semua pekerjaannya. ‘illat hukum dimakruhkannya pada waktu adzan jum’at diserukan. Ialah karena perbuatan tersebut melalaikan sembahyang. Kemudian masalah-masalah seperti mengadakan perikatan, gadai menggadaikan, pemburuhan atau mengadakan perikatan-perikatan muamalat lainnya yang dilakukan pada waktu adzan jum’at diserukan tidak ada nash yang menetapkan hukumnya. Akan tetapi karena ‘illat dari masalah jual beli yang dilakukan waktu adzan jum’at diserukan, yaitu melalaikan bersembahyang, maka hukum perbuatan-perbuatan tersebut hukum jual beli yakni makruh. Contoh lain : mas’alah seorang ahli waris, membunuh seorang yang akan mewariskan harta peninggalannya adalah suatu mas’alah yang sudah tetap hukumnya dalam suatu nash, hukumnya ialah terhalangnya si pembunuh mewarisi harta peninggalan orang yang dibunuh tersebut berdasarkan nash nabi saw. لَيْسَ لِلْقَا تِلِ مِنَ اْلمَقْتوْلِ شَيْءٌ (رواه النسائ) Bagi orang yang membunuh tidak ada hak mewarisi harta peninggalan orang yang dibunuh sedikitpun. ‘illat hukum terlarangnya si pembunuh mewarisi harta peninggalan orang yang dibunuh itu, karena ia melakukan tindakan kejahatan pembunuhan yang diharamkan oleh tuhan untuk mencapai suatu manfaat sebelum waktunya. Masalah pembunuhan yang dilakukan oleh seorang yang menerima wasiat terhadap orang yang memberikan wasiat tidak ada nashnya, hukumnya, masalah ini adalah masalah cabang yang hendak dicari hukumnya. Biarpun tidak ada nashnya, namun masalah tersebut mempunyai ‘illat hukum yang sama dengan ‘illat hukum yang terdapat pada masalah pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris, terhadap orang yang mewariskan yakni untuk mencapai suatu manfaat sebelum waktunya dengan melakukan tindakan perbuatan yang diharamkan. Maka hukumnya pun dilakukan pula yakni terhalang, haram, menerima harta yang diwasiatkan kepadanya. RUKUN-RUKUN QIYAS Rukun-rukun qiyas ada 4 : 1. Ashal → pembunuhan, ahli waris 2. Furu’ → penggadaian 3. Hukum Ashal → hukumnya makruh 4. ‘illat → sama-sama melalaikan waktu shalat 1. Ashal (pokok) Ialah suatu perkara yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengkiaskan. Ashal itu juga disebut maqis alaihi (yang dijadikan tempat mengkiaskan) 2. Furu’ (cabang) Yaitu perkara yang tidak ada nashnya dan perkara itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashal. 3. Hukum ashal Yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh nash dan dikehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabangnya. 4. ‘illat Ialah suatu sifat yang terdapat pada perkara yang ashal, karena adanya sifat itu maka perkara ashal itu mempunyai suatu hukum dan oleh karena itu terdapat pula pada cabang, maka disamakanlah hukum cabang itu dengan hukum ashal. Misalnya : kita ingin mengetahui tentang hukum menggunakan sabu-sabu, bir, ganja, dll. Hal ini tidak ada ketentuan hukumnya didalam Al-Qur’an.Maka untuk menentukan hukumnya kita coba dengan metode qiyas. Yang ada ketentuan hukumnya adalah larangan meminum khamar, yakni haram,berdasarkan QS. Al-Maidah : 90 “Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Karena ‘illat khamar sama dengan bir, wisky dll.Maka kita dapat menarik kesimpulan hukum bir, wisky adalah haram.‘illatnya merusak akal pikiran, oleh sebab itu minum bir, wisky dll adalah sama-sama haram. Misal : kita ingin mengetahui hukum bermuamalah/menggadaikan transaksi seperti : sewa menyewa, gadai menggadai pada saat adzan jum’at dikumandangkan. Tentang hal tersebut tidak kita temukan ketentuan hukum-hukumnya, yang ada nashnya (ketentuan hukumnya) adalah larangan berjual beli pada saat adzan jum’at berdasarkan QS. Al-jumu’ah : 9 “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum'at, Maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalakan semua pekerjaannya. Karena sewa-menyewa pinjam meminjam dll, sama ‘illatnya dengan jual beli pada saat adzan jum’at yakni melalaikan shalat jum’at maka hukumnya pun sama. Dengan kata lain hukum jual beli pada saat adzan jum’at dapat diterapkan pada transaksi-transaksi lainnya, yakni makruh.Oleh karena itu sewa-menyewa, pinjam meminjam, gadai-menggadai dan transaksi lainnya hukumnya juga makruh.Karena ‘illatnya sama yakni melalaikan sholat jum’at. Contoh pertama : Ashal : Khamar Furu (cabang) : Bir, wisky, narkotika dll Hukum ashal : Haram Al-maidah : 9 ‘Illat : Merusak akal pikiran Contoh kedua : Ashal : jual beli pada saat adzan jum’at Furu : sewa-menyewa, gadai menggadai Hukum ashal : Makruh Al-Zumu’ah ‘Illat : melalaikan shalat jum’at ISTIHSAN Ialah meninggalkan qiyas nyata ( jaly) untuk menjadikan qiyas yang samar-samar, (tidak nyata) dalam bahasa arabnya di sebut qiyas khafi (tersembunyi), atau meninggalkan hukum kully (suruhan) untuk menjalankan hukum istisnai (pengecualian) disebabkan adanya dalil yang menurut logika membenarkannya dengan demikian istihsan itu ada 2 macam : 1. Mentarjihkan (mengambil yang lebih kuat qiyas yang samar-samar atau tidak layak atas qiyas yang nyata berdasarkan suatu dalil ulama hanafiyah menamakan istihsan semacam ini dengan istihsan qiyas (qiyas khafi). 2. Mengucualikan hukum jusiyah (sebagian) dari hukum kullyah dengan suatu dalil. Istihsan macam ke dua ini oleh ulama hanafiyah disebut dengan istihsan darurat. Sebab penyimpangan dari hukum kully tersebut karena darurat atau suatu kepentingan yang mengharuskan adanya penyimpangan dengan maksud untuk menghadapi keadaan yang mendesak atau menghindari kesulitan. - Istihsan qiyas khafi Contoh : sisa minuman burung-burung buas Seperti; elang, rajawali, dll Menurut istihsan adalah suci, adapun segi istihsannya adalah bahwa burung-burung buas itu walaupun diharamkan untuk dimakan, tapi ludahnya yang keluar dari perutnya atau dagingnya sekali-kali tidak akan bercampur dengan sisa bekas yang diminumnya. Sebab burung itu jika minum menggunakan paruh yaitu sejenis tulang suci, berbeda dengan binatang buas selain burung. Jika minum menggunakan mulutnya. Sehingga air ludahnya bercampur dengan minuman yang diminumnya, oleh karena itu sisa minumannya adalah najis. Menurut qiyas jally (nyata) adalah najis, sisa minuman yang di haramkan baginya adalah sama dengan sisa minuman dari binatang buas, singa, harimau, serigala dll. Karena hukum sisa minuman sisa-sisa tersebut mengikuti hukum dagingnya adalah haram karena ia adalah najis. Contoh ke dua - Istihsan darurat seperti : Menurut aturan dan prinsip syara melarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat jual beli dilaksanakan, tetapi menurut istihsan syara memberikan rukhasah (keringanan). Muamalah tersebut dengan diperkenankan melakukan jual beli salam (jual beli dengan pembayaran yang lebih dahulu tetapi barangnya dikirim kemudian) atau istishna’I (memesan untuk dibuatkan sesuatu) hukum kully dalam contoh ini ialah tidak sahnya jual beli barang yang belum ada, tetapi oleh karena itu transaksi ini sangat dibutuhkan dan sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat maka di kecuali dari hukum kully tersebut suatu hukum jus’i. - Segi istihsannya ialah kebutuhan dan kebiasaan dalam masyarakat. MASHLAHAH-MURSALAH Ialah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara suatu hukum untuk mewujudkannya dan tidak pula terdapat suatu dalil syara yang memerintahkan untuk memperhatikannya atau mengabaikannya/syara tidak memerintahkannya untuk melaksanakan atau meninggalkannya. Contoh : mengadakan lembaga permasyarakatan atau penjara. - Mencetak mata uang sebagai alat pertukaran resmi suatu negara. - Mencetak buku nikah dll Dengan ungkapan lain mendirikan rumah penjara, mencetak mata uang, mencetak buku nikah adalah usaha-usaha dan tindakan-tindakan yang menimbulkan kemaslahatan. Maksud syariat islam itu ialah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia yakni menarik manfaat dan menolak kemudaratan serta menghilangkan kesusahan. Kemaslahatan manusia itu tidak terbatas macam-macamnya dia selalu berkembang mengikuti situasi dan kondisi masyarakat. Penetapan suatu hukum itu dalam undang-undang memberi manfaat kepada masyarakat pada suatu masa dan kadang-kadang memberi mudarat pada mereka kepada masalah yang lain, dan kadang-kadang memberi manfaat kepada suatu kelompok masyarakat tertentu, tetapi mendatangkan mudarat kepada kelompok masyarakat yang lain. URUF DAN SAR’UR MANQABLANA Uruf ialah kebiasaan, apa-apa yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan di jalankan terus-menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan sebagai contoh adat kebiasaan yang berupa perbuatan seperti ; jual beli muathah (bai’u muathah) yakni jual beli dimana si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang di ambilnya tanpa mengatakan ijab Kabul karena harga barang tersebut sudah dimaklumi bersama. Uruf itu berbeda dengan ijma karena uruf itu di bentuk dari kebiasaan orang-orang yang berbeda-beda tingkatan dari mereka. Sedangkan ijma dibentuk dari persesuaian pendapat khusus dari para mujtahidin, orang-orang awam tidak ikut dalam pembentukan ijma itu. Uruf itu ada 2 macam : 1. Uruf shaheh Yaitu kebiasaan yang di lakukan oleh orang-orang yang tidak bertentangan dengan dalil syara’ tiada menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib. Misalnya : adat kebiasaan dalam orang melamar seseorang wanita dengan memberikan sesuatu sebagai hadiah bukan sebagai mahar dll. 2. Uruf fasiq Yaitu adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang berlawanan dengan ketentuan syariah karena membawa kepadamenghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib. Misalnya :kebiasaan-kebiasaan dalam mencari dana dengan mengatakan macam-macam kupon berhadiah dll. Syari’at umat sebelum islam Apabila Al-Qur’an atau Al-hadits shaheh menerangkan suatu hukum yang di syari’atkan oleh Allah kepada umat sebelum umat islam kemudiann Al-Qur’an/hadits menetapkan bahwa hukum tersebut di wajibkan pula kepada umatislam sebagaimana diwajibkan kepada mereka. Maka tidak diperselisihkan lagi bahwa hukum tersebut adalah syari’at bagi kita dan sebagai hukum tersebut adalah syari’at bagi kita dan sebagai hukum yang harus di ikuti. Misalnya: kewajiban berkuasa. Kewajiban berkuasa ini telah diwajibkan kepada umat-umat yang dahulu kemudian. Setelah datang agama islam maka diwajibkan pula bagi orang islam. Hal ini di tegaskan dalam surah Al-baqarah :183 "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." Demikian juga apabila Al-Qur’an/hadits shaheh menerangkan suatu hukum yang di syariatkan kepada umat yang dahulu kemudian datang dalil syara’ yang membatalkannya maka disepakati oleh seluruh ulama bahwa hukum itu bukanlah hukum syara’ bagi kita karena sudah ada dalil yang membatalkannya. Misalnya; syari’at yang berlaku pada zaman nabi Musa AS. Bahwa seseorang yang berbuat maksiat tidak akan di ampuni dosanya kecuali ia membunuh dirinya dan pakaian yang kena najis tidak akan dapat di sucikan kecuali di potong bagian yang kena najis itu. Dalil yang membatalkan cara-cara taubat yang dilakukan oleh umat nabi Musa antara lain QS . huud : 3 "Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya." Taubat menurut syari’at islam harus memenuhi 3 syarat, yakni ; 1. Berhenti dari berbuat maksiat. 2. Menyesali perbuatan maksiat yang telah dikerjakan tersebut. 3. Bertekad tidak akan mengulangi perbuatan itu kembali. Dalil yang membatalkan cara membersihkan pakaian yang kena najis dengan memotong bagian yang kena najis tersebut, sebagimana disyari’atkan untuk umat nabi musa antara lain,firman Allah Q.S Al-muddatsir : 4 "Dan pakaianmu bersihkanlah."
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar