BAB II
PEMBAHASAN
A. Kontribusi dan Manfaat Mempelajari Psikologi Pendidikan
Kontribusi psikologi pendidikan bagi pendidik yaitu menjadikan pendidik lebih terbuka terhadap perbedaan individu karena setiap individu (siswa) itu berbeda, maka pendidik tidak bisa menyamaratakan intelegensi maupun kecakapan mereka. Mungkin saja satu anak tidak pandai dalam pelajaran matematika tetapi pandai dalam menggambar, atau anak yang lain tidak pandai dalam menggambar tetapi pandai menyanyi. Pendidik mengetahui metode mengajar yang efektif karena setelah mengerti dengan perbedaan masing-masing individu, pendidik haruslah mampu menggunakan metode belajar yang mana untuk mengajar siswanya.
Pendidik memahami permasalahan anak didik karena selain mengajarkan ilmu kepada peserta didik, sedikit banyaknya harus tahu masalah yang dihadapi peserta didik. Bisa saja siswa yang sering tertidur di kelas bukan karena malas, tapi harus membantu orang tuanya berjualan hingga larut malam, sehinggga saat waktu jam belajar ia mengantuk.[1]
Manfaat mempelajari psikologi pendidikan bagi pendidik maupupun calon pendidik dapat dibagi menjadi dua aspek, yaitu:
1. Untuk Mempelajari Situasi Dalam Proses Pembelajaran
Psikologi pendidikan memberikan banyak kontribusi kepada pendidik dan calon pendidik untuk meningkatkan efisiensi proses pembelajaran pada kondisi yang berbeda-beda seperti di bawah ini:
a. Memahami Perbedaan Individu (Peserta Didik).
b. Penciptaan Iklim Belajar yang Kondusif di Dalam Kelas.
c. Pemilihan Strategi dan Metode Pembelajaran.
d. Memberikan Bimbingan kepada Peserta Didik.
e. Mengevaluasi Hasil Pembelajaran.
2. Untuk Penerapan Prinsip-prinsip Belajar Mengajar
a. Menetapkan Tujuan Pembelajaran.
b. Penggunaan Media Pembelajaran.
c. Penyusunan Jadwal Pelajaran.
B. Kontribusi Psikologi Pendidikan Terhadap Sistem Penilaian
Penilaian pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan guna memahami seberapa jauh tingkat keberhasilan pendidikan. Melalui kajian psikologis kita dapat memahami perkembangan perilaku apa saja yang diperoleh peserta didik setelah mengikuti kegiatan pendidikan atau pembelajaran tertentu.
Kajian psikologis telah memberikan sumbangan nyata dalam pengukuran potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik terutama setelah dikembangkannya berbagai tes psikologis, baik untuk mengukur tingkat kecerdasan, bakat maupun kepribadian individu lainnya. Kita mengenal sejumlah tes psikologis yang saat ini masih banyak digunakan untuk mengukur potensi seorang individu, seperti Multiple Aptitude Test (MAT), Differential Aptitude Tes (DAT), EPPS dan alat ukur lainnya.[2]
Pemahaman kecerdasan, bakat, minat dan aspek kepribadian lainnya melalui pengukuran psikologis, memiliki arti penting bagi upaya pengembangan proses pendidikan individu yang bersangkutan sehingga pada gilirannya dapat dicapai perkembangan individu yang optimal.
Oleh karena itu, betapa pentingnya penguasaan psikologi pendidikan bagi kalangan guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
1. Penilaian hasil-hasil pendidikan
Penilaian bisa juga disebut dengan evaluasi sehingga masalah penilaian hasil-hasil pendidikan bukanlah masalah baru. Sejak manusia melakukan usaha mendidik anak-anaknya pastilah mereka telah pula melakukan usaha menilai hasil-hasil usaha mereka dalam mendidik anak-anak mereka itu, kendatipun dalam bentuk dan cara yang sangat sederhana sekali. Memang tindakan tersebut adalah wajar dan tidak dapat tidak pasti dijalankan, karena sebenarnya penilaian hasil-hasil pendidikan itu tak dapat dipisah-pisahkan dari usaha pendidikan itu sendiri, penilaian merupakan salah satu aspek yang hakiki daripada usaha itu sendiri.
Pendidikan adalah usaha manusia (pendidik) untuk dengan penuh tanggung jawab membimbing anak-anak didik ke kedewasaan. Sebagai sesuatu usaha yang mempunyai tujuan atau cita-cita tertentu sudah sewajarnya bila secara implisit telah mengandung masalah penilaian terhadap hasil usaha tersebut. Sebab tiap-tiap kali orang butuh mengetahui (dengan alasan yang bermacam-macam) sampai sejauh manakah tujuan atau cita-cita yang ingin dicapai itu sudah terwujud atau telaksana dalam usaha-usaha yang telah dijalankan.[3]
Adapun caranya orang melakukan penilaian tersebut bemacam-macam sekali, ada yang dengan jalan testing, ada yang dengan jalan menyuruh melakukan sesuatu tugas tertentu, ada yang dengan jalan menanyakan berbagai hal, ada yang dengan jalan menyuruh membuat karangan, ada yang dengan jalan menyuruh mereproduksikan hal-hal yang telah diterima sebagai pelajaran, ada yang dengan jalan (menurut istilah yang umum kita pakai) memberikan ulangan, dan lain-lain cara lagi. Akan tetapi cara yang paling umum ialah dengan jalan menguji anak didik atau calon tersebut. Berbagai cara yang telah disebutkan di atas itu pada hakikatnya adalah bentuk-bentuk khusus ujian itu.
Ujian adalah sebenarnya semacam tes. Maka digunakanlah tes dan penilaian secara bijaksana. Kenyataan bahwa tes dan nilai dipakai sebagai dasar hadiah social (penerimaan lingkungan, promosi, pekerjaan yang baik, uang yang lebih banyak, dan sebagainya) menyebabkan tes dan nilai dapat menjadi suatu kekuatan untuk memotivasi anak didik. Anak didik belajar bahwa ada keuntungan yang diasosiasikan dengan nilai yang tinggi. Dengan demikian memberikan tes dan nilai mempunyai efek dalam memotivasi anak didik untuk belajar. Tapi tes dan nilai harus dipakai secara bijaksana, yaitu untuk memberikan informasi kepada anak didik dan untuk menilai penguasaan dan kemajuan anak didik, bukan untuk menghukum atau membanding-bandingkannya dengan anak didik lainnya. Penilaian diberikan sesuai dengan prestasi kerja dan perilaku yang ditunjukkan oleh anak didik dan bukan atas kemauan guru yang semena-mena. Penyalahgunaan tes dan nilai akan mengakibatkan menurunnya keinginan anak didik untuk berusaha belajar dengan baik.[4]
2. Tujuan dan fungsi penilaian
Adapun tujuan-tujuan penilaian yaitu:
a. Untuk mengetahui tingkat kemajuan yang dicapai oleh siswa dalam suatu kurun waktu proses belajar tertentu.
b. Untuk mengetahui posisi atau kedudukan seorang siswa dalam kelompok kelasnya.
c. Untuk mengetahui tingkat usaha yang dilakukan siswa dalam belajar.
d. Untuk mengetahui segala upaya siswa dalam mendayagunakan kapasitas kognitifnya (kemampuan kecerdasan yang dimilikinya) untuk keperluan belajar.
e. Untuk mengetahui tingkat daya guna dan basil guna metode mengajar yang telah digunakan guru dalam proses mengajar belajar (PMB).[5]
Disamping memiliki tujuan, penilaian juga memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut:
a. Fungsi administrative untuk penyusunan daftar nilai dan pengisian buka rapor.
b. Fungsi promosi untuk menetapkan kenaikan atau kelulusan.
c. Fungsi diagnostic untuk mengidentifikasi kesulitan belajar siswa dan merencanakan program remedial teaching (pengajaran perbaikan).
d. Sumber data BK untuk memasok data siswa tertentu yang memerlukan binmbingan dan konseling (BK).
e. Bahan pertimbangan pengembangan pada masa yang akan datang yang meliputi pengembangan kurikulum, metode dan alat-alat PMB.
Selanjutnya, selain memiliki fungsi-fungsi seperti di atas, penilaian juga mengandung fungsi psikologis yang cukup signifikan bagi siswa maupun bagi guru dan orang tuanya. Secara psikologis anak juga butuh mengetahui statusnya di antara teman-temannya, apakah kiranya dia tergolong anak yang pilihan, yang pandai, yang sedang, dan sebagainya, juga kadang-kadang dia butuh membandingkan dirinya dengan teman-temannya, dan alat untuk ini yang dipandangnya paling baik adalah pendapat pendidik (khususnya guru) terhadap kemajuan mereka.[6]
Penilaian guru merupakan alat bantu untuk mengatasi kekurangmampuan atau ketidakmampuannya dalam menilai kemampuan dan kemajuan dirinya sendiri. Dengan mengetahui taraf kemampuan dan kemajuan dirinya sendiri. Dengan mengetahui taraf kemampuan dan kemajuan dirinya sendiri, siswa memiliki self consciousness, kesadarannya yang lugas mengenai eksistensi dirinya, dan juga metacognitive, pengetahuan yang benar mengenai batas kemampuan akalnya sendiri. Dengan demikian, siswa diharapkan mampu menemukan posisi dan statusnya secara tepat di antara teman-teman dan masyarakatnya sendiri.
Bagi orang tua atau wali murid adalah orang-orang yang mempunyai tanggung jawab pertama dan utama mengenai pendidikan anak-anaknya atau anak-anak tanggungannya, yang karena pertimbangan-pertimbangan teknis menyerahkan sebagian tugasnya kepada lembaga pendidikan. Oleh karena itu, secara psikologis mereka butuh mengetahui kemajuan anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya itu. Hal ini dasarnya tidak menyimpang dari apa yang telah diuraikan di muka, yaitu bahwa orang selalu membutuhkan mengetahui sejauh manakah usaha yang telah dilakukannya itu menuju kearah cita-cita. Pengetahuan akan hal ini akan memberinya rasa pasti dan memberinya dasar untuk menentukan langkah-langkah yang lebih lanjut.
Disamping yang telah dikemukan itu sebagian pendidik professional yang melaksanakan tugas mendidik yang dipikulkan kepadanya, guru juga butuh mengetahui hasil-hasil usahanya itu sebagai pedoman dalam menjalankan usaha-usaha yang lebih lanjut.[7]
3. Syarat-syarat penilaian yang baik
a. Tes itu harus Reliabe, artinya reliable apabila tes itu memiliki keajegan hasil atau consistency.
b. Tes itu harus valid, artinya valid apabila tes tersebut mengukur apa saja seharusnya diukurnya.
c. Tes itu harus objektif, artinya objektivitas ketika suatu faktor penting yang mempengaruhi validitas dan reabilitas.
d. Tes itu harus diskriminatif, artinya diskriminatif kalau tes itu disusun sedemikian rupa agar dapat melancak (menunjukkan) perbedaan-perbedaan yang kecil-kecil pun.
e. Tes itu harus comprehensive, artinya comprehensive kalau tes tersebut mencakup segala persoalan yang harus diselidiki.
f. Tes itu harus mudah digunakan, artinya tes itu harus cukup jelas manfaatnya.
4. Kondisi psikologis mempengaruhi hasil belajar terhadap penilaian
Belajar pada hakikatnya adalah proses psikologis. Oleh karena itu, semua keadaan dan fungsi psikologis tentu saja mempegaruhi belajar seseorang.[8] Faktor-faktor psikologis itu diantaranya yaitu:
a. Minat
Adalah suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minat. Dapat disimpulkan bahwa minat mempengaruhi proses dan hasil belajar anak didik. Beberapa ahli pendidikan berpendapat bahwa cara yang paling efektif untuk membangkitkan minat pada suatu subjek yang baru adalah dengan menggunakan minat-minat anak didik yang telah ada.
b. Kecerdasan
Inteligensi atau kecerdasan diakui ikut menentukan keberhasilan belajar seseorang. Menurut M. Dalyono mengatakan bahwa seseorang memiliki inteligensi baik umumnya mudah belajar dan hasilnya pun cenderung baik. Sebaliknya, orang yang inteligensinya rendah cenderung mengalami kesukaran dalam belajar, lambat berpikir, sehingga prestasi belajarnya pun rendah.
c. Bakat
Bakat merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap proses dan hasil belajar seseorang. Bakat memang diakui sebagai kemampuan bawaan yang merupakan potensi yang masih perlu dikembangkan atau latihan. Hampir tidak ada yang membantah, bahwa belajar yang sesuai dengan bakat memperbesar kemungkinan berhasilnya usaha itu.
d. Motivasi
Motivasi untuk belajar adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar. Kuat lemahnya motivasi belajar seseorang turut mempengaruhi keberhasilan belajar.
e. Kemampuan kognitif
Dalam dunia pendidikan ada tiga tujuan pendidikan yang sangat dikenal dan diakui oelh para ahli pendidikan, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Ranah kognitif merupakan kemampuan yang selalu dituntut kepada anak didik untuk dikuasai. Karena penguasaan kemampuan pada tingkat ini menjadi dasar bagi penguasaan ilmu pengetahuan. Ada tiga kemampuan yang harus dikuasai sebagai jembatan untuk sampai pada penguasaan kognitif, yaitu persepsi, mengingat, dan berpikir.[9]
[2] Ratna Yudhawati, Teori-Teori Dasar Psikologi Pendidikan (Jakarta: PT. Prestasi Pustaka, 2011), h. 112
[3] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 293-294.
[4] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), h. 171.
[5] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), h. 140
[6] Ibid, h. 141
[7] Sumadi Suryabrata, Op. Cit, h. 298-299
[8] Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit, h. 190.
[9] Ibid, h. 202
Tidak ada komentar:
Posting Komentar