AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM
1.
Pengertian Al-Qur’an
Menurut sebagian besar ulama, kata ulama, kata Al-Qur’an
berdasarkan segi bahasa merupakan bentuk mashdar dari kata qara’a, yang
bisa dimasukkan pada wajan fu’lan, yang berarti bacaan atau apa yang
tertulis padanya, maqru’ , seperti terdapat dalam surat Al-Qiyamah [75]
: 17-18 :
¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ #sÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ
Artinya :
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya
Maka ikutilah bacaannya itu.” (QS.
Al-Qiyamah : 17-18)
Adapun definisi Al-Qur’an secara terminology, menurut sebagian
besar ulama Ushul Fiqih adalah sebagai berikut :
كَلَا مُ اللهِ تَعَا لَى الْمُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ باِ للَّفْظِ الْعَرَ بِيْ اَلْمَنْقُوْ لُ اِلَيْنَا بِا لتَّوَا
تُرِاَلمَكْتُوْبُ بِا لْمَصَا حِفِ الْمُتَعَبَّدُ بِتِلَا وَتِهِ اَلْمَبْدُوْءُ
بِالْفَا تِحَةِ وَالْمَخْتُوْمُ بِسُوْرَةٍ النَّا سِ
Artinya :
“Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dalam bahasa
Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya
merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf, dimulai dari surat Al-Fatihah dan
ditutup dengan surat An-Nas.”
Dari definisi diatas, para ulama ushul fiqih menyimpulkan beberapa
ciri khas Al-Qur’an, antara lain sebagai berikut: (Asu-Syaukani :26-27)
1.
Al-Qur’an
merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW. Dengan demikian,
apabila bukan kalam Allah dan tidak diturunkan kepada Muhammad SAW., tidak
dinamakan Al-Qur’an, seperti Zabur, Taurat, dan Injil. Ketiga kitab tersebut
memang termasuk di antara kalam Allah, tetapi bukan diturunkan kepada Muhammad
SAW., sehingga tidak dapat disebut Al-Qur’an.
2.
Bahasa
Al-Qur’an adalah bahasa Arab Quraisy. Seperti ditunjukkan dalam beberapa ayat
Al-Qur’an, antara lain: Asy-Syu’ara [26]: 192-195; Yusuf [12]: 2;
Az-Zumar [39]: 28; An-Nahl[16]: 103; dan Ibrahim [14] : 4.
Maka para ulama sepakat bahwa penafsiran dan terjemahan Al-Qur’an tidak
dinamakan Al-Qur’an serta tidak bernilai ibadah membacanya. Dan tidak sah
sholat dengan hanya membaca tafsir atau terjemahan Al-Qur’an, sekalipun ulama
Hanafiyyah membolehkan shalat dengan bahasa Parsi, tetapi kebolehan ini hanya
bersifat rukhshah (keringanan hukum).
3.
Al-Qur’an
itu dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawatir (dituturkan
oleh orang banyak kepada orang banyak sampai sekarang. Mereka itu tidak mungkin
sepakat untuk berdusta), tanpa perubahan dan penggantian satu kata pun.
(Al-Bukhari : 24).
4.
Membaca
setiap kata dalam Al-Qur’an itu mendapatrkan pahala dai Allah, baik bacaan itu
berasal dari hapalan sendiri maupun dibaca langsung dari mushhaf Al-Qur’an.
5.
Al-Qur’an
dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. Tata urutan
surat yang terdapat dalam Al-Qur’an, disusun sesuai dengan petunjuk Allah
melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW., tidak boleh diubah dan
diganti letaknya. Dengan demikian, doa-doa yang biasanya ditambahkan di akhir
Al-Qur’an, tidak termasuk Al-Qur’an.
2.
Kehujjahan Al-Qur’an Menurut Pandangan Ulama Imam Mazhab
a.
Pandangan
Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama bahwa Al-Qur’an
merupakan sumber hokum Islam. Namun, menurut sebagian besar ulama, Imam Abu
Hanifah berbeda pendapat dengan jumhur ulama, mengenai Al-Qur’an itu mencakup
lafazh dan maknanya atau maknanya saja.
Diantara dalil yang menunjukkan pendapat Imam Abu Hanifah bahwa
Al-Qur’an hanya maknanya saja adalah ia membolehkan shalat dengan menggunakan
bahasa selain Arab, misalnya dengan bahasa Parsi walaupun tidak dalam keadaan
madarat. Padahal menurut Imam Syafi’i sekalipun seseorang itu bodoh tidak
dibolehkan membaca Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa selain Arab.
b.
Pandangan
Imam Malik
Menurut Imam Malik, hakikat Al-Qur’an adalah kalam Allah yang lafazh
dan maknanya dari Allah SWT. Ia bukan makhluk karena kalam Allah termasuk
sifat Allah. Sesuatu yang termasuk sifat Allah tidak dikatakan makhluk, bahkan
dia memberikan predikat kafir zindiq terhadap orang yang menyatakan bahwa
Al-Qur’an itu makhluk. Imam Malik juga sangat keberatan untuk menafsirkan
Al-Qur’an secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau berkata,
“Seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang menafsirkan
Al-Qur’an (dengan daya nalar murni), maka akan kupenggal leher orang itu.”
Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti ulama salaf
(sahabat dan tabi’in) yang membatasi pembahsan Al-Qur’an sesempit mungkin
karena mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah SWT. maka tidak
heran kalau kitabnya, Al-Muwaththa dan Al-Mudawwanah sarat dengan pendapat
sahabat dan tabi’in. dan Malik pun mengikuti jejak mereka dalam cara
menggunakan ra’yu.
Berdasarkan ayat 7 surat Ali-Imran, petunjuk lafazh yang
terdapat dalam Al-Qur’an terbagi dalam dua macam, yaitu muhkamat dan mutasyabihat,
ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang terang dan tegas maksudnya serta
dapat dipahami dengan mudah, sedangkan ayat-ayat mustasyabihat ialah
ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak dapat ditentukan
artinya, kecuali setelah diselidiki secara mendalam.
Muhkamat terbagi dalam
dua bagian, yaitu lafazh dan nash. Imam Malik menyepakati
pendapat ulama-ulama lain bahwa lafazh nash itu adalah lafazh yang
menunjukkan makna yang jelas, namun masih mempunyai kemungkinan makna lain.
Menurut Imam Malik, keduanya dapat dijadikan hujjah, hanya saja lafazh nash didahulukan
daripada lafazh zhahir. Menurut Imam Malik, dilalah nash termasuk
qath’i, sedangkan dilalah zhahir termasuk zhanni, sehingga
bila terjadi pertentangan antara keduanya, maka yang didahulukan adalah dilalah
nash. Yang perlu diingat adalah makna zhahir disini adalah makna zhahir
menurut pengertian Imam Malik.
c.
Pandangan
Imam Asy-Syafi’i
Imam As-Syafi’I, sebagaimana para ulama lainnya, menetapkan bahwa
Al-Qur’an merupakan sumber hokum Islam yang paling pokok bahkan beliau
berpendapat, “Tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali
petunjuknya terdapat dalam Al-Qur’an.” (Asy-Syafi’i, 1309:20). Oleh karena itu,
Imam Asy-Syafi’i senantiasa mencatumkan nash-nash Al-Qur’an setiap kali
mengeluarkan pendapatnya, sesuai metode yang digunakannya, yakni deduktif.
Namun, Asy-Syafi’i menganggap bahwa Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan
dari As-Sunah, karena kaitan antara keduanya sangat erat sekali. Kalau para
ulama lain menganggap bahwa sumber hukum Islam yang pertama itu Al-Qur’an
kemudian As-Sunnah, maka Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa sumber hokum Islam
pertama itu Al-Qur’an dan As-Sunah, sehingga seakan-akan beliau menganggap
keduanya berada pada satu martabat.
Sebenarnya Imam Asy-Syafi’i pada beberapa tulisannya yang lain
tidak menganggap bahwa Al-Qur’an dan Sunah berada dalam satu martabat, namun
kedudukan As-Sunnah itu adalah setelah Al-Qur’an. Tapi Asy-Syafi’i menganggap
bahwa keduanya berasal dari Allah SWT. meskipun mengakui bahwa diantara
keduanya terdapat perbedaan cara memperolehnya. Dan menurutnya As-Sunah
merupakan penjelas berbagai keterangan yang bersifat umum yang ada dalam
Al-Qur’an.
Kemudian Asy-Syafi’i menganggap Al-Qur’an itu seluruhnya berbahasa
Arab, dan ia menentang mereka yang beranggapan bahwa dalam Al-Qur’an terdapat
bahasa ‘Ajam (luar Arab), diantara pendapatnya adalah firman Allah SWT.:
وَكَذَ لِكَ أَنْزَ لْنَا قُرْ اَنَاعَرَ بِيًّا
Artinya:
“Dan begitulah Kami turunkan Al-Qur’an berbahasa arab.”
Dengan demikian, tak heran bila Imam Asy-Syafi’I dalam berbagai
pendapatnya sangat mementingkan penggunaan bahasa Arab, misalkan dalam shalat,
nikah, dan ibadah-ibadah lainnya. Dan beliau pun mengharuskan penguasaan bahasa
Arab bagi mereka yang ingin memahami dan meng-istinbath hokum dari Al-Qur’an. (Abu Zahrah :191-197).
d.
Pandangan
Imam Ahmad Ibnu Hambal
Al-Qur’an merupakan sumber dan tiangnya syari’at Islam, yang
didalamnya terdapat berbagai kaidah yang tidak akan berubah dengan perubahan
zaman dan tempat. Al-Qur’an juga mengandung hokum-hukum global dan penjelasan
mengenai akidah yang benar, disamping sebagai hujjah untuk tetap berdirinya
agama Islam.
Ahmad Ibnu Hambal, sebagaimana para ulama lainnya berpendapat bahwa
Al-Qur’an itu sebagai sumber pokok Islam, kemudian disusul oleh As-Sunah.
Namun, seperti halnya Asy-Syafi’i, Imam Ahmad memandang bahwa As-Sunah mempunyai
kedudukan yang kuat disamping Al-Qur’an, sehingga tidak jarang beliau
menyebutkan bahwa sumber hokum itu adalah nash, tanpa menyebutkan Al-Qur’an
dahulu atau As-Sunah dahulu, tetapi yang dimaksud nash tersebut adalah
Al-Qur’an dan As-Sunah.
Dalam penafsiran terhadap Al-Qur’an, Imam Ahmad betul-betul
mementingkan penafsiran yang datangnya dari As-Sunah (Nabi Muhammad SAW.) dan
sikapnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga:
a.
Sesungguhnya
zhahir Al-Qur’an tidak mendahulukan As-Sunah.
b.
Rasulullah
SAW. saja yang berhak menafsirkan Al-Qur’an, maka tidak ada seorang pun yang
berhak menafsirkan atau menakwilkan Al-Qur’an, karena As-Sunah telah cukup
menafsirkan dan menjelaskannya.
c.
Jika
tidak ditemukan penafsiran yang berasal dari Nabi, penafsiran para sahabatlah yang
dipakai, karena merekalah yang menyaksikan turunnya Al-Qur’an dan mendengarkan
takwil. Dan mereka pula yang lebih mengetahui As-Sunah yang mereka gunakan
sebagai penafsir Al-Qur’an.
Menurut Ibnu Taimiyah, Al-Qur’an itu tidak ditafsirkan, kecuali
dengan atsar, namun dalam beberapa pendapatnya, ia menjelaskan kembali bahwa
jika tidak ditemukan dalam hadis Nabi dan qaul sahabat, diambil dari penafsiran
para tabi’in. (Abu Zahrah : 224-247).
3.
Petunjuk (Dilalah) Al-Qur’an
Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hokum
syara’. Mereka pun sepakat bahwa semua ayat Al-Qur’an dari segi wurud (kedatangan)
dan tsubut (penetapannya) adalah qath’i. hal ini karena semua
ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawatir. Kalaupun ada sebagian
sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushaf-Nya, yang tidak ada
pada qira’ah mujtawatir, hal ini hanya merupakan penjelasan dan penafsiran
terhadap Al-Qur’an yang didengar dari Nabi SAW. atau hasil ijtihad mereka
dengan jalan membawa nash mutlaq pada muqayyad dan hanya untuk
dirinya sendiri. Hanya saja para pembahas berikutnya menduga bahwa hal tersebut
termasuk qira’at gair mutawatir yang periwayatannya tersendiri. Di antara para
sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushaf-Nya itu adalah
Abdullah Ibnu Mas’ud, ia mencantumkan kata mutatabi’atin pada ayat 89
surat Al-Ma’idah sehingga ayat tersebut pada mushaf-NYa tertulis:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَا مُ ثَلَا ثَةِ اَيَّا مٍ مُتَتَابِعَاتٍ
Dan kata dzi ar-rahmi Al-nuharrami pada ayat 233, surat Al-Baqarah sehingga ayat itu tertulis:
وَعَلَ الْوَارِثِ ذِ ى الرَّحْمِ الْمُحَرَّمِ
Ubay Ibnu Ka’ab mencantumkan kata min Al-ummi pada ayat 12
surat An-Nisa, sehingga ayat tersebut tertulis pada mushaf-Nya:
وَاِنْ كَانَ رَجُلٌ يُوْرِثُ كَلَالَةًاَوِامْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ
أَوْأُخْتٌ مِنَ اْلأُمِّ.
(Muhammad Al-Makdur, 1976 : 104).
Namun, perlu ditegaskan bahwa hal tersebut tidak didapati dalam
mushaf Utsmani yang kita pakai sekarang ini.
Dengan demikian, penambahan kata pada sebagian ayat Al-Quran
seperti di atas tidak dapat dikatakan sebagai Al-Quran; dan orang yang
mengingkarinya pun tidak dihukumi sebagai orang kufur. Demikian pula, kata-kata
yang merupakan penambah itu tidak dapat dijadikan hujjah untuk istinbath
hukum, kecuali menurut golongan Hanafiyah. Hal ini berakibat pada perbedaan
pendapat antara Jumhur ulama dengan ulama Hanafiyah dalam beberapa masalah,
yang antara lain sebagai berikut :
a.
Hanafiyah
mensyaratkan puasa kifarat sumpah dilakukan terus-menerus, karena mereka berpegang
kepada qira’ah Ibnu Mas’ud, sedangkan selain ulama Hanafiyah tidak
mensyaratkannya, (Al-Ghazali, 1968 : 229)
b.
Hanafiyah
melarang memotong tangan kiri pencuri yang mencuri untuk ketiga kalinya, karena
yang dimaksudkan dengan pemotongan tangan pada ayat 38 surat Al-Maidah adalah
tangan kanan pencuri. Pendapat mereka bersumber pada qira’ah Ibnu Mas’ud,
sedangkan menurut para ulama selain Hanafiyah, pencuri yang mencuri ketiga
kalinya itu harus dipotong tangan kirinya.
c.
Hanafiyah
berpendapat bahwa kewajiban member nafkah kepada kerabat zawil Arham itu
hanyalah kepada zawil arham yang muhrim, sedangkan menurut jumhur
ulama, zawil arham yang wajib diberi nafkah tidak terikat dengan muhrim-nya
saja, baik muhrim ataupun bukan, mereka tetap diberi nafkah. (Ali
Hasaballah, 1968 :259).
Adapun ditinjau dari segi dilalah-nya, ayat-ayat Al-Qur’an
itu dapat dibagi dalam dua bagian:
a.
Nash
yang qati’i dilalah-nya
Yaitu nash yang tegas dan jelas maknanya, tidak bisa di-takwil,
tidak mempunyai makna yang lain, dan tidak tergantung pada hal-hal lain di
luar nash itu sendiri. Contoh yang dapat dikemukankan disini adalah ayat
yang menetapkan kadar pembagian waris, pengharaman riba, pengharaman daging
babi, hukuman had zina sebanyak seratus kali dera, dan sebagainya. Ayat-ayat
yang menyangkut hal-hal tersebut, maknanya jelas dan tegas dan menunjukkan arti
dan maksud tertentu, dan dalam memahaminya tidak memerlukan ijtihad. (Abdul
Wahab Khalaf, 1972 :35).
b.
Nash
yang zhanni dilalah-nya
Yaitu nash yang menunjukkan suatu makna yang dapat di-takwil atau
nash yang mempunyai makna lebih dari satu, baik karena lafazhnya musytarak (homonym)
ataupun karena susunan kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai cara,
seperti dilalah isyarat-nya, iqtidha-nya, dan sebagainya.
Para ulama, selain berbeda pendapat tentang nash Al-Qur’an mengenai
penetapan yang qath’i dan zhanni dilalah, juga berbeda mengenai
penetapan yang qath’i atau zhanni dilalah.
Imam Asy-Syatibi menegaskan bahwa wujud dalil syara’ yang dengan sendirinya
dapat menunjukkan dilalah yang qath’i itu tidak ada atau sangat jarang.
Dalil syara’ yang qath’i tsubut pun untuk menghasilkan dilalah
yang qathi’i masih bergantung pada premis-premis yang seluruh atau
sebagainya zhannni pula. (Asy-Syatibi, 1975,1:35).
Premis-premis yang dimaksud Asy-Syatibi adalah:
a.
Proses
penggunaan bahasa dan berbagai persoalan Ilmu Nahwu.
b.
Keterbatasan
dari Isytirak.
c.
Keterbatasan
dari majas.
d.
Proses
penggunaan secara syara’ atau tradisi.
e.
Persoalan
penggunaan dhamir.
f.
Adanya
takhshish terhadap lafazh ’amm.
g.
Adanya
taqyid terhadap lafazh
muthlaq.
h.
Keterbebasan
dari nasikh.
i.
Kejelasan
taqdim dan ta’khir.
j.
Ketiadaan
pertentangan dengan pemikiran yang logis.
Meningat dalil syara’ yang dapat menunjukkan dilalah yang
qath’i hanya terwujud dengan sepuluh premis diatas, maka menemukan dalil
yang seperti itu hamper tidak mungkin. Andai kata ada, jumlahnya pun sangat
sedikit. (Asy-Syatibi, 1975, 1:36). Pandangan seperti ini juga dikemukakan oleh
Al-Asnawi dalam kitabnya Nihayah As-Sul. Ia menyatakan bahwa redaksi As-Sunnah
Al-Mutawatirah, seperti halnya Al-Qur’an adalah qath’i, sedangkan dilalah-nya
zhanni karena berkaitan dengan: Al-Ihtimalatu Al-Asyrah (Al-Asnawi,
t.t : 125). Agaknya, yang dimaksud dengan Al-Ihtimatu Al-Asyrah (Al-Asnawi,
t.t : 125). Agaknya, yang dimaksud dengan : Al-Ihtimatu Al-Asyrah sama
dengan sepuluh premis yang dikemukakan Asy-Syatibi.
Selanjutnya, Asy-Syatibi mengajukan suatu pandangan tentang
upaya mencari qath’I dilalah, yaitu istiqra’. Menurutnya, dalil-dalil
syar’I yang dapat diandalkan qath’I dilalah-nya adalah yang dihasilkan
melalui proses ini disebut syabihu bi Al-mutawatiri Al-ma’nawy, karena
ditunjang oleh makna berbagai nash yang menunjuk pada satu pengertian atau
keputusan. (Asy-Syatibi, 1975 : 1: 36).
Konsep Asy-Syatibi tentang maqashid As-Syari’ah dirumuskannya
berdasarkan metode istiqra ini, sehingga mempunyai landasan yang qath’i. oleh
sebab itu, ditempat lain ia menjelaskan bahwa dalil zhanni dilalah bisa
menjadi qath’i dilalah apabila maknanya sesuai dengan makna yang
terkandung pada dalil yang qath’I dilalah-nya
4.
Sikap Para Ulama Ketika Zahir Al-Qur’an Berhadapan dengan Sunah
Menurut Imam Abu Zahrah, perbedaan pendapat para ulama juga terjadi
karena adanya dilalah yang penjelasannya berkaitan erat dengan nash
sunah, seperti sunah yang men-takhshish keumuman dilalah Al-Qur’an. Dalam hal ini, para ulama
berbeda pandangan. Imam Asy-Syafi’I, Ahmad Ibnu Hambal, dan ulama lainnya
berpendapat bahwa pemahaman Al-Qur’an itu mesti disesuaikan dengan keterangan
yang ada dalam Sunah, karena sunah berfungsi sebagai penjelas dan penafsir
Al-Qur’an, dan juga sebagai takhsis terhadap ayat-ayat yang mujmal (umum),
sehingga artinya menjadi jelas. Contohnya sangat banyak, dan para ualam pun
bila tidak menemukan penafsirannya dari Sunah.
Dengan demikian, semua lafazh ‘amm yang ada dalam Al-Qur’an
jika sudah ada keterangan dalam hadis, meskipun menyalahi zahir ayat tersebut,
harus di-takhsish dengan sunah
Adapun Abu Hanifah dan beberapa ualama lain berpendapat bahwa lafazh
umum yang ada dalam Al-Qur’an itu dijalankan sesuai dengan kebutuhan
terhadap keumumannya. Jika ada sunah yang mutawatir atau yang masyhur,
sunah tersebut yang bisa men-takhshish-nya. Namun jika sunahnya tidak
mutawatir, Al-Qur’an dipahami berdasarkan keumumannya karena Al-Qur’an itu qath’I
ke mutawatir-annya. Menurutnya, hadis ahad tidak bisa dipakai men-takhsis Al-Qur’an
karena tidak sahih untuk dinisbatkan kepada Nabi.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendapat para ulama mengenai takhshish
sunah terhadap Al-Qur’an terbagi dua:
a.
As-Sunah
sebagai hakim terhadap Al-Qur’an, yakni As-Sunah sebagai tafsir dan penjelas
maksud-maksud ayat yang ada dalam Al-Qur’an. As-Sunah dianggap sebagai kunci
untuk memahami Al-Qur’an yang tidak mungkin dilepaskan dalam memahami
Al-Qur’an.
b.
Al-Qur’an
sebagai hakim bagi sunah, yakni sunah tidak dianggap sahih jika bertetangan
dengan Al-Qur’an, termasuk didalamnya khabar Ahad.
Perbedaan pendapat mengenai pemahaman terhadap dilalah Al-Qur’an,
juga terjadi golongan Sunni dan Syi’i. kaum Sunni memahami dilalah Al-Qur’an
melalui sunah. Jika tidak ditemukan dalam sunah, mereka memahaminya melalui
ilmu bahasa Arab dan ilmu syari’at dengan mengambil muqashid dan tujuan
disyariatkannya ayat tersebut.
Sedangkan golongan Syi’i (Imamiyah) berpendapat bahwa tidak
seorang pun yang mampu memahami Al-Qur’an selain Imam mereka yang dua belas.
Mereka beranggapan bahwa Imam yang dua belas tersebut sebagai kunci dalam
memahami Al-Qur’an, sedangkan selain mereka tidak ada yang mampu mencapainya.
Selain itu, mereka juga dianggap ma’shum, terhindar dari kesalahan. (Abu
Zahrah, II : 59-60).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar