Jumat, 31 Mei 2013

Metode Tafsir


BAB I

PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Penggalian makna yang tersimpan di dalam setiap ayat Al-Qur’an harus dilakukan dengan usaha penafsiran yang mendalam dengan tetap mengacu  pada syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang mufassir dan tidak melenceng dari ajaran Islam yang sebenarnya. Al-Qur’an secara teks memang tidak berubah, tetapi penanfsiran atas teks, selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Karenanya, Al-Qur’an selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan berbagai alat, metode dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari Al-Qur’an itu. Sehingga Al-Qur’an seolah menantang dirinya untuk dibedah.
Banyak redaksi ayat-ayat Al-Qur’an tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, Hal ini kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dari dahulu sampai sekarang para ulama masih semangat untuk terus menggali dan mengkaji Al-qur’an. Masih ditemukan koleksi karangan kitab –kitab tafsir baik yang sudah di terbitkan atau yang belum diterbitkan. Dalam hal Al-Qur’an, para sahabat Nabi sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosa katanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah yang mereka dengar atau mereka baca.
Kemampuan setiap orang dalam memahami Al-Qur’an dan ungkapan Al-Qur’an tidaklah sama. Sehingga terjadinya perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang sangat mungkin terjadi. Itulah sebabnya seorang dalam meraih kebenaran teks dan konteks sebuah ayat membutuhkan  ilmu-ilmu pendukung lainnya. Dengan ilmu tersebut, seseorang bisa lebih mudah mengkaji dan memahami makna-makna Al-Qur’an. Apalagi mengenai ayat-ayat Al-Qur’an yang berkategori mutasyabih  yang tentu rumit dan pelik.
Kenyataan tersebut melahirkan berbagai metode yang digunakan dalam menjelaskan suatu redaksi. Untuk menafsirinya tergantung kepada kecenderungan para mufassir, serta latar belakang keilmuan dan sudut pandang yang digunakan. Para ulama telah sepakat berkaitan dengan pengklasifikasian tafsir Al-Qur’an dilihat dari sumber penafsirannya, mereka membagi dalam tiga kategori; yaitu, tafsir bi al-ma’tsūr (tafsir bi al-riwāyah), tafsir bi al-ra’y (tafsir bi al-dirāyah), dan tafsir bi al-iqtirāni (campuran antara nas dan akal pikiran manusia).
Dari ketiga macam tafsir di atas yang menjadi bahan perdebatan antar para ulama tafsir adalah tafsir bi al-ra’y. Banyak terdapat perbedaan pendapat diantara mereka dalam pembolehan menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan akal pikiran karena dikhawatirkan, menurut mereka yang anti tafsir bi al-ra’y, hanya ditafsirkan secara subjektif  untuk mendukung kepentingan pribadi atau kelompok mereka.
Untuk kepentingan tersebut, maka dalam makalah ini akan didiskripsikan salah satu metode yang digunakan untuk lebih mudahnya memahami Al-Qur’an dengan metode Al-Tafsir bi- al-ra’y.

B.       Permasalahan
       Terdapat berbagai permasalahan yang ingin dikupas dalam makalah ini yaitu :
a.     Pengertian Tafsir bi al-ra’y
b.    Sebab-sebab timbulnya Tafsir bi al-ra’y
c.     Pendapat ulama tentang Tafsir bi al-ra’y
d.    Macam-macam dan contoh Tafsir bi al-ra’y
















BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Al-Tafsir Bi Al-Ra’y
Kata Al-ra’yu berasal dari akar kata راي ج- اراء. Memiliki kata jamak ārā’un atau ar’ā’un yang bisa berarti berpendapat.[1][1] Sedangkan secara istilah bisa didefinisikan sebagaimana pendapat beberapa ulama yaitu :
1.      Tafsir Bi Al-Ra’y ialah tafsir yang didalam menjelaskan maknanya hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan yang didasarkan pada ra’yu semata. Golongan ini telah menulis sejumlah kitab tafsir menurut pokok-pokok mazhab mereka, seperti tafsir (karya) Abdurrahman bin Kaisan al-asam, al-Juba’I, Abdul Jabbar,  Ar-Rummani, Zamakhsyari dan lain sebagainya.[2][2]
2.      Tafsir Bi Al-Ra’y  ialah Tafsir berdasarkan ijtihad mufassir; pendapat atau ijtihadnya yang didasarkan atas sarana ijtihad.[3][3]
3.      Muhammad Ali Ash Shaabuniy, ialah ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shohih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya digunakan oleh orang yang hendak mendalami  tafsir Al-Qur’an atau mendalami pengertiannya.5
Dari beberapa pendapat diatas dapat penulis simpulkan bahwa tafsir bi al-ra’y adalah suatu metode tafsir dengan menggunakan kekuatan akal pikiran yang sudah memenuhi syarat dan memiliki pengakuan dari para ulama untuk menjadi seorang mufassir, namun penafsirannya harus tetap sejalan dengan hukum syari’ah tanpa ada pertentangan.
Tidaklah yang dimaksud dengan ra’yu ini dengan menafsirkan Al-Quran berdasarkan kata hati atau kehendaknya. Al- Qurtubi berkata “barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan imajinasinya (yang tepat menurut pandangannya tanpa berdasarkan kaidah-kaidah) maka ia adalah orang yang keliru dan tercela.”
Dalam sebuah hadis diriwayatkan :
من كذّب عليّ متعمدا فليتبوُأ مقعده من النار, ومن قال فى القران برأيه فليتبوّ أ مقعده من النار. ( رواه التر مذ )
Artinya :
“Barang siapa mendustakan secara sengaja niscaya ia harus bersedia   menepatkan dirinya di neraka. Dan barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan Ra’yu atau pendapatnya maka hendaklah ia bersedia menepatkan dirinya di neraka .”( H.R. Turmuzi dan Ibnu Abbas ) Dan sabdanya pula :
من قال فى القران برأ يه فاصاب فقد اخطأ
Artinya :
“Dan barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan Ra’yunya dan kebetulan tepat, niscaya ia telah melakukan kesalahan.” (H.R. Abi Dawud dari Jundab) 
Imam Al-Qurtuby, mengatakan bahwasannya hadits Ibnu Abbas tersebut memiliki dua penafsiran:
Pertama : Barang siapa yang berpendapat dalam persoalan Al-Qur’an yang pelik dengan tidak berdasarkan pengetahuan dari mazhab sahabat atau tabi’in berarti menentang Allah
Kedua : Barang siapa yang mengatakan tentang Al-Qur’an suatu pendapat, sedang ia mengetahui bahwa yang benar adalah pendapat yang lain, maka ia hanya bersedia menempatkan diri di neraka.[4][4]
B.       Sebab-Sebab Timbulnya Tafsir Bi Al-Ra’y
Pertama kali tafsir Al-Qur’an disampaikan secara syafāhiy (wicara, dari mulut ke mulut). Kemudian setelah dimulai pembukuan kitab-kitab kumpulan hadis, maka tafsir Al-Qur’an dibukukan bersama-sama dengan hadis, dan merupakan satu dari beberapa bab yang terkandung dalam kitab hadis. Pada masa itu belum ada penafsiran ayat per ayat, surat per surat, dari permulaan mushaf sampai dengan akhir, dan belum ada penafsiran per judul pembahasan.
Pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan Bani Abbasiyah, di tengah-tengah masa pentadwinan cabang-cabang ilmu pengetahuan, tafsir Al-Qur’an mulai memisahkan diri dari hadis, hidup mandiri secara utuh dan lengkap. Dalam artian, tiap-tiap ayat mendapat penafsiran, secara tertib menurut urutan mushhaf. Penafsiran Al-Qur’an pada masa-masa pertama memakai cara naqli, yaitu yang terkenal dengan istilah al-manhaj al-tafsīr bi al-ma’tsūr. Setelah itu para ahli ilmu menafsirkan Al-Qur’an menurut keahlian mereka masing-masing. Kemudian setelah lahirnya sekte-sekte aqidah didukung dengan semakin berkembangnya ilmu-ilmu kebahasaan dibuktikan dengan dijadikan ilmu tersebut sebagai disiplin ilmu tersendiri, bermuncullah penta’wilan terhadap ayat-ayat mutasyabihat, untuk menopang paham mereka masing-masing, meskipun sebenarnya bibit-bibit ta’wil Al-Qur’an sudah dimulai oleh beberapa sahabat, seperti ‘Ali bin Abi Ṭālib, ‘Abdullāh bin Mas’ūd, dan ‘Abdullāh bin ‘Abbās ra. Kemudian setelah itu, melalui Mu’tazilah, terjadilah perluasan tafsir bi al-ra’yi, sehingga tidak terjadi pertentangan antara nash Al-Qur’an dan akal pikiran, seperti kitab tafsir al-Kashshaf oleh al-Zamakhshāriy.[5][5]
Diantara mereka ada yang menulis tafsirnya dengan ungkapan yang indah dan menyusupkan madzhabnya ke dalam untaian kalimat yang dapat memperdaya banyak orang sebagaimana dilakukan penulis Tafsir al-kassyaf  dalam menyisipkan paham ke-mu’tazila-annya.[6][6]
C.      Pendapat Ulama Tentang Tafsir Bi Al-Ra’y
Setelah membahas  sebab-sebab timbulnya tafsir  bi al-ra’y, kami akan menjelaskan pendapat ulama tentang boleh tidaknya menafsiri Al-Qur’an bi al-ra’y beserta dengan alasannya. Sebagian ulama  mengatakan “ yang dimaksud dengan ra’yu disini adalah ijtihad”. Karena itu, tafsir ra’yu berarti tafsir Al-Qur’an berdasarkan ijtihad setelah mufassir mengetahui kata-kata dan uslub orang arab dalam berbicara, serta mengetahui lafal-lafal bahasa  arab dan pengertiannya.
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu yang terbagi dalam dua pendapat :
Pertama : Tidak diperbolehkan menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu karena tafsir ini harus bertitik tolak dari penyimakan. Itulah pendapat sebagian ulama.
Kedua : Pendapatkan yang membolehkan penafsiran dengan ra’yu dengan syarat harus memenuhi persyaratan-persyaratan diatas. Ini adalah pendapat dari kebanyakan ulama (jumhur ulama).
1.      Alasan pendapat yang tidak memperbolehkan
Menafsirkan Qur’an dengan ra’yu dam ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan.
Ulama yang tidak membolehkan penafsiran dengan ra’yu menyebutkan   beberapa alasan yang dapat kami ringkaskan sebagai berikut :
a.         Tafsir dengan ra’yu adalah membuat-buat (penafsiran) Al-Qur’an dengan tidak berdasarkan ilmu. Karena itu tidak dibenarkan berdasarkan firman Allah :  
Artinya :
Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. ( QS. Al-Baqoroh : 169)
b.         Sebuah hadits  tentang acaman terhadap orang yang menafsirkan dengan ra’yu, yaitu sabda Rasul SAW :
من كذّب عليّ متعمدا فليتبوُأ مقعده من نار, ومن قال فى القران برأيه فليتبوّ أ مقعده من النار. ( رواه التر مذ )
Artinya :
“Barang siapa mendustakan secara sengaja niscaya ia harus bersedia menepatkan dirinya di neraka. Dan barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan Ra’yu atau pendapatnya maka hendaklah ia bersedia menepatkan dirinya di neraka.”( H.R. Turmuzi dan Ibnu Abbas ).
c.         Firman Allah SWT :
Artinya ::
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.
d.        Para sahabat dan tabi’in merasa berdosa bila menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yunya, sehingga abu Bakar Shiddiq mengatakan, “ langit manakah yang akan menaungiku dan bumi manakah yang akan melindungiku? Bila aku menafsirkan Al-Qur’an menurut ra’yuku atau aku katakan tentangnya sedang aku sendiri belum mengetahui betul.”
2.      Alasan-alasan Pendapat yang Membolehkan Tafsir dengan Ra’yu
Ulama’ yang membolehkan tafsir dengan ra’yu adalah golongan jumhur yang menyebutkan beberapa alasan yang dapat kami simpulkan sebagai berikut:
a.         Allah telah manganjurkan kita untuk memperhatikan dan mengikuti  Al-Qur’an, seperti  dalam firman-Nya:  
Artinya : “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran” (QS. Shaad:29).
Proses tazakkur tidak akan bisa dilakukan tanpa mendalami rahasia-rahasia Al-Qur’an dan berusaha untuk memahami artinya.
b.         Allah SWT.  membagi manusia dalam dua klasifikasi; kelompok awam dan kelompok ulama (cerdik cendikiawan). Allah memrintahkan mengembalikan segala persoalan kepada ulama yang bisa mengambil dasar hokum, firman Allah: 
Artinya :
“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[322] di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri).” (QS. An-Nisa’:83)
c.         Mereka berpendapat, “bila penafsiran menurut ijtihad tidak dibenarkan maka ijtihad itu sendiri niscaya tidak diperbolehkan. Akibatnya banyak hukum yang terkatung-katung. Hal ini tidak mungkin karena bila seorang mujtahid berijtihad dalam hukum syara’, ia akan mendapatkan pahala, baik benar maupun salah dalam ijtihadnya.[7][7]
D.      Pedoman Penafsiran dengan Ra’yu
Faktor yang harus di penuhi dalam penafsiran secara ra’yu, terdiri atas empat pokok sebagaimana yang kutip oleh Ali Ash-Shaabuuniy yang dikemukakan oleh Az-Zarkasi dalam kitabnya Al-Burhan yang dikutip oleh Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan, yaitu:
1.         Dikutip dari Rasul dengan memperhatikan hadits-hadits yang daif dan maudhu’.
2.         Mengambil dari pendapat sahabat dalam hal tafsir karena kedudukan mereka adalah marfu (sampai kepada Nabi)
3.         Mengambil berdasarkan bahasa secara mutlak karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas, dengan membuang alternatif yang tidak tepat dalam Bahasa Arab.
4.         Pengambilan berdasarkan ucapan yang populer di kalangan orang Arab yang sesuai dengan ketentuan syara’.[8][8]
E.       Macam-Macam dan Contoh Tafsir Bi Al-Ra’y
1.         Macam-macam Tafsir Bi Al-Ra’y
Berdasarkan pengertian di atas, para mufassir membagi tafsir bi al-ra’y  kepada dua macam, yaitu ra’y madhmumah (yang tercela) dan ra’y mahmudah (yang terpuji). Yang pertama adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat semata-mata, yang tidak didukung oleh ilmu alat. Hal ini yang dimaksud dalam hadits Nabi SAW yang artinya : “Barang siapa yang berbicara tentang Al-Qur’an menurut pendapatnya sendiri, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka” (HR. Tirmidzi).[9][9] Sebagian besar orang yang menafsirkan dengan ra’yu adalah orang-orang yang mementingkan hawa nafsu dan bid’ah. Mereka menganut faham-faham yang sesat, tidak ada alur periwayatan (rujukan) yang jelas, tidak ada dalil yang kuat.[10][10] Dimana ia menyatakan bahwa kalam Allah itu maksudnya ini … atau itu… tafsir semacam ini adalah tafsi yang madzmum atau tafsir yang salah.[11][11] Yang kedua adalah pendapat yang didasarkan atas ilmu dan memenuhi kriteria atau syarat tafsir, yaitu penguasaan ilmu bahasa Arab yang meliputi nahwu, sharraf, isytiqaq dan balaghah. Selain itu, seorang mufassir juga dituntut menguasai ilmu qira’at, ushuluddin, ushul fiqh, asbabun nuzul, qoss Al-qur’an, nasikh mansukh, dan lain sebagainya.[12][12]
Kitab-kitab tafsir bi al-ra’y yang tergolong al-mahmūdah yang banyak dikenal, antara lain, adalah:
a.       Mafātih al-Ghayb, oleh: Fakhr al-Dīn al-Rāziy
b.      Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl, oleh Al-Baidawi
c.       Madārik al-Tanzīl wa aqā’iq al-Ta’wīl, oleh: Al-Nasāfi
d.      Lubāb al-Ta’wīl fi Ma’ān al-Tanzīl, oleh: Al-Khāzin
e.       Al-Bahr al-Mu’ī, oleh: Abū Hayyān
f.       Al-Tafsīr al Jalālayn, oleh: Jalāl al-Dīn Al-Mahalliy dan Jalāl al-Dīn Al-Suyūti
g.      Gharā’ib al-Qur’ān wa Raghā’ib al-Furqān, oleh: Al-Naisabūriy
h.      Al-Sirāj al-Munīr, oleh: Al Khātib Al-Sharbiniy
i.        Irsyâd al-‘Aql as-Salîm, oleh: Abū al-Sa’ūd
j.        Rūh al-Ma’āniy, oleh Al-Alūsiy
2.         Contoh Tafsir Bi-Al-Ra’y
              Ayat Al-Quran yang jika ditafsirkan oleh orang yang bodoh akan menjadi rusak maksudnya.


Artinya :
“Barang siapa yang buta (hatinya)di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan  lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan yang benar.”  (Q.S. Al-Isra : 72)
Ia menetapkan bahwa setiap orang yang buta adalah celaka dan rugi serta akan masuk neraka jahanam. Padahal yang dimasud dengan buta di sini bukan mata, tetapi buta hati berdasarkan alasan firman Allah.
Artinya
“…….. Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati dalam dada.”  (Q.S. Al- Hajj : 46)[13][13]
                 Ayat lain yang dikemukakan oleh sebagian orang yang mengaku pandai tentang firman Allah SWT.
Artinya:
“ (ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya” (QS. Al-Isra:71)
                     Mereka berkata bahwa maksud firman Allah di atas adalah “ Allah Ta’ala memanggil manusia pada  hari kiamat dengan nama ibunya karena menutupi mereka.” Mereka menafsirkan kata “imam” dengan “ummahat” (ibu) dengan berpendapat bahwa imam adalah jamak dari umum padahal menurut ketentuan bahasa arab tidak demikian, karena jamak dari umum adalah ummahat sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
Artinya :
Ibu-ibumu yang menyusui kamu…” (QS. An-Nisa’)
                     Bentuk jamak dari ummum itu bukanlah kata imam, karena itu pengertian di atas menurut bahasa dan syara’ tidaklah benar. Yang dimaksud imam disana adalah nabi yang diikuti oleh ummatnya atau catatan amal.[14][14]







BAB III
PENUTUP
  Kesimpulan
              Pada saat ini rupanya sangat sulit untuk memahami fenomena-fenomena tanpa adanya pemahaman fenomena yang terjadi dimasa-masa awal ketika Al-Qur’an diturunkan. Jika kita rasakan sepertinya wahyu sangat terasa membumi ketika awal-awal Al-Qur’an di turunkan dan rasul berserta sahabatnya masih hidup, karena rujukan dan sumbernya dapat ditemukan langsung. Tetapi hal ini tidaklah menjadi suatu peghalang dalam melihat dan menganalisis Al-Qur’an yang tentunya tetap berpijak pada pemahaman yang pertama kali dicontohkan.
                 Pendapat yang tidak membolehkan adanya penafsiran bi al-ra’y pernah dianggap sebagai biang keladi adanya kejumudan berpikir dikalangan umat Islam, karena pendapat tersebut memberikan rasa takut dan menyebabkan tidak mengkaji isi Al-Qur’an, masalah-masalah lain yang menjadi bukti kuat kekalnya Al-Quran. Penggunaan tafsir logika tidak dibenarkan jika dipakai dalam mengkaji kegiatan ubudiyah yang tidak mungkin terjadi adanya perubahan. Penafsiran ini hanya bisa dipakai untuk masalah-masalah sosial atau aspek kehidupan yang sangat dinamis, dan berkembang pesat yang membutuhkan kajian sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an, menghasilkan teori yang relevan dengan dinamika yang ada dengan berdasar pada kekalnya Al-Qur’an dan jawaban terhadap masalah-masalah yang terjadi, hal ini merupakan konsekuensi logisnya.    















DAFTAR PUSTAKA

Ar-Rumi, Fahd bin Muhammad, 1996,  Dirasat Fi ‘ulum Al-Qur’an, terj. Cet.1, Yogyakarta: Titian Ilahi
Ash Shaabuniy, Muhammad Ali, 1998, Study Ilmu Al-Qur’an, Alih Bahasa Aminuddin, Bandung: Pustaka Setia
Al-Qattan,  Manna’ Khalil, 2007, Studi Ilmu-Ilmu  Qur’an, terj. Mudzakir As, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa
Yunus, Mahmud, Kamus Arabi – Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsiran Al-Qur’an
Yusuf, Kadar M,  2009, Study Al-Qur’an, Jakarta: AMZAH




[1][1] Mahmud Yunus,  Kamus Arabi – Indonesia. ( Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsiran Al-Qur’an), 136
[2][2] Manna’ Khalil Al-Qattan,  Studi Ilmu-Ilmu  Qur’an, terj. Mudzakir As (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa , 2007, 488
[3][3] Kadar M. Yusuf, Study Al-Qur’an, (Jakarta: AMZAH,,2009), 140
5 Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an. Alih Bahasa Aminuddin (Bandung, Pustaka Setia, 1998) , 258
[4][4] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an. Alih Bahasa Aminuddin,…, 258
[5][5] Rosihan Anwar, ‘Ulūm al-Qur’ān, (Bandung: Pustaka Setia, 2008),  220.
[6][6] Manna’ Khalil Al-Qattan,  Studi Ilmu-Ilmu  Qur’an, terj. Mudzakir As,…488
[7][7] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an.…, 279
[8][8] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an.…, 264
[9][9] Kadar M. Yusuf, Study Al-Qur’an,…, 141
[10][10] Fahd bin Muhammad Ar-Rumi, Dirasat Fi ‘ulum Al-Qur’an, terj. Cet.1, (Yogyakarta: Titian Ilahi, 1996)…,274
[11][11] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an.…, 261
[12][12] Kadar M. Yusuf, Study Al-Qur’an,…, 141
[13][13] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an.…, 263
[14][14] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an.…, 261

Tidak ada komentar:

Posting Komentar