BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
` Kebutuhan
adalah senilai dengan keinginan. Keinginan ditentukan oleh konsep kepuasan.
Dalam perspektif Islam kebutuhan ditentukan oleh konsep maslahah. Pembahasan
konsep kebutuhan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari kajian perilaku
konsumen dari kerangka maqasid syari’ah. Tujuan syariah harus dapat menentukan
tujuan perilaku konsumen dalam Islam. Tujuan syari’ah Islam adalah tercapainya
kesejahteraan umat manusia. Oleh karena itu, semua barang dan jasa yang
memiliki maslahah akan dikatakan menjadi kebutuhan manusia. Dalam konteks ini,
konsep maslahah sangat tepat untuk diterapkan. Menurut Shatibi maslah adalah
pemilikan atau kekuatan barang atau jasa yang mengandung elemen-elemen dasar
dasar dan tujuan kehidupan umat manusia didunia ini. Shatibi membedakan
maslahah menjadi tiga, yaitu : kebutuhan, pelengkap dan perbaikan. Khallaf
memberikan penjelasan mengenai maslahah sebagai berikut, bahwa tujuan umum
syar’iah dalam mensyari’atkan hukum ialah terwujudnya kemaslahatan umum dalam
kehidupan, mendapatkan keuntungan dan menghindari bahaya. Karena kemaslahatan
manusia dalam kehidupan ini terdiri dari beberapa hal yang bersifat daruriyyah,
hajiyah, dan tahsiniyyah telah terpenuhi, berarti telah nyata kemaslahatan
mereka seorang ahli hukum yang muslim, tentunya mensyariatkan hukum dalam
berbagai sektor kegiatan manusia untuk merealisasikan pokok-pokok daruriyyah,
hajiyah dan tahsiniyyah bagi perorangan dan masyarakat.
Daruriyyah,
yaitu sesuatu yang wajib adanya yang menjadi pokok kebutuhan hidup untuk
menegaskan kemaslahatan manusia. Hal- hal yang bersifat darury bagi manusia
dalam pengertian ini berpangkal pada pemeliharaan lima hal, yaitu : agama,
jiwa, akal, kehormatan, dan harta.
Hajiyah,
ialah suatu yang diperlukan oleh manusia dengan maksud untuk membuat ringan,
lapang dan nyaman dalam menanggulangi kesulitan-kesulitan kehidupan. Faktor
eksternal manusia dalam pengertian ini berpangkal pada tujuan menghilangkan
kesulitan dan beban hidup, sehingga memudahkan mereka dalam merealisasi tata
cara pergaulan, perubahan jaman dan menempuh kehidupan. Tahsiniyyah, ialah
sesuatu yang diperlukan oleh normal atau tatanan hidup, serta berperilaku
menurut jalan yang lurus. Hal yang bersifat tahsiniyyah berpangkal dari tradisi
yang baik dan segala tujuan perikehidupan manusia menurut jalan yang paling
baik.
Secara
logika dapat dipastikan apa-apa yang diciptakan Allah Swt untuk manusia
pastilah mencukupi untuk seluruh manusia. Persoalan kepemilikan terjadi ketika
manusia berkumpul membentuk suatu komunitas dan berinteraksi untuk memenuhi
kebutuhan akan kelangsungan hidupnya. Dalam perjalanan selanjutnya dijumpai ada
sekelompok manusia yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya namun tidak sedikit
pula ada kelompok manusia lain yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Disinilah kemudian urgensitas pembahasan konsep kepemilikan ini agar
benar-benar dapat menjadi jawaban bagaimana seharusnya pengaturan kepemilikan
terhadap segala yang sudah dianugerahkan oleh Allah Swt dapat memenuhi
kebutuhan hidup seluruh manusia secara adil.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Harta Dalam Persfektif Ekonomi Islam?
2. Apa Saja Jenis Pembagian
Harta?
3. Bagaiman Jenis Kepemilikan
Dalam Islam?
4. Bagaimana Pemanfaatan dan
Pengembangan Kepemilikan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Harta
Dalam Persfektif Ekonomi Islam
Islam
merupakan sistem kehidupan yang bersifat komprehensif, yang mengatur semua
aspek, baik dalam sosial, ekonomi, dan politik maupun kehidupan yang bersifat
spritual.[1]
Firman Allah dalam Qs. Al-maidah ayat 3. Yang artinya “ Pada hari ini telah ku-
sempurnakan untuk kamu agamu, dan telah ku- ucapkan kepadamu nikmat-ku, dan
telah ku- ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Dalam firman Allah SWT tersebut
dijelaskan jelas menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan
mempunyai sistem tersendiri dalam menghadapi permasalahan kehidupan, baik yang
bersifat material maupun nonmaterial. Karena itu ekonomi sebagai satu aspek
kehidupan, tentu juga sudah diatur oleh Islam. Ini bisa dipahami, sebagai agama
yang sempurna, mustahil Islam tidak dilengkapi dengan sistem dan konsep
ekonomi. Suatu sistem yang dapat digunakan sebagai panduan bagi manusia dalam
menjalankan kegiatan ekonomi. Suatu sistem yang garis besarnya sudah diatur
dalam Al-Qur’an dan As- Sunnah.
Ekonomi
Islam sesungguhnya secara inheren merupakan konsekuensi logis dari kesempurnaan
Islam itu sendiri. Islam haruslah dipeluk secara kaffah dan komprehensif oleh
umatnya. Islam menuntut kepada umatnya untuk mewujudkan keislamannya dalam
seluruh aspek kehidupannya. Sangatlah tidak masuk akal, seorang muslim yang
menjalankan shalat lima waktu, lalu dalam kesempatan lain ia juga melakukan
transaksi keuangan yang menyimpang dari ajaran Islam.
Dalam
mewujudkan kehidupan ekonomi, sesungguhnya Allah menyediakan sumber dayanya di
alam raya ini. Allah Swt mempersilahkan manusia untuk memanfaatkannya.
Dan harta merupakan salah satu kebutuhan
primer dalam kehidupan.[2]
Tidak ada manusia yang tidak membutuhkan harta, dalam Al- Qur’an, kata mal
(harta) disebutkan dalam 90 ayat lebih. Sedangkan di dalam hadits Rasulullah,
kata harta banyak sekali disebutkan tidak terhitung jumlahnya. Allah Swt
menjadikan harta benda sebagai salah satu di antara dua perhiasan kehidupan
dunia. Allah Swt. berfirman yang artinya :
“ Harta dan anak-anak
adalah perhiasan kehidupan dunia.” ( QS. Al – Kahfi [18] : 46 ).
Kata
harta dalam istilah ahli fikih berarti, “segala
sesuatu yang dapat dimiliki dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya.”
B.
Jenis
Pembagian Harta
·
Harta
benda dibagi menjadi dua kategori :
1.
Pertama,
harta berbentuk benda yaitu segala sesuatu yang berbentuk materi yang dapat
dirasakan oleh indera, seperti mobil dan lain sebagainya.
2.
Kedua,
harta berbentuk manfaat, yaitu faedah yang diperoleh dari suatu benda.
·
Harta
juga dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan asumsi berikut ini :
Pertama
: Perlindungan Syara’
Harta
yang bernilai
Yaitu
harta yang memiliki harga. Orang yang membuat harta jenis ini jika rusak harus
menggantinya, apabila digunakan dengan cara yang tidak sebagaimana mestinya.
Harta ini dapat dikategorikan sebagai harta bernilai yang berdasarkan dua
ketentuan.
Pertama,
harta yang merupakan hasil usaha dan bisa dimiliki. Kedua, harta yang bisa
dimanfaatkan menurut syara’ dalam keadaan lapang dan tidak mendesak, seperti
uang, rumah, dan sebagainya.[3]
Harta
yang tidak bernilai
Yaitu
harta yang tidak memenuhi salah satu dari dua kriteria di atas. Seperti ikan di
dalam air laut, semua ikan yang ada di dalam lautan bukan hak milik siapapun.
Demikian pula dengan minuman keras dan babi, kedua jenis harta ini tidak
termasuk harta yang bernilai bagi seorang muslim. Karena seorang muslim
dilarang untuk memanfaatkannya.
Kedua
: Harta yang Bergerak dan Tidak Bergerak
Harta
yang tidak bergerak
Yaitu
semua jenis harta yang tidak bisa dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang
lain. Seperti tanah, bangunan, dan yang sejenisnya.
Harta
yang bergerak
Yaitu
semua harta yang bisa dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Seperti mobil, perabotan rumah tangga, dan yang sejenisnya.
Ketiga
: Harta yang memiliki Kesamaan
Harta
yang serupa
Yaitu
jenis harta yang ada padanannya di pasar, sedikitpun tidak ada perbedaannya.
Seperti beras, kurma, dan yang sejenisnya.
Harta
yang tidak serupa
Yaitu
harta yang pada dasarnya tidak ada padanannya. Seperti sebuah permata langka.
Atau harta yang mempunyai padanan, tetapi terdapat perbedaan dalam
memperlakukannya. Seperti hewan, pohon, dan sejenisnya.
Keempat
: Harta yang konsumtif dan Tidak Konsumtif
Harta
yang konsumtif
Yaitu
semua harta akan habis ketika dimanfaatkan. Seperti makanan, minuman, dan yang
sejenisnya.
Harta
yang tidak konsumtif
Yaitu
harta yang dapat dimanfaatkan sementara bahannya tetap ada. Seperti buku,
mobil, dan yang sejenisnya.
Kelima
: Harta yang Dapat Dimiliki dan Tidak Dapat Dimiliki
Harta
yang mutlak dapat dimiliki
Yaitu
harta yang dikhususkan untuk kepentingan umum. Seperti jalan umum, jembatan dan
lain sebagainya.
Harta
yang tidak dapat dimiliki kecuali atas izin syara’
Seperti
harta yang telah diwakafkan. Harta wakaf tidak boleh diperjualbelikan, kecuali
dikhawatirkan atau jelas-jelas biaya pengeluaran untuk menjaga harta wakaf itu
lebih besar dari manfaat yang diperoleh.
Harta
yang dapat dimiliki
Harta
ini adalah jenis harta yang tidak termasuk dalam dua kategori di atas. Islam menganjurkan
keharusan menjaga harta. Rasulullah Saw. melarang untuk menghilangkan harta. Islam
juga menyamakan kedudukan harta milik pribadi sama dengan kedudukan harta milik
umum, dalam hal memberikan perlindungan, penjagaan dan menghormati
kepemilikannya, selama tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Islam
memandang harta sebagai salah satu bekal kehidupan dunia. Ia merupakan salah
satu sarana yang bisa mempermudah kehidupan manusia. Sehingga harta itu tidak
dicela karena digunakan pada hal-hal yang mungkar dan diharamkan. Harta juga
tidak dipuji, jika dipergunakan pada hal-hal yang baik. Harta hanya sebagai
sarana jika dipergunakan untuk kebaikan, maka ia akan menjadi baik dan jika
dipergunakan untuk keburukan maka ia akan menjadi buruk.
Harta tidak dicela karena zatnya. Akan
tetapi celaan hanya ditujukan pada manusia yang mempergunakannya.Sehingga manusia
kikir terhadap hartanya dan dapat mempergunakannya bukan di jalan yang halal.
Manusia bisa saja tidak mempergunakan
harta miliknya atau mempergunakannya tidak sebagaimana mestinyaatau hanya untuk
dibangga-banggakan. Salah
seorang bijak berkata, “Barangsiapa yang
mampu menggunakan hartanya dengan benar, maka berarti dia telah menjaga dua hal
yang mulia, yaitu agama dan kehormatan.”
Dalam
Islam, harta bukan sebagai tujuan, akan tetapi sebagai sarana untuk mendapatkan
manfaat dan untuk mencapai sebuah keinginan. Barangsiapa yang menggunakan harta
dalam koridor tersebut, maka ia akan menjadi kebaikan untuk dirinya dan
masyarakat, dan barangsiapa yang menggunakannnya sebagai tujuan dan kenikmatan,
maka hartanya akan berubah menjadi syahwat yang dapat mengantarkan dirinya
melakukan kerusakan, dan membuka pintu-pintu kerusakan terhadap manusia.[4]
Imam
Ghazali berkata, “ Harta benda bagaikan
ular, didalamnya terdapat racun dan penangkal. Faedah-faedah harta adalah
penangkalnya, sementara bencana adalah racunnya. Barangsiapa yang mengetahui
faedah dan bencananya, maka dia akan bisa menjaga diri dari dampak negatifnya,
dan akan bisa memetik positifnya. Maka bagaimanapun, harta benda merupakan
bagian dari hiasan dunia, yang tidak dianggap hina oleh islam sehingga
oramg-orang Islam harus menjauhinya, namun Islam juga tidak mengagungkannya,
sehingga Islam memposisikannya sebagai kebanggaan orang-orang Islam, akan
tetapi Islam menjadikannya sebagai mediasi untuk melakukan kebaikan, jika
pemiliknya memang ingin menggunakannya untuk kebaikan Islam menginginkan agar
umatnya bekerja, berjuang, dan memperlakukan harta dengan baik, agar harta bisa
dimilikinya dan digunakan untuk kebaikan dirinya, umatnya dan keluarganya.
Sehingga dengan demikian perbuatannya bisa dianggap sebagai jantung semua ibadah.
Dari sini dapat kita pahami, bahwa kita dituntut agar mengguanakan harta Allah
untuk ketaatan kepada-Nya.
Hal
itu dimanifestasikan dengan mendapatkan harta melalui cara yang halal dan menafkahkan
seluruh yang dikaruniakan oleh Allah di jalan-Nya , demi mengharap ridha Allah
dan akhirat tanpa melupakan keperluan duniawinya, dan merasa bahwa Allah
berbuat baik dengan melaporkan rezeki kepadanya.
Harta merupakan hadiah
kebaikan dari Allah, yang harus juga dibalas dengan kebaikan, yaitu baik dalam
menerima, baik dalam mempergunakan, baik dalam muraqobah pendekatan diri kepada
Allah, baik dalam merasakan nikmat, baik dalam bersyukur dan baik terhadap
makhluk tercermin dalam apa yang dianahkan oleh islam kepadanya, berupa norma
keimanan, etika, dan pengembangan.
C.
Jenis
Kepemilikan dalam Islam
Dalam
masalah kepemilikan, individu, masyarakat dan Negara sebagai subyek ekonomi
mempunyai hak-hak kepemilikan tersendiri yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
syariah.[5]
Dalam
masalah kepemilikan, individu, masyarakat dan Negara sebagai subyek ekonomi
mempunyai hak-hak kepemilikan tersendiri yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
syariah. Konsep kepemilikan menjadi sangat jelas dipaparkan oleh Taqiyuddin
an-Nabhani dalam kitabnya sistem ekonomi islam .
Dalam kitab ini
dijelaskan bahwa Islam membagi konsep kepemilikan menjadi : kepemilikan
individu (private property); kepemilikan public (collective property);
dan kepemilikan Negara (state property) .
a. Kepemilikan Individu ( private property )
Kepemilikan
individu adalah hak individu yang diakui syariah dimana dengan hak tersebut
seseorang dapat memiliki kekayaan yang bergerak maupun tidak bergerak. Hak ini
dilindungi dan dibatasi oleh hukum syariah dan ada kontrol. Selain itu
seseorang akhirnya dapat memiliki otoritas untuk mengelola kekayaan yang
dimilikinya.
Hukum
syariah menetapkan pula cara-cara atau sebab-sebab terjadinya kepemilikan pada
seseorang, yaitu dengan:
1)
Bekerja
2)
Pewarisan
3)
Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup
4)
Pemberian Negara
5)
Harta yang diperoleh tanpa usaha apapun
Hukum
syariah juga membatasi pemanfaatan harta dalam hal: menghambur-hamburkan harta
di jalan yang terlarang seperti melakukan aktifitas suap, memberikan
riba/bunga, membeli barang dan jasa yang diharamkan seperti miras/pelacuran.
Melarang transaksi dengan cara: penipuan, pemalsuan, mencuri timbangan/ ukuran.
Dan juga melarang aktifitas yang dapat merugikan orang lain seperti menimbun
barang untuk spekulasi.
Islam
juga menuntunkan prioritas pemanfaatan harta milik individu, bahwa pertama-tama
harta harus dimanfaatkan untuk perkara yang wajib seperti untuk member nafkah
keluarga, membayar zakat, menunaikan haji, membayar utang dan lain-lain.
Berikutnya dimanfaatkan untuk pembelanjaan yang disunahkan seperti sedekah, hadiah.
Baru kemudian yang mubah.
Aturan
Islam juga berbicara tentang bagaimana sesorang akan mengembangkan harta.
Antara lain dengan jalan yang sah seperti jual beli, kerja sama usaha
(syarikah) yang Islami dalam bidang pertanian, perindustrian maupun perdagangan
dan jasa. Dan juga larangan pengembangan harta seperti memungut riba, judi, dan
investasi di bidang yang haram seperti membuka rumah bordir, diskotik dan
lain-lain.
b. Kepemilikan Publik ( collective proverty
)
Kepemilikan
publik adalah seluruh kekayaan yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah
bagi kaum muslim sehingga kekayaan tersebut menjadi milik bersama kaum muslim.
Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari kekayaan tersebut, namun
terlarang memilikinya secara pribadi. Ada tiga jenis kepemilikan publik:
1.
Sarana
umum yang diperlukan oleh seluruh warga Negara untuk keperluan sehari-hari
seperti air, saluran irigasi, hutan, sumber energy, pembangkit listrik dll.
2.
Kekayaan
yang aslinya terlarang bagi individu untuk memilikinya seperti jalan umum,
laut, sungai, danau, teluk, selat, kanal, lapangan, masjid dll.
3.
Barang
tambang (sumber daya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk padat
(seperti emas atau besi), cair (seperti minyak bumi), atau gas (seperti gas
alam).
Seperti dalam hadits riwayat Abu Dawud
dan Ibn Majah
« الْمُسْلِمُونَ
شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ فِى الْكَلإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ »
Hak
pengelolaan kepemilikan umum (milkiyah amah) ada pada masyarakat secara umum
yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Negara karena Negara adalah wakil
rakyat. Negara harus mengelola harta milik umum itu secara professional dan
efisien.
Meskipun
Negara memiliki hak untuk mengelola milik umum, ia tidak boleh memberikan hak
tersebut kepada individu tertentu. Milik umum harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya kepada masyarakat luas.
Pemanfaatan
kepemilikan umum dilakukan dengan dua cara yaitu: pertama: jika memungkinkan,
individu dapat mengelolanya maka individu tersebut hanya diperkenankan sekedar
mengambil manfaat barang-barang itu dan bukan memilikinya.
Misal
memanfaatkan secara langsung milik umum seperti air, jalan umum dan lain-lain.
Kedua, jika tidak mudah bagi individu untuk mengambil manfaat secara langsung
seperti gas dan minyak bumi, maka Negara harus memproduksinya sebagai wakil
dari masyarakat untuk kemudian hasilnya diberikan secara cuma-cuma kepada
seluruh rakyat, atau jika dijual hasilnya dimasukkan ke bait al-mal (kas Negara)
untuk kepentingan masyarakat.
c.
kepemilikan Negara ( state
Property )
Milik
Negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim yang pengelolaannya
menjadi wewenang khalifah semisal harta fai, kharaj, jizyah dan sebagainya.
Sebagai pihak yang memiliki wewenang, ia bisa saja mengkhususkannya kepada
sebagian kaum muslim, sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh
khalifah ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.
Termasuk
dalam hal ini adalah padang pasir, gunung, pantai, tanah mati yang tidak
dihidupkan secara individual, semua tanah ditempat futuhat yang tidak bertuan
yang ditetapkan oleh khalifah/kepala Negara menjadi milik bait al-mal dan
setiap bangunan yang dibangun oleh Negara dan dananya berasal dari bait al-mal.
Meskipun
harta milik umum dan milik Negara pengelolaannya dilakukan Negara, keduanya
berbeda.
Harta
milik umum pada dasarnya tidak boleh diberikan Negara kepada siapapun, meskipun
Negara dapat membolehkan orang-orang untuk mengambil manfaatnya. Adapun
terhadap milik Negara, khalifah berhak untuk memberikan harta tersebut kepada
individu tertentu sesuai dengan kebijakannya.
D. Pemanfaatan dan Pengembangan Kepemilikan
a.
Pemanfaatan Kepemilikan
Kepemilikan
akan harta tentu dimaksudkan untuk memanfaatkan kekayaan tersebut dan larangan
memiliki kekayaan tanpa dimaksudkan untuk memanfaatkan kekayaan itu. Kekayaan
yang dibiarkan tanpa dimanfaatkan akan menyebabkan gangguan pada pertumbuhan
dan produktifitas perekonomian.
Bentuk-bentuk
pengaturan mengenai pengelolaan kekayaan mencakup tatacara pembelanjaan dan
tatacara pengembangannya. Islam menghendaki agar siapapun ketika mengelola
harta melakukannya dengan cara sebaik mungkin.[6]
Prioritas
utama yang dilakukan terkait dengan pengelolaan harta adalah mengkonsumsi
habis, khususnya menyangkut barang yang habis pakai seperti makanan dan
minuman. Atau mengkonsumsi dalam arti sekedar mengambil manfaat dari harta
seperti pakaian, rumah, mobil dan sebagainya.
Setiap
muslim harus tunduk mengikuti hukum-hukum syariah yang terkait dengan hal
tersebut. Mengingat dalam Islam setiap semua bentuk pemanfaatan akan dimintai
pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT kelak. Terkait dengan harta,
pertanggungjawaban yang diberikan meliputi dua perkara; tidak hanya untuk apa
harta itu digunakan dan dari mana harta didapat. Sehingga dalam hal ini
pengaturan pemanfaatan tersebut digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu
pemanfaatan yang dihalalkan dan pemanfaatan yang diharamkan dalam islam.
·
Pemanfatan
kepemilikan yang dihalalkan
Pengembangan
kepemilikan ini terkait dengan hukum-hukum di dalam Islam. Ada yang bersifat
wajib seperti nafkah, dan keperluan ibadah/zakat. Bersifat sunnah seperti
hibah, hadiah dan sedekah. Dan mubah seperti untuk keperluan rekreasi dan
lain-lain.
·
Pemanfaatan
kepemilikan yang dilarang
Ada
anjuran di dalam islam untuk tidak memanfaatkan harta dalam aktifitas israf dan
tadzbir, taraf (berfoya-foya), taqtir (kikir), menyuap, dan untuk tindakan
kedzaliman.
b.
Pengembangan kepemilikan
Pengembangan
kepemilikan terkait dengan suatu mekanisme atau cara yang akan digunakan untuk
menghasilkan pertambahan kepemilikan harta. Misalnya apakah dengan cara
diinvestasikan dalam sebuah perusahaan, untuk modal perdagangan, atau malah
dilarikan untuk perjudian.
1) Pengembangan kepemilikan dalam
islam
Pengembangan
kepemilikan tidak dapat dilepaskan dari hukum-hukum yang terkait dengan masalah
pertanian, perdagangan, dan industry serta jasa. Syariah Islam menjelaskan hukum-hukum
seputar perdagangan seperti jual-beli, persyarikatan dan sebagainya; serta telah
menjelaskan hukum seputar industry dan jasa atau ijarah al-ajir. Pengembangan kepemilikan dalam islam pada dasarnya
diberikan kebebasan untuk mengembangkannya selama tidak terkait dengan
larangan.
2) Pengembangan kepemilikan yang
dilarang
Dalam
sistem ekonomi Islam, masalah pengembangan kepemilikan terikat dengan hukum-hukum
tertentu yang tidak boleh dilanggar.
Syariah
islam melarang pengembangan harta dalam hal :
a. Perjudian
b. Riba
c. Al-Ghabn al-Fahisy /trik keji
d. Tadlis/penipuan
e. Penimbunan
f. Mematok harga
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Semua kekayaan dan harta benda
merupakan milik Allah, manusia memilikinya hanya sementara, semata-mata sebagai
suatu amanah atau pemberian dari Allah. Manusia menggunakan harta berdasarkan
kedudukannya sebagai pemegang amanah dan bukan sebagai pemilik yang kekal.
Karena manusia mengemban amanah mengelola hasil kekayaan di dunia, maka manusia
harus bisa menjamin kesejahteraan bersama dan dapat mempertanggungjawabkannya
dihadapan Allah Swt.
Semoga
apa yang di sampaikan dalam makalah ini dapat membantu kita semua dalam
memahami bagaimana cara Pandang Islam tentang Kepemilikan Harta.
DAFTAR PUSTAKA
Hermawan
Kartajaya & Muhammad Syakir Sula.2006. Syariah Marketing.Bandung,
Mizan.
DR.Asyraf
Muhammad Dawwabah. 2008. Meneladani Keunggulan Bisnis Rasulullah.
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra
Muhammad
& Alimi. 2005. Etika dan Perlindungan konsumen dalam Ekonomi Islam.
Yogyakarta,BPFE.
Nurul
huda & Mustafa Edwin Nasution. 2007. Investasi pada Pasar Modal Syari’ah.
Jakarta, Media Group.
Muhammad.2004. Etika Bisnis Islam.Yogyakarta,
UPP-AMP-YKPN.
M. Ismail Yusanto dan M. Karebet Wijayakusuma. Menggagas
Bisnis Islami.
[1] Nurul Huda & Mustafa Edwin Nasution, Investasi Pada Pasar Modal
Syariah, (Jakarta: Media Group, 2007), hlm 1
[2] Asyaraf Muhammad Dawwabah, Meneladani Bisnis Rasulullah, (
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2008),hlm 1
[3] Asyaraf
Muhammad Dawwabah, Meneladani Bisnis
Rasulullah, ( Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2008),hlm 2
[4] Muhammad
& Alimin, Etika dan Perlindungan
Konsumen dalam Ekonomi Islam, (Yogyakarta : BPFE, 2006),hlm 149.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar