BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai umat Islam, kita mengakui bahwa banyak masalah baru yang
tidak terdapat penyelesaiannya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga para
pakar hokum Islam harus berijtihad untuk memecahkannya. Meskipun demikian,
perlu diingat bahwa mereka itu dalam berijtihad tidaklah secara acak, tetapi
selalu berpegang kepada dasar-dasar umum yang terdapat dalam kitab suci itu
sehingga hukum-hukum yang mereka rumuskan melalui ijtihad itu tidak boleh
menyimpang dari dasar-dasar umum tersebut.
Untuk menjawab masalah-masalah baru yang belum ada penegasan
hokum-hukumnya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka para pakar hokum Islam
(fuqaha) berupaya memecahkan dan mencari hukum-hukumnya dengan menggunakan
ijtihad. Namun ijtihad itu tidak boleh lepas dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Dikatakan demikian, karena ijtihad tersebut dilaksanakan dengan cara
mengkiaskan kepada yang sudah ada di dalam al-Qur’an dan as-sunnah, menggalinya
dari aturan-aturan umum (al-qawanin al-‘ammah) dan prinsip-prinsip yang
universal (al mabadi’ al-kulliyah) yang terdapat dalam al-Qur’an dan
as-sunnah dan menyesuaikannya dengan maksud dan tujuan syariat (al-maqashid
al-syari’ah) yang juga terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Aturan-aturan umum dan prinsip-prinsip yang universal itulah yamg
disebut dengan al-qawanin al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh). Dalam pembahasan kaidah-kaidah fiqh banyak
terdapat macam-macam kaidah salah satunya tentang kaidah-kaidah asasi ( al-Qawaid
al-Khamsah). Dalam kaidah-kaidah asasi terdapat 5 macam kaidah, sehingga untuk
lebih mengetahui macam-macam kaidah dalam al-Qawaid al-Khamsah akan
dibahas dalam bab selan jutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kaidah Asasi
Kaidah Asasi semula dinamakan kaidah ushul, yakni kaidah pokok dari
segala kaidah fiqhiyah yang ada. Setiap permasalahan furu’iyah dapat
diselesaikan dengan kalimat kaidah tersebut walaupun seorang mujtahid belum
sempat memperhatikan dasar-dasar hukum secara tafshili.
Kaidah Asasi itu digali dari sumber-sumber hukum baik melalui
al-Qur’an dan as-Sunnah maupun dalil-dalil istinbath. Karena itu, setiap kaidah
didasarkan atas nash-nash pokok yang dapat dinilai sebagai standar hukum fiqih,
sehingga sampai dari nash itu dapat diwakili dari sekian populasi nash-nash
ahkam.
B.
Al-Qawaid al - Khamsah (Lima Kaidah Asasi)
Kelima kaidah tersebut dibawah ini sangat masyhur dikalangan mazhab
al-Syafi’I khususnya dan di kalangan mazhab-mazhab lain umumnya meskipun
urutannya tidak selalu sama.
1.
Kaidah yang berkaitan dengan niat
a.
Teks
kaidahnya
الأُمُوْرُبِمِقَا صِدِهَا
Artinya: “Segala perkara tergantung kepada niatnya”.
b.
Dasar-dasar
nash kaidah
Firman Allah SWT:
!$tBur (#ÿrâÉDé& wÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øèC ã&s! tûïÏe$!$#
Artinya: “ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus…” (QS. al-Bayyinah [98]: 5).
Sabda Nabi SAW:
إِنَّمَا الْاَ عْمَا لُ بِا لنِّبَا تِ وَاِ نَّمَا لِكُلِّ امْرِ ئٍ
مَا نَوَ ى
Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan
sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati.”
c.
Eksistensi
niat
Niat dikalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud
melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya.
قَصْرُالشَيْئِ مُقْتَرِنًا بِفِعْلِهِ أَوالقَصْرُالمُقَارِنُ
لِلْفِعْلِ
Didalam shalat misalnya yang dimaksud dengan niat adalah bermaksud
didalam hati dan wajib niat disertai dengan takbirat al-ihram.[1]
القَصْدُ بِا لقَلْبِ وَيَجِبَ أَنْ تَكُوْنَ النِّيَةُ مُقَارُ نَةً
للتَكْبِيْرِ
Dikalangan mazhab Hambali juga menyatakan bahwa tempat niat ada
didalam hati karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud
adalah hati. Jadi apabila meyakini/beritikad didalam hatinya. Itu pun sudah cukup
dan wajib niat didahulukan dari perbuatan. Yang lebih utama, niat bersama-sama
dengan takbirat al-ihram didalam shalat, agar niat ikhlas menyertainya dalam
ibadah.
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna
perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan
suatu perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan
perbuatan yang diperintahkan atau yang disunnahkan agama ataukah dia melakukan
perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata
karena kebiasaan saja. Apabila seseorang mampir disebuah mesjid, kemudian duduk
atau tiduran dimesjid tersebut, maka apakah dia berniat I’itikap ataukah tidak.
Apabila dia berniat ihtikaf dimesjid tersebut, maka dia mendapat pahala dari
ibadah ikhtikafnya.
Dikalangan para ulama ada kesepakatan bahwa suatu perbuatan ibadah
adalah tidak sah tanpa disertai niat, kecuali untuk beberapa hal saja, yang
termasuk kekecualian dari kaidah-kaidah tersebut diatas.
Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa fungsi niat adalah:
1.
Untuk
membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.
2.
Untuk
membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
3.
Untuk
menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang
wajib dari yang sunah.
Secara lebih mendalam lagi para fuqaha (ahli hukum islam) merinci
masalah niat ini baik dalam bidang ibadah mahdlah, seperti thaharah (bersuci),
wudhu, tayamum, mandi junub, shalat, qasar jamak, wajib, sunnah, zakat, haji,
saum ataupun didalam muamalah dalam arti luas atau ibadah ghair mahdlah,
seperti pernikahan, talak, wakaf, jual beli, hibah, wasiyat, sewa-menyewa,
perwakilan, utang-piutang, dan akad-akad lainnya.
Diantara kekecualian kaidah diatas antara lain:
1.
Suatu
perbuatan yang sudah jelas-jelas ibadah bukan adat, sehingga tidak bercampur
dengan yang lain. Dalam hal ini tidak diperlukan niat, seperti iman kepada
Allah, makrifat, khauf, zikir dan membaca al-Qur’an kecuali apabila membacanya
dalam rangka nazar.
2.
Tidak
diperlukan niat didalam meninggalkan perbuatan, seperti meninggalkan perbuatan
zina dan perbuatan-perbuatan lain yang dilarang karena dengan tidak melakukan
perbuatan tersebut maksudnya sudah tercapai.
3.
Keluar
dari shalat tidak diperlukan niat, karena niat diperlukan dalam melakukan suatu
perbuatan bukan untuk meninggalkan suatu perbuatan.[2]
Dikalangan mazhab Hanafi ada kaidah:
لاَ ثَوَابَ إِلَابِالنِيَةِ
Artinya: “Tidak ada pahala kecuali niat”.
Kaidah ini dimasukkan ke dalam al-qawa’id al-kulliyah yang pertama
sebelum al-umur bimaqashidiha.
Sedangkan dikalangan mazhab Maliki, kaidah tersebut menjadi cabang
dari kaidah al-umur bimaqashidiha, seperti diungkapkan oleh Qadhi Abd
Wahab al-Baqdadi al-Maliki. Tampaknya pendapat mazhab Maliki ini bisa lebih
diterima karena kaidah diatas asalnya.
لاَثَوَابَ وَلاَعِقَابَ إِلاَبِا النِيَةِ
Artinya: “Tidak ada pahala dan tidak ada siksa kecuali karena
niatnya”.
2.
Kaidah yang berkenaan dengan keyakinan
a.
Teks
kaidahnya
اَلْيَقِيْنُ لاَيُزَالُ بِا لشَكِ
Artinya: “Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan
kerugian”.
Didalam kitab-kitab fikih banyak dibicarakan tentang hal yang
berhubungan dengan kenyakinan dan keraguan. Misalnya: orang yang sudah yakin
suci dari hadas, kemudian dia ragu, apakah sudah batal wudhunya atau belum?
Maka dia tetap dalam keadaan suci. Hanya saja untuk ihtiyath (kehati-hatian),
yang lebih utama adalah memperbarui wudhunya.
Contoh lain dalam fiqh jinayah, apabila seseorang menyangka kepada
orang lain melakukan kejahatan, maka sangkaan tersebut tidak dapat diterima.
Kecuali ada bukti yang sah dan menyakinkan bahwa orang tersebut telah melakukan
kejahatan.
b.
Dasar-dasar
nash kaidah
Sabda Nabi SAW:
اِذَاوَجَدَ أَحَدُ
كُمْ فِي بَصْنِهِ شَيْئًا فَآَ شْكَلَ عَلَيْهِ اَخَرَجَ مِنْهُ شَيْ ءٌأَمْ لاَفَلاَ
يَخْرُجَنَ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَى يَسْمَعَ صَوْتًاأَوْيَجِدْرِيْحًا (رواه مسلم
عن أبى هريرة)
Artinya: “Apabila seseorang diantara kalian merasakan sesuatu
dalam perutnya. Kemudian dia ragu apakah sesuatu itu telah keluar dari perutnya
atau belum. Maka orang tersebut tidak boleh keluar dari mesjid sampai dia
mendengar suara (kentut) atau mencium baunya”. (HR. Muslim dari Abu
Hurairah).
دَعْ مَايُرِيْبُكَ إِلَى مَالاَيُرِيْبُكَ
Artinya: “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah
kepada yang tidak meragukanmu”. (HR. al-Nasai dan al-Turmudzi dari Hasan bi
Ali).
Yang dimaksud dengan yakin disini adalah:
هُوَمَاكَانَ ثَابِتًابِالنَظَرأَواالدَّ لِيْل
Artinya: “Sesuatu yang menjadi tetap karena penglihatan panca
indra atau dengan adanya dalil”.
Adapula yang mengertikan yakin dengan ilmu tentang sesuatu yang
membawa kepada kepastian dan kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu dalam
arti tidak ada keraguan lagi.
Adapun yang dimaksud dengan al-Syak disini adalah:
هُوَمَاكَانَ مُتَرَدِّدًابَيْنَ الثُبُوْتِ وَعَدَ مِهَ مَعَ تَسَاوِى
طَرَفَرِالصَوَابِ وَالخَطَاءِ دُوْنَ تَرْ جِيْعِ اَحَرِ هِمَاعَلَى الاحَرِ
Artinya: “Suatu pertentangan antara kepastian dengan
ketidakpastian tentang kebenaran dan kesalahan dengan kekuatan yang sama dalam
arti tidak dapat ditarjihkan salah satunya”.
Ada kekecualian dari kaidah tersebut diatas, misalnya wanita yang
sedang menstruasi yang meragukan, apakah sudah berhenti atau belum. Maka ia
wajib mandi besar untuk shalat. Contoh lain: baju seseorang terkena najis, tetapi
ia tidak tahu bagian mana yang terkena najis maka ia wajib mencuci baju
seluruhnya.
Sesungguhnya contoh-contoh diatas menunjukkan kepada ihtiyath dalam
melakukan ibadah tidak langsung merupakan kekecualian. Mazhab Hanafi
mengecualikan dari kaidah tersebut dengan menyebut 7 macam contoh. Sedangkan
mazhab Syafi’I menyebut 11 contoh.
Sedangkan materi-materi fikih yang terkandung dalam kaidah al-yaqin
la yuzal bi al-syak, tidak kurang dari 314 masalah fikih.
Mazhab yang tidak mau menggunakan hal-hal yang meragukan adalah
mazhab Maliki dan sebagian ulama Syafi’iyah, karena mereka menerapkan konsep
ihtiyath-nya. Memang dalam ibadah memerlukan kepastian dan kepuasan batin hanya
bisa dicapai dengan ihtiyah (kehati-hatian).
Tentang syak atau keraguan ini barangkali perlu dikemukan disini
pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah: “Perlu diketahui bahwa didalam syariah tidak
ada sama sekali yang meragukan. Sesungguhnya syak (keraguan) itu datang kepada
mukallaf (subyek hukum) karena kontradiksinya dua indikator atau lebih, maka
masalahnya menjadi meragukan baginya (mukallaf).
Dari kaidah asasi al-yaqin la yuzal bi al-syak ini kemudian
muncul kaidah-kaidah yang lebih sempit ruang lingkupnya, misalnya:
1.
اليَقِيْنُ
يُزَالُ بِاليَقِيْنِ مِثْلِهِ
Artinya: “Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain
yang menyakinkan pula”.
Kita yakin sudah berwudhu, tetapi kemudian kita yakin pula telah
buang air kecil, maka wudhu kita menjadi batal.
2.
أَنَّ
مَاثَبَتَ بِيَقِيْنِ لاَيُرْتَفَعُ إِلاَبِيَقِيْنٍ
Artinya: “Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa
hilang kacuali dengan keyakinan lagi”.
Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang menyakinkan yaitu harus
tujuh putaran. Kemudian dalam keadaan thawaf, seseorang ragu apakah yang
dilakukannya putaran keenam atau kelima. Maka yang menyakinkan adalah jumlah
yang kelima, karena putaran yang kelima itulah yang menyakinkan.
3.
اَلآَصْلُ
بَرَاءةُالذِمَةِ
Artinya: “Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung
jawab”.
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan,
baik yang berhubungan dengan hak Allah maupun dengan hak Adami. Setelah dia
lahir muncullah hak dan kewajiban pada dirinya.
4.
الآَصْلُ
بقَاءُمَاكَانَ عَلَى مَاكَانَ مَالَمْ يَكُنْ مَايُغَيِرُهُ
Artinya: “Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama
tidak ada hal lain yang mengubahnya”.
5.
اَلآَصْلُ
فِيْ الصِفَاتِ العَارِضَةِالعَدَمُ
Artinya: “Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian
adalah tidak ada”.
6.
اَلآَصْلُ
إِضَافَةُالحَادِثِ إِلرَأَقْرَبِ أَوقَاتِهِ
Artinya: “Hukum asal adlah penyandaran suatu peristiwa kepada
waktu yang lebih dekat kejadiannya”.
Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu
peristiwa, maka hokum yang ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat
kepada peristiwa tersebut, karena waktu yang paling dekat yang menjadikan
peristiwa itu terjadi, kecuali ada bukti lain yang menyakinkan bahwa peristiwa
tersebut terjadi pada waktu yang lebih jauh.
7.
اَلآَصْلُ
فِي الآَشْيَاءِالإِبَاحَةُحَتَى يَدُلَ الدَلِيْلُ عَلَى التَحْرِيْمِ
Artinya: “Hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai
ada dalil yang menunjukkan keharamnya”.
Contohnya: apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas
tentang keharamannya, maka hukumnya boleh dimakan.
8.
اَلأَصْلُ فِي الكَلاَمِ الحَقِيْقَةُ
Artinya: “Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang
sebenarnya”.
9.
Qadhi
Abd al-Wahab al-Maliki menyebutkan dua kaidah lagi yang berhubungan dengan
kaidah,” al-yaqin la yuzal bi al-syak”, yaitu:
لاَعِبْرَةَبِالظَنِ الَذِي يَظْهَرُخَطَاءُهُ
Artinya: “Tidak dianggap (diakui) persangkaan yang jelas
salahnya”.
10.
لاَعِبْرَةَ
لِلتَوَ هُمِ
Artinya: “Tidak diakui adanya waham (kira-kira)”.
Bedanya zhann dan waham adalah didalam zhann yang salah itu
persangkaannya. Sedangkan dalam waham, yang salah itu zatnya.
11.
مَاثَتَبَتَ
بِزَمَنٍ يُحْكَمُ بَبَقَاءِهِ مَالَمْ يَقُمْ الدَلِيْلُ عَلَى خِلاَفِهِ
Artinya: “Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya
ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang
bertentangan dengannya”.[3]
3.
Kaidah yang berkenaan dengan kondisi menyulitkan
a.
Teks
kaidahnya
المَشَقَةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْرُ
Artinya: “Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
b.
Dasar-dasar
nash kaidah
Firman Allah SWT:
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمْ الْيُسْرِوَلاَيُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسرَ
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak
menghendaki kesulitan bagi kalian”. (QS. al-Baqarah[2]: 185).
Sabda Nabi SAW:
الدِيْنُ يُسْرٌاخُبُ الدِيْنِ إلَى اللهِ الخفِيَةَ السَمْحَةَ (رواه
البخر)
Artinya: “Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah
adalah agama yang benar dan mudah”. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).[4]
Dalam ilmu fikih, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu
setidaknya ada tujuh macam yaitu:
1.
Sedang
dalam perjalanan, misalnya boleh qasar shalat, buka puasa, dan meninggalkan
shalat jum’at.
2.
Keadaan
sakit, misalnya boleh tayamum ketika sulit memakai air shalat fardhu sambil
duduk.
3.
Keadaan
terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya.
4.
Lupa,
misalnya seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa membayar utang
tidak diberi sanksi tetapi bukan pura-pura lupa.
5.
Ketidaktahuan,
misalnya orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian makan makanan
yang diharamkan, maka dia tidak dikenai sanksi.
6.
Umum
al-Balwa, misalnya kebolehan bai al-salam (Uangnya dahulu, barangnya belum
ada). Kebolehan dokter melihat kepada bukan mahramnya demi untuk mengobati
sekadar yang dibutuhkan dalam pengobatan.
7.
Kekuranganmampuan
bertindak hukum (al-naqsh), misalnya anak kecil, orang gila, orang dalam
keadaan mabuk.[5]
c.
Klasifikasi
kesulitan
Dr. Wahbah az-Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam 2
kategori, yaitu:
1.
Kesulitan
Mu’tadah
Kesulitan mu’tadah adalah kesulitan yang alami, dimana
manusia mampu mencari jalan keluarnya sehingga ia belum masuk pada
keterpaksaan. Kesulitan model ini tidak dapat di hilangkan taklif dan tidak
menyulitkan untuk melakukan ibadah. Misalnya seseorang kesulitan mencari
pekerjaan, ia dapat pekerjaan yang sangat berat, keberatan ini bukan berarti
diperbolehkan keringanan dalam melakukan shalat atau puasa dan sebagainya, atau
karena kesulitan mencari ma’isah ittu menggugurkan hukum qishas.
2.
Kesulitan
Qhairu Mu’tadah
Kesulitan qhairu mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada
kebiasaan, dimana manusia tidak mampu memikul kesulitan itu. Karena jika ia
melakukannya niscaya akan merusak diri dan memberatkan kehidupannya, dan
kesulitan-kesulitan ini dapat diukur oleh criteria akal sehat. Syariat sendiri
serta kepentingan yang dicapainya, kesulitan semacam ini diperbolehkan
menggunakan dispensasi (rukhsah).
d.
Tingkatan
kesulitan dalam ibadah
Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi tingkatan kesulitan dalam ibadah
menjadi 3 macam, yaitu:
1.
Kesulitan
Adhimah
Yaitu kesulitan yang dikhawatirkan akan rusaknya jiwa ataupun jasad
manusia.
2.
Kesulitan
Khofifah
Yaitu kesulitan karena sebab yang ringan, seperti kebolehan
menggunakan muza jika sangat dingin menyentuh air.
3.
Kesulitan
Mutawasithah
Yaitu kesulitan yang tengah-tengah antara yang berat dan yang
ringan. Berat ringannya kesulitan tergantung pada persangkaan manusia, sehingga
tidak diwajibkan memilih rukhshah juga tidak dilarang memilihnya.[6]
e.
Bentuk-bentuk
keringanan dalam kesulitan
Syekh Izzudin bin Abdis salam menyatakan bahwa bentuk-bentuk
keringanan dalam kesulitan itu ada 6 macam, yaitu:
1.
Tahfitul
isqoth (meringankan dengan menggugurkan)
Misalnya menggugurkan kewajiban shalat jum’at, ibadah haji dan
umrah serta jihad jika ada uzur.
2.
Tahfitul
tanqish (meringankan dengan mengurangi)
Misalnya bolehnya menggashar shalat dari 4 rakaat menjadi 2 rakaat.
3.
Tahfitul
ibdal (meringankan dengan mengganti)
Misalnya dengan mengganti wudhu dengan tayamum, mengganti berdiri
dengan duduk atau berbaring ketika shalat.
4.
Tahfitul
taqdim (meringankan dengan mendahulukan
waktunya)
Misalnya kebolehan jamak taqdim, yakni shalat ashar dilakukan
shalat zuhur, mendahulukan zakat sebelum setahun, mendahulukan zakat fitrah
sebelum akhir ramadhan.
5.
Tahfitul
ta’khir (meringankan dengan mengakhirkan
waktu)
Misalnya jamak takhir, yakni shalat zuhur dapat dilakukan pada
waktu shalat ashar, mengakhiri puasa ramadhan bagi yang bepergian dan yang
sakit.
6.
Tahfitul
tarkhsih (meringankan dengan kemurahan)
Misalnya kebolehan menggunakan benda najis atau khomr untuk
keperluan berobat.
4.
Kaidah yang berkenaan dengan kondisi membahayakan
a.
Teks
kaidahnya
الضَرَرُيُزَالُ
Artinya: “Kemudaratan harus dihilangkan”.
Seperti dikatakan oleh Izzuddin Ibn Abd al-Salam bahwa tujuan
syariah itu adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Kaidah
tersebut di atas kembali kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid
al-syari’ah dengan menolak yang mafsadah, dengan cara menghilanhkan
kemudaratan atau setidaknya meringankannya.
Contoh-contoh dibawah ini antara lain memunculkan kaidah diatas:
-
Larangan
menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut
mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
-
Adanya
berbagai macam sanksi dalam fiqh jinayah (hukum pidana Islam) adalah juga untuk
menghilangkan kemudaratan.
-
Adanya
aturan al-Hajr (kepailitan) juga dimaksudkan untuk menghilangkan
kemudaratan.[7]
b.
Dasar-dasar
nash yang berkaitan
Firman Allah SWT:
تُفْسِرُوَافِى الْاَرْضِ (الاعراف: ه ه)وَلاَ
Artinya: “Dan jangan kamu sekalian membuat kerusakan dibumi. “.
(QS. al-A’raf : 55).
Sabda Nabi SAW:
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ
Artinya: “…Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta
membuat kerusakan pada orang lain”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu
Abbas).
c.
Kaidah-kaidah
yang berkenaan dengan kondisi mudarat
Kaidah pertama:
اَضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Artinya: “Kemudaratan-kemudaratan itu dapat memperbolehkan
keharaman”.
Batasan kemudaratan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi
manusia yang terkait dengan lima tujuan, yaitu memelihara agama, memelihara
jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara keturunan dan
memelihara kehormatan atau harta benda.
Kaidah kedua:
مَاأُبِيْعَ للضَرُورَاتِ يُقَدَرُبِقَدَرِهَا
Artinya: “ Apa yang dibolehkan karena darurat diukur sekadar
kedaruratannya”.
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah
untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam kaitan ini
Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan 4
klasifikasi, yaitu:
1.
Darurat
2.
Hajah
3.
Manfaat
4.
Fudu
Kaidah ketiga:
جَازَ لِعُذْرٍ بَطَلَ بَزَ وَالِهِمَا
Artinya: “Apa yang diizinkan karena adanya udzur, maka keizinan
itu hilang manakala udzurnya hilang”.
Kaidah keempat:
اَلْمَيْسُوْرُلاَيُسْقَطُ
بِا لْمَعْسُوْرِ
Artinya: “Kemudahan itu tidak dapat digugurkan dengan
kesulitan”.
Kaidah kelima:
اَلْاِ ضْطَرَارُيُبْطِلُ حَقَ الْغَيْرِ
Artinya: “Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang
lain”.
Kaidah keenam:
دَرْءُالْمَفَاسِدِاَوْلَى مِنْ جَلْبِى الْمَصَالِعِ فَاِذَا
تَعَارَضَ مَفْسَدَةٌ وَمَصْلَحَةٌ قُدِ مَ دَ فْعُ الْمَفْسَدَةِ غَا لِبًا
Artinya: “Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik
mashlahah dan apabila berlawanan antara yang mafsadah dan mashlahah maka yang
didahulukan adalah menolak mafsadahnya”.
Kaidah ketujuh:
اَلضَرَرُلاَيُزَالُ بِا لضَرَرِ
Artinya: “Kemudaratan itu tidak dapat dihilangkan dengan
kemudaratan yang lain”.
Kaidah kedelapan:
اِذَاتَعَارَضَ مَفْسَدَ تَانِ رُوْ عِيْ اَعْظَمُهَا ضَرَرًابِارْ
تِكَا بِ الْخَفِّهِمَا
Artinya: “Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan
mana yang lebih besar mudaratnya dengan memilih yang lebih ringan mudaratnya”.
Kaidah kesembilan:
اَلْحَا جَةُ الْعْا مَةُ اَوِالْخَا صَةُ تَنْزِلُ مَيْزِ لَةَ
الضَرُوْرَةِ
Artinya: “Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempatnya
darurat”.[8]
5.
Kaidah yang berkenaan adat kebiasaan
a.
Teks
kaidahnya
اَلعَا دَةُ مُحَكَمَةٌ
Artinya: “Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, adat kebiasaan sudah berlaku di
masyarakat baik di dunia Arab maupun dibagian lain termasuk di Indonesia. Adat kebiasaan
suatu masyarakat dibangun atas dasar nilai-nilai yang dianggap oleh masyarakat
tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui, dipahami, disikapi, dan dilaksanakan
atas dasar kesadaran masyarakat tersebut.
b.
Dasar-dasar
nash kaidah
Firman Allah SWT:
وَعَا شِرُوَهُنَ بِا الْمَعْرُوْفِ
Artinya: “ Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara
yang ma’ruf(baik)”. (HR. Ahmad dari Ibnu Mas’ud).
Sabda Nabi SAW:
اَلْعَادَةُمَا اسْتَمَرَالنَاسُ عَلَيْهِ عَلَى حُكْمِ الْمَعْقُوْ
لِ وَعَادُوْا اِلَيْهِ مَرَةً بَعْدَاُخْرَى
Artinya: “Apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula
disisi Allah”. (HR. Ahmad dari Ibnu Mas’ud).
c.
Pengertian
‘Adah atau ‘uruf
Jumhur ulama mengidentikkan term ‘adah dengan ‘uruf, keduanya
mempunyai arti yang sama. Namun sebagai fuqaha membedakannya. Al-Jurjani
misalnya mendefinisikan ‘adah dengan:
Adah adalah suatu (perbuatan) yang terus menerus dilakukan manusia,
karena logis dan dilakukan secara terus menerus. Sedangkan ‘uruf adalah:
‘Uruf tidak hanya
merupakan perkataan, tetapi juga perbuatan atau juga meninggalkan sesuatu.
Karena itu dalam terminology bahasa Arab antara ‘uruf dan ‘adah
tiada beda.
Misalnya ‘uruf / ‘adah adalah menggunakan kalender haid bagi
wanita, setiap bulan seseorang wanita mengalami menstruasi dan cara
perhitungannya ada yang menggunakan metode tamyiz dan ada juga metode ‘adah
(yakni menganggap haid atas hari-hari kebiasaan keluarnya darah tiap bulan).
Bagi Imam hanafi mewajibkan penggunaan metode adah sedang Imam Syafi’I
menguatkan metode tamyiz.
d.
Syarat
diterimanya ‘uruf /‘adah
Menurut pengertian diatas, maka adah dapat diterima jika memenuhi
syarat sebagai berikut:
1.
Perbuatan
yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat.
2.
Perbuatan,
perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang boleh dikata sudah mendarah
daging pada perilaku masyarakat.
3.
Tidak
bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah
4.
Tidak
mendatangkan kemudaratan serta sejalan dengan jiwa dan akal yang sejahtera.[9]
e.
Kaidah
yang berkaitan dengan adah
Diantara kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-adah muhkamah adalah
sebagai berikut:
1.
Kaidah
pertama:
إِسْتِعْمَا لُ النَاسِ حُجَةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا
Artinya: “Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah
yang wajib diamalkan”.
2.
Kaidah
kedua:
إِنَمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ إِذَا اضْطَرَ دَتْ أَوْغَلَبَتْ
Artinya: “Adat yang dianggap(sebagai pertimbangan hukum) itu
hanyalah adat yang terus menerus berlaku atau berlaku umum”.
3.
Kaidah
ketiga:
العِبْرَةُ لِلفَا لِبِ الشَا ئِعِ لاَ لِلنَا دِرِ
Artinya: “Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang
dikenal oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi”.
4.
Kaidah
keempat:
الْمَعْرُوْفُ عُرْ فًا كَا لَمَشْرُوْ طِ شَرْ صً
Artinya: “Sesuatu yang telah dikenal karena ‘urf seperti yang
disyaratkan dengan suatu syarat”.
5.
Kaidah
kelima:
الْمَعْرُوَفُ بَيْنَ التُجَارِ كَ لمَشْرُوْ طِ بَيْنَهُمْ
Artinya: “Sesuatu yang telah dikenal diantara pedagang berlaku
sebagai syarat diantara mereka”.
6.
Kaidah
keenam:
التَعْيِيْنُ بِا لعُرْ فِ كَا لتَعْبِيْنِ بِا لنَص
Artinya: “Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan
berdasarkan nash”.
7.
Kaidah
ketujuh:
الْمُمْتَنَعُ عَا دَةً كَا لمُمْتَنَعِ حَقَيْقَةً
Artinya: “Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan
seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan”.
8.
Kaidah
kedelapan:
الحَقِيْقَةُ تُتْرَ كُ بِدَ لاَ لَةِا لعَا دَةِ
Artinya: “Arti hakiki ditinggalkan karena ada petunjuk arti
menurut adat”.
9.
Kaidah
kesembilan:
الإِذْ نُ العُرْ فِى كَا لإِذْ نِ اللَفْظِى
Artinya: “ Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama
dengan pemberian izin menurut ucapan”.[10]
BAB III
PENUTUP
Simpulan:
Kaidah asasi dinamakan kaidah ushul, yaitu kaidah pokok dari segala
kaidah fiqhiyah yang ada. Lima kaidah asasi yaitu:
1.
Kaidah
yang berkaitan dengan niat
a.
Teks
kaidahnya
الأُ مُورُ بِمِقَا صِدَ هَا
“Segala perkara tergantung kepada niatnya”
b.
Dasar-dasar
nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah al-Bayyinah ayat 5 dan Hadits Nabi SAW.
2.
Kaidah
yang berkenaan dengan keyakinan
a.
Teks
kaidahnya
اَلْيَقِيْنُ لاَيُزَالُ بِا لشَكِ
“Keyakinan
itu tidak dapat dihilangkan dengan kerugian”.
b.
Dasar-dasar
nash kaidahnya yaitu Hadits Nabi
3.
Kaidah
yang berkenaan dengan kondisi menyulitkan
a.
Teks
kaidahnya
المَشَقَةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْرُ
“Kesulitan
mendatangkan kemudahan”.
b.
Dasar-dasar
nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 185 dan Hadits Nabi SAW.
4.
Kaidah
yang berkenaan dengan kondisi membahayakan
a.
Teks
kaidahnya
الضَرَرُيُزَالُ
“Kemudaratan
harus dihilangkan”.
b.
Dasar-dasar
nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah al-A’raf ayat 55 dan Hadits Nabi SAW.
5.
Kaidah
yang berkenaan adat kebiasaan
a.
Teks
kaidahnya
اَلعَا دَةُ مُحَكَمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hokum”.
b.
Dasar-dasar
nash kaidahnya yaitu al-Qur’an surah an-Nisa ayat 19 dan Hadits Nabi SAW.
DAFTAR PUSTAKA
·
A.
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta, Prenada Media Group, 2006.
·
Usman
Muhlish, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, Raja Grafindo,
1996.
·
Jaih,
Sejarahan Kaidah Asasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002.
[1]
Drs. H.Muhlish Usman, MA., Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah,
(Jakarta: Raja Grafindo, 1996), h. 107-109.
[2]
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006),
h. 35-37.
[3]
A. Djazuli, op. cit, h. 47-54.
[4]
Ibid, h. 123
[5]
A. Djazuli, op. cit, h. 56-58
[6]
Ibid, h. 126-127.
[7]
A. Djazuli. Op. cit, h. 67.
[8]
Jaih, Sejarahan Kaidah Asasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),
Cet. 1, h. 153.
[9]
Ibid, h. 140-141.
[10]
A. Djazuli. Op. cit. h. 85-87.
banyak salah ketik arabnya, koreksi lagi, bila sudah benar, yang ini dihapus saja, ganti yg sudah dikoreksi... maaf ya sekedar koreksi...
BalasHapus