Jumat, 31 Mei 2013

Tiga Kerajaan Islam


TIGA KERAJAAN BESAR ISLAM


A.      Kerajaan Utsmani Di Turki
1.      Proses Terbentuknya Kerajaan Utsmani di Turki
Kerajaan Turki Utsmani berdiri tahun 1281 dan pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah mongol dan daerah utara negeri Cina, yaitu Utsman bin Erthogril.[1] Nama Utsmani diambil dari kakek mereka yang pertama dan pendiri kerajaan ini yaitu Utsman bin Erthogril bin Sulaiman Syah dari suku Qayigh, salah satu cabang keturunan Oghus Turki.[2] Sebelum berdirinya kerajaan Turki Utsmani, diawali dengan pengembaraan Sulaiaman Syah ke Anatolia tetapi sebelum mencapai tujuan meninggal di Azerbaijan kemudian kedudukannya digantikan putranya yang bernama Erthogril, dan akhirnya sampailah ke Anatolia dan diterima penguasa Seljuk, Sultan Alaudin yang sedang berperang dengan Bizantium.
Berkat bantuan dari Erthogril, pasukan Sultan Alaudin mendapatkan kemenangan, sehingga Erthogril mendapat hadiah sebidang wilayah di perbatasan Bizantium serta memberi wewenang mengadakan ekspansi. Sepeninggal Erthogril, atas persetujuan sultan Alaudin, digantikan putranya yang bernama Utsman yang memerintah Turki Utsmani antara tahun 1281-1324 M. Akibat serangan Mongol terhadap Bagdad termasuk Seljuk yang terjadi pada tahun 1300 M menyebabkan terbunuhnya Sultan Alaudin dan akibatnya dinasti ini terpecah-pecah menjadi sejumlah kerajaan kecil. Dalam kondisi kehancuran Seljuk inilah Utsman mengklaim kemerdekaan secara penuh atas wilayah yang didudukinya sekaligus memproklamirkan berdirinya kerajaan Turki Utsmani.[3] Dengan Utsman sebagai raja pertama yang sering disebut Utsman I.[4]
Jika kita menapaki sejarah, kerajaan Turki Utsmani merupakan kerajaan terbesar dan paling lama berkuasa, selama enam abad lebih (1281-1924 M), Pada masa pemerintahan Turki Utsmani para sultan bukan hanya merebut negeri-negeri arab, tetapi juga seluruh wilayah antara Kaukasus dan kota Wina, bahkan sampai ke Balkan. Dengan demikian tumbuhlah pusat-pusat Islam di Trace, Macedonia, Thessaly, Bosnia, Herzegovina, Bulgaria, Albania, dan sekitarnya. Bahkan raja-raja Islam di Indonesia (abad XVII), seperti raja Aceh dan Banten pernah mengutus para utusan dengan kerajaan Turki Utsmani dan pernah meminta pengakuan memakai gelar sultan dari Istambul.[5]
Dengan adanya berbagai ekspansi, menyebabkan ibukota Dinasti Utsmani berpindah-pindah. Sebagai contoh, sebelum Utsman I memimpin Dinasti Utsmani, ia mengambil kota Sogud sebagai ibukotanya. Kemudian setelah penguasa Dinasti Utsmani dapat menaklukkan Broessa pada tahun 1317, maka pada tahun 1326 Broessa dijadikan ibukota pemerintahan. Hal ini berlangsung sampai pemerintahan Murad I. Ternyata, di masa Murad I kota Adrianopel yang ditaklukkannya itu dijadikan sebagai ibukota pemerintahan. Sampai ditaklukkanya Konstantinopel pada tahun 1453 oleh Muhammad II, yang kemudian diganti namanya menjadi Istambul sebagai ibukota pemerintahan yang terakhir.
2.      Perkembangan dan Kemajuan Peradaban Kerajaan Turki Utsmani
a.       Bidang militer dan perluasan wilayah
Setelah Utsman I mengumumkan dirinya sebagai Padisyah Al Utsman (raja besar keluarga Utsman) tahun 699 H (1300 M), setapak demi setapak mengadakan perluasan wilayah dengan memperkuat kekuatan militernya. Program ini diteruskan para penggantinya seperti putranya Orkhan mendirikan pusat pendidikan dan pelatihan militer sehingga terbentuklah sebuah kesatuan militer yang disebut Yeniseri atau Inkisariyah (arab), kemudian diteruskan oleh anaknya yang bernama Murad, dengan membentuk cabang yeniseri sehingga dapat mengubah kerajaan Utsmani yang baru lahir menjadi mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan sangat besar bagi penaklukan negeri-negeri non muslim seperti menaklukan Andriannopel, Macedonia, Bulgaria, dan Serbia.[6]
 Dari para penguasa yang memimpin Turki Utsmani, Sultan Muhammad II yang layak menyandang gelar al Fatih (sang penakluk) karena keberhasilannya menaklukkan Romawi Timur yang berpusat di kota Konstantinopel pada tahun 1453, dilanjutkan dengan menaklukkan ke semenanjung Maura, Serbia, Albania sampai ke perbatasan Bundukia. Salah satu peninggalan terpenting adalah mengubah gereja St. Sophia menjadi masjid dengan nama Aya Sophia sebagai lambang kemenangan orang Islam di kota Konstantinopel. Oleh Sultan Muhammad II, kota Konstantinopel diganti namanya menjadi Istambul. Dengan keberhasilan penaklukan Konstantinopel ini, seluruh ambisi umat Islam untuk menundukkan imperium Romawi Timur tercapai sudah.
Ada lima faktor yang menyebabkan kesuksesan Dinasti Utsmani dalam perluasan wilayah Islam yaitu:
1). Kemampuan orang-orang Turki dalam strategi perang terkombinasi dengan cita-cita memperoleh ghanimah (harta rampasan perang).
2). Sifat dan karakter orang Turki yang selalu ingin maju dan tidak pernah diam serta gaya hidupnya yang sederhana, sehingga memudahkan untuk tujuan penyerangan.
3). Semangat jihad dan ingin mengembangkan Islam.
4). Letak Istambul yang sangat strategis sebagai ibukota kerajaan juga sangat menunjang kesuksesan perluasan wilayah ke Eropa dan Asia. Istambul terletak antara dua benua dan dua selat (selat Bosphaoras dan selat Dardanala), dan pernah menjadi pusat kebudayaan dunia, baik kebudayaan Macedonia, kebudayaan Yunani maupun kebudayaan Romawi Timur.
5). Kondisi kerajaan-kerajaan di sekitarnya yang kacau memudahkan Dinasti Usmani mengalahkannya.[7]
b.      Bidang Pemerintahan
Raja-raja Turki Utsmani bergelar Sultan dan Khalifah sekaligus. Sultan menguasai kekuasaan duniawi dan khalifah berkuasa di bidang agama atau spiritual/ukhrawi. Mereka mendapatkan kekuasaan secara turun temurun. Tetapi tidak harus putra pertama yang menjadi pengganti sultan terdahulu, bahkan dalam perkembangannya pergantian kekuasaan itu juga diserahkan kepada saudara sultan bukan kepada anaknya.[8]
Dalam struktur pemerintahan, sultan sebagai penguasa tertinggi dibantu oleh shadr al a’zham (perdana menteri) yang membawahi pasya (gubernur) , dan gubernur mengepalai daerah tingkat I. dibawahnya terdapat beberapa orang al zanaziq atau al ‘alawiyah (bupati). Untuk mengatur pemerintahan negara , di masa sultan Sulaiman I disusun undang-undang (qanun) yang bernama Multaqa al Abhur, yang menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Turki Utsmani sampai datangnya reformasi pada abad ke 19. Karena jasa Sultan Sulaiman I, diujung namanya diberi gelar al Qanuni.[9]
c.       Bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan dan agama
Dalam bidang ilmu pengetahuan, kerajaan Turki Usmani tidak menghasilkan karya-karya dan penelitian-penelitian ilmiah seperti di masa Daulah Abbasiyah. Karena mereka lebih mengutamakan dalam bidang militer dan perluasan wilayah, sehingga kita tidak dapati ilmuwan yang terkenal dari Turki Utsmani.
Sedangkan dalam bidang kebudayaan, kebudayaan Turki Utsmani merupakan perpaduan antara kebudayaan Bizantium, Persia dan Arab. Karena bangsa Turki sangat mudah berasimilasi dengan budaya asing. Bahkan bahasa arab banyak dipakai di Asia Kecil yang mayoritas daerahnya dikuasai Turki. Seperti seni arsitektur, Turki Usmani banyak meninggalkan karya-karya agung berupa bangunan yang indah, seperti Mesjid Jami’ Muhammad al-Fatih, mesjid agung Sulaiman dan Masjid Abu Ayyub al- Anshary dan masjid Aya Sophia yang dulu asalnya dari gereja St. Sophia, merupakan peninggalan arsitektur yang dikagumi sampai saat ini.
Hoja Sinan (1490-1578 M) adalah tokoh terbesar dalam bidang arsitektur ini. Untuk kehidupan keagamaan, agama merupakan bagian dari sistem sosial politik Turki Utsmani. Ulama mempunyai kedudukan tinggi dalam kehidupan negara dan masyarakat. Mufti sebagai pejabat tinggi agama , tanpa legitimasi Mufti keputusan hukum kerajaan tidak dapat berjalan. Pada masa ini tarekat berkembang pesat. Al Bektasi dan Al Maulawi merupakan dua tarekat yang paling besar. Al Bektasi berpengaruh terhadap tentara Yenisari, sedangkan Al Maulawi berpengaruh besar terhadap kelompok penguasa sebagai imbangan dari kelompok Yenisari Bektasi. Kajian-kajian ilmu keagamaan, seperti fiqh, ilmu kalam, tafsir dan hadis boleh dikatakan tidak mengalami perkembangan yang berarti.Para penguasa cenderung untuk menegakkan satu paham (madzab) keagamaan dan menekan madzab lainnya. Sultan Abd al Hamid II, misalnya fanatik terhadap aliran asy’ariyah. Untuk mempertahankan madzabnya, ia memerintahkan Syaikh Husein Al Jisri menulis kitab Al Hushun Al Hamidiyah (Benteng pertahanan Abdul Hamid). Akibat fanatik yang berlebihan inilah, ijtihad menjadi tidak berkembang. Ulama hanya suka menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan), dan hasyiyah (catatan pinggir) terhadap karya-karya klasik yang telah ada.[10]
Demikianlah kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh kerajaan Utsmani terutama di bidang militer, karena tidak terlepas dari tabiat orang Turki yang terbiasa hidup nomaden, jiwa militer, tangguh dan patuh terhadap pimpinan.
3.      Faktor kemunduran Kerajaan Turki Utsmani
Pada akhir kekuasaan Sulaiman al-Qanuni I kerajaan Turki Usmani berada ditengah-tengah dua kekuatan monarki Austria di Eropa dan kerajaan Safawi di Asia. Melemahnya kerajaan Utsmani setelah wafatnya Sulaiman I dan digantikan oleh Salim II. Pengganti kepemimpinan ini ternyata tidak mampu menghadapi kondisi tersebut.
Pada awal abad ke-19 para Sultan tidak mampu mengontol daerah-daerah kekuasaannya. Dan melemahnya militer Turki Usmani berakibat munculnya pemberontakan-pemberontakan. Beberapa daerah berangsur-angsur mulai memisahkan diri dan mendirikan pemerintah otonom. Di Mesir, kelemahan-kelemahan kerajaan Turki Usmani membuat Mesir bangkit kembali. Di bawah kepemimpinan Ali Bey, pada tahun 1770 M, Mamalik kembali berkuasa di Mesir, sampai datangnya Napoleon Bonaparte dari Prancis tahun 1798 M. Demikian pula pemberontakan-pemberontakan terjadi di Libanon dan Syiria, sehingga kerajaan Turki Usmani mengalami kemunduran, bukan saja daerah-daaerah yang tidak beragama Islam, tetapi juga di daerah-daerah yang berpenduduk muslim.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemunduran kerajaan Turki utsmani ada dua bagian faktor internal dan faktor eksternal yaitu:
·         Faktor internal
1.      luasnya wilayah kekuasaan dan buruknya system pemerintahan yang ditangani oleh orang-orang penerusnya yang kurang profesional, kurangnya keadilan serta korupsi yang merajalela.
2.      Heterogenitas penduduk dan agama. Menurut Philip K Hitti, dalam Tarikh al Daulah al Islamiyah menyatakan bahwa suatu negara yang landasan berdirinya untuk kepentingan militer, bukan untuk kemashlahatan bangsa, tidak akan mampu menyatukan keberagaman penduduk dan agama.
3.      Kehidupan para penguasa yang suka bermewah-mewahan mengikuti gaya hidup orang barat dan meninggalkan nilai-nilai Islam.
4.      Merosotnya perekonomian negara akibat peperangan yang berlangsung berabad-abad lamanya.
·         Faktor Eksternal
1.      Timbulnya gerakan nasionalisme di kalangan bangsa-bangsa yang tunduk pada kerajaan Turki Utsmani.
2.      Kemajuan teknologi di dunia barat, khususnya di bidang persenjataan, sedangkan Turki mengalami stagnasi dalam bidang teknologi senjata, sehingga selalu mengalami kekalahan dalam setiap kontak senjata dengan bangsa Eropa.[11]

B.       Kerajaan Safawi di Persia
1.      Proses Terbentuknya Kerajaan Safawi di Iran
Kerajaan ini berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, Sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama tarekat safawiyah, yang berasal dari nama pendirinya, Safi Al-Din dan nama Safawi terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Safi al Din Al Ardabily adalah keturunan dari Imam Syi’ah yang ketujuh Musa Al-Khazim. Oleh karena itu dia masih keturunan Rasulullah dari garis puterinya Siti fatimah. Kerajaan Safawi secara resmi berdiri di Persia pada 1501 M/907, tatkala Syah Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja atau syah di Tabriz, demikian pendapat CE Bosworth dan menjadikan Syiah Itsna Asyariah sebagai ideologi negara. Namun event sejarah yang penting ini tidaklah berdiri sendiri. Peristiwa itu berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya dalam rentang waktu yang cukup panjang yakni kurang lebih dua abad.[12]
Sejak Safi Al Din mulai memimpin tarekat safawiyah sampai kepada Syah Ismail memproklamirkan berdirinya kerajaan safawi pada tahun 1501, tarekat safawi mengalami dua fase dalam perjuangannya :
a.       Pada masa 1301-1447 M (700-850 H), gerakan safawi masih murni gerakan keagamaan (kultural) dengan tarekat safawiyah sebagai sarana. Pengikutnya menyebar dari Persia, Syiria dan Anatolia.
b.      Pada masa 1447-1501 M tarekat safawi berubah menjadi gerakan politik (struktural), dengan pemimpinnya Junaid bin Ali. Perubahan terjadi dikarenakan ambisi politik pada diri Junaid. Karena Junaid seorang pemimpin tarekat, maka pengikutnya pun dijadikan pasukanyang diberi nama Qizilbas (surban merah yang berumbai dua belas sebagai simbol Syiah Imamah Dua Belas). Tapi usaha Junaid masih mengalami kegagalan dalam meraih ambisinya karena selalu gagal dalam menaklukkan beberapa daerah seperti Ardabil dan Chircasia, bahkan dalam tahun 1460 M mati terbunuh. Kemudian digantikan anaknya yang bernama Haidar, tapi belum berhasil juga. Sebelum meninggal, Haidar menunjuk adiknya yang paling kecil bernama Ismail. Setelah berhasil menaklukkan kota Tabriz, Ismail kenudian memproklamirkan berdirinya kerajaan Safawi, dengan Syiah Itsna asyariah sebagai ideologi negara pada tahun 1501 M.
2.      Perkembangan dan Kemajuan Peradaban Kerajaan Safawi
Perkembangan dan kemajuan kerajaan safawi tidak serta merta dapat diraih ketika Syah Ismail I memimpin (1501-1524 M), tapi kejayaan kerajaan Safawi baru terwujud pada masa pemerintahan Syaikh Abbas yang Agung (1587-1628 M) raja yang kelima. Kemajuan yang dicapai kerajaan Safawi meliputi beberapa bidang, antara lain:
a.       Kemajuan di bidang Politik
Kerajaan Safawi dan Turki Utsmani sebelum abad ke-17 sudah saling bermusuhan dan Safawi banyak mengalami kekalahan, namun setelah Abbas I naik tahta kerajaan Safawi dalam merebut wilayah kekuasaan Turki Utsmani banyak mengalami kemenangan. Permusuhan antara dua Kerajaan aliran agama yang berbeda ini tidak pernah padam sama sekali. Abbas I mengarahkan serangan-serangannya ke wilayah Kerajaan Turki Utsmani pada tahun 1602 M. Disaat itu Turki Utsmani berada di bawah Sultan Muhammad III. Pasukan Abbas I menyerang dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan, dan Baghdad. Sedangkan Nakh Chivan, Erivan, Ganja, dan Tiflis dapat dikuasai tahun 1605-1606 M. Selanjutnya pada tahun 1622 M., Pasukan Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmus dan mengubah pelabuhan Gumurun menjadi pelabuhan bandar Abbas.[13]
Jadi dapat disimpulkan bahwa keadaan politik kerajaan Safawi mulai bangkit kembali setelah Abbas I naik tahta dari tahun 1587-1629 dan dia menata administrasi negara dengan cara yang lebih baik. Langkah-langkah yang ditempuh Abbas I dalam rangka memulihkan politik Kerajaan Safawi adalah:
1). Mengadakan pembenahan administrasi dengan cara pengaturan dan pengontrolan dari pusat
2). Berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qiziblash atas Kerajaan Safawi dengan cara membentuk pasukan baru yang anggotanya terdiri atas budak-budak yang berasal dari tawanan perang bangsa Georgia, Armenia, dan Sircassia yang telah ada sejak Raja Tamh I
3). Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Utsmani
4). Berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pada khotbah Jumat
Masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan kerajaan Safawi. Secara politik dia mampu mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan lain di masa raja-raja sebelumnya, dengan reformasi politiknya.
b.      Kemajuan di bidang keagamaan
Pada masa Abbas, kebijakan keagamaan tidak lagi seperti masa khafilah-khafilah sebelumnya yang senantiasa memaksakan agar Syi’ah menjadi agama negara, tetapi ia menanamkan sikap toleransi. Paham Syi’ah tidak lagi menjadi paksaan, bahkan orang Sunni dapat hidup bebas mengerjakan ibadahnya, Bukan hanya itu saja, pendeta-pendeta Nasrani diperbolehkan mengembangkan ajaran agama dengan leluasa sebab sudah banyak bangsa Armenia yang telah menjadi penduduk setia di kota Isfahan.[14]
c.       Kemajuan di bidang ekonomi
Stabilitas politik Kerajaan Safawi pada masa Abbas I ternyata telah memacu perkembangan perekonomian Safawi, terlebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumurun diubah menjadi Bandar Abbas. Dengan dikuasainya bandar ini, salah satu jalur dagang laut antara timur dan barat yang bisa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Prancis sepenuhnya menjadi milik kerajaan Safawi. Di samping sektor perdagangan, kerajaan Safawi juga mengalami kemajuan di sektor pertanian terutama di daerah bulan sabit subur (fortile crescent).
d.      Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan seni
Dalam sejarah Islam, bangsa Persia terkenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan berjasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila pada masa Kerajaan Syafawi, khususnya ketika Abbas I berkuasa, tradisi keilmuan terus berkembang. Berkembangnya ilmu pengetahuan masa Kerajaan Syafawi tidak lepas dari suatu doktrin mendasar bahwa kaum Syi’ah tidak boleh taqlid dan pintu ijtihad selamanya terbuka. Kaum Syi’ah tidak seperti kaum Sunni yang mengatakan bahwa ijtihad telah terhenti dan orang mesti taqlid saja. Kaum Syi’ah tetap berpendirian bahwasanya mujtahid tidak terputus selamanya.
Pada masa ini muncullah beberapa filosof antara lain; Ilmuwan yang melestarikan pemikiran-pemikiran Aristoteles, Al-Farabi adalah Mir Damad alias Muhammad Bagir Damad (W. 1631 M) dengan menulis buku filsafat dalam dua bahasa yaitu Arab dan persia, diantaranya yang terkenal qabasat dan taqdisat. Selain itu ada filosof yang terkenal yaitu Baha Al-Din Al-Syaerazi, yang selalu hadir di majlis istana, begitu juga dengan Syah Abbas I yang sangat mendukung kegiatan tersebut. Adapun di bidang seni, kemajuan dalam bidang seni arsitektur ditandai dengan berdirinya sejumlah bangunan megah yang memperindah Isfahan sebagai ibu kota kerajaan ini. Sejumlah masjid, sekolah, rumah sakit, jembatan yang memanjang diatas Zende Rud dan Istana Chihil Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan kebun wisata yang tertata apik. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat sejumlah 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum. Unsur lainnya terlihat dalam bentuk kerajinan tangan, keramik, permadani dan benda seni lainnya. Serta ada peninggalan masjid Shah yang dibangun tahun 1611 M dan masjid Syaikh Lutf Allah yang dibangun tahun 1603 M.
3.      Sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi
Seiring dengan perjalanan waktu, kerajaan Safawi, lama kelamaan mengalami masa- masa kemunduran, yang disebabkan antara lain:
a.       Adanya konflik yang berkepanjangan dengan kerajaan Utsmani. Berdirinya kerajaan Safawi yang bermadzhab Syi'ah merupakan ancaman bagi kerajaan Utsmani, sehingga tidak pernah ada perdamaian antara dua kerajaan besar ini.
b.      Terjadinya dekandensi moral yang melanda sebagian pemimpin kerajaaan Safawi. Raja Sulaiman yang pecandu narkotik dan menyenangi kehidupan malam selama tujuh tahun tidak pernah sekalipun ssmenyempatkan diri menangani pemerintahan, begitu pula dengan sultan Husein.
c.       Pasukan ghulam (budak-budak) yang dibentuk Abbas I ternyata tidak memiliki semangat perjuangan yang tinggi seperti semangat Qizilbash . Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki ketahanan mental karena tidak dipersiapkan secara terlatih dan tidak memiliki bekal rohani. Kemerosotan aspek kemiliteran ini sangat besar pengaruhnya terhadap lenyapnya ketahanan dan pertahanan kerajaan Safawi.
d.      Sering terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana. Krisis abad 18 mengantarkan kepada berakhirnya sejarah Iran pramodern. Hampir diseluruh wilayah muslim, periode pramodern yang berakhir dengan Intervensi, penaklukan bangsa Eropa, dan dengan pembentukan beberapa rezim kolonial, maka dalam hal ini konsolidasi ekonomi dan pengaruh politik bangsa Eropa telah didahului dengan kehancuran Inperium Safawiyah dan dengan liberalisasi ulama. Demikianlah, Rezim safawiyah telah meninggalkan warisan kepada Iran modern berupa tradisi Persia perihal sistem kerajaan yang agung, yakni sebuah rezim yang dibangun berdasarkan kekuatan uymaq atau unsure unsur kesukuan yang utama, dan mewariskan sebuah kewenangan keagamaan syiah yang kohesif, monolitik dan mandiri.[15]

C.      Kerajaan Mughal di India
1.      Proses Terbentuknya Kerajaan Mughal di India
Kerajaan Mughal berdiri seperempat abad sesudah berdirinya Kerajaan Safawi. Jadi, di antara tiga keajaan besar Islam tersebut kerajaan inilah yang termuda. Kerjaan Mughal bukanlah kerajaan Islam pertama di anak Benua India. Awal kekuasaan Islam di wilayah India terjadi pada masa Khalifah Al- Walid, dari dinasti Bani Umayah. Penaklukan wilayah ini dilakukan oleh tentara Bani Umayah di bawah pimpinan Muhammad ibn Qosim.
Kerajaan Mughal di India dengan Delhi sebagai ibukota didirikan oleh Zaharuddin Babur (1482- 1530 M), salah satu dari cucu Timur Lenk. Ayahnya bernama Umar Mirza penguasa Ferghana. Babur mewarisi Ferghana dari ayahnya ketika berumur 11 Tahun. Pada tahun 1494 M, dia berhasil menduduki Samarkand yang menjadi kota penting di Asia Tengah dengan bantuan dari Raja Safawi, Ismail I. Kemudian di tahun 1504 M, Kota Kabul di Afghanistan berhasil diduduki.
Setelah Kabul berhasil ditaklukkan, Raja Babur melanjutkan ekspansinya ke India untuk melawan raja Ibrahim Lodi sebagai penguasa India. Karena terjadi krisis pemerintahan di India, hal ini menguntungkan pihak Babur. Dengan mengerahkan militernya akhirnya pada tahun 1525 M, berhasil menaklukkan Punjab dengan ibukotanya Lahore, dan di tahun 1526 M terjadilah pertempuran yang dahsyat antara pasukan Ibrahim dengan Babur di Panipat, Babur berhasil memasuki kota Delhi pada tanggal 21 April 1526, sebagai pemenang dan menegakkan pemerintahan dengan mendirikan kerajaan Mughal di Delhi.
2.      Perkembangan Dan Kemajuan Peradaban Kerajaan Mughal
Stabilitas politik dan pemerintahan yang baik di masa raja Akbar membawa dampak bagi kemajuan di berbagai bidang.
a.       Kemajuan di bidang Politik dan Sosial
Puncak kejayaan kerajaan Mughal terjadi pada masa pemerintahan Putra Humayun, Akbar Khan (1556-1605 M). Sistem Pemerintahan Akbar adalah militeristik. Akbar berhasil memperluas wilayah sampai Kashmir dan Gujarat. Pejabatnya diwajibkan mengikuti latihan militer. Politik Akbar yang sangat terkenal dan berhasil menyatukan rakyatnya adalah Sulakhul atau toleransi universal. Dengan politik ini semua rakyat India dipandang sama. Mereka tidak dibedakan etnis dan agamanya. Sehingga di masa Akbar, kerajaan tidak dijalankan dengan kekerasan, ia banyak menyatu dengan rakyat, bahkan rakyat dari berbagai agama tidak dipandangnya sebagai orang lain. Amir-amir dan sultan-sultan Islam yang selama ini berkuasa di daerahnya sendiri dengan cara kesewenang-wenangan bersama dengan para maharaja beragama Brahmana, berkat Akbar semuanya telah menjadi tiang-tiang bagi sebuah imperium Islam yang besar di Benua India.
 Di samping itu, pemerintahan tidak dipegangnya sendiri, tetapi diadakannya menteri-menteri. Kepada pemungut pajak diperintahkan dengan keras agar tidak memungut pajak dengan memaksa dan memeras. Di dalam persoalan agama, beliau sangat toleran dan bagi orang yang beragam Hindu dihormati oleh Akbar dan tidak dipaksa untuk memeluk agama Islam. Dengan demikian, Akbar adalah seorang reformis Kerajaan Mughal yang telah menata pemerintahan dengan sistem yang lebih baik dibanding dengan kerajaan-kerajaan sebelumnya. Di bidang agama, ia adalah sebagai tokoh moderat yang memberikan kebebasan kepada pemeluknya untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Dengan adanya kebijakan seperti di atas, rakyat India sangat simpati kepadanya dan kehidupan sosial masyarakat saling hormat-menghormati serta senantiasa menjunjung tinggi toleransi.[16]
b.      Kemajuan di bidang Pengetahuan dan Seni
Bersamaan dengan majunya bidang ekonomi Kerajaan Mughal pada abad ke-17, mengalami kemajuan dalam bidang pengetahuan, seni, dan budaya. Di bidang pengetahuan kebahasaan Akbar telah menjadikan tiga bahasa sebagai bahasa nasional, yaitu bahasa Arab sebagai bahasa agama, bahasa Turki sebagai bangsawan dan bahasa Persia sebagai bahasa istana dan kesusastraan. Selain itu, Akbar telah memodifikasi tiga bahasa tersebut ditambah dengan bahasa Hindu dan menjadi bahasa Urdu. Di bidang filsafat cukup maju dan satu di antara tokohnya adalah Akbar sendiri, sementara ahli tasawuf yang terkenal pada masa itu adalah Mubarok, Abdul Faidhl, dan Abul Fadl. Sementara karya seni yang paling menonjol adalah karya sastra gubahan penyair istana, baik yang berbahasa Persia maupun bahasa India. Penyair India yang terkenal adalah Malik Muhammad Jayadi seorang sastrawan sufi yang menghasilkan karya besar yang berjudul Padmavat, sebuah karya alegoris yang mengandung pesan kebijakan jiwa manusia. Pada masa Akbar, dibangun Istana Fatpur di sikri, vila, dan masjid yang indah. Pada zaman Syah Jehan, dibangun masjid berlapiskan mutiara dan Tajmahal di Aqra, Masjid Raya Delhi di Istana Indah, Lahore. Sultan-sultan Mughal juga mendirikan makam-makam yang indah.
Berdasarkan uraian di atas maka ilmu pengetahuan, seni, dan budaya pada masa Kerajaan Mughal maju cukup pesat, khususnya pada masa Akbar.
c.       Kemajuan di bidang Ekonomi
Sektor ekonomi utama kerajaan Mughal berasal dari hasil pertanian seperti biji-bijian, padi kapas, nila, rempah-rempah dll, bahkan hasil pertanian ini diekspor ke negara Eropa, Afrika, Arabia dan Asia tenggara bersama dengan hasil kerajinan seperti pakaian tenun dan kain tipis yang banyak diproduksi di Gujarat dan Bengal. Bahkan untuk meningkatkan hasil produksinya
Jengahir mengizinkan Inggris (1611M) dan Belanda (1617M) mendirikan pabrik pengolahan hasil pertanian di Surat. Kemajuan yang dicapai Akbar dapat dipertahankan oleh tiga sultan berikutnya yaitu, Jehangir (1605-1628), Syah Jehan (1628- 1658) dan Aurangzeb (1658-1707), ketiganya merupakan sultan sultan besar Mughal yang didukung dengan berbagai kecakapan dan kekuatan militer, tetapi setelah terjadi pergantian raja raja sesudahnya kerajaan Mughal mengalami kehancuran.[17]
3.      Faktor-faktor kemunduran Kerajaan Mughal
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan dinasti Mughal mundur dan membawa kepada kehancurannya pada tahun 1858 M yaitu:
a.       Terjadi stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer Inggris di wilayah-wilayah pantai tidak dapat segera dipantau oleh kekuatan maritim Mughal.
b.      Kemerosotan moral dan hidup mewah di kalangan elite politik, yang mengakibatkan pemborosan dalam penggunaan uang negara.
c.       Pendekatan Aurangzeb yang terlampau keras dalam melaksanakan syariat Islam tanpa adanya toleransi antar umat beragama Islam dengan Hindu, sehingga konflik antar agama sangat sukar diatasi oleh sultan-sultan sesudahnya.
d.      Semua pewaris tahta kerajaan pada paro terakhir adalah orangorang lemah dalam bidang kepemimpinan.[18]







[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), h. 129
[2] Ajib Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 182
[3] Ibid, h. 182
[4] Badri Yatim, Op. Cit. h. 130
[5] Hamka, Sejarah Umat Islam III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 203
[6] Ajib Thohir, Op. Cit., h. 185
[7] Van Hoev,  Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990), jilid IV, h. 60
[8] A. Syafiq Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, (Jakarta: Logos, 1997), h. 53
[9] Badri Yatim, Op. Cit., h. 135
[10] Lupidus , Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999, h. 499
[11] Ajib Thohir, Op. Cit.,  h. 191-192
[12] Ibid, h. 167
[13] Badri Yatim, Op. Cit., h. 143
[14]  Hamka, Op. Cit., h. 170
[15] Lupidus, Op. Cit., h. 147
[16] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h.261-262
[17] Nasirsalo.blogspot.com/2008/09/kerajaan-mughal-di-india-asal-usul.html, diunduh tgl 21/05/2013.
[18] Drs. Fail SJ., M. Ag, Pasang Surut Peradaban Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), Cet. 1, h. 226-227

Tidak ada komentar:

Posting Komentar