BAB. I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sebagaimana
diketahui bahwa hukum merupakan salah satu aspek terpenting dalam Islam
disamping beberapa aspek terpenting lainnya. Dengan adanya hukum, manusia
bersama komunitasnya dapat menjalankan beragam aktivitasnya dengan tenang dan
tanpa ada perasaan was-was. Dan dengan hukum pula manusia dapat mengetahui
manakah pekerjaan-pekerjaan yang diperbolehkan dan apa sajakah
pekerjaan-pekerjaan yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Fiqih sebagai
sebuah produk hukum tentu perlu mendapat penjelasan tentang apa dan bagaimana
Fiqih bisa menjadi sebuah ketetapan hukum ?
Kaitannya dengan Filsafat pendidikan Islam yang merupakan proses berfikir yang mendasar, sistematik. logis, dan menyeluruh (universal) tentang Pendidikan
Islam dengan Al Quran dan Al Hadits sebagai acuan dasar. Maka tentu pembahasannya tidak hanya sekedar pengetahuan
agama Islam saja, melainkan juga ilmu-ilmu
lain yang relevan. Hal inilah yang menjadi ruang lingkup filsafat Pendidikan
Islam yaitu masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti
masalah tujuan pendidikan, masalah guru (tenaga pendidik), kurikulum
(serangkaian mata pelajaran, seperti; Al Quran, Hadits, Fiqh, aqidah, Akhlaq,
dll), metode (cara penyampaian materi pelajaran), dan lingkungan.
Sementara itu, tujuan Pendidikan
Islam bukan sekedar "transper of knowledge" ataupun "transper
of training", ....tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di
atas pondasi “keimanan” dan “kesalehan”, yaitu suatu sistem yang terkait secara
langsung dengan Tuhan [Roihan Achwan, 1991:50]. Dengan demikian, dapat dikatakan pendidikan Islam suatu kegiatan yang
mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan
nilai-nilai Islam. Maka sosok pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu
sistem yang membawa manusia kearah kebahagian dunia dan akhirat melalui ilmu
dan ibadah.
Karena
pendidikan Islam membawa manusia untuk kebahagian dunia dan akhirat, maka yang
harus diperhatikan adalah "nilai-nilai Islam tentang manusia; hakekat dan
sifat-sifatnya, misi dan tujuan hidupnya di dunia ini dan akhirat nanti, hak
dan kewajibannya sebagai individu dan anggota masyarakat. Semua ini dapat kita
jumpai dalam al-Qur'an dan Hadits [Anwar Jasin, 1985:2]. Ilmu Fiqih merupakan bagian
dari masalah-masalah terkait dengan kegiatan Pendidikan Islam ( baca: Ruang
Lingkup). Fiqih sudah menjadi bagian dari kurikulum yang harus diajarkan di
sekolah/madrasah, pesantren dan lembaga pendidikan Islam lainya. Apa kajian
ilmu Fiqih ? Bagaimana mempelajarinya ? dan mengapa Ilmu Fiqih perlu
diajarkan ? Makalah penulis akan menyajikan tinjauan Filsafat
Pendidikan Islam yang merupakan bagian dari Filsafat ilmu dalam kajian
ontologi, epistemologi, dan aksiologi terhadap mata pelajaran Fiqih, yaitu:
- Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
- Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
- Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982)
B.
Rumuan Masalah
Bedasarkan uraian di atas, jelas bahwa membicarakan Filsafat
Pendidikan Islam tentu tidak meninggalkan ruang lingkup pembahasan yang
meliputi tujuan pendidikan, masalah guru, kurikulum, metode,
dan lingkungan. Tujuan Pendidikan Islam secara
garis besar adalah sebagai upaya mengantarkan manusia untuk mencapai
kebahagiaan hidup dunia dan akherat. Dalam rangka mencapai tujuan itu maka
disusunlah Kurikulum Pendidikan Islam yang diantaranya adalah mata pelajaran
Fiqih. Ilmu Fiqih dirasa sangat penting dalam rangka mendukung
keberhasilan tujuan hidup manusia.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis membuat rumusan masalah: Seberapa
penting mata pelajaran Fiqh diberikan pada siswa ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Imu Fiqih
Arti kata
al-figh adalah paham yang mendalam. Salah satu
bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum
yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi,
bermasyarakat maupun hubungan manusia dengan Penciptanya.
Ada beberapa definisi fiqh yang dikemukakan
ulama fiqh sesuai dengan perkembangan arti fiqh itu sendiri. Misalnya, Imam Abu
Hanifah mendefinisikan fiqh sebagai pengetahuan diri seseorang tentang apa yang
menjadi haknya dan apa yang menjadi kewajibannya. Definisi ini meliputi semua
aspek kehidupan, yaitu aqidah, syariat dan akhlak. Fiqh di
zamannya dan di zaman sebelumnya masih dipahami secara luas, mencakup bidang ibadah,
muamalah dan akhlak. Dalam perkembangan selanjutnya, sesuai
dengan pembidangan ilmu yang semakin tegas, ulama ushul fiqh mendefinisikan
fiqh sebagai ilmu tentang hukum syara' yang bersifat praktis yang diperoleh
melalui dalil yang terperinci. Definisi tersebut dikemukakan oleh Imam
al-Amidi, dan merupakan definisi fiqh yang populer hingga sekarang.
Ulama usul fiqh menguraikan kandungan definisi ini
sebagai berikut:
1. Fiqh merupakan suatu ilmu yang mempunyai tema pokok
dengan kaidah dan prinsip tertentu. Karenanya dalam kajian fiqh para fuqaha
menggunakan metode-metode tertentu, seperti qiyas, istihsan (memilih yg lebih
baik/lebih kuat), istishab (penetapan hukum yg berlaku sebelumnya), istislah,
dan sadd az-Zari'ah (az-Zari'ah) (Larangan terhadap syara’ yang dapat
mendatangkan perbuatan yang dilarang);
2.
Fiqh adalah
ilmu tentang hukum syar'iyyah, yaitu Kalamullah/Kitabullah yang berkaitan
dengan perbuatan manusia, baik dalam bentuk perintah untuk berbuat, larangan,
pilihan, maupun yang lainnya. Karenanya, fiqh diambil dari sumber-sumber
syariat, bukan dari akal atau perasaan;
3.
Fiqh adalah
ilmu tentang hukum syar'iyyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik dalam
bentuk ibadah maupun muamalah. Atas dasar itu, hukum aqidah dan akhlak tidak
tertmasuk fiqh, karena fiqh adalah hukum syara' yang bersifat praktis yang
diperoleh dari proses istidlal(Metode berdalil dengan berbagai dalil
hukum selain Al-Qur’an dan Al-Sunnah) atau istinbath (penyimpulan) dari
sumber-sumber hukum yang benar; dan
4. Fiqh diperoleh melalui dalil yang tafsili
(terperinci), yaitu dari Al-Qur'an, sunnah Nabi SAW, qiyas, dan ijma' melalui
proses istidlal, istinbath, atau nahr (analisis). Yang dimaksudkan dengan dalil tafsili adalah dalil yang menunjukkan suatu
hukum tertentu. Misalnya, firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 43:
"..... dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat....." Ayat ini
disebut tafsili karena hanya menunjukkan hukum tertentu dari perbuatan
tertentu pula, yaitu shalat dan zakat adalah wajib hukumnya. Dengan demikian
menurut para ahli usul fiqh, hukum fiqh tersebut tidak terlepas dari an-Nusus
al-Muqaddasah (teks-teks suci). Karenanya, suatu hukum tidak dinamakan fiqh
apabila analisis untuk memperoleh hukum itu bukan melalui istidlal atau
istinbath kepada salah satu sumber syariat.
Berdasarkan hal tersebut, menurut
Fathi ad-Duraini (ahli fiqh dan usul fiqh dari Universitas Damascus), fiqh
merupakan suatu upaya memperoleh hukum syara' melalui kaidah dan metode usul
fiqh. Sedangkan istilah fiqh di kalangan fuqaha mengandung dua pengertian,
yaitu:
1.
Memelihara
hukum furu' (hukum keagamaan yang tidak pokok) secara mutlak
(seluruhnya) atau sebagiannya; dan
2.
Materi hukum
itu sendiri, baik yang bersifat qath'i (pasti) maupun yang bersifat dzanni
(relatif) (Qath'i dan Zanni).
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa (ahli fiqh dari
Yordania), fiqh meliputi:
1.
Ilmu tentang
hukum, termasuk usul fiqh; dan
2.
Kumpulan
hukum furu'.
Dalil – dalil terkait dengan ilmu Fiqh:
QS At Taubah [9] : 123;
“Maka apakah tidak lebih baik dari tiap-tiap kelompok
segolongan manusia untuk ber “tafaqquh” (memahami fiqih) dalam urusan
agama dan untuk memberi peringatan kaumnya bila mereka kembali; mudah-mudahan
kaumnya dapat berhati-hati (menjaga batas perintah dan larangan Allah).”
Hadits Nabi
:
“Barangsiapa dikehendaki oleh Allah akan diberikannya
kebajikan dan keutamaan, niscaya diberikan kepadanya “ke-faqih-an”
(memahami fiqih) dalam urusan agama.” (HR.
Bukhari-Muslim).
Ilmu fiqih adalah ilmu untuk
mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik
yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang
jelas (tafshili).
Produk ilmu
fiqih adalah “fiqih”. Sedangkan kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan)
hukum dari sumbernya dipelajari dalam ilmu “Ushul Fiqih”.
B.
Cara
Mempelajari Ilmu Fiqih
Kajian
Epistemologi dalam teori pengetahuan membahas tentang bagaimana cara
mendapatkan pengetahuan dari obyek yang ingin diketahui/dipikirkan. Para fuqoha
dalam upayanya untuk memahami hakikat syari’at Islam dan menetapkan hukum-hukum
syari’at secara terperinci, telah merumuskan suatu sistem berpikir yang
khas, sebagaimana yang terdapat dalam ilmu Ushul Fiqih. Selanjutnya mereka
menyatakan bahwa Fiqh dengan sistem ijtihadnya yang disebut Ushul Fiqh tersebut
merupakan bentuk awal dari filsafat Islam yang murni (Omar Amin Husein,
Filsafat Islam). Berikut cara-cara yang dilakukan para ulama Fiqih dalam
melakukan istinbat.
Istinbath menurut
Muhammad bin ‘Ali al Fayyumi adalah upaya menarik hukum dari al-Qur'an
atau as-Sunnah dengan jalan Ijtihad. Ijtihad diartikan sebagai pengerahan
seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara’ (Al Baidawi).
Istinbath hukum syariah diambil dari sumber dan dalil yang dapat
dijadikan acuan penetapan hukum. Sumber atau dalil syariah terbagi
menjadi dua, yaitu :
1.
Sumber dan dalil yang disepakati, yaitu al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma’, dan
Qiyas. (Abd. Al Majid Muhammad Al Khafawi, Mesir)
2. Dalil
yang tidak disepakati yaitu; istihsan, mashalih al-mursalah, ‘urf (adat
istiadat), Istishab, syar’u man Qoblana, mazhab sahabat, dan sad al-zari’ah.
Dalil selain Al-Quran dan
As-Sunnah sebenarnya adalah hanya merupakan dalil pendukung yang menjadi alat
bantu untuk menggapai hukum-hukum yang dikandung dalam Al Quran dan As sunnah.
Untuk selanjutnya dalil seperti; Ijma’, Qiyas, istihsan, mashalih
al-mursalah, ‘urf (adat istiadat), Istishab, syar’u man Qoblana, mazhab
sahabat, dan sad al-zari’ah oleh sebagian ulama disebut dengan metode istinbat.
Ayat Al Quran dalam menunjukkan
pengertiannya menggunakan berbagai cara, ada yang tegas dan ada yang tidak
tegas, ada yang melalui arti bahasanya dan ada pula yang melalui maksud
hukumnya. Disamping itu ada juga dua dalil
yang seolah berbenturan sehingga memerlukan penyelesaian. Ada berbagai cara
dari berbagai aspek untuk menimba pesan-pesan yang terkandung dalam Al Quran
dan Sunnah Rasulullah. Secara garis besar ada 3 macam
metode (cara) istinbat, yaitu:
1. Metode dari
segi kebahasaan;
Untuk memahami dua sumber yang
berbahasa Arab tentu memerlukan keterampilan tersendiri. Sehingga para ulama
menyusun semacam “semantik” yang akan digunakan dalam praktik penalaran Fiqih.
Ada beberapa katagori lafal atau redaksi, diantaranya adalah masalah;
a.
Amar, Nahi
dan Takhyir
-
Amar
(perintah); biasanya ayat ini menggunakan kata “amara” atau kata
lain yang berarti perintah (bentuk kata kerja). Kaidah yang ditetapkan
diantaranya adalah meskipun perintah bisa menunjukkan berbagai pengertian,
namun pada dasarnya menunjukkan wajib dilaksanakan kecuali ada dalil yang
memalingkannya. Begitu juga dengan kata “Nahy” sebagai kebalikannya yang
menunjukkan hokum haram.
Contoh
surat: An Nahl : 90
-
Takhyir
(memberi pilihan); boleh melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang dalam hal
ini mengarah pada hukum halal atau mubah.
Contoh surat: Al Baqarah: 187
b.
Ada juga
katagori lafal Umum (‘Am) dan Khusus (Khas) bila dilihat dari cakupannya.
c.
Mutlaq
artinya ayat yang tidak dibatasi secara harfiah oleh suatu ketentuan sehingga
harus dipahami secara mutlaq. Sebaliknya ayat Muqoyyad harus dilakukan sesuai
dengan batasan (kaitannya).
d.
Mantuq
merupakan memberi pengertian harfiah secara tegas pada ayat atau hadits
Rasulullah sedangkan Mafhum adalah pengertian tersirat dari lafal atau
pengertian kebalikan dari lafal.
e.
Katagori
berikutnya adalah lafal yang jelas (nash), Zhahir (dugaan keras), dan Mujmal
artinya tidak jelas dan untuk memahami harus dengan penjelasan dari luar
(bayan).
f.
Lafal dari
segi pemakaiannya ada hakikat artinya lafal yang digunakan sesuai dengan maksud
penciptaanya dan lafal majaz artinya menggunakan lafal kepada selain
pengertian aslinya.
g.
Takwil;
memalingkan suatu lafal dari makna yang zahir kepada makna lain.
2. Metode
Maqasid syari’ah.
Ayat-ayat dan hadits hukum secara
kuantitaif terbatas jumlahnya akan dapat berkembang dengan metode ini.
Pengembangan metode ini menggunakan istinbat dengan qiyas (analogi), istihsan,
istishab (menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada sebelumnya atau
meniadakan hukum yang memang tiada sampai ada bukti yang mengubahnya) ,
maslahah mursalah, dan ‘urf (adat kebiasaan)
3. Metode
Ta’arud dan Tarjih
Suatu dalil
terkesan menghendaki berbeda dengan hukum yang dikehendaki oleh dalil lain.
Meskipun sebenarnya tidak ada pertentangan diantara Kalam Allah dan
Rasul-Nya. Mungkin hanya ada dalam pandangan Mujtahid sehingga perlu ada upaya
keras untuk mencari jalan keluar. Seperti ; meneliti lebih dulu turunnya,
meneliti yang lebih kuat, atau mengkompromikan, dll.
Umat Islam menurut disiplin ilmu
fiqh Islam dikelompokkan menjadi 3 golongan; kelompok pertama yaitu kelompok
para ulama yg mampu berijtihad, kelompok kedua yaitu pencari ilmu dan para
pelajar ilmu syari’ah dan kelompok ketiga adalah kelompok masyarakat awam.
a.
Bagi
kelompok ulama maka mereka memiliki kewajiban berijtihad dan tdk ada keharusan
(bahkan dilarang) mengikuti suatu pendapat dari ulama yg lain.
b. Bagi
kelompok pelajar ilmu syariah dianjurkan mampu mengetahui dan menguasai dalil
pendapat yg ia ikuti (mazhabnya) sambil dianjurkan untuk terus meningkatkan
ilmunya sehingga dapat mencapai derajat mujtahid.
c. Sedangkan bagi kelompok awam, kewajiban
mereka adalah bertanya dan mengikuti pendapat ulama (taqlid) thd permasalahan
keseharian yg mereka hadapi.
Diantara ulama fiqh Islam yg
terkenal, secara berurutan berdasarkan sejarahnya adalah Imam abu Hanifah,
Malik, Syafi’i dan Ahmad. Sebenarnya masih banyak ulama lain yg lebih alim dan
lebih senior dalam masalah Fiqh ini (seperti Imam Atha’ bin abi Rabah di
Makkah, Hasan al-Bashriy di Bashrah, Muhammad bin Sirin di Syam, dll.), tetapi
keempat ulama yg disebutkan pertama itulah yg memiliki paling banyak murid dan
pengikutnya, disamping juga karena pembahasan fiqh mereka yang utuh dan
menyeluruh terhadap semua permasalahan dalam fiqh Islam. Sehingga dikenallah
dalam khazanah fiqh Islam sebagai al-madzahibul arba’ah dan mereka merupakan
rujukan utama dalam pengambilan hukum, bukan hanya dalam skala pribadi dan
masyarakat tetapi juga dalam skala daulah Islamiyyah al-Alamiyyah.
Adapun Madzhab secara bahasa artinya
tempat berjalan (dari fi’il/kata kerja : dzahaba-yadzhabu), dalam arti syariah
ialah jalan yg membantu seseorang untuk memahami al-Qur’an dan as-Sunnah dg
tepat, contohnya madzhab Syafi’i artinya cara bagaimana kita memahami al-Qur’an
dan as-Sunnah dan melaksanakannya menurut Imam Syafi’i.
Dalam Islam tidak ada kewajiban untuk
mengikuti suatu madzhab tertentu sebagaimana juga tdk ada larangan untuk
memegang madzhab tertentu. Yg dilarang adalah jika terjadi ta’ashub (sikap
fanatisme) thd suatu madzhab tertentu dan menyalahkan madzhab lainnya.
Para imam madzhab itupun asalnya tidak
langsung membuat madzhab melainkan ikut dulu belajar pada imam lainnya, imam
Syafi’i selama 15 th belajar pada Imam Malik, demikian pula Imam Ahmad belajar
dulu pada Imam Syafi’i. Sebagaimana seorang yg mau ke Bogor dari Jakarta mesti
mengikuti dulu rute jalan/madzhab yg sudah ada, baru nanti jika ia sudah
menguasai sepenuhnya, maka ia bisa membuat madzhabnya sendiri dengan jalan2
tembus tertentu sehingga mungkin lebih cepat. Madzhab yang dibuatnya itu bisa
saja lebih canggih dari madzhab sebelumnya dan ia akan diikuti oleh para
pengikut madzhabnya tsb, demikian gambarannya.
Oleh sebab itu jika ada orang
berkata : Kita tidak perlu bermadzhab!! Maka lihat dulu siapa yg bicara tsb,
jika ia seorang ulama/mujtahid maka perkataannya benar, sebab seorang mujtahid
tdk boleh/haram untuk bermadzhab. Tetapi jika ia seorang yang belum atau tidak
menguasai ilmu syari’ah maka perkataannya itu harus dikoreksi, karena mau tdk
mau ia pasti harus bermadzhab, baik madzhab salaf atau ia bermadzhab dengan
mengikuti orang sekarang (khalaf). Diantara ulama-ulama Khalaf yang termashur adalah Hasan Asy’ari, Abdul
Qodir Al-Baghdadi, Abu Ma’aali Juwaini dan Fakhruddin Ar-Razi. Kesemua itu juga dalam fiqh disebut
madzhab juga, karena merumuskan cara-cara tertentu dalam memahami dalil
syariat.
Hanya jika seseorang telah
bermadzhab (baik dengan madzhab salaf maupun khalaf) hendaknya ia berusaha
mencari dalil-dalil dari madzhabnya tersebut serta berusaha semampunya untuk
meneliti sandaran ayat dan haditsnya, serta mau menerima jika ada pendapat dari
madzhab lain yang lebih kuat. Karena hal tersebut tidak berarti ia keluar dari
madzhabnya karena semua madzhab bermuara pada Nabi SAW. Dan tdk perlu seseorang
itu fanatik thd madzhab, karena semua mengambil dari Nabi SAW, jadi apa yg mau
difanatikkan?
Dalam syariah Islam ada
masalah-masalah yang bersifat prinsip (ushul), tetap (tsawabit), disepakati
(mujma’ ‘alaih); tetapi ada pula masalah-masalah yang bersifat cabang (furu’),
tidak tetap (mutaghayyirat) dan diperselisihkan (mukhtalaf fihi).
Masalah-masalah furu’ dan
mutaghayyirat adalah sesuatu yg tidak mungkin disepakati oleh para ulama
sepanjang zaman, sehingga terjadilah ikhtilaf (perbedaan pendapat). Perbedaan
pendapat ini (selama masih disandarkan pd dalil yg shahih) sepanjang terjadi pada
masalah ijtihadiyyah, furu’iyyah, dan mutaghayyirat maka merupakan suatu rahmat
ALLAH SWT yg tidak dapat dihapuskan. Sehingga disinilah diperlukan sikap lapang
dada (rahbatush shadr), toleransi (tasamuh) serta tidak diiringi fanatisme
(ta’ashshub), serta berupaya untuk memahami pendapat pihak lain yang berbeda
dengan kita.
Al-Ikhtilaf tentang suatu masalah
sudah ada semenjak masa Nabi SAW, dan beliau SAW pun tidak menyalahkan kepada
salah satu pihak, bahkan memberikan kebebasan bagi mereka untuk berikhtilaf
sesuai dengan pendapat dan pemikirannya masing-masing sepanjang masih berada
dalam koridor syar’iyyah. Dalam masalah ikhtilaf ini terkadang harus diambil
keputusan dimana semua kelompok harus menerima, dan masalah-masalah seperti ini
biasanya adalah masalah teknis yang tidak disebutkan dalam nash al-Qur’an dan
as-Sunnah.Sehingga disinilah dibutuhkan syura’ serta ada seorang pemimpin yg
memutuskan kata akhir dari syura’ tersebut. Hal seperti ini pernah terjadi
ketika para sahabat berselisih dalam menentukan keputusan berperang melawan
Quraisy, apakah mereka harus bertahan di Madinah atau harus keluar ke Uhud. Dan
akhirnya diputuskan berdasarkan suara mayoritas untuk pergi ke Uhud walaupun
Nabi SAW cenderung untuk bertahan di Madinah.
Ikhtilaf lainnya adalah yang terkait
dengan pemahaman terhadap nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Setelah perang Uhud ini
Nabi SAW memerintahkan pada para sahabatnya agar : “ Janganlah kalian shalat
Ashar kecuali pd perkampungan bani Quraizhah (La tushalliyannal ‘ashra illa fi
bani quraizhah)! ” Maka semua sahabatpun melaksanakan perintah tsb, tetapi saat
ditengah jalan waktu Ashar hampir habis, sehingga mereka perlu memutuskan
apakah melaksanakan perintah nabi SAW atau melakukan shalat.
Maka
sebagian dari mereka tetap berpegang kepada zhahir (tekstual) pesan Nabi SAW
dan tdk melakukan shalat melainkan setelah sampai ke bani Quraizhah, sementara
sebagian yg lain berusaha memahami perkataan nabi SAW tsb secara kontekstual
sehingga mereka melakukan shalat dg cepat lalu menyusul ke perkampungan bani
Quraizhah. Ketika mereka semua melaporkan kepada Nabi SAW hal tsb, maka Nabi
SAW tidak menyalahkan kepada salah satu kelompok.
Sebab-sebab bisa terjadinya Ikhtilaf Fiqh :
1. Bisa karena nash as-Sunnah sampai kepada
sebagian ulama, tetapi tidak sampai kepada ulama yang lain, sehingga kesimpulan
ijtihad mereka menjadi berbeda.
2. Ada
terjadi 2 nash atau lebih seolah-olah bertolak-belakang antara nash tersebut,
sehingga ada yg menggunakan metode jam’i (menggabungkan) ada yg menggunakan metode
tarjih (menguatkan salah satu).
3. Tidak ada penunjukan (dilalah) yang jelas, sehingga
diambil dari umumnya nash atau melalui mafhum atau qiyas. Seperti ayat tentang
Tidaklah menyentuh al-Qur’an kecuali mereka yg suci.. Suci dalam ayat ini
bermakna musytarak (bisa berbagai arti), bisa berarti orang yg telah
bersyahadah (muslim), bisa juga diartikan orang yang telah berwudhu, bisa juga
diartikan para malaikat yg suci.
4.
Perbedaan pemahaman bahasa Arab, diantaranya
dengan memahami bahasa tsb apakah perintah atau larangan. Lalu sebagian ulama
mengartikan sebuah perintah berarti wajib, sementara sebagian yg lain
mengartikannya sunnah, Begitu juga sebuah larangan ada yang mengartikannya
haram dan ada pula yg mengartikannya makruh, seperti hadits tentang musik dan
menggambar.
5.
Terjadi
perbedaan pendapat terkait dengan derajat keshahihan hadits, hal ini terutama
terjadi pd nash-nash yang bukan muttafaq ‘alaih (Bukhari Muslim), ada yang
menguatkan/menshahihkan ada pula yg melemahkan/mendha’ifkan.
6.
Terjadi
perbedaan pendapat terkait dengan hadits ahad, ada yang menerima dan ada pula
yg menolak. Seperti tentang turunnya Isa bin Maryam, Imam Mahdi, dsb.
7.
Pengaruh
kultur budaya setempat dimana para ulama tsb tinggal. Contohnya Imam Syafi’i
menulis kitabnya yang dinamakan qaulul qadim ketika ia tinggal di Iraq, dan
membuat fatwanya yang baru yg dinamakan qaulun jadid saat beliau pindah ke
Mesir, karena perbedaan kultur setempat.
C. Kegunaan Imu
Fiqih
Kajian
Axiologi dalam teori Filsafat Pendidikan Islam terhadap ilmu Fiqih tentu
membawa kita pada sebuah nilai, manfaat, dan fungsi Fiqih. Ilmu Fiqih
sangat penting sekali bagi setiap muslim. Sebab untuk hal-hal yang wajib
dilakukan, hukumnya pun wajib untuk mempelajarinya. Misalnya kita tahu bahwa
shalat lima waktu itu hukumnya wajib. Maka belajar fiqih shalat itu pun
hukumnya wajib juga. Sebab tanpa ilmu fiqih, seseorang tidak mungkin
menjalankan shalat dengan benar sebagaimana perintah Allah SWT dan Rasulullah
SAW.
Memang ada sebagian orang yang
memandang remeh ilmu fiqih. Seringkali mereka mengatakan bahwa belajar fiqih
itu hanya belajar malasah air dan cebok saja. Padahal yang dipelajarinya
barulah mukaddimah belaka. Bila ilmu itu diteruskan, maka fiqih itu akan sampai
kepada masalah yang aktual seperti urusan politik, mengatur negara dan
seterusnya (fiqih siyasah; masalah khilafah, imamah dan imarah, masalah gelar
kepala Negara dll.). Bahkan bisa dikatakan bahwa fiqih itu mencakup semua aspek
kehidupan manusia. Tidak ada tempat berlari dari fiqih.
Beberapa hal yang penting untuk
diingat agar kita mengerti betapa pentingnya ilmu fiqih buat umat Islam adalah
hal-hal berikut ini :
1. Tafaquh fid-dien (memperdalam pemahaman agama)
Adalah Perintah Dan Hukumnya Wajib
Mempejari
Islam adalah kewajiban pertama setiap muslim yang sudah aqil baligh. Ilmu-ilmu ke-Islaman yang utama adalah bagaimana mengetahui mau-Nya Allah SWT terhadap diri kita. Dan itu adalah ilmu syariah. Allah SWT berfirman :
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi : "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”.” (QS. Ali Imran : 79)
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi : "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”.” (QS. Ali Imran : 79)
“Tidak sepatutnya bagi mu'minin itu pergi semuanya . Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah : 122)
2. Syariah Adalah Pengawal Quran & Sunnah
Ilmu syariah telah berhasil
menjelaskan dengan pasti dan tepat tiap potong ayat dan hadits yang bertebaran.
Dengan menguasai ilmu syariah, maka Quran dan Sunnah bisa dipahami dengan benar
sebagaimana Rasulullah SAW mengajarkannya. Sebaliknya, tanpa penguasaan ilmu
syariah, Al-Quran dan Sunnah bisa diselewengkan dan dimanfaatkan dengan cara
yang tidak benar.
Munculnya
beragam aliran yang aneh dan lucu itu lantaran tidak dipahaminya nash-nash
Al-Quran dan sunnah dengan benar. Padahal untuk menjalankan Al-Quran dan Sunnah
dibutuhkan metode pemahaman yang baik dan benar. Dan metode untuk memahaminya
adalah fiqih itu sendiri. Bila dikatakan bahwa orang yang tidak menguasai ilmu
fiqih akan cenderung menyelewengkan makna keduanya. Paling tidak akan bertindak
parsial, karena hanya menggunakan satu dalil dengan meninggalkan dalil-dalil
lainnya.
3. Syariah Adalah Porsi Terbesar Ajaran Islam
Dibandingkan dengan masalah aqidah,
akhlaq atau pun bidang lainnya, masalah syariah dan fiqih adalah porsi terbesar
dalam khazanah ilmu-ilmu ke-Islaman. Istilah ulama identik dengan ahli syariah
ketimbang ahli di bidang lainnya. Sebab seorang
ahli fiqih itu pastilah seorang yang ahli di bidang tafsir, ilmu hadits, ilmu
bahasa, ilmu ushul fiqih dan beragam disiplin ilmu lainnya. Di masa lalu kita
bisa mendapatkan seorang muhaddits tapi bukan faqih. Namun tidak pernah didapat
seorang faqih yang bukan muhaddits.
4. Kehancuran Umat Ditandai Dari Hilangnya Ilmu
Syariah
Islam tidak akan hilang dari muka
bumi, sebab janji Allah SWT terhadap umat ini sudah pasti. Namun umatnya bisa
lemah dan runtuh. Kelemahan itu umumnya terjadi manakala ilmu syariah sudah
mulai ditinggalkan. Dan para ulama ulama diwafatkan dan tidak ada lagi ahli
syariah yang dilahirkan. Sehingga tidak ada lagi orang yang bisa mengarahkan
jalannya umat ini.
Syariah
adalah benteng umat. Manakala Allah SWT ingin melemahkan umat ini, maka syariah
Islam akan dikurangi. Sebaliknya, bila Allah SWT ingin menguatkan umat ini,
maka akan dimulai dengan lahirnya para ulama yang akan mengusung syariah di
muka bumi.
5. Tipu Daya Orientalis dan Sekuleris Sangat
Efektif Bila Lemah di Bidang Syariah
Racun
pemikiran Orientalis dan Sekuleris tidak akan mempan bila tubuh umat
diimunisasi dengan pemahaman syariah Setiap individu muslim pada dasarnya bisa
dengan mudah terserang tusukan tajam para orientalis ini. Maka dengan menguasai
ilmu-ilmu syariah, diharapkan bisa menjadi penangkal semua racun yang merusak
dan mematikan. Rata-rata
generasi muda cendekiawan Islam yang terpengaruh sihir para orientalis itu
disebabkan mereka tidak punya latar belakang keilmuwan yang benar dari sisi
syariah Islam. Sehingga begitu berkenalan dengan ragam pemikiran barat yang
palsu itu, dengan mudah bisa terpengaruh dan merasa jatuh cinta.
Kalau saja
mereka mengenal bagaimana kecanggihan para ulama syariah dari masa ke masa,
maka mereka pasti akan memandang bahwa apa yang dituduhkan orientalis barat itu
tidak lebih dari lawakan tidak lucu.
6. Kelemahan Pergerakan Umumnya Pada Syariah
Umumnya
kelemahan gerakan dakwah adalah kurangnya pemahaman dan aplikasi syariah, baik
di jajaran pimpinan atau pun para kadernya. Kelemahan di sisi syariah ini akan
melahirkan amat banyak masalah lainnya. Seperti saling tuding antar kelompok
sebagai ahli bid`ah, atau saling menjelek-jelekkan satu sama lain.
Paling tidak
ada rasa di dalam hati masing-masing kelompok itu bahwa dirinya sajalah yang
paling benar. Sementara kelompok lain itu pasti salah, sesat dan harus dijauhi.
Padahal semua itu tidak perlu
terjadi manakala mereka punya pemahaman ilmu-ilmu syariah yang lumayan. Sebab
di dalam disiplin ilmu syariah kita diajari bagaimana etika dan aturan dalam
berbeda pendapat. Sehingga kalau kita mengetahui saudara kita berbeda pendapat
dengan kita, sama sekali tidak pernah merusak persaudaraan dengannya. Apalagi
sampai merendahkan atau menghinanya.
7. Amal Sedikit Dengan Ilmu Lebih Utama Dari
Amal Banyak Tanpa Ilmu
Seorang ahli
ibadah yang tekun tapi tanpa ilmu syariah jauh lebih rendah derajatnya dari
amalan seorang yang mengerti syariah meski tidak terlalu banyak. Sebab ibadah
yang banyak bila tidak diiringi dengan ilmu yang benar, bisa jadi malah
berdosa. Sebab tidak tertutup kemungkinan dia malah melakukan bid`ah atau
hal-hal yang justru terlarang.
Sebaliknya,
meski ibadah seseorang itu tidak terlalu banyak, namun bila dikerjakan sesuai
dengan petunjuk Rasulullah SAW yang benar, tentu nilainya sangat tinggi di sisi
Rasulullah SAW.
Betapa rugi
dan menyesal seseorang yang merasa sudah beramal banyak tapi di akhirat tidak
mendapat nilai apa-apa di sisi Allah SWT. Sebab apa yang diamalkannya ternyata
tidak diajarkan oleh Nabi SAW.
8. Fiqih Adalah Ilmu Yang Siap Pakai
Berbeda
dengan belajar tafsir, hadits, sirah dan ilmu-ilmu lainnya, di dalam fiqih kita
dikenalkan dengan cara mengambil kesimpulan hukum dari beragam dalil yang
tersedia.
Ada sekian banyak dalil yang
terserak di berbagai literatur. Sehingga tidak mudah bagi seseorang untuk
mengumpulkannya menjadi satu. Belum bila dilihat sekilas, mungkin saja
masing-masing dalil baik dari Al-Quran dan sunnah berbeda bahkan bertentangan
satu sama lain.
Disinilah
fungsi ilmu fiqih, yaitu merangkum sekian banyak dalil, menelusuri
keshahihannya dan mengupas istidlalnya serta memadukan antara satu dalil dengan
lainnya menjadi sebuah kesimpulan hukum. Lalu hukum-hukum itu disusun secara
rapi dalam tiap bab yang memudahkan seseorang untuk melacaknya. Dan biasanya
yang baik adalah dengan mencantumkan juga dalil serta bagaimana istinbat hukumnya.
Dan lebih penting dari semua itu, apa yang dipersembahkan ilmu fiqih ibarat
daftar perintah dan aturan Allah SWT yang sudah rinci nilainya, apakah menjadi
wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram.
BAB. III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Fiqh adalah
ilmu yang sangat penting untuk diajarkan kepada siswa karena berisi tentang
hukum syar’iyyah bersifat praktis yang diperoleh dari dalil- dalil
terperinci dengan cara istinbath, guna membimbing manusia melaksanakan
kewajibanya kepada Allah swt. dengan baik dan benar.
B.
Rekomendasi
1.
Siswa harus
bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu Fiqh.
2.
Bagi
sekolah-sekolah yang memiliki siswa Muslim harus memberi porsi yang cukup bagi
pengajaran fiqh di sekolah.
3.
Ikhtilaf
hendaknya dipandang sebagai sebuah rahmat dan bukan merupakan suatu bencana
bagi umat.
DAFTAR
PUSTAKA
-
Anwar Jasin,
1985, Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam : Tinjauan Filosofis,
Jakarta.
-
Satria
Effendi, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media
-
Roihan
Achwan, 1991, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, dlm. Jurnal Ilmu
Pendidikan Islam, Volume 1, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
-
Jujun S.
Suriasumantri, (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar
Harapan.
-
Zuhairini,
1995, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara
-
nakedtruth77.multiply.com/reviews/item/12 –
-
wartamuslim.com/?p=72
- http://farihailyas.blogspot.com/2010/08/salaf-dan-khalaf-dalam-tawil-ayat-ayat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar