Soal Ushul Fiqih
1.
Bagaimana
pengertian ushul fiqh menurut abu zahrah ?
2.
Sebutkan
dalil-dalil syara (sumber-sumber hukum) yang disepakati oleh ulama ushul fiqih
?
3.
a. Bagaimana
ta’rif Al-Qur’an dan sebutkan nash Al-Qur’an yang menjamin tentang
keterpeliharaan Al-Qur’an dari segala perubahan ?
b. Dalalah (petunjuk) ayat-ayat
Al-Qur’an it u ada yang Qathi dan ada
yang zhonni
jelaskan dengan contoh-contohnya !
4.
a. Bagaimana
pengertian As-Sunnah dan apa yang saudara ketahui tentang sunnah mutawatirah,
masyurah, dan ahad ?
b. Bagaimana nisbah/hubungan
As-Sunnah dengan Al-Qur’an dari segi materi hukum yang terkandung didalamnya ?
Jawaban
1.
Menurut
Abu Zahrah ushul fiqh adalah ilmu
tentang kaidah-kaidah yang memberikan gambaran tentang metode-motode untuk menginstimbatkan
hukum-hukum yang amali dari dalil-dalilnya yang tafshili.
2.
1.
Al-Qur’an 2. As-Sunnah 3. Ijma 4. Qiyas
3.
a).
Kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw dalam bahasa arab dengan
perantaraan malaikat jibril sebagai hujjah/argumentasi dalam mendakwahkan
kerasulannya dan sebagai pedoman hidup bagi manusia yang dapat digunakan untuk
mencari kebahagiaan hidup didunia dan akhirat serta sebagai media untuk
bertakarruf dengan membacanya.
Nash terpeliharanya Al-Qur’an dalam surah Al-Hijr : 9
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al
Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
b). Qathiyyud
Dalalah adalah : nash yang menunjukkan arti yang jelas sekali untuk
dipahami sehingga nash itu tidak dapat ditakwilkan (dirubah, dipindah, dinamai)
dan tidak dipahami dengan arti yang lain.
Dalam surah An-Nisa : 12
öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& bÎ) óO©9 `ä3t £`ßg©9 Ó$s!ur
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta
yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.”.
Contoh : bagian suami dalam mewarisi harta istrinya yang meninggal
dengan tidak mempunyai anak ialah (1/2) harta peninggalan tidak lebih dan
kurang.
-
Zhanniyyud
Dalalah adalah : nash yang menunjuk kepada
arti yang masih dapat ditakwilkan/dialihkan kepada arti yang lain.
Dalam firman Allah Al-Baqarah : 228
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè%
“wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru”
Atas dasar itulah
para mujtahid berbeda pendapatnya dalam menetapkan lamanya iddah perempuan yang
dithalaq oleh suaminya dalam keadaan tidak hamil/bukan karena ditinggal mati
oleh suaminya, iddahnya sampai dia melahirkan.
4.
a). As-Sunnah
menurut istilah syar’i adalah : Sabda, perbuatan dan persetujuan yang berasal
dari Rasulullah saw sesuai dengan 3 hal tersebut diatas yang disandarkan oleh
Rasulullah saw maka sunnah itu dapat dibedakan 3 macam.
-
Sunnah
qauliyyah (perkataan)
-
Sunnah
fi’liyyah (perbuatan)
-
Sunnah
taqririyyah (persetujuan)
·
Sunnah
mutawatirah adalah segala sesuatu dari Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh
sekian banyak sahabat yang menurut adat kebiasaan mustahillah mereka bersepakat
untuk berdusta. Kemudian dari sahabat-sahabat itu diriwayatkan pula oleh para
tabi’i dan orang berikutnya dalam jumlah yang seimbang dengan jumlah para
sahabat yang meriwayatkan pada mula pertama. Sunnah mutawatirah itu banyak kita dapatkan
pada sunnah amaliah (yang langsung dikerjakan oleh Rasulullah). Misalnya :cara
menjalankan shalat, melakukan puasa, menunaikan ibadah haji dll.
Perbuatan-perbuatan Rasulullah tersebut disaksikan sendiri secara langsung oleh
para sahabat dengan tidak ada perubahan sedikit pun pada waktu disampaikan
kepada para tabi’i dan orang-orang pada generasi berikutnya. Sunnah mutawatirah
qauliyah (berupa sabda-sabda Rasulullah) sedikit sekali yang mencapai derajat
mutawatirah.
Para
ulama membagi sunnah mutawatirah ini kepada :
-
Mutawatirah
lafzhiyah
-
Mutawatirah
ma’nawiyah
Sunnah mutawatirah dikatakan lafzhiyah
bila redaksi dan kandungan sunnah yang disampaikan oleh sekian banyak perawi
tersebut adalah sama benar. Diriwayatkan oleh lebih kurang 200 orang sahabat
dengan redaksi dan isi yang tidak berbeda. Misalnya sabda Rasulullah saw :
فَمَنْ كَذَ بَ
عَلَىَّ مُتَعِمْدًا فَلْيَتَبَوَّا مَقْعَدهُ مِنَ النَّارِ (متفق عليه)
“Maka barang siapa membuat kebohongan terhadap
saya dengan sengaja, hendaklah ia menempati tempat duduknya di api neraka.” (Rw. Bukhari-Muslim).
Sunnah Mutawatirah ma’nawiyah ialah sunnah
mutawatirah yang berbeda susunan yang berbeda susunan redaksinya satu sama
lain, tetapi masing-masing susunan redaksi yang berbeda-beda itu mempunyai
hal-hal yang sama (kadar musytarak). Misalnya : sabda Rasulullah saw tentang
mengangkat tangan pada waktu mendo’a. hadits semacam itu diriwayatkan oleh
kurang lebih 100 orang sahabat dengan ungkapan kalimat yang berbeda-beda dan
dicantumkan dalam masalah yang berbeda-beda pula. Akan tetapi dalam riwayat
yang berbeda-beda itu ada sesuatu yang sama (musytarak), yaitu sunnatnya
mengangkat tangan pada waktu mendo’a.
·
Sunnah
masyurah ialah segala sesuatu dari Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh
sahabat atau dua orang atau lebih yang tidak sampai mencapai derajat
mutawatirah, kemudian dari sahabat tersebut diriwayatkan oleh sekian banyak
tabi’i yang mencapai derajat mutawatirah dan dari sekian banyak tabi’i ini
diriwayatkan oleh sekian banyak rawi yang mutawatir pula. Misalnya hadits :
إِنَّمَا
الأَعْمَالَ بِا لِنْيَّاتِ وَإِنَّمَا
لِكُلِّ امْرِئِ مَا نَوَى
(متفق عليه)
“Amal-amal itu sahnya hanyalah dengan niat dan
setiap orang itu hanya akan memperoleh apa yang ia niatkan …………”.(Rw. Bukhari-Muslim)
Pada generasi sahabat hadits itu
hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas’ud ra dan Abu Bakar
ra. Tetapi kemudian generasi tabi’i hadits itu diriwayatkan oleh sekian banyak
orang yang mencapai derajat mutawatir dan pada generasi berikutnya pun demikian
sampai kepada kita.
·
Sunnah
Ahad ialah segala sesuatu dari Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh seorang
sahabat, dua orang atau lebih yang tidak sampai derajat mutawatir, kemudian
dari sahabat tersebut diriwayatkan oleh seorang tabi’i, dua orang atau lebih
dan seterusnya diriwayatkan oleh perawi-perawi dalam keadaan yang sama (tidak
mutawatir). Sunnah ahad ini adalah yang paling banyak kita dapati dalam
kitab-kitab sunnah.
Sunnah
ahad dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
1.
Shahih
2.
Hasan
3.
Dhaif
1.
Hadits
(sunnah) shahih ialah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, dan
sempurna ketelitiannya, sanadnya bersambung, sampai kepada Rasulullah, tidak
mempunyai cacat (‘illat) dan itu berlawanan dengan periwayatan orang yang lebih
terpercaya.
2.
Hadits
hasan, ialah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil tetapi kurang
ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah, tidak mempunyai
cacat dan tidak berlawanan dengan periwayatan orang yang lebih terpercaya.
3.
Hadits
dha’if, ialah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hadits
hasan.
Hadits dha’if
ini banyak macamnya antara lain :
Ø Hadits Maudhu
Ø Hadits Mursal
Ø Hadits Mu’allaq
Ø Hadits Munqathi’
Ø Hadits Mudallas
Ø Hadits Muththrib
Ø Hadits Mudraj
Ø Hadist Munkar
Ø Hadist Mubham
(lihat lebih
lanjut dalam ilmu Mushthalahul-Hadits).
b). Adapun nisbah As-sunnah dari segi materi hukum
yang terkandung didalamnya ada 3 macam :
a.
Muakkid
(Menguatkan)
Menguatkan
hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Dengan demikian hukum tersebut
ditetapkan oleh 2 sumber hukum yaitu : Al-Qur’an sebagai sumber yang menetapkan
hukumnya dan As-sunnah sebagai sumber yang menguatkannya. Misalnya: shalat dan
zakat telah ditetapkan hukumnya dalam Al-Qur’an An-Nisa : 77
(
no4qx.¢9$#(#qè?#ur
no4qn=¢Á9$# #qßJÏ%r&ur
“Dirikanlah
sembahyang dan tunaikanlah zakat.”
-
Berpuasa
telah ditetapkan hukumnya oleh Allah dalam QS. Al-baqarah : 183
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
Artinya:“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
-
Dan
menunaikan haji telah ditetapkan hukumnya dalam QS. Ali-Imran : 97
WxÎ6ymøs9Î)í$sÜtGó$#`tB
ÏMøt7ø9$#
kÏm¨$¨Z9$#n?tã!ur. . . .
Artinya:
. . . .mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup
Mengadakan perjalanan ke Baitullah”.
Dan
kemudian perbuatan-perbuatan tersebut dikuatkan oleh Rasulullah dalam sabda
beliau ketika berdialog dengan malaikat jibril.
قال
ىامحمد احبرى عن الاسلام, فققالل رسول الله صلعم الاسلام ان تشهد ان لااله الاالله
وان محمدا رسولالله, وتقىم الصلاة, وتؤتى الزكاة, وتصوم رممضان, والتحبح البىت ان
ستطعت الىه سبىلا.
“ malaikat jibril bertanya: “wahai Muhammad, terangkan padaku
tentang islam ! jawab Muhammad : ”Islam itu ialah persaksianmu bahwa tiada
tuhan selain Allah dan Muhammad itu pesuruh Allah, tindakanmu mendirikan
sembahyang, pembayaranmu atas zakat, berpuasamu di bulan ramadhan dan pergi
hajimu ke Baitullah bila kamu mampu melaksanakan perjalanan ke tempat itu“( Rw.
Muslim)
-
Keharaman
menserikatkan Allah, menyakiti hati kedua orang tua, dan bersaksi palsu telah
ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an :
·
QS.
Luqman : 13
¢Óo_ç6»t w õ8Îô³è@ «!$$Î/ ( cÎ) x8÷Åe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOÏàtã ÇÊÌÈ
Artinya:
“Ketika Luqman
berkata kepada anaknya, di w
aktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar".
·
QS.
Al-Isra' : 23
xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJÌ2 ÇËÌÈ
Artinya:
…….. Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah"
dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang
mulia.
Mengucapkan
kata’Ah’ kepada orang tua tidak dibolehkan oleh agama apalagi
mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar dari pada
itu.
·
Q.S
Al-Hajj : 30
r9$# ^öqs%
Í
#qç6Ï^tFô_$#ur
Artinya: …..
dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.
Maksudnya
antara lain Ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan
Rajab), tanah Haram (Mekah) dan ihram. Kemudian larangan-larangan tersebut
dikuatkan oleh sabda Rasulullah saw :
أَلَاأُنَبِّئُكُمْ
بِأَكْبَرِ الْكَبَاءِرِ- ثَلَاثًا- قُلْنَا بَلَى يَا رَسُوْللهِ. قَاَل:
اَلْاِشِرَاكُ بِاللهِ, وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ, وَكَانَ مُتْكِىَا فَجَلَسَ فَقَالَ: اَلَاوَقَوْلُ الزُّوْرِ
وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ, فَمَازَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْلتَهُ سَكَتَ.
Artinya:
“ perhatikanlah!
Saya akan menerangkan kepadamu sekalian sebesar-besar dosa besar” (diucapkan 3
kali).“Baiklah hai Rasulullah!”sahut kita semua. “mempersekutukan Allah,
mendurhakai kedua orang tua, “konon Rasulullah di saat itu sedang bersandar,
lalu duduk dan seraya bersabda: “Ingat, perkataan dan persaksian palsu.
”Rasulullah mengulang-ulanginya sampai aku meminta semoga beliau diam.”( Rw.
Bukhari-Muslim)
a.
Memberikan
keterangan (bayan) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.
Dalam
hal ini ada 3 macam penjelasan. Yakni :
1.
Memberikan
perincian ayat-ayat yang masih mujmal (tafshilulmujmal). Misalnya : perintah
sembahyang dalam QS. An-Nisa : 103
(#qßJÏ%r'sù no4qn=¢Á9$# 4 ¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã úüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B ÇÊÉÌÈ
Artinya:
“Maka
dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah
fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”.
Kemudian
Rasulullah saw menerangkan waktu-waktu shalat, jumlah rakaatnya, syarat-syarat
dan rukun-rukunnya dengan mempraktekkan sembahyang lalu setelah itu bersabda
kepada para sahabat :
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِىْ أُصَلِّى (رواه البخارى)
"Bersembahyanglah kamu seperti yang kamu lihat bagaimana aku
mengerjakan sembahyang."(HR. Bukhari)
1.
Membatasi
kemutlakannya (taqyidul mutlak) Misalnya : Al-Qur’an membolehkan kepada orang
yang akan meninggal wasiat atas harta
peninggalannya berapa saja dengan tidak dibatasi maksimalnya, dalam firman-Nya, Q.S An-Nisa : 12
Ó$s!ur.`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur 4Ó|»qã !$pkÍ5 ÷rr& Aûøïy u
Artinya: …….sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya”.
Memberi
mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti:
a.
Mewasiatkan
lebih dari sepertiga harta pusaka.
b.
Berwasiat
dengan maksud mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang dari sepertiga bila
ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.
Kemudian
Rasulullah memberikan batasan maksimal wasiat yang dibolehkan dalam suatu
dialognya dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash yang meminta agar diperkenankan
berwasiat 2/3 harta peninggalannya. Setelah permintaaan wasiat sebesar itu
ditolak oleh beliau, saat minta diperkenankan minta berwasiat ½ dari
permintaannya dan setelah permintaan ini sudah ditolak oleh Rasul.Lalu sa’ad
minta diperkenankan memberikan 1/3 hartanya dan Rasulullah mengijinkan 1/3 ini. Katanya :
اَلثُّلَثُ
كَثِيْرٌ , أِنَّكَ أَنْ تَذَ رَوَرَثَنَكَ أَغْنِيَا ءَ خَيْرٌمِنْ أَنْ
تَذَرَهُمْ عَا لَةً يَتَكَفَّفُلوْنَ الَنَّاسَ (متض عليه)
Artinya:……..
sepertiga itu adalah banyak dan besar, sebab jika kamu meninggalkan ahli
warismu dalam keadaan kecukupan adalah lebih baik dari pada jika kamu
meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang
banyak. (Rw. Bukhari-Muslim).
2.
Takhshishul
‘Am (mentakhshiskan keumumannya) Yaitu mentakhshiskan keumuman ayat-ayat
Al-Qur’an. Misalnya: Allah berfirman secara umum tentang keharaman makan
bangkai (binatang yang tiada disembelih dengan nama Allah) dan darah, dalam surah Al-Maidah : 3
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur .Í ÌYÏø:$#
“Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan”
Kemudian
Rasulullah mengkhususkannya dengan pengecualian kepada bangkai ikan laut,
belalang, hati, dan limpa dalam sabdanya :
احلت
لنا مىتتان ودمان, فاما المىتتان الحوت والجراد, واما اللدمان فا لكبدوالطحال(رواه
ابرهم والحاكم)
“Dihalalkan bagi dua macam bangkai dan dua
macam darah.Dua macam bangkai itu ialah bangkai ikan air dan belalang.Sedang
dua macam darah itu ialah hati dan limpa.(HR.
Ibnu Majah dan al-Hakim)
-
Masalah
pusaka-mempusakai antara anak dengan kedua orang tuanya, dalam firman-Nya :
يُوْصِيْكُمْ اللهُ فِى أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكرِ مِثْلُ حَظِّ
الأُنْثَيَيْنِ, (النساء : 11)
"Allah
mensyari’atkan kepadamu dalam pusaka anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak
laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan." (
An-Nisa’ : 11)
Dalam
ayat tersebut dikatakan secara umum orang tua yang mewariskan harta
peninggalannya kepada anak-ananya.kemudian keumuman itu ditakhshiskan oleh
sabda Rasulullah saw :
نَحْنُ- مَعَاشِرَالأَانْبِيَاءِ- لَانُوْرَثُ مَاتَرَكْنَاهُ
صَدَقَةُ. (منفق علىه)
"Kami, khususnya para nabi, tidak dapat diwarisi.Apa yang kami
tinggalkan adalah sebagai sedekah." (Rw. Bukhari-Musl im)
Perkataan
anak dalam ayat tersebut juga dilukiskan secara umum dengan lafadz “auladakum”
(anak-anakmu). Kemudian anak tersebut dikhususkan oleh Nabi Muhammad saw.
kepada anak yang dapat mewarisi. Sedang anak yang tidak berhak mempusakai harta
orang tuanya. Misalnya
: karena ia membunuh orang tuanya, dikeluarkan dari pengertian umum itu,
mengingat sabda Rasulullah saw :
لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنَ الْمَقْتُوْلِ شَيْئٌ (رواه انسائ)
"Tidak ada hak bagi si pembunuh mempusakai harta peninggalan orang
yang dibunuh sedikitpun. (Rw. An-Nisa’i)
3.
Menciptakan
hukum-hukum baru yang tiada dalam Al-Qur’an Misalnya : beliau menetapkan hukum
haramnya binatang buas yang bertaring
kuat dan burung yang berkuku kuat seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas :
نَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ عَنْ كُلِّ ذِيْ
نَابً مِنَ الْسِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِيْ مِحْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ (رواه مسلم)
“Rasulullah saw. melarang memakan setiap
binatang yang bertaring dari golongan binatang buas dan setiap binatang yang
berkuku kuat dari golongan burung. (Rw.
Bukhari-Muslim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar