Ekonomi Islam
Sebutan “Ekonomi Islam” melahirkan kesan beragam. Bagi
sebagian kalangan, kata ‘Islam’ memposisikan Ekonomi Islam pada tempat yang
sangat ekslusif, sehingga menghilangkan nilai kefitrahannya sebagai tatanan
bagi semua manusia. Bagi lainnya, Ekonomi Islam digambarkan sebagai ekonomi
hasil racikan antara aliran kapitalis, dan sosialis. Sehingga cirri khas khusus
yang dimiliki oleh Ekonomi Islam itu sendiri hilang.
Padahal sebenarnya Ekonomi Islam adalah satu system
yang mencerminkan fitrah dan ciri khasnya sekaligus. Dengan fitrahnya Ekonomi
Islam merupakan satu system yang dapat mewujudkan keadilan ekonomi bagi seluruh
umat. Sedangkan dengan cirri khasnya, Ekonomi Islam dapat menunjukan jati
dirinya “dengan segala kelebihan” pada setiap system yang dimilikinya.
Ekonomi Rabbani menjadi ciri khas utama dari model
Ekonomi Islam. Chapra menyebutnya dengan Ekonomi Tauhid. Tapi secara umum dapat
dikatakan sebagai “divine economics”. Cerminan watak “ketuhanan” Ekonomi Islam
bukan pada aspek pelaku ekonominya –sebab pelakunya pasti manusia- tetapi
pada aspek aturan atau system yang harus dipedomani oleh para pelaku ekonomi.
Ini didasarkan pada keyakinan bahwa semua faktor ekonomi termasuk diri manusia
pada dasarnya adalah kepunyaan Allah, dan KepadaNya (kepada aturanNya)
dikembalikan segala urusan (3:109). Melalui aktivitas ekonomi, manusia dapat
mengumpulkan nafkah sebanyak mungkin, tetapi dalam batas koridor aturan
main..”Dialah yang member kelapangan atau membatasi rezeki orang yang Dia
kehendaki” (42;12;13:26). Atas hikmah Ilahiah, untuk setiap makhluk hidup telah
Dia sediakan rezekinya selama ia tidak menolak untuk mendapatkannya (11:6).
Namun Allah tak pernah menjamin kesejahteraan ekonomi tanpa manusia tadi
melakukan usaha.
Sebagai manusia yang ber-Tuhan maka Ekonomi Islam –
meminjam istilah dari Ismail Al Faruqi—mempunyai sumber “nilai-nilai
normative-imperatif”, sebagai acuan yang mengikat.. Dengan mengakses kepada
aturan Ilahiah, setiap perbuatan manusia mempunyai nilai moral dan ibadah.
Setiap tindakan manusia tidak boleh lepas dari nilai, yang secara vertical
merefleksikan moral yang baik, dan secara horizontal memberi manfaat bagi
manusia dan makhluk lainnya. Nilai moral “samahah” (lapang dada, lebar tangan
dan murah hati) ditegaskan dalam Hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim,
sebagai persyaratan bagi pelaku ekonomi untuk mendapatkan rahmat Ilahi, baik
selaku pedagang, konsumen, debitor maupun kreditor. Dengan demikian, posisi
Ekonomi Islam terhadap nilai-nilai moral adalah sarat nilai (Value loaded),
bukan sekedar memberi nilai tambah (added value) apalagi bebas nilai (value
neutral).
Bagi paham ekonomi naturalisasi sumber daya alam
adalah faktor paling penting. Sedangkan bagi aliran monetaris yang terpenting
adalah modal financial. Tapi bagi ekonomi Islam sumber daya manusialah (humane
capital), yang ternilai, sebagai kuncinya. Al-Quran memposisikan manusia
sebagai pusat sirkulasi manfaat ekonomi dari berbagai sumber daya yang ada (14:
32-34). Sekaligus sebagai penerima amanah “khilafah” dari Allah SWT,
memakmurkan kehidupan dimuka bumi dengan mengolah sumber daya yang Dia sediakan
(11:61).
Karakter ini merupakan derivasi dari karakter ummat
Islam sebagai “Ummatan Wasathan” (Umat Moderat) (2:143), yang mengemban tugas
sebagai “syuhada” yakni rujukan kebenaran dan standar kebaikan bagi umat
manusia (A. Yusuf Ali:58). Dalam pencermatan beberapa kitab tafsir, posisi
“wasathan” mempunyai lebih dari satu konotasi makna. Yang pertama maknanya
“lawassuth” yakni moderat. Kedua bermakna “tawazun” yakni seimbang (balance).
Ketiga bermakna “khairan” yakni terbaik dan
alternative. Itu artinya, dalam Islam dan Ekonomi Islam tidak ada tempat untuk
ekstrimitas. Baik ekstrimitas kapitalis maupun sosialis. Ekonomi Islam memuji
“si kaya” yang mengelola hartanya secara benar, tetapi juga sangat peduli untuk
memperdayakan “fuqara”. Kebijakan politik Ekonomi Islam tak pernah segan untuk
menindak si kaya yang tidak menunaikan hak-hak social dari hartanya, dan
“menjewer” fuqara yang meminta belas kasihan karena malas. Ini menempatkan
Ekonomi Islam sebagai ekonomi alternative atau “khairan”, dan nilai lebih itu
diakomodasikan tanpa keraguan.
Islam memerintahkan kepada manusia untuk berkoperasi
dalam segala hal, kecuali dalam perbuatan dosa secara vertical dan permusuhan
horizontal (5:3). Pelaksanaannya dapat dilakukan secara bilateral,
multilateral, dari tingkat local hingga global, tanpa harus dihambat oleh
perbedaan apapun juga (49:13). Perwujudan pola kerjasama yang dianjurkan Islam
dapat dilakukan dalam skema apapun, tetapi tetap berlandaskan adanya upaya
perealisasian wujud tolong-menolong yang sesungguhnya. Demi tegaknya keadilan,
Allah telah meletakkan “mizan”, suatu timbangan akurat yang paling objektif.
Siapapun tidak boleh melanggarnya (36:7). Siapapun tidak dibenarkan jadi korban
ketidak adilan.
Itulah Ekonomi Islam, yang bersifat Ilahiah-Insaniah,
terbuka tapi selektif, toleran tapi tak kenal kompromi dalam menegakkan
keadilan. Semua itu untuk kesejahteraan umum didunia dan kebahagiaan di
akhirat.
Ekonomi Syariah di Indonesia, Bukan Alternatif tapi
Keharusan
System ekonomi berbasis Syariah, belakangan ini makin
popular bukan hanya di Negara-negara Islam tapi juga Negara-negara barat.
Ditandai dengan makin suburnya bank-bank yang menerapkan konsep syari’ah, bukan
tidak mungkin suatu saat seluruh aspek perekonomian akan berbasiskan syariah.
Ini menunjukan bahwa nilai-nilai Islam yang diterapkan dalam perekonomian bias
diterima diberbagai kalangan, karena sifatnya yang universal dan tidak
eksklusif. Nilai-nilai itu misalnya keadilan dan perlakuan yang sama dalam
meraih kesempatan berusaha.
Konsep ekonomi yang Islami sebenarnya sudah ada sejak
lama, bahkan sejak zaman Nabi Muhammad SAW yang menerapkan etika dalam
berdagang. Perkembangan system ekonomi Islami ini terhenti seiring dengan makin
menguatnya kelompok sosialis dan kapitalis di Eropa. Namun seiring perjalanan
waktu dan runtuhnya komunis, pemikiran untuk menerapkan system perekonomian
yang Islami muncul kembali sebagai konsep alternative. Dan terbukti, konsep
ekonomi Islam yang mengedepankan kejujuran dan keadilan ini bias diterima, dan
kini sedang mengalami perkembangan yang pesat.
Di Indonesia konsep ekonomi syariah mulai dikenal
ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia, pada tahun 1991. Namun pada
saat itu, kehadiran bank berbasis syariah ini belum mendapatkan perhatian yang
luas dari masyarakat. Baru beberapa tahun belakangan ini, apalagi setelah MUI
mengeluarkan fatwa haram terhadap bunga bank, bank berbasis Syariah mulai
bermunculan, diikuti dengan munculnya lembaga keuangan berbasis syariah
lainnya, seperti asuransi syariah yang memang belum menjamur seperti bank
syariah.
Meski sudah mengalami perkembangan yang cukup baik,
namun kalangan pelaku ekonomi syariah merasa konsep ini belum mendapat dukungan
penuh pemerintah. Perekonomian Syariah, masih dianggap sebelah mata sebagai
salah satu system perekonomian yang seharusnya bias menjadi salah satu
alternative untuk keluar dari krisis ekonomi yang masih melilit bangsa ini.
Lantas bagaimana prospek ekonomi syariah di Indonesia di masa depan?
Harus Ada Wakil Ekonomi Syariah di Dewan Ekonomi
Nasional
Bersamaan dengan dikeluarkannya fatwa haram terhadap
bunga bank, MUI mengkampanyekan gerakan ekonomi syariah tahun 2003 lalu. Namun
gerakan ini ternyata kurang berhasil, sehingga sosialisasi ekonomi syariah ke
masyarakat hasilnya juga tidak maksimal. Salah satu penyebabnya, karena
pemerintahan pada waktu itu kurang mengakomodasi gerakan itu.
Namun untuk tahun ini, dengan munculnya kepemimpinan
baru, ada seberkas harapan dari para pelaku ekonomi syariah khususnya bank-bank
syariah untuk kembali mengedepankan sosialisasi ekonomi syariah yang lebih luas
kepada masyarakat. Mereka yang tergabung dalam asosiasi Perbankan Syariah
Indonesia (Asbisindo) menilai pemerintah sudah saatnya mengakomodasi praktek
keuangan Islami yang kini mulai marak di Indonesia. Untuk itu, mereka meminta
agar ada perwakilan dari ekonomi syariah dalam struktur Dewan Ekonomi Nasional
yang akan dibentuk pemerintah baru nanti.
Ketua Asbisindo, Wahyu Dwi Agung pada eramuslim
mengatakan, dengan adanya wakil ekonomi Syariah diDewan Ekonomi Nasional (DEN)
nantinya, socialisasi tentang ekonomi Syariah baik dikalangan masyarakat maupun
di birokrasi pemerintahan akan lebih intensif dilakukan, sehingga pemahaman
masyarakat tentang ekonomi syariah lebih baik.
“jangankan masyarakat awam, para ulamanya saja masih
banyak koq yang belum memahami konsep ekonomi syariah” ujar Wahyu. Jadi jangan
heran, meski Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam, masyarakatnya
masih enggan untuk menjadi nasabah bank syariah. “Kalau dibandingkan dengan
bank konvensional, portofolio masyarakat untuk bank syariah masih 1
persen,”tambah Wahyu.
Namun dengan pertumbuhan bank syariah yang rata-rata
di atas 70 persen, Wahyu optimis ada peluan besar bagi bank syariah untuk lebih
banyak menarik minat masyarakat. Selama ini yang kurang mengemuka di masyarakat
tentang konsep syariah adalah bahwa konsep ekonomi syariah sangat menjunjung
tinggi transparansi, kejujuran dan keadilan dalam melakukan dan membuka
kesempatan berusaha bagi masyarakat. Sebagian besar masyarakat hanya tahu
konsep Syariah sebatas pada diharamkannya bunga bank.
Di sisi lain, perkembangan ekonomi syariah membutuhkan
instrument-instrumen keuangan syariah yang memadai. Hal tersebut diungkapkan
Wakil Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah, Rizqullah pada eramuslim. Ia
menyatakan, pemerintah saat ini masih mengandalkan system ekonomi barat yang
kapitalis meskipun terbukti memiliki kelemahan-kelemahan.
“Keluarnya Undang-Undang Perbankan No.10/1998
mengindikasikan bahwa pemerintah mengakui kelemahan yang ada dalam system
ekonomi kapitalis. Makanya, pemerintah berusaha mencari solusi untuk mengatasi
itu. Cuma sayangnya, solusi itu tidak dibarengi dengan upaya-upaya lanjutan
untuk mendorong perkembangan lembaga keuangan syariah dan tatanan-tatanan
ekonomi yang Islami,”kata Rizqullah.
Lebih lanjut, ketua Asbisindo, Wahyu Dwi Agung
mengatakan, adanya wakil ekonomi syariah di DEN, diharapkan juga bias mendorong
penerapan konsep syariah dalam semua bentuk aktifitas perekonomian, bukan hanya
perbankan, tapi juga perdagangan atau penerbitan obligasi yang sampai saat ini
masih memakai system bunga.
“Intinya kalau sudah ada dukungan penuh dari
pemerintah, dengan penerapan konsep syariah ini nantinya aka nada keberpihakan
yang lebih besar pada masyarakat. Membangun ekonomi rakyat itu kan membangun
ekonomi local. Nah, bank-bank local ini kita harapkan juga ada syariahnya.
Kemudian pemerintah kalau membuat order atau kontrak, bias saja mewajibkan 30
persen pembiayaannya dari lembaga keuangan syariah,” papar Wahyu.
Konsep Ekonomi Syariah di Indonesia Sebuah Keharusan
Ketua Asbisindo, Wahyu Dwi Agung mengatakan, konsep
ekonomi syariah di Indonesia bukan lagi semata-mata sebagai alternative system
perekonomian di masa depan tetapi sudah menjadi keharusan. Karena hubungannya
bukan pada Islam semata, tapi Islam sebagai rahmat lil ‘alaamin yang kaitannya
adalah ibadah secara vertical maupun horizontal.
“sebagai Negara yang mayoritas penduduknya umat Islam,
system ekonomi syariah harus dilaksanakan sebagai system ekonomi universal,
yang mengedepankan transparansi, keadilan dan good governance dalam pengelolaan
usaha dan asset-asset Negara. Di mana praktik ekonomi yang dijalankan berpihak
pada rakyat kebanyakan dan berpihak pada kebenaran,” tegas Wahyu.
Konsep syariah yang diterapkan di bank-bank sudah
membuktikan, bagaimana penyaluran pembiayaan dibank syariah selalu berpihak
pada sector riil, dengan angka finance to deposit ratio yang relative tinggi.
Kehadiran bank syariah terbukti bias diarahkan untuk mendorong tumbuhnya sector
riil, usaha kecil dan menengah yang selama ini menjadi primadona dan tulang
punggung masa krisis.
Berdasarkan data Asbisindo, total asset bank syariah
saat ini sekitar Rp 12,7 triliun dengan penghimpunan dana pihak ketiga Rp 9,7
triliun dan penyaluran pada pembiayaan Rp 9,9 triliun. Dari angka tersebut,
menunjukkan financing to deposit ratio (FDR, rasio pembiayaan dan dana pihak
ketiga) perbankan syariah rata-rata di atas 100 persen. Dari sisi jaringan,
saat ini terdapat tiga bank umum syariah dan 12 Unit usaha syariah dengan
jumlah kantor cabang 131,35 kantor cabang pembantu dan 119 kantor kas. Jumlah
tersebut belum termasuk jumlah BPRS yang berjumlah 86.
Perbankan syariah hanya salah satu dari system
perekonomian Islam. Kalau konsep ekonomi syariah ini akan diterapkan, juga
harus diperhatikan peranan lembaga keuangan Islami lainnya seperti peranan
zakat, serta peranan lembaga dan dunia usaha islami yang menjalankan kegiatan
usahanya dengan berlandaskan etika dan moral. Contohnya, tidak ada mark-up,
tidak ada laporan keuangan ganda dan sejenisnya.
Lembaga keuangan dan perbankan syariah juga tidak
sekedar menjadi lembaga yang baik seperti yang dikenal sekarang ini, tapi juga
harus bias berperan sebagai penghubung antara pihak-pihak yang kelebihan dana
dengan pihak-pihak yang kekurangan dana. Sehingga intermediasi juga terwujud
dalam system perekonomian Islam.
Wakil Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah Rizqullah
menyatakan, potensi ekonomi berbasis syariah di Indonesia cukup besar, tapi
semuanya tergantung pada kesungguhan semua pihak yang terkait dan para
stakeholders yang menentukan perkembangan ekonomi syariah.
“Dukungan yang paling mendesak untuk saat ini adalah
dukungan politis, political will dari pemerintah bahwa mereka sungguh-sungguh
mau mendorong perekonomian yang Islami. Ini harus dimanifestasikan dengan
program-program ekonomi dan kebijakan ekonomi pemerintah saat ini. Negara
Malaysia bias, kenapa kita enggak bias, padahal potensi kita lebih besar dari
pada Malaysia,” tambah Rizqullah.(In)
Ekonomi Sekuler Berkali-kali Gagal, Peluang Bagi
Ekonomi Syariah.
Ketangguhan bank-bank syariah sudah terbukti di masa
krisis ekonomi dan moneter. Bahkan dalam dua tahun terakhir ini, di Indonesia,
belasan bank konvensional diam-diam telah mengoperasikan outlet syariah. Dan
tanggapan masyarakat, subhanallah. Dari segi yang lebih mendasar, hal itu
merupakan tanda-tanda keberhasilan para fuqaha dan ulam dalam merespon berbagai
persoalan bangsa ini. Kebangkitan ijtihad –yang sesungguhnya merupakan kebangkitan
bersama antara ilmu pengetahuan dan al-Islam_ secara bertahap telah mulai
mengambil tempat yang khusus ditengah masyarakat.
Syariat Islam tegak satu per satu sesuai prioritasnya,
untuk menjawab masalah-masalah yang dihadapi bangsa ini. Sebagian bias segera
terlaksana dan menjadi rujukan hokum positif, sebagian lainnya harus menunggu
suasana dan momentum yang tepat. No problem.
Keja keras para dai di berbagai bidang kehidupan akan
mempercepat lahirnya solusi-solusi praktis. Bidang ekonomi dan keuangan telah
membuktikannya.
“Tindakan dan kebijakan para penguasa ateis dan
sekularis di berbagai Negara Muslim yang – secara konstitusional maupun
non-konstitusional- memaksa rakyatnya meninggalkan syariat serta menerima nilai
dan gaya hidup orang Barat adalah sangat tidak realistis,” simpul Prof Umer
Chapra, penasihat senior Badan Moneter Kerajaan Arab Saudi, dalam bukunya Masa
Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Perspektif Islam. Chapra merasa heran kenapa
masyarakat Islam harus melepaskan system nilai dan keyakinannya dan harus
mengadopsi milik orang lain.
Chapra menyebut para ateis dan sekularis itu out of
touch, kehilangan daya rasa pada kenyataan didalam masyarakat sendiri. Mereka
tak mampu merasakan betapa kebangkitan Islam kini telah menjadi gejala yang
sangat mengakar. Karenanya, mereka pada akhirnya butuh tipu muslihat, bahkan
cara-cara kasar untuk menghapus Islam. Tindakan mereka ini akan menyulut
kekerasan yang kelak justru sulit mereka kendalikan.
Mereka berusaha mencekoki rakyat dengan filsafat
materialis dan hedonis yang mengagungkan pola hidup konsumeristik, kebebasan
seksual, serta pemuasan nafsu pribadi. Gaya hidup seperti ini akan merusak
moral, mendorong orang bergaya hidup melebihi kemampuannya, mengurangi tabungan
dan investasi, memperbesar pasak dari pada tiang, serta melemahkan solidaritas
keluarga dan social. Konsekuensi semua ini tidaklah sulit ditebak: kehancuran
kepribadian bangsa (kita sudah mengalaminya, red).
Perjalanan sejarah telah membuktikan, bahwa
pembangunan ekonomi berbasis pemikiran sekuler atas masyarakat Muslim telah
gagal berkali-kali. Pengalaman khilafah al-Makmun dan dua penerusnya merupakan
contoh nyata. Para penguasa ini sebenarnya tidak menentang Islam vis a vis.
Mereka hanya berusaha mencekok rakyatnya dengan beberapa faham Mutazilah, yang
oleh para ulama dikategorikan bertentangan dengan syariah. Sesungguhpun mereka
gagal, anehnya semua rejim sekular dan ateis yang memerintah bangsa Muslim
mengulang model yang sama. Sekularisasi selama lebih 70 tahun di Turki telah
gagal membahagiakan bangsa Turki, sebagaimana yang dialami juga oleh bangsa
Iraq dan Syiria dibawah penguasa Baath, juga oleh rakyat Tunisia di bawah Habib
Bourguiba serta para pelanjutnya, dan rakyat Mesir Aljazair di bawah
kediktatoran militer. Indonesia di bawah H M Suharto merupakan contoh yang
paling di depan mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar